Jumat, 14 Desember 2012

Makalah PHPU DPR


BAB II
PEMBAHASAN

            Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR disebut dengan istilah lain parlemen. Tugas pokok Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif adalah:
a)      Membuat undang-undang dan ikut serta menentukan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu, pada umumnya DPR mempunyai hak inisiatif anggota, hak amandemen serta hak budget;
b)      Melakukan fungsi pengawasan (kontrol) terhadap pemerintah (eksekutif)[1]. Oleh karena itu, DPR mempunyai hak-hak antara lain; hak mengajukan pertanyaan, hak interpelasi, dan hak angket.

Dewan Perwakilan Rakyat merupakan salah satu lembaga tinggi negara menurut UUD 1945[2]. Kedudukan DPR sebagai lembaga negara di bawah MPR, namun semua anggota DPR juga menjadi anggota majelis. Jumlah anggota DPR periode 1992-1997 adalah 500 orang, terdiri dari 400 orang anggota dipilih lewat pemilihan umum dan 100 orang anggota lainnya diangkat.
Berdasarkan pasal 19 UUD 1945 (sebelum diamandemen), susunannya telah diatur dengan undang-undang[3]. Dengan demikian, keanggotaan DPR susunannya tergantung pada undang-undang yang mengaturnya, sehingga keanggotaan DPR dapat disusun berdasarkan pemilihan, pengangkatan, dan dapat pula sebagai dipilih dan sebagian diangkat, dengan adanya ketentuan semua tersebut diatur dengan undang-undang. Namun, harus diingat dan dipertimbangkan bahwa UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat dan DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang mewakili rakyat dan aspirasi rakyat.
DPR melaksanakan kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang) bersama dengan Presiden (pasal 5 (1) jo. Pasal 20 (1) UUD 1945). Pada penjelasan pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa kecuali executive power, Presiden bersama-sama DPR menjalankan legislative power dalam negara. Dari sini jelaslah bahwa kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh dua lembaga negara, yaitu Presiden bersama-sama DPR. Kalimat “dengan persetujuan DPR” pada pasal 5 ayat (1), tidaklah mengandung arti pasif, seolah-olah Dewan hanya tinggal menyetujuinya saja. Dalam menafsirkan kalimat tersebut harus dihubungkan dengan pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Tiap Undang-undang menghendaki persetujuan DPR”, sehingga kata “dengan persetujuan” mengandung arti harus mendapat persetujuan.
Ini berarti apabila DPR tidak menyetujui maka Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dapat disahkan menjadi undang-undang. Pengertian ini dikuatkan oleh ketentuan pasal 20 ayat (2), yaitu jika suatu Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
           
Di samping itu, rancangan undang-undang dapat pula dimajukan oleh anggota DPR (hak inisiatif anggota dewan)[4]. Rancangan ini meskipun datangnya dari anggota Dewan dan kemudian mendapat persetujuan Dewan, masih memerlukan pengesahan dari Presiden[5]. Dengan demikian, dalam pembuatan undang-undang antara Presiden dan DPR mempunyai kekuasaan yang berimbang, meskipun dalam kenyataan datangnya rancangan undang-undang lebih banyak dari pemerintah.
            Selanjutnya dalam pelaksanaan undang-undang dan garis-garis besar haluan negara, DPR mengambil posisi sebagai pihak pengawas terhadap pemerintah. Dengan kekuasaan ini akan memperkuat tugas DPR dalam pembenrukan undang-undang dan memperkuat kedudukan Dewan sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan ini, Dewan dibekali dengan hak-hak tertentu seperti diatur dalam pasal 32 (UU. No. 16 tahun 1969, diubah dan diperbaharui dengan UU No. 5 tahun 1975 dan UU No. 2 tahun 1985).
            DPR juga mempunyai kekuasaan untuk bersama-sama pemerintah menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tiap tahunnya. Peranan DPR dalam penetapan ini cukup besar, sebab apabila DPR tidak menyetujui, maka pemerintah harus menjalankan anggaran tahun lalu. Dalam hal pengawasan penggunaan keuangan negara tidak dilakukan oleh DPR secara langsung, akan tetapi dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)[6]. Hasil pemeriksaan BPK diberitahukan kepada DPR[7], yang oleh DPR digunakan untuk melakukan pengawasan.
            Menurut sistem yang dianut UUD 1945, kedudukan DPR adalah kuat. DPR tidak bisa dibubarkan oleh Presiden, kecuali itu anggota-anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karen itu, DPR senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan Presiden, dan jika DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar bisa minta pertanggung jawaban kepada Presiden. Meskipun demikian, DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden, sebab yang berwenang menjatuhkan/memberhentikan Presiden adalah MPR. Jadi, Presiden tidak bertanggung jawab pada DPR, oleh karena itu kedudukannya tidak tergantung pada DPR.
Kita telah mengetahui bahwa demokrasi Pancasila mempunyai dua macam pengertian, yaitu baik yang bersifat formil maupun materiil. Sebagai realisasi pelaksanaan demokrasi Pancasila dalam arti formil, UUD 1945 menganut apa yang dinamakan dengan indirect democracy[8]. Indirect democracy adalah suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung, melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR.
Sehubungan dengan dianutnya demokrasi tidak langsung sebagaimana dikemukakan di atas, kita mengenal adanya dua macam sistem lembaga perwakilan rakyat, yaitu:
1)      Sistem dua kamar (bicameral system);
2)      Sistem satu kamar (one cameral system).

Seperti kita ketahui, baik DPR maupun MPR, masing-masing merupakan suatu lembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang berbeda, yaitu MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang tertinggi, sedangkan DPR adalah lembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan melaksanakan ketentuan-ketentuan UUD dan ketetapan-ketetapan MPR[9]. Untuk mengetahui sistem apakah yang dianut oleh UUD 1945 perlu terlebih dahulu kita mengetahui bagaimanakah susunan DPR tersebut. Sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 19 ayat 1 UUD yang merupakan dasar hukum pembentukan DPR maka ternyata bahwa susunan DPR itu ditentukan oleh UU. Tentunya sebelum diadakan pemilu pemilihan DPR, maka para pemilih aktif (hak pilih aktif) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ini[10]:
1)      Bukan bekas anggota organisasi terlarang partai komunis Indonesia (PKI) termasuk organisasi-organisasi masyarakat atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G. 30.S/PKI” atau organisasi terlarang lainnya;
2)      Tidak mengalami gangguan jiwa;
3)      Tidak sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi, karena tindak pidana yang dikenakan ancaman pidana sekurang-kurangnya lima tahun;
4)      Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi;
5)      Bukan anggota angkatan bersenjata Republik Indonesia[11].

Setelah tadi ialah syarat-syarat bagi hak pili aktif, maka berikut ini adalah syarat-syarat bagi hak pilih pasif:
1)      Bukan anggota ABRI;
2)      Warga negara Indonesia yang berusia 21 tahun ke atas serta bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa;
3)      Dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis dan membaca huruf latin;
4)      Setia kepada pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dan kepada UUD 1945;
5)      Buka bekas anggota PKI atau organisasi-organisasi terlarang lainnya;
6)      Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi;
7)      Tidak mengalami gangguan jiwa;
8)      Tidak sedang menjalani pidana penjara atau kurungan;
9)      Terdaftar dalam daftar pemilih.
Jumlah badan perwakilan pilihan rakyat yang dimiliki oleh suatu negara menentukan sistem apa yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Ada negara yang mengandut sistem perwakilan bikameral, misalnya: Inggris, Amerika, dan Belanda. Indonesia mempunyai perwakilan rakyat yang hanya terdiri dari satu badan saja, yang disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Tugas dari DPR pada umumnya ialah memelihara/menjaga, memajukan kepentingan rakyat, serta membantu/mengawasi pemerintah.
Untuk mengatur kehidupan rakyat dalam suatu negara, perlu disusun undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Di Indonesia undang-undang dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Oleh karen itu, DPR disebut juga sebagai Lembaga Legislatif, yakni lembaga pembuat atau penyusun undang-undang. Wakil-wakil rakyat yang duduk dalam DPR, dipilih dalam suatu pemilihan umum. Dalam pemilihan umum inilah sering terjadinya kecurangan dalam proses penetapan daftar pemilih tetap, jumlah calon-calon anggota DPR yang ingin bertarung dalam pemilu terkadang sering terjadi kekisruhan, bahkan di hasil akhirnyapun atau dalam proses penetapan akhir masih saja terdapat konflik.
            KPU sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilu di Indonesia harus lebih baik dalam melaksanakan tugasnya agar terciptanya pemilu yang benar-benar berasaskan demokrasi langsung.
            Banyak sekali tugas dari DPR itu sendiri, diantaranya ialah bersama-sama dalam menetapkan besaran APBN setiap tahunnya. Bila kita menengok ke arah sejarah, misalnya pada tahun 1966 lahirlah Pemerintahan Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten. Sehubungan dengan itulah maka tela dibentuk UU No. 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum[12]. Pemilihan umum 3 Juli 1971 telah berhasil memilih Anggota DPR yang menggantikan anggota DPR-GR pada tanggal 28 oktober 1971.
            Berturut-turut pada tahun 1977 dan tahun 1982 telah diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR sebanyak 460 orang. Jumlah anggota DPR tersebut adalah separuh dari seluruh jumlah anggota MPR yang berjumlah 920 orang. Kedudukan, susunan, tugas, dan wewenang DPR hasil pemilihan untuk selanjutnya dilaksanakan berdasarkan undang-undang susunan dan kedudukan MPR/DPR, yakni UU No. 16 tahun 1969 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 5 tahun 1975.








           
            DPR ialah lembaga tinggi negara dan merupakan wahana (alat kenegaraan) untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila[13]. DPR yang seluruh anggotanya adalah anggota MPR berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara. Apabila DPR menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan negara, maka DPR menyampaikan memorandum atau peringatan untuk mengingatkan Presiden. Jika dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum DPR tersebut, maka DPR menyampaikan memorandum kedua. Dan apabila dalam waktu satu bulan memorandum yang kedua ini tidak diindahkan oleh Presiden, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggung jawaban Presiden[14].
            Adapun wewenang dan tugas dari DPR tersebut adalah:
1)      Bersama-sama dengan Presiden membuat undang-undang;
2)      Bersama Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
3)      Melakukan pengawasan atas:
a)      Pelaksanaan undang-undang;
b)      Pelaksanaan APBN serta pengelolaan keuangan negara;
c)      Kebijaksanaan pemerintah.
4)      Membahas untuk meratifikasi dan/atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;
5)      Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung jawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
6)      Melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan-ketetapan MPR kepada DPR.

Sedangkan syarat-syarat untuk menjadi anggota DPR adalah:
1)      Warga negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun serta bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa;
2)      Dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis serta membaca huruf latin serta berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Lanjutan Pertama;
3)      Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung atau tak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G-30-S/PKI atau organisasi terlarang lainnya”.
4)      Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan Keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi;
5)      Tidak sedang menjalani pidana penjara atau kurungan berdasarkan Keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi, karena tindak pidana yang dikenakan ancaman hukuman sekurang-kurangnya 5 tahun;
6)      Tidak sedang mengalami gangguan jiwa.


Salah satu tugas DPR adalah pengambilan keputusan, berikut ini tata caranya:
a)      Ketentuan umum
Pengambilan keputusan adalah proses penyelesaian terakhir suatu masalah yang dibicarakan dalam rapat DPR. Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada asasnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat[15]. Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana yang dimaksud di atas tidak mungkin lagi, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Semua jenis rapat DPR dapat mengambil keputusan. Keputusan rapat DPR dapat berupa persetujuan atau penolakan.
b)      Keputusan berdasarkan Mufakat
Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah, apabila diambil dalam rapat yang tdaftar hadirnya telah ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat dan dihadiri oleh unsur semua fraksi. Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada para anggota rapat yang hadir diberikn kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, yang kemudian dianggap cukum untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan.
c)      Keputusan berdasarkan suara terbanyak[16]
Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil, apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin dicapai, karena adanya pendirian dalam rapat dari sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat lainnya atau karena waktu yang sudah sangat mendesak.
Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah, apabila:
(a)    Diambil dalam rapat yang daftar hadirnya telah ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat;
(b)   Disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang menandatangani daftar hadir;
(c)    Didukung oleh tidak hanya satu fraksi.







            Seperti halnya MPR, maka untuk manifestasi sila ke-empat dari Pancasila serta untuk pelaksanaan perintah UUD 1945 yang menyangkut pasal-pasal 5, 19, 20, 21, 22, dan 23 maka eksistensi DPR di Indonesia mutlak diperlukan[17]. Menurut UUD 1945, DPR bersama Presiden memegang kekuasaan legislatif. Kedudukan Dewan ini kuat sehingga tidak dapat dibubarkan oleh Presiden, dan sebaliknya Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh DPR[18].
            Moh. Kusnadi, S.H. dan Bitan R. Saragih, S.H. berpendapat bahwa jika diperhatikan sebutan DPR itu maka badan itu seharusnya diisi dengan anggota-anggota yang dipilih sebab mereka itu adalah wakil rakyat. Tetap harus diakui bahwa di antara rakyat Indonesia masih terdapat golongan yang tidak dapat melakukan pemilihan berhubung dengan kedudukannya, yaitu ABRI. Oleh karena itu wajar saja jika kepada mereka itu diberikan tempat sebagai wakil dalam badan perwakilan tanpa melalui pemilihan tetapi dengan cara pengangkatan atau penunjukan.
            Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan tugas legislatif, DPR itu berkedudukan sebagai partner dari Presiden, sehingga hak inisiatif yang dimilikinya bukannya mutlