Hakim berpendapat tertangkap tangan adalah kondisi istimewa sehingga tidak
diperlukan adanya surat perintah penangkapan.
Upaya Tim Pembela Al-Amin Nur Nasution mempersoalkan
prosedur penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui jalur praperadilan berakhir sudah. Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Selasa (27/5), menyatakan penangkapan yang terjadi pada dini hari 9 April 2008 adalah sah secara prosedur hukum yang berlaku.
Hakim tunggal Artha Theresia Silalahi menyatakan KPK sudah memenuhi
sejumlah persyaratan tertangkap tangan sesuai Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Unsur yang dipenuhi antara lain,
penangkapan dilakukan segera setelah peristiwa tindak pidana dilakukan, dan
ditemukannya barang bukti yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
tersebut.
Artha menuturkan, Undang-undang tidak menjabarkan berapa rentang waktu yang
dimaksud dalam kalimat “dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana
dilakukan”. Oleh karena tidak ditentukan, maka mendasarkan fakta yang
dibeberkan di pengadilan, maka penangkapan dalam kondisi tertangkap tangan itu
dapat diterima oleh pengadilan. Meski petugas KPK tidak mengantongi Surat
Perintah Penangkapan, Artha berpendapat, dalam kondisi tertangkap tangan maka
tidak diperlukan lagi surat tersebut.
Tertangkap tangan, jelas Artha, adalah suatu kondisi istimewa sehingga
petugas tidak perlu membekali diri dengan surat perintah penangkapan.
Pertimbangan ini mengacu pada Pasal 18 ayat (2) KUHAP. Ayat itu menyebutkan,
“Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah,
dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta
barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.”
Artha justru menilai bukti-bukti surat yang diajukan oleh Amin kurang
tepat. Sebab, bukti-bukti itu sudah memasuki materi dalam pemeriksaan pokok perkara.
Sebaliknya, bukti-bukti dari KPK berupa 23 bukti surat mulai dari perintah
penyelidikan, berita acara penangkapan, berita acara penyitaan, berita acara
pengembalian barang bukti hingga surat tanda penerimaan barang bukti, dianggap
Artha relevan untuk membuktikan sah tidaknya proses penangkapan.
Selama pembacaan putusan, Anggota Tim Pembela Al-Amin, Sirra Prayuna,
justru mengumbar senyum. “Ada yang tidak dipertimbangkan hakim,” ujarnya
kemudian, seusai sidang. Ia menilai, hakim tidak mencoba untuk menggali lebih
jauh kesesuaian antara Berita Acara Penyitaan—yang dijadikan bukti oleh
KPK—dengan kesaksian penyidik KPK Edgar Diponegoro. Padahal kesaksian Edgar di
persidangan, menurut Sirra mengandung kejanggalan.
"Dalam kesaksian, Edgar
mengaku menemukan uang pecahan 100 ribu, tapi dalam berita acara penyitaan
tertulis pecahan 50 ribu. Itu sama sekali tidak diperhatikan oleh hakim,"
ujarnya. Yang dimaksud Sirra adalah uang yang ditemukan dalam amplop putih di
saku jas yang tergeletak di bagasi mobil Amin.
Eksepsi
KPK ditolak
Dalam hal penafsiran Pasal 63 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, hakim tidak
sepakat dengan dalil Jaksa KPK yang bersikukuh bahwa praperadilan atas perkara
yang penuntutannya diajukan oleh KPK harus dilayangkan ke Pengadilan Tipikor.
Mencermati Pasal 63 ayat (1) dan (3), Artha menilai bahwa yang harus diajukan
ke Pengadilan Tipikor hanyalah gugatan rehabilitasi dan kompensasi.
Selajutnya, berdasarkan Pasal 63 ayat (2), Artha ternyata tidak menemukan
ketentuan yang mengatur secara jelas ke pengadilan mana permohonan praperadilan
harus dilayangkan. Oleh karena kurang terangnya aturan lex specialis, maka
ketentuan yang berlaku menurut Artha adalah hukum acara sesuai dengan
ketentuan lex generalis, yakni KUHAP.
Pasal
63 ayat (2) UU KPK
Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika
terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Lebih lanjut, Artha menengok pada Pasal 77-78 KUHAP. Berpijak pada pasal
itu, Artha berpendapat PN Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara
praperadilan yang diajukan Amin. Pasal itu menentukan PN berwenang memeriksa
perkara praperadilan sepanjang masih dalam wilayah hukum pemohon.
Artha juga menuturkan, praperadilan merupakan suatu mekanisme kontrol
horizontal untuk menghindari aparat mengabaikan prosedur formal dalam melakukan
penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan serta penuntutan. Keabsahan
tindakan-tindakan itu, ujar Artha, memang selayaknya harus bisa diuji di muka
hakim.
Tak hanya itu, ia juga mengintip Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor
15 Tahun 1983 sebagai acuan. SEMA itu intinya menyatakan bahwa yang
menjadi ukuran permohonan praperadilan adalah kepentingan pemohon, bukannya
termohon. Dengan demikian, kalau praperadilan diperiksa oleh Pengadilan
Tipikor, sama saja praperadilan itu akan condong pada kepentingan termohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar