BAB II
PEMBAHASAN
Dewan
Perwakilan Rakyat atau DPR disebut dengan istilah lain parlemen. Tugas pokok
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif adalah:
a) Membuat
undang-undang dan ikut serta menentukan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena
itu, pada umumnya DPR mempunyai hak inisiatif anggota, hak amandemen serta hak
budget;
b) Melakukan
fungsi pengawasan (kontrol) terhadap pemerintah (eksekutif)[1]. Oleh
karena itu, DPR mempunyai hak-hak antara lain; hak mengajukan pertanyaan, hak
interpelasi, dan hak angket.
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan
salah satu lembaga tinggi negara menurut UUD 1945[2].
Kedudukan DPR sebagai lembaga negara di bawah MPR, namun semua anggota DPR juga
menjadi anggota majelis. Jumlah anggota DPR periode 1992-1997 adalah 500 orang,
terdiri dari 400 orang anggota dipilih lewat pemilihan umum dan 100 orang
anggota lainnya diangkat.
Berdasarkan pasal 19 UUD 1945
(sebelum diamandemen), susunannya telah diatur dengan undang-undang[3]. Dengan
demikian, keanggotaan DPR susunannya tergantung pada undang-undang yang
mengaturnya, sehingga keanggotaan DPR dapat disusun berdasarkan pemilihan,
pengangkatan, dan dapat pula sebagai dipilih dan sebagian diangkat, dengan
adanya ketentuan semua tersebut diatur dengan undang-undang. Namun, harus
diingat dan dipertimbangkan bahwa UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat dan
DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang mewakili rakyat dan aspirasi rakyat.
DPR melaksanakan kekuasaan
legislatif (membentuk undang-undang) bersama dengan Presiden (pasal 5 (1) jo. Pasal 20 (1) UUD 1945). Pada
penjelasan pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa kecuali executive power, Presiden bersama-sama DPR menjalankan legislative power dalam negara. Dari
sini jelaslah bahwa kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh dua lembaga negara,
yaitu Presiden bersama-sama DPR. Kalimat “dengan persetujuan DPR” pada pasal 5
ayat (1), tidaklah mengandung arti pasif, seolah-olah Dewan hanya tinggal
menyetujuinya saja. Dalam menafsirkan kalimat tersebut harus dihubungkan dengan
pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Tiap Undang-undang menghendaki
persetujuan DPR”, sehingga kata “dengan persetujuan” mengandung arti harus
mendapat persetujuan.
Ini berarti apabila DPR tidak
menyetujui maka Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dapat disahkan menjadi
undang-undang. Pengertian ini dikuatkan oleh ketentuan pasal 20 ayat (2), yaitu
jika suatu Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR, maka
rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Di samping itu, rancangan
undang-undang dapat pula dimajukan oleh anggota DPR (hak inisiatif anggota
dewan)[4].
Rancangan ini meskipun datangnya dari anggota Dewan dan kemudian mendapat
persetujuan Dewan, masih memerlukan pengesahan dari Presiden[5]. Dengan
demikian, dalam pembuatan undang-undang antara Presiden dan DPR mempunyai
kekuasaan yang berimbang, meskipun dalam kenyataan datangnya rancangan
undang-undang lebih banyak dari pemerintah.
Selanjutnya
dalam pelaksanaan undang-undang dan garis-garis besar haluan negara, DPR
mengambil posisi sebagai pihak pengawas terhadap pemerintah. Dengan kekuasaan
ini akan memperkuat tugas DPR dalam pembenrukan undang-undang dan memperkuat
kedudukan Dewan sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dalam rangka melaksanakan
tugas pengawasan ini, Dewan dibekali dengan hak-hak tertentu seperti diatur
dalam pasal 32 (UU. No. 16 tahun 1969,
diubah dan diperbaharui dengan UU No. 5 tahun 1975 dan UU No. 2 tahun 1985).
DPR juga
mempunyai kekuasaan untuk bersama-sama pemerintah menetapkan anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) tiap tahunnya. Peranan DPR dalam penetapan
ini cukup besar, sebab apabila DPR tidak menyetujui, maka pemerintah harus
menjalankan anggaran tahun lalu. Dalam hal pengawasan penggunaan keuangan
negara tidak dilakukan oleh DPR secara langsung, akan tetapi dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)[6]. Hasil
pemeriksaan BPK diberitahukan kepada DPR[7], yang
oleh DPR digunakan untuk melakukan pengawasan.
Menurut
sistem yang dianut UUD 1945, kedudukan DPR adalah kuat. DPR tidak bisa
dibubarkan oleh Presiden, kecuali itu anggota-anggota DPR semuanya merangkap
menjadi anggota MPR. Oleh karen itu, DPR senantiasa dapat mengawasi
tindakan-tindakan Presiden, dan jika DPR menganggap bahwa Presiden
sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau
oleh MPR, maka majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar bisa
minta pertanggung jawaban kepada Presiden. Meskipun demikian, DPR tidak dapat
menjatuhkan Presiden, sebab yang berwenang menjatuhkan/memberhentikan Presiden
adalah MPR. Jadi, Presiden tidak bertanggung jawab pada DPR, oleh karena itu
kedudukannya tidak tergantung pada DPR.
Kita telah mengetahui bahwa
demokrasi Pancasila mempunyai dua macam pengertian, yaitu baik yang bersifat
formil maupun materiil. Sebagai realisasi pelaksanaan demokrasi Pancasila dalam
arti formil, UUD 1945 menganut apa yang dinamakan dengan indirect democracy[8].
Indirect democracy adalah suatu
demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh
rakyat secara langsung, melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat,
seperti DPR.
Sehubungan dengan dianutnya
demokrasi tidak langsung sebagaimana dikemukakan di atas, kita mengenal adanya
dua macam sistem lembaga perwakilan rakyat, yaitu:
1) Sistem
dua kamar (bicameral system);
2) Sistem
satu kamar (one cameral system).
Seperti kita ketahui, baik DPR
maupun MPR, masing-masing merupakan suatu lembaga legislatif yang mempunyai
kekuasaan dan wewenang yang berbeda, yaitu MPR sebagai lembaga perwakilan
rakyat yang tertinggi, sedangkan DPR adalah lembaga legislatif yang mempunyai
kekuasaan melaksanakan ketentuan-ketentuan UUD dan ketetapan-ketetapan MPR[9]. Untuk
mengetahui sistem apakah yang dianut oleh UUD 1945 perlu terlebih dahulu kita
mengetahui bagaimanakah susunan DPR tersebut. Sebagaimana yang ditentukan dalam
pasal 19 ayat 1 UUD yang merupakan dasar hukum pembentukan DPR maka ternyata
bahwa susunan DPR itu ditentukan oleh UU. Tentunya sebelum diadakan pemilu
pemilihan DPR, maka para pemilih aktif (hak pilih aktif) harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut ini[10]:
1) Bukan
bekas anggota organisasi terlarang partai komunis Indonesia (PKI) termasuk
organisasi-organisasi masyarakat atau bukan seseorang yang terlibat langsung
ataupun tak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G. 30.S/PKI” atau
organisasi terlarang lainnya;
2) Tidak
mengalami gangguan jiwa;
3) Tidak
sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan berdasarkan keputusan
Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi, karena tindak pidana yang dikenakan
ancaman pidana sekurang-kurangnya lima tahun;
4) Tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat
diubah lagi;
5) Bukan
anggota angkatan bersenjata Republik Indonesia[11].
Setelah tadi ialah syarat-syarat
bagi hak pili aktif, maka berikut ini adalah syarat-syarat bagi hak pilih
pasif:
1) Bukan
anggota ABRI;
2) Warga
negara Indonesia yang berusia 21 tahun ke atas serta bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa;
3) Dapat
berbahasa Indonesia dan cakap menulis dan membaca huruf latin;
4) Setia
kepada pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dan kepada UUD 1945;
5) Buka
bekas anggota PKI atau organisasi-organisasi terlarang lainnya;
6) Tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat
diubah lagi;
7) Tidak
mengalami gangguan jiwa;
8) Tidak
sedang menjalani pidana penjara atau kurungan;
9) Terdaftar
dalam daftar pemilih.
Jumlah badan perwakilan pilihan
rakyat yang dimiliki oleh suatu negara menentukan sistem apa yang dianut oleh
negara yang bersangkutan. Ada negara yang mengandut sistem perwakilan
bikameral, misalnya: Inggris, Amerika, dan Belanda. Indonesia mempunyai
perwakilan rakyat yang hanya terdiri dari satu badan saja, yang disebut dengan
Dewan Perwakilan Rakyat. Tugas dari DPR pada umumnya ialah memelihara/menjaga,
memajukan kepentingan rakyat, serta membantu/mengawasi pemerintah.
Untuk mengatur kehidupan rakyat
dalam suatu negara, perlu disusun undang-undang dan peraturan-peraturan
lainnya. Di Indonesia undang-undang dibuat oleh Presiden dengan persetujuan
DPR. Oleh karen itu, DPR disebut juga sebagai Lembaga Legislatif, yakni lembaga
pembuat atau penyusun undang-undang. Wakil-wakil rakyat yang duduk dalam DPR,
dipilih dalam suatu pemilihan umum. Dalam pemilihan umum inilah sering
terjadinya kecurangan dalam proses penetapan daftar pemilih tetap, jumlah
calon-calon anggota DPR yang ingin bertarung dalam pemilu terkadang sering
terjadi kekisruhan, bahkan di hasil akhirnyapun atau dalam proses penetapan
akhir masih saja terdapat konflik.
KPU sebagai
lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilu di
Indonesia harus lebih baik dalam melaksanakan tugasnya agar terciptanya pemilu
yang benar-benar berasaskan demokrasi langsung.
Banyak
sekali tugas dari DPR itu sendiri, diantaranya ialah bersama-sama dalam
menetapkan besaran APBN setiap tahunnya. Bila kita menengok ke arah sejarah,
misalnya pada tahun 1966 lahirlah Pemerintahan Orde Baru yang bertekad untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten. Sehubungan
dengan itulah maka tela dibentuk UU No. 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum[12].
Pemilihan umum 3 Juli 1971 telah berhasil memilih Anggota DPR yang menggantikan
anggota DPR-GR pada tanggal 28 oktober 1971.
Berturut-turut
pada tahun 1977 dan tahun 1982 telah diselenggarakan pemilihan umum untuk
memilih anggota DPR sebanyak 460 orang. Jumlah anggota DPR tersebut adalah
separuh dari seluruh jumlah anggota MPR yang berjumlah 920 orang. Kedudukan,
susunan, tugas, dan wewenang DPR hasil pemilihan untuk selanjutnya dilaksanakan
berdasarkan undang-undang susunan dan kedudukan MPR/DPR, yakni UU No. 16 tahun
1969 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 5 tahun 1975.
DPR ialah
lembaga tinggi negara dan merupakan wahana (alat kenegaraan) untuk melaksanakan
Demokrasi Pancasila[13]. DPR
yang seluruh anggotanya adalah anggota MPR berkewajiban senantiasa mengawasi
tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara. Apabila DPR
menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan negara, maka DPR menyampaikan
memorandum atau peringatan untuk mengingatkan Presiden. Jika dalam waktu tiga
bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum DPR tersebut, maka DPR
menyampaikan memorandum kedua. Dan apabila dalam waktu satu bulan memorandum yang
kedua ini tidak diindahkan oleh Presiden, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan
Sidang Istimewa untuk meminta pertanggung jawaban Presiden[14].
Adapun
wewenang dan tugas dari DPR tersebut adalah:
1) Bersama-sama
dengan Presiden membuat undang-undang;
2) Bersama
Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
3) Melakukan
pengawasan atas:
a) Pelaksanaan
undang-undang;
b) Pelaksanaan
APBN serta pengelolaan keuangan negara;
c) Kebijaksanaan
pemerintah.
4) Membahas
untuk meratifikasi dan/atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang,
pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;
5) Membahas
hasil pemeriksaan atas pertanggung jawaban keuangan negara yang diberitahukan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
6) Melaksanakan
hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan-ketetapan MPR kepada DPR.
Sedangkan syarat-syarat untuk
menjadi anggota DPR adalah:
1) Warga
negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun serta bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa;
2) Dapat
berbahasa Indonesia dan cakap menulis serta membaca huruf latin serta
berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Lanjutan Pertama;
3) Bukan
bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung atau tak
langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G-30-S/PKI atau organisasi terlarang
lainnya”.
4) Tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan Keputusan Pengadilan yang tidak dapat
diubah lagi;
5) Tidak
sedang menjalani pidana penjara atau kurungan berdasarkan Keputusan Pengadilan
yang tidak dapat diubah lagi, karena tindak pidana yang dikenakan ancaman
hukuman sekurang-kurangnya 5 tahun;
6) Tidak
sedang mengalami gangguan jiwa.
Salah satu tugas DPR adalah
pengambilan keputusan, berikut ini tata caranya:
a) Ketentuan
umum
Pengambilan keputusan adalah
proses penyelesaian terakhir suatu masalah yang dibicarakan dalam rapat DPR.
Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada asasnya diusahakan sejauh mungkin
dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat[15].
Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana yang dimaksud di atas tidak
mungkin lagi, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Semua jenis rapat DPR dapat
mengambil keputusan. Keputusan rapat DPR dapat berupa persetujuan atau
penolakan.
b) Keputusan
berdasarkan Mufakat
Keputusan berdasarkan mufakat
adalah sah, apabila diambil dalam rapat yang tdaftar hadirnya telah
ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat dan dihadiri oleh
unsur semua fraksi. Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah
kepada para anggota rapat yang hadir diberikn kesempatan untuk mengemukakan
pendapat serta saran, yang kemudian dianggap cukum untuk diterima oleh rapat
sebagai sumbangan pendapat dan pikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang
dimusyawarahkan.
c) Keputusan
berdasarkan suara terbanyak[16]
Keputusan berdasarkan suara
terbanyak diambil, apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin
dicapai, karena adanya pendirian dalam rapat dari sebagian anggota rapat yang
tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat lainnya atau
karena waktu yang sudah sangat mendesak.
Keputusan berdasarkan suara
terbanyak adalah sah, apabila:
(a) Diambil
dalam rapat yang daftar hadirnya telah ditandatangani oleh lebih dari separuh
jumlah anggota rapat;
(b) Disetujui
oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang menandatangani daftar hadir;
(c) Didukung
oleh tidak hanya satu fraksi.
Seperti halnya
MPR, maka untuk manifestasi sila ke-empat dari Pancasila serta untuk
pelaksanaan perintah UUD 1945 yang menyangkut pasal-pasal 5, 19, 20, 21, 22,
dan 23 maka eksistensi DPR di Indonesia mutlak diperlukan[17].
Menurut UUD 1945, DPR bersama Presiden memegang kekuasaan legislatif. Kedudukan
Dewan ini kuat sehingga tidak dapat dibubarkan oleh Presiden, dan sebaliknya
Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh DPR[18].
Moh.
Kusnadi, S.H. dan Bitan R. Saragih, S.H. berpendapat bahwa jika diperhatikan
sebutan DPR itu maka badan itu seharusnya diisi dengan anggota-anggota yang
dipilih sebab mereka itu adalah wakil rakyat. Tetap harus diakui bahwa di
antara rakyat Indonesia masih terdapat golongan yang tidak dapat melakukan
pemilihan berhubung dengan kedudukannya, yaitu ABRI. Oleh karena itu wajar saja
jika kepada mereka itu diberikan tempat sebagai wakil dalam badan perwakilan
tanpa melalui pemilihan tetapi dengan cara pengangkatan atau penunjukan.
