Sabtu, 15 Desember 2012

CONTOH KASUS (Praperadilan Al-Amin)


      
Hakim berpendapat tertangkap tangan adalah kondisi istimewa sehingga tidak diperlukan adanya surat perintah penangkapan.
Upaya Tim Pembela Al-Amin Nur Nasution mempersoalkan prosedur penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui jalur praperadilan berakhir sudah. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/5), menyatakan penangkapan yang terjadi pada dini hari 9 April 2008 adalah sah secara prosedur hukum yang berlaku.

Hakim tunggal Artha Theresia Silalahi menyatakan KPK sudah memenuhi sejumlah persyaratan tertangkap tangan sesuai Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Unsur yang dipenuhi antara lain, penangkapan dilakukan segera setelah peristiwa tindak pidana dilakukan, dan ditemukannya barang bukti yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut.

Artha menuturkan, Undang-undang tidak menjabarkan berapa rentang waktu yang dimaksud dalam kalimat “dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan”. Oleh karena tidak ditentukan, maka mendasarkan fakta yang dibeberkan di pengadilan, maka penangkapan dalam kondisi tertangkap tangan itu dapat diterima oleh pengadilan. Meski petugas KPK tidak mengantongi Surat Perintah Penangkapan, Artha berpendapat, dalam kondisi tertangkap tangan maka tidak diperlukan lagi surat tersebut.

Tertangkap tangan, jelas Artha, adalah suatu kondisi istimewa sehingga petugas tidak perlu membekali diri dengan surat perintah penangkapan. Pertimbangan ini mengacu pada Pasal 18 ayat (2) KUHAP. Ayat itu menyebutkan, “Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.”

Artha justru menilai bukti-bukti surat yang diajukan oleh Amin kurang tepat. Sebab, bukti-bukti itu sudah memasuki materi dalam pemeriksaan pokok perkara. Sebaliknya, bukti-bukti dari KPK berupa 23 bukti surat mulai dari perintah penyelidikan, berita acara penangkapan, berita acara penyitaan, berita acara pengembalian barang bukti hingga surat tanda penerimaan barang bukti, dianggap Artha relevan untuk membuktikan sah tidaknya proses penangkapan.

Selama pembacaan putusan, Anggota Tim Pembela Al-Amin, Sirra Prayuna, justru mengumbar senyum. “Ada yang tidak dipertimbangkan hakim,” ujarnya kemudian, seusai sidang. Ia menilai, hakim tidak mencoba untuk menggali lebih jauh kesesuaian antara Berita Acara Penyitaan—yang dijadikan bukti oleh KPK—dengan kesaksian penyidik KPK Edgar Diponegoro. Padahal kesaksian Edgar di persidangan, menurut Sirra mengandung kejanggalan.  

"Dalam kesaksian, Edgar mengaku menemukan uang pecahan 100 ribu, tapi dalam berita acara penyitaan tertulis pecahan 50 ribu. Itu sama sekali tidak diperhatikan oleh hakim," ujarnya. Yang dimaksud Sirra adalah uang yang ditemukan dalam amplop putih di saku jas yang tergeletak di bagasi mobil Amin.

Eksepsi KPK ditolak
Dalam hal penafsiran Pasal 63 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, hakim tidak sepakat dengan dalil Jaksa KPK yang bersikukuh bahwa praperadilan atas perkara yang penuntutannya diajukan oleh KPK harus dilayangkan ke Pengadilan Tipikor. Mencermati Pasal 63 ayat (1) dan (3), Artha menilai bahwa yang harus diajukan ke Pengadilan Tipikor hanyalah gugatan rehabilitasi dan kompensasi.

Selajutnya, berdasarkan Pasal 63 ayat (2), Artha ternyata tidak menemukan ketentuan yang mengatur secara jelas ke pengadilan mana permohonan praperadilan harus dilayangkan. Oleh karena kurang terangnya aturan lex specialis, maka ketentuan yang berlaku menurut Artha adalah hukum acara sesuai dengan ketentuan  lex generalis, yakni KUHAP.

Pasal 63 ayat (2) UU KPK
Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Lebih lanjut, Artha menengok pada Pasal 77-78 KUHAP. Berpijak pada pasal itu, Artha berpendapat PN Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara praperadilan yang diajukan Amin. Pasal itu menentukan PN berwenang memeriksa perkara praperadilan sepanjang masih dalam wilayah hukum pemohon.

Artha juga menuturkan, praperadilan merupakan suatu mekanisme kontrol horizontal untuk menghindari aparat mengabaikan prosedur formal dalam melakukan penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan serta penuntutan. Keabsahan tindakan-tindakan itu, ujar Artha, memang selayaknya harus bisa diuji di muka hakim.

Tak hanya itu, ia juga mengintip Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 15 Tahun 1983  sebagai acuan. SEMA itu intinya menyatakan bahwa yang menjadi ukuran permohonan praperadilan adalah kepentingan pemohon, bukannya termohon. Dengan demikian, kalau praperadilan diperiksa oleh Pengadilan Tipikor, sama saja praperadilan itu akan condong pada kepentingan termohon. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar