Peradilan
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan
keadilan (J.T.C Simorangkir dalam S.F Marbun, 2003: 30). Menurut Muchsan, SH di
dalam bukunya “Peradilan Administrasi Negara” menyatakan bahwa : Peradilan
Administrasi Negara adalah suatu badan yang mengatur tata cara penyelesaian
persengketaan antara sesama instansi administrasi Negara dan warga masyarakat,
atau dapat pula dirumuskan sebagai persengketaan intern administrasi dan
persengketaan ekstern Administrasi Negara[1].
Secara normatif, Pasal 4 UU NO. 5 Tahun 1986 Jo.
UU No. 9 Tahun 2004, mengartikan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap
sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang
timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1
angka 4 UU PTUN). Istilah Peradilan Tata Usaha Negara dapat disebut juga dengan
Peradilan Administrasi Negara, hal ini dapat kita temukan dasar hukumnya dalam
Pasal 144 UU PTUN. Pengertian-Pengertian Dasar dalam UU PTUN (Pasal 1) Tata
Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lalu Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan
terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk
mendapatkan putusan. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Pemahaman
tehadap Peradilan Adminstrasi akan lebih mudah jika terlebih dahulu dimengerti
unsur-unsur yang melengkapinya. Menurut S.F Marbun, setidaknya terdapat lima
unsur dalam Peradilan Adminstrasi, yaitu :
- Adanya suatu instansi atau badan yang
netral dan dibentuk berdasarkan peraturan perundangundangan, sehingga
mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan (S.F Marbun, 2003: 38).
Dalam hal ini adalah adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (dibentuk dengan
Kepres), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (dibentuk dengan UU.) dan
Berpuncak pada Mahkamah Agung yang diatur tersendiri Dalam UUMA.
- Terdapatnya suatu peristiwa hukum
konkret yang memerlukan kepastian hukum. Peristiwa hukum konkret disini adalah adanya
Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara oleh pejabat TUN. [2]
- Terdapatnya suatu peristiwa hukum
yang abstrak dan mengikat umum. Aturan hukum tersebut terletak di
lingkungan Hukum Administrasi Negara.
- Adanya sekurang-kurangnya dua pihak
(S.F. Marbun, 2003: 38). Sesuai dengan ketentuan hukum positif, yakni
Pasal 1 angka 4 UU PTUN. dua pihak disini adalah Badan atau Pejabat Buku Ajar Hukum Acara PTUN, Tata Usaha Negara yang selalu sebagai Tergugat dan rakyat pencari
keadilan (orang perorang atau badan hukum privat).
- Adanya hukum formal. Hukum formal
disini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan-peraturan
lainnya.[3]
Kemudian Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
- Pasal 10 UU No.14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
- lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (UU No.14 Tahun
1970 diperbaharui dengan UU No.4 Tahun 2004).
- TAP MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara menjamin
- eksistensi PTUN; o UU No.5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diundangkan (UU No.5 Tahun 1986
diubah dengan UU No.9 Tahun 2004);
- UU No.10 Tahun 1990 dan Kepres No.52
Tahun 1990 (tentang pembentukan pengadilan tinggi dan pengadilan tata usaha
negara); o PP No.7 Tahun 1991 tentang Penerapan UU No.5 Tahun 1986.
- Dll
Azas-Azas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Adapun ciri khas dari Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara terletak pada asas-asas yang melandasinya, yaitu :
a. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van
rechtmatigheid : presumptio iustea causa), asas ini menganggap bahwa setiap
tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatige sampai ada pembatalan.
Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67
ayat (1) UU No.5 tahun 1986);
b. Asas pembuktian bebas. Hakim yang
menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW. Asas ini
dianut oleh Pasal 101 UU No.5 tahun 1986, hanya saja masih dibatasi ketentun
Pasal 100;
c. Asas keaktifan hakim (dominus litis).
Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena
Tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan Penggugat adalah orang atau
badan hukum perdata. Penerapan
asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63, ayat (1) dan (2),
Pasal 80 dan Pasal 85;
d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan
mengikat “erga omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan
demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak
yang bersengketa. Dalam
rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan
asas erga omnes[4].
Selain empat asas yang tela tersebut di atas,
Zairin Harahap menambahkan asas-asas yang lainnya, yang menurut hemat penulis
adalah asas yang juga berlaku di Peradilan lainnya. Berikut ini asas-asas tersebut setelah penulis
kurangi asas-asas yang dikemukakan Philipus M. Hadjon, sebagai berikut:
1. “Asas para pihak harus didengar (audi et
alteram partem)para pihak mempunyai kedudukan yang sama;
2. “Asas kesatuan beracara” (dalam perkara
yang sejenis);
3. “Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang bebas” (Pasal 24 UUD 1945 Jo.Pasal 1 UU No. 4 2004);
4. “Asas sidang terbuka untuk umum”~putusan
mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum
(Pasal 70 UU PTUN);
5. ”Asas pengadilan berjenjang” (tingkat
pertama (PTUN), banding (PT TUN), dan Kasasi (MA), dimungkinkan pula PK (MA);
6. “Asas pengadilan sebagai upaya terakhir
(ultimum remidium)”, sengketa sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi
(musyawarah mufakat), jika belum puas, maka ditempuh upaya peradilan (Pasal 48
UU PTUN);
7. “Asas obyektivitas”[5].
8. “Asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan.
OBYEK DAN SUBYEK SENGKETA TATA
USAHA NEGARA
1. Obyek Sengketa TUN
Pengujian
produk hukum negara oleh lembaga peradilan di Indonesia dilakukan oleh berbagai
Jenis maupun jenjang peradilan. Secara teoritis kita mengenal tiga macam jenis
norma hukum tertulis yang dibuat oleh Negara, yaitu: norma hukum Peraturan
Perundangundangan (regelling), norma hukum Keputusan (beschikking) dan norma
hukum Putusan Pengadilan (vonnis). Kewenangan pengujian norma-norma hukum
tersebut diberikan kepada masing-masing lembaga peradilan sesuai dengan
atribusinya.
Oleh
karena itu kewenangan pengujian produk hukum Putusan Pengadilan dilakukan oleh
pengadilan diatasnya dalam kerangka sistem pengajuan upaya hukum, baik upaya hokum
biasa (banding, kasasi), maupun upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali). Sedangkan pengujian norma hukum Keputusan
dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian, berbicara menganai Pengujian legalitas suatu Keputusan sebagai
objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, maka sebenarnya kita sedang
berbicara mengenai judicial review system
di Indonesia .
Berikut
ini adalah uraian dari beberapa ahli mengenai pengertian keputusan yang dapat
digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara:
a)
Utrecht : Perbuatan
hukum publik bersegi satu yg dilakukan oleh alat-alat pemerintah berdasarkan
kekuasaan istimewa.
b) Scahran Basah : Keputusan tertulis dari
alat administrasi negara yang mempunyai akibat hukum;
c) W.F Prins : suatu tindakan hukum yg
bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yg dilakukan oleh suatu badan
pemerintah berdasarkan wewenang yg luar biasa;
Menurut P.de Haan, unsur-unsur keputusan adalah
adanya:
1. Suatu pernyataan kehendak tertulis;
2. Diberikan berdasarkan kewajiban/kewenangan
dari HAN & HTN;
3. Bersifat sepihak;
4. Mengecualikan keputusan yg bersifat umum;
5. Yang dimaksudkan untuk penentuan, penghapusan,
pengakhiran hubungan hukum yg ada, atau menciptakann hubungan hukum baru, yang
memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan, peciptaan atau
penghapusan;
6. Berasal dari organ pemerintahan;
Kemudian P. de Haan membagi jenis-jenis keputusan
menjadi: a.Keputusan Perorangan (misalnya SIM) dan Keputusan
Kebendaan (misalnya Sertifikat Tanah), b.Keputusan Deklaratif (misalnya Akte
Kelahiran) dan Keputusan Konstitutif (misalnya IMB, HGB), c.Keputusan bebas (misalnya
Ijin Reklame) dan keputusan terikat (misalnya SIM), d. Keputusan yang
menguntungkan (misalnya SK Pengangkatan ) dan keputusan yang memberi beban
(misalnya Surat Ketetapan Pajak), serta d.Keputusan Kilat (misalnya SK
Pembatalan Keputusan) dan keputusan langgeng (misalnya Ijasah). Perlu juga
diketengahkan pembagian jenis keputusan positif (misalnya Keputusan yang
mengabulkan permohonan) dan keputusan negatif (misal keputusan penolakan).
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 53 ayat (1)
UU PTUN, obyek sengketa TUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Pendekatan penentuan objek dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah pendekatan
residu. Artinya, tidak semua Keputusan Pejabat Adminstrasi Negara itu dapat
digugat di PTUN. Selain KTUN
yang dikecualikan oleh UU PTUN, maka ia adalah objek sengketa Tata Usaha
Negara. Perhatikan rumus
berikut ini:
KTUN = (Pasal 1 angka 3 + Pasal 3) - (Pasal 2 + Pasal 49)
Keputusan yang dapat digugat di PTUN adalah
keputusan yang sesuai dengan rumusan Pasal 1 angka 3, yaitu “Keputusan Tata
Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual
dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang”. KTUN yang dapat
digugat di PTUN harus memenuhi syarat-syarat :
- Bersifat tertulis, tertulis disini bukanlah dalam arti bentuk formalnya, melainkan cukup
tertulis asal saja jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan, jelas isinya dan jelas ditujukan untuk siapa. Syarat
tertulis ini masih dikecualikan adanya KTUN fiktif negatif (berisi
penolakan) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU PTUN. Syarat tertulis juga
tidak mengharuskan bahwa suatu KTUN harus berbentuk baku, suatu memo juga
dapat dikategorikan KTUN jika memo tersebut memenuhi tiga unsure, yaitu:
(1) memo tersebut jelas ditujukan untuk siapa, (2) isinya jelas memuat
tindakan hukum TUN yang memiliki akibat hukum, dan (3) jelas siapa
badan/pejabat TUN yang membuatnya;
- Bersifat konkrit, artinya KTUN. Artinya keputusan tersebut merupakan norma hukum yang mengkonkritkan
norma hukum abstrak, yaitu norma hukum dalam peraturan perundangundangan, misalnya
Keputusan tentang Pemberhentian PNS karena melanggra Peraturan Disiplin
PNS;
- Bersifat individual, artinya tertentu dan tidak ditujukan untuk umum, berapapun jumlahnya,
keputusan TUN harus membuat batasan, ditujukan untuk siapa atau apa saja.
Jika KTUN tersebut merupakan KTUN perorangan, maka
harus jelas siapa orang yang dituju atau dikenakan keputusan. Begitu juga, jika
KTUN tersebut adalah KTUN kebendaan, maka harus jelas apakah itu dan sampai
dimanakah batas-batasnya;
- Bersifat final,
artinya sudah definitif karenanya dapat menimbulkan akibat hukum atau
tidak membutuhkan persetujuan instansi atasan Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan KTUN.
Kemudian pada Pasal 2 UU PTUN telah diebutkan
bahwa terdapat keputusan-keputusan yang tidak dapat digolongkan dalam Keputusan
Tata Usaha Negara, sehingga oleh karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai
objek sengketa Tata Usaha Negara, yaitu:
a)Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
perbuatan hukum perdata. Sebagai contoh misalnya pemerintah melakukan jual beli
dengan pihak swasta yang didasarkan pada hukum perdata. Pengecualian ini tidak
termasuk pada Keputusan Pemenang Lelang dalam Pengadaan Barang/Jasa di
lingkungan pemerintah. Hal ini dikarenakan proses pengadaan barang/jasa
tersebut tunduk pada Hukum Administrasi Negara;
b) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum. Keputusan jenis ini, jika masih berlaku, menurut
UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terbaca
sebagai Peraturan. Oleh karena itu, secara subtansi jika terdapat keputusan
yang bersifat mengatur dan berlaku umum, maka ia bukanlah keputusan melainkan
peraturan. Sehingga dengan demikian pengujiannya juga tidak di PTUN, melainkan
lebih tepat di Mahkamah Agung.
c)Keputusan Tata Usaha Negara yang masih
memerlukan persetujuan. Keputusan jenis ini merupakan keputuan yang belum
final, karena ia masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau
instansi lain. Dalam rangka pengwasan preventif dan keseragaman kebijaksanaan, terkadang
peraturan yang mendasari terbitnya suatu keputusan mempersyaratkan persetujuan dari
instansi yang ditunjuk.
d) Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana. contoh dari keputuasan ini misalnya Surat Perintah Penangkapan
atau Penahanan atas seorang tersangka
e)Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh dari KTUN ini misalnya,
Keputusan Dirjen Agraria yang mengeluarkan Sertifikat tanah atas dasar Putusan Hakim
Perdata.
f) Keputusan
Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. Jika terjadi
sengkata Tata Usaha Negara militer akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Militer, maka kewenangannya diberikan kepada penadilan di Lingkungan Peradilan
Militer.
g) Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di
pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Artinya jika KPU membuat
Keputusan selain dari ketetapan mengenai hasil Pemilu, maka PTUN tetap
berwenang memeriksanya, misalnya Keputusan tentang Penetapan Calon Kepala
Daerah.
Selain itu pula, Pasal 49 UU PTUN menegaskan bahwa
“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
1) Dalam waktu perang, keadaan bahaya,
keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan
umum berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
2. Subyek Sengketa Tata Usaha Negara
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU PTUN, maka subyek
dalam sengketa TUN adalah rakyat (orang
perorang atau badan hukum perdata) dengan badan atau pejabat TUN. Orang
perorang atau badan hukum perdata selalu berkedudukan sebagai Penggugat. Hanya orang
perorang atau badan hukum perdata yang terkena atau merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu KTUN sajalah yang dapat mempunyai kualifikasi sebagai penggugat[6]. Pasal 53 ayat 1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004
menyebutkan:
“Seseorang atau Badan Hukum Perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak
sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”.
Maksud dari penggalan kalimat “merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN” menunjukkan bahwa:
- Suatu gugatan dilandasi oleh unsur
subjektivitas, yaitu adanya perasaan atau sangkaan yang sifatnya subjektif
bahwa KTUN tersebut merugikannya;
- Rasa kerugian yang diderita oleh
seseorang bisa disebabkabkan karena KTUN tersebut ditujukan kepadanya
(secara langsung), atau orang yang terkena imbas dari terbitnya KTUN
tersebut (tidak langsung), artinya KTUN tersebut tidak ditujukan kepadanya Sebagai contoh: terbitnya sertifikat
ganda atas objek tanah yang sama;
- Harus terdapat hubungan kausalitas
(sebab-akibat) antara terbitnya KTUN dengan timbulnya kerugian atau
kemungkinan kerugian yang akan diderita.
Pasal 1 angka 4 UU PTUN membatasi, bahwa hanya
orang-perorang (naturlijk persoon) atau Badan Hukum Perdata (Recths Persoon)
saja yang dapat berkedudukan sebagai Penggugat, sedangkan Badan/Pejabat TUN
hanya dapat berkedudukan sebagai Tergugat.
Tergugat dalam sengketa TUN. adalah Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang
ada padanya atau yang dilimpahkan padanya yang digugat oleh orang atau badan
hukum perdata (Pasal 1 angka 6). Sedangkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah badan atau pejabat yang melakukan urusan Pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 2 UU PTUN).
Dari doktrin-doktrin yang diajarkan oleh para pakar HAN, diantaranya
Indroharto, ia menyatakan bahwa “……ukuran untuk menganggap apa dan siapa saja
yang dimaksud dengan Badan atau Jabatan TUN, ialah asal apa dan siapa saja
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku melaksanakan urusan
Pemerintah. Juga tidak tertutup kemungkinan kepada apa dan siapa saja diluar
aparat resmi negara (pihak swasta) berdasarkan peraturan perundang-undangan
tertentu diberi tugas untuk melaksanakan suatu tugas atau fungsi urusan
Pemerintah misalnya dalam bidang pendidikan, kesejahteraan rakyat, kesehatan
dan sebagainya. Kriteria yang digunakan disini adalah kriteria fungsional
(Riawan Tjandra, 1995: 10)[7].
Indroharto mengelompokkan organ pemerintahan atau
tata usaha negara sebagai
berikut:
- Instansi-instansi resmi pemerintah
yang berada di bawah presiden sebagai kepala eksekutif;
- Instansi-instansi dalam lingkungan
negara di luar kekuasaan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
melaksanakan urusan pemerintahan.
- Badan badan hukum perdata yang
didirikan oleh pe-merintah dengan maksud untuk
- melaksanakan tugas- tugas
pemerintahan.
- Instansi-instansi yang merupakan
kerjasama antara pihak pemerintah dengan pihak swata yang melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan.
- Lembaga –lembaga hukum swasta yang
berdasarkan per-aturan perundang-undangan dan sistem perizinan
me-laksankan tugas pemerintahan.
Contoh Kasus SENGKETA LAHAN PTUN
Tolak Gugatan terhadap Buana Estate Senin, 30 April 2007
JAKARTA (Suara Karya): Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta
menolak gugatan Direktur PT. Genta Pranata yang diwakili direkturnya Drs Dolok
F Sirait terhadap Kepala BPN (tergugat I), Kepala Kantor Pertanahan Bogor
(tergugat II) dan PT. Buana Estate selaku tergugat II intervensi. Dolok Sirait
selaku penggugat I dan HM Sukandi penggugat II yang diwakili kuasa hukumnya
Denny Kailimang menggugat Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9/HGU/ BPN/2006
tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa Hambalang,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dalam penjelasannya kepada wartawan,
kemarin, kuasa tergugat II intervensi Drs Anim Sanjoyo Romansyah mengatakan,
sejak awal pihaknya yakin akan dimenangkan PTUN dalam gugatan tersebut karena
berada dalam posisi yang benar. Terbukti, PTUN menolak gugatan pihak
penggugat,” katanya menanggapi putusan PTUN Jakarta, Kamis lalu. Adapun obyek
gugatan dalam perkara tersebut adalah SK Kepala BPN No 9/HGU/BPN/2006 tentang
Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di Kabu-paten Bogor atas nama
PT. Buana Estate yang diterbitkan tergugat 1 Juni 2006. Sertifikat HGU No
149/Hambalang atas nama PT. Buana Estate yang diterbitkan oleh tergugat II pada
15 Juni 2006 atas tanah seluas 4.486.975 M2. Dalam
gugatannya, penggugat menyatakan selaku pemilik/pemegang hak atas tanah seluas
2.117.500 meter persegi yang terletak di desa Hambalang, termasuk dalam bagian
tanah obyek Surat keputusan N0 9/HGU/BPN 2006 tentang Jangka Waktu HGU atas
tanah yang terletak di Kabupaten Bogor atas nama PT Buana Estate. Penggugat
juga menyatakan pihak paling yang berhak atas tanah seluas 211,75 Ha karena telah
memiliki/menguasai tanah tersebut dari penguasaan penggarap yang telah
menguasai dan menggarap lokasi tanah tersebut sejak sekitar tahun 1960. Namun
majelis hakim yang diketuai oleh Kadar Slamet menyatakan penerbitan HGU PT. Buana Estate telah sesuai dengan prosedur,
demikian juga penerbitan sertifikat tidak cacat hukum.
Analisa kasus
Para pihak dalam kasus ini yaitu:
1. Direktur PT Genta Pranata sebagai
penggugat I yang diwakili direkturnya Drs Dolok F Sirait 2. HM Sukandi sebagai penggugat II yang
diwakili kuasa hukumnya Denny Kailimang.
MELAWAN
- Kepala BPN sebagai tergugat I
- Kepala Kantor Pertanahan Bogor sebagai tergugat II
- PT Buana Estate sebagai tergugat II intervensi.
Menurut S. Prajudi Atmosudidjo, birokrasi (bureavcracy) atau
Administrasi Negara atau tata Usaha Negara (TUN) meliputi tiga hal, yaitu:
1. aparatur negara, aparatur
pemerintah, atau institusi politik (kenegaraan)
2. fungsi atau aktivitas melayani
atau sebagai kegiatan pemerintah operasional
3. proses teknis peyelenggaraan
undang-undang.
Ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan melalui
aktivitas pejabat birokrasi atau aparatur negara yang menjalankan tugas
administrasi melalui pengambilan keputusan-keputusan administratif yang
bersifat individual, kasual, faktual, teknis penyelenggaraan, dan tindakan
administratif, yang bersifat organisasional, manajerial, informasional, atau
operasional. Keputusan maupun tindakan pejabat birokrasi itu dapat dilawan
melalui berbagai bentuk peradilan Administrasi Negara.
Adapun yang dikategorikan pejabat
birokrasi atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) menurut ketentuan pasal I angka
8 UU No 51 tahun 2009, adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan
atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah kedudukan struktural
pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran pemerintahan dan bukan pula
nama resminya, melainkan fungsi urusan pemerintah, maka oleh Undang-Undang
Pengadilan Tata Usaha Negara dianggap sebagai badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara/ pejabat birokrasi. Menurut
ketentuan Pasal 53 UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN, menyatakan bahwa Orang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Alasan-alasan
yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud diatas adalah:
- Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
- Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Maka dengan hal itu, Penggugat mengajukan
sengketa ini ke PTUN Jakarta. Kompetensi Pengadilan TUN terdapat dua macam
kompetensi, yaitu:
1) Kompetensi Absolut,
yaitu menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari
macam-macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, agar
suatu perkara dapat dikatakan sebagai perkara yang masuk dalam lingkup
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, maka objek dari perkara tersebut
berdasarkan pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 haruslah berupa Putusan Tata
Usaha Negara yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Berdasarkan
penjelasan pasal ini, penetapan tertulis yang dimaksud terutama menunjuk kepada
isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
TUN. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis
bukan bentuk formalnya seperti surat pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan
tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Dalam kasusu ini,
penetapannya yaitu Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9/HGU/ BPN/2006 tentang
Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa Hambalang,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
b) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ini
berdasarkan penjelasan pasal tersebut adalah Badan atau Pejabat di pusat dan
daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Dalam Kasus pihak yang
mengeluarkan keputusan adalah Kepala BPN tentang Pemberian Jangka Waktu HGU
atas tanah. Sehingga dalam Kasus unsur ini terpenuhi.
c) Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku Tindakan
hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Dalam Kasus isi dari keputusan
yang dikeluarkan Kepala Surat Keputusan Kepala BPN tergugat I yang mengeluarkan
keputusan tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa
Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sehingga dalam
Kasus unsur ini telah terpenuhi.
d) Bersifat Konkrit
Artinya
objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak,
tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan kepada siapa keputusan TUN
tersebut ditujukan. Dalam Kasus Keputusan Tata Usaha Negara yang dilahirkan
oleh Tergugat I bersifat konkrit karena berwujud yaitu Surat Keputusan Kepala
BPN Nomor 9/HGU/ BPN/2006 tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang
terletak di desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sehingga unsur ini terpenuhi.
e) Bersifat
individual
Artinya
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu
baik alamat maupun hal yang dituju. Dalam Kasus keputusan yang dilahirkan oleh
Tergugat I bersifat individual karena
tidak ditujukan kepada umum melainkan hanya kepada objek tanah yang terletak di
desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sehingga
unsur ini terpenuhi.
f) Bersifat
Final
Artinya
sudah defenitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Dalam Kasus,
keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat I bersifat final karena tidak
memerlukan per-setujuan dari instansi atasan maupun instansi lain mengingat
kapasitas Tergugat I selaku Kepala BPN. Dengan terpenuhinya unsur-unsur
tersebut, maka jelas dan tepat apabila atas kepu-tusan yang dilahirkan Tergugat
I. Penggugat mengajukan gugatan ke PTUN.
2) Kompetensi Relatif, yaitu mengatur pembagian kekuasaan
mengadili antara pengadilan yang serupa tergantung dari tempat tinggalnya
tergugat; Setelah merasa terpenuhi kewenangan untuk mengajukan perkara ini ke
PTUN, maka Drs Dolok F Sirait mengajukan gugatan terhadap Kepala BPN. Pasalnya,
Kepala BPN tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan
secara sepihak SK, karena penggugat menyatakan selaku pemilik/pemegang hak atas
tanah seluas 2.117.500 meter persegi yang terletak di desa Hambalang, termasuk
dalam bagian tanah obyek Surat keputusan N0 9/HGU/BPN 2006 tentang Jangka Waktu
HGU atas tanah yang terletak di Kabupaten Bogor atas nama PT. Buana Estate.
Penggugat juga menyatakan pihak paling yang berhak atas tanah seluas 211,75 Ha
karena telah memiliki/menguasai tanah tersebut dari penguasaan penggarap yang
telah menguasai dan menggarap lokasi tanah tersebut sejak sekitar tahun 1960.
Pada sidang ini dihadiri oleh penggugat dan tergugat. Berdasarkan pasal 109 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986
maka Putusan Pengadilan harus memuat:
1. Kepala putusan yang berbunyi:
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” 2. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat
kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat
yang jelas.
Dalam putusan kasus ini, terhadap ketiga
hal diatas telah terpenuhi. Majelis hakim memutuskan dalam perkara ini sebagai
berikut:
1. Majelis hakim menolak gugatan penggugat. Hal ini karena penerbitan HGU PT Buana
Estate telah sesuai dengan prosedur, demikian juga penerbitan sertifikat tidak
cacat hukum. Majelis hakim
juga tidak menemukan fakta-fakta penelantaran lahan oleh PT. Buana Estate. 2. Menghukum penggugat untuk membayar biaya
perkara dan diberi waktu 14 hari untuk menentukan apakah banding atau menerima
putusan tersebut. Hal ini dikarenakan pihak penggugat dalam perkara ini
merupakan pihak yang kalah, maka sesuai dengan Pasal 110 UU No. 9 Tahun 2004,
yaitu Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar
biaya perkara. Yang termasuk dalam biaya perkara ialah :
1. Biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
2. Biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan
catatan bahwa pihak yang meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus
membayar biaya untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
3. Biaya pemeriksaan di tempat lain dari
ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas
perintah Hakim Ketua Sidang.
Kesimpulan Analisis
Berdasarkan
hal diatas dan setelah mempelajari kasus tersebut, maka saya sependapat dengan
putusan Majelis Hakim PTUN Bandung tersebut, karena jika dilihat alasan tergugat
bahwa HGU PT Buana Estate telah sesuai dengan prosedur, demikian juga penerbitan
sertifikat tidak cacat hukum. Majelis hakim juga tidak menemukan fakta-fakta penelantaran lahan oleh PT
Buana Estate.
DAFTAR PUSTAKA
Indroharto. Peradilan Tata
Usaha Negar., Sinar Harapan. Jakarta: 1999
R. Wiyono. Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara.Sinar Grafika. Jakarta: 2008
S. F. Marbun. Peradilan
Administratif Negara dan Upaya Administratif di Indonesi. Liberty. Yogyakarta: 1997
C. S. T. Kansil. Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta: 1986
Sumber
dari Internet:
- Suara NTB.com, dikutip pada tanggal
22 September 2011 pukul 15.30 WIB.
- Buku Ajar Hukum Acara PTUN, Martitah, Hery Abduh S.com, dikutip pada
tanggal 22 September 2011 pukul 16.00 WIB.
permisi copas kata2 mutiaranya
BalasHapus