Perlu
diketahui bahwa dalam menjalankan tugas legislatif, DPR itu berkedudukan
sebagai partner dari Presiden, sehingga hak inisiatif yang dimilikinya bukannya
mutlak menjadi sah bila digunakan[19], sebab
dengan kedudukannya sebagai partner[20] maka
konsekuensinya adalah pemerintah mempunyai hak juga untuk berinisiatif
mengajukan undang-undang dan memberi persetujuan atau penolakan terhadapa
Rancangan Undang-Undang yang dibuat oleh DPR. Dengan demikian terdapat
perimbangan kekuatan antara DPR dengan Presiden.
Dalam
hubungan ini perlu diingat hubungan fungsional antara DPR dengan Presiden,
yakni bahwa kedudukan DPR adalah kuat sebab anggota-anggota DPR semuanya
sekaligus menjadi anggota MPR, sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga
sekalipun DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden tapi dalam kedudukannya sebagai
anggota majelis, DPR dapat mengusulkan diadakannya sidang instimewa Majelis
untuk meminta pertanggungjawaban Presiden bila Presiden benar-benar dianggap
sudah melanggar haluan negara.
Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari pemakaian sistem kuasi Presidentiil dalam tata pemerintahan negara di Indonesia yang
berbeda halnya dengan sistem pemerintahan parlementer di mana Presiden atau
usul kabinet dapat membubarkan parlemen yang sudah tidak representatif dan
sebaliknya DPR dapat menjatuhkan kabinet atau Dewan Menteri sebagai pemerintah.
DPR selaku
lembaga tinggi negara yang bertugas mengawasi segala kebijakan pemerintah,
namun juga harus bekerja sama dengan Presiden dalam hal pembentukan suatu UU,
hal ini tentunya bukan pekerjaan yang mudah. Soalnya bagaimana DPR senantiasa
bekerja secara obyektif dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap tindakan
pemerintah sedangkan di pihak lain pihak Dewan harus bekerja sama dengan
pemerintah dalam melaksanakan tugas legislatif.
Walaupun
dua bidang tugas yang dilakukan itu berbeda, namun hubungan kedua bidang itu
sangat erat bahkan tugas yang kedua sebenarnya merupakan kelanjutan dari tugas
yang pertama. Jika DPR menganggap pelaksanaan dari produk legislatif oleh
pemerintah keliru atau menyimpang disebabkan undang-undangnya, maka pemerintah
akan menggeser tanggung jawabnya kepada DPR sebagai partner legislatifnya[21].
Keadaan demikian ini, akan menempatkan DPR dalam kedudukannya yang lemah
sebagai pengawas terhadap segala kebijakan dan keputusan pemerintah. Selain
karena UUD 1945 menganut sistem pemerintahan dengan kabinet presidensiil, maka
pemerintah/Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
Pada
ketentuan lain dalam undang-undang dasar 1945 yang merumuskan bahwa setiap RUU
yang telah disetujui oleh DPR memerlukan pengesahan Presiden untuk menjadi
undang-undang, menempatkan Presiden pada posisi yang lebih menentukan daripada
DPR. Rapat kerja yang diadakan DPR dengan menteri sebagai wakil dari pemerintah
menyebabkan suatu rancangan undang-undang yang sudah disetujui DPR juga
disahkan secara otomatis oleh Presiden[22]. Selama
ini belum dapat ditemukan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui
oleh DPR namun ditolak pengesahannya oleh Presiden. Karena itulah, maka fungsi
dari pasal 21 ayat 2 itu hanya sebagai legalitas bahwa sahnya suatu
undang-undang ialah karena undang-undang itu telah ditandatangani oleh Presiden
selaku kepala negara dalam sistem pemerintahan presidensiil yang dianut oleh
UUD 1945.
Berlainan
halnya dengan undang-undang yang ditandatangani oleh Menteri Kehakiman dan menteri
yang bersangkutan dengan undang-undang itu dalam sistem pemerintahan
parlementer, karena menteri yang bersangkutan itulah yang bertanggung jawab
terhadap parlemen mengenai pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Kemudian,
RUU yang tela disetujui oleh DPR dan RUU ususl inisiatif DPR oleh pimpinan DPR
dengan suatu surat pengantar disampaikan kepada Presiden. Sekretaris
Kabinet/Negara menyiapkan undang-undang tersebut di atas kertas Presiden untuk
dimohon tanda tangan Presiden. Setelah ditandatangani Presiden (disahkan
Presiden) maka Sekretaris Negara mengundangkan RUU tersebut.
Disamping banyaknya tugas maupun
kewenangan yang dimilikinya, ternyata lembaga tinggi negara tersebut sering
mengalami perselisihan pada saat dilaksanaknnya pemilihan umum untuk memilih
para anggota DPR, DPRD, dan DPD.
Banyak sekali terjadi pelanggaran
dalam proses demokrasi tersebut, atau yang sering disebut dengan istilah PHPU
(Perselisihan Hasil Pemilihan Umum). Untuk menyelesaikan PHPU maka ini adalah
wewenang dari Mahkamah Konstitusi dimana salah satu kewenangannya adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum[23].
Pada kasus PHPU tersebut terdapat
dua masalah yang sangat sering muncul, akan tetapi semua masalah tersebut tidak
dapat sepenuhnya diselesaikan apabila menggunakan penafsiran yang terbatas atas
rumusan gugatan PHPU pasca penetapan rekapitulasi perolehan suara nasional.
Kedua masalah dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut[24]:
1.
Terdapat banyak sengketa PHPU antara Calon Agggota DPR, DPRD provinsi dan kebupaten/kota
dalam satu partai. Para pihak yang bersengketa sepakat untuk menyelesaikan
sengketa secara kekeluargaan, tetapi sudah ada penetapan KPU maupun KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota yang memutuskan perolehan suara calon salah satu calon
anggota dimaksud.
2.
Terdapat sengketa PHPU antara Calon
Agggota DPR, DPRD provinsi dan kebupaten/kota dalam satu partai. Para pihak
yang bersengketa tidak setuju untuk menggunakan penyelesaian sengketa secara
kekeluargaan serta ada penetapan KPU maupun KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang
memutuskan perolehan suara calon dan memenangkan salah satu calon anggota
dimaksud.
Berdasarkan
penjelasan di atas, menurut saya Perselisihan Sengketa Hasil Pemili (PHPU)
tidak secara langsung harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. PHPU juga
dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dengan cara mediasi antar pihak yang
mengalami perselisihan. Mediasi merupakan salah satu usaha perdamaian
non-litigasi (tanpa jalur pengadilan), tentunya dengan cara mediasi ini akan
lebih hemat biayanya dan tidak berlarut-larut masalah PHPU tersebut tanpa
adanya penyelesaian. Apabila ingin diselesaikan secara kekeluargaan atau non-litigasi,
maka langkah-langkah yang dapat ditempuh sebagai berikut:
a.
Pihak-pihak
tersebut harus membuat suatu surat pernyataan berdamai (sering disebut dengan
akta otentik) yang isinya mereka setuju untuk menyelesaikan masalah serta
menyatakan salah satu pihak tertentu adalah pihak yang mendapatkan suara
tertentu sehingga menjadi calon anggota yang mempunyai suara untuk dapat
ditetapkan sebagai calon anggota sesuai ketentuan hukum yang berlaku;
b. Keputusan dari pihak yang berselisih
tersebut harus mendapat penguatan dengan melampirkan Surat Keputusan Pimpinan
Partai Politik yang bersangkutan yang menegaskan bahwa calon terpilih anggota
DPR dan/atau DPRD tersebut dapat diganti dengan calon dari daftar calon pada
daerah pemilihan yang sama [25];
c.
Surat Kesepakatan dan Surat Keputusan Pimpinan Partai Politik dikirimkan kepada
KPU provinsi dan/atau kabupaten/kota sebegai calon terpilih pengganti;
d. Jika surat keputusan di atas tersebut belum
dikirim ke KPU, Bawaslu harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan KPU bahwa
masalah tersebut telah diselesaikan secara mediasi atau damai. Sebelum surat
sesuai poin c diatas dikirimkan, Bawaslu dan/atau jajarannya melakukan
pembicaraan untuk meyakinkan KPU bahwa masalah dimaksud telah diselesaikan di
internal para pihak dan partai sehingga tidak ada alasan bagi KPU untuk menolak
kesepakatan para pihak yang sudah disetujui partai karena KPU hanya menjalankan
perintah perundangan yang berlaku serta tidak ada konsekwensi apapun yang akan
dihadapi oleh KPU;
Penjelasa di
atas adalah tata cara penyelesaian melalui jalur mediasi atau kekeluargaan,
tetapi jika cara mediasi tidak dapat menyelesaikan masalah perselisihan pemilu
terebut maka berikut ini adalah tata cara penyelesaian lainnya, yaitu melalui
Mahkamah Konstitusi:
a) Hasil Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD terdiri atas
perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon anggota DPR, DPD dan
DPRD[26];
b)
Perolehan
hasil suara dimaksud ditetapkan oleh KPU secara nasional (Pasal 199 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008);
c) Perolehan suara parpol untuk calon anggota DPR dan
perolehan suara untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU, sedangkan perolehan
suara parpol untuk calon anggota DPRD ditetapkan oleh KPU Provinsi dan/atau
Kabupaten/Kota[27].
Menurut saya, cara penyelesaian sengketa pemilihan DPR
melalui Mahkamah Konstitusi seharusnya dapat dihindari, asalkan pemilihan umum
untuk memlilih anggota DPR, DPRD, maupun DPD dapat dilakukan dengan jujur,
adil, dan penuh keterbukaan. KPU selaku lembaga negara yang memiliki wewenang
untuk menyelenggarakan pemilihan umum harus bersikap profesional dalam
menjalankan tugasnya, jangan sampai lembaga negara yang baru dibentuk setelah
adanya reformasi ini justru melakukan perbuatan yang dapat mencederai rasa
keadilan dalam melakukan suatu proses hidup berdemokrasi di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
-Kesimpulan:
DPR
adalah salah satu lembaga tinggi negara di Indonesia yang memiliki kewenangan
membuat undang-undang, membuat besaran APBN, dan mengawasi segala tindakan
maupun kebijakan yang diambil oleh Presiden dan jajarannya. Namun, dibalik itu
semua ternyata sering terjadi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum pada saat akan
dilakukannya pemilu (dalam memilih calon anggota DPR).
Hal ini bisa saja terjadi di negara
Indonesia yang baru dan dalam proses menjalani pesta demokrasi.
-Saran:
Seharusnya
PHPU ini tidak harus terjadi, jika dilakukan dengan cara-cara yang benar pada
saat pemilihan calon anggota DPR dan tentunya dapat menjalankan amanat dari UU
No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
-sumber dari buku:
- Daman, Rozikin. 1993. Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
- Soemantri, Sri. 1977. Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945. Bandung: Penerbit Alumni.
- Kansil, C.S.T. 1985. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.
- Mahfud MD, Moh. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia edisi revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
- Kusnadi, Moh dan Bintan R. Saragih. 1994. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: PT. Gramedia Jakarta.
- Kartasapoetra, R.G. 1993. Sistematika Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
- Huda, Ni’Matul. 2010. Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
8. Subekti,
Valina. 2008. Menyusun Konstitusi
Transisi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
-sumber dari internet:
Pemilu Problem dan Sengketa Katalog dalam Terbitan karya Bambang Widjayanto (akses 1 Desember 2012
pukul: 10.21 WIB).
-sumber perundang-undangan:
1. TAP MPR No. III/MPR/1978.
2. UU No. 16 tahun 1969
3. UU No. 5 tahun 1975
4.
UU No. 2
tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan
MPR dan DPR.
5. undang-undang no. 15 tahun 1969.
6. UUD 1945 (amandemen)
7.
UU No. 10
tahun 2008 tentang Pemilu.
[1] Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hlm.
193.
[2] Lihat TAP MPR No. III/MPR/1978.
[3] Lihat UU No. 16 tahun 1969, UU No.
5 tahun 1975, dan UU No. 2 tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan MPR dan DPR.
[4] Rozikin Daman, op.cit., hlm. 194
[5] Lihat pasal 20 ayat (4) UUD 1945
amandemen kesatu.
[6] Lihat pasal 23E UUD 1945 ayat (1)
amandemen ketiga tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
[7] Lihat pasal 23E UUD 1945 ayat (2)
amandemen ketiga tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
[8] Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1977), hlm 28.
[9] Yang dimaksud dengan melaksanakan
ini adalah hanya melaksanakan pembentukan UU bukan sebagai lembaga eksekutif,
yang sebagaimana kita ketahui tindakan tersebut merupakan perwujudan dari UUD
1945 dan ketetapan-ketetapan MPR.
[10] Rozikin Daman, op.cit., hlm. 46.
[11] Lihat 11 undang-undang no. 15 tahun
1969.
[12] Sekarang telah direvisi dengan UU
No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum, tentunya pada UU terbaru ini dalam
proses pemilihan Presiden maka rakyat Indonesia diikutsertakan secara langsung
untuk memilih Presiden yang diinginkan, tanpa melalui perantara DPR (seperti
pada zaman Orde Baru dulu).
[13] C.S.T Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm.
259.
[14] Bila sekarang, khususnya setelah
diadakan amandemen terhadap UUD 1945, maka DPR harus meminta saran atau
pertimbangan (berupa putusan) dari
Mahkamah Konstitusi , apakah Presiden telah melakukan pelanggaran atau tidak
hal ini sesuai dengan bunyi pasal 24C ayat (2) UUD 1945 amandemen ketiga.
[15] Menurut saya, musyawarah yang
mufakat adalah suatu cara untuk menempuh atau mendapatkan hasil akhir dalam
menyelesaikan suatu masalah tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan, sebab
negara Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila yang lebih mengutamakan
jalan musyawarah daripada kekerasan dalam penyelesaiannya.
[16] Menurut saya, cara ini kurang cocok
bagi Indonesia. Sebab cara ini biasa dilakukan di negara yang menganut paham
liberalisme (yang biasa disebut dengan voting) sedangkan negara kita
berdasarkan Pancasila yang lebih mengutamakan musyawarah mufakat. Cara ini juga
sering menimbulkan perselisihan hasil dalam hal pemilihan umum, jika dilakukan
atas dasar kepentingan kelompoknya masing-masing.
[17] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia
edisi revisi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), hlm. 110.
[18] Hal ini dikarenakan sudah tidak ada
lagi lembaga tertinggi negara (sesudah adanya amandemen terhadap UUD 1945),
jadi semua lembaga negara tersebut kedudukannya setara atau sama, yang semuanya
telah diatur dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia.
[19] Maksudnya adalah inisiatif
undang-undang yang diajukan DPR tersebut baru sah apabila telah mendapat
persetujuan dari Presiden, jadi DPR tidak seenaknya bertindak sendiri dalam
mengajukan suatu RUU.
[20] Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 112.
[21] Moh. Kusnadi, Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem
Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT. Gramedia Jakarta, 1994), hlm. 124.
[22] Maksudnya adalah setiap persetujuan
terhadap suatu RUU yang diberikan oleh DPR baik karena usul itu datangnya dari
pemerintah sendiri maupun dikarenakan usul dari DPR, pemerintah akan selalu
ikut serta di dalamnya sehingga akhirnya suatu pengesahan terhadap RUU otomatis
pula disahkan oleh Presiden.
[23] Lihat pasal 24C ayat 1 UUD 1945
Amandemen Ketiga.
[24] Dikutip dari Pemilu Problem dan Sengketa Katalog dalam Terbitan karya Bambang
Widjayanto (akses 1 Desember 2012 pukul: 10.21 WIB).
[25] Lihat pasal 218 ayat (3) UU No. 10
tahun 2008.
[26] Lihat Pasal 199 ayat (1) UU No. 10
Tahun 2008.
[27] Lihat pasal 200 ayat (1), (2) dan
(3) UU No. 10 Tahun 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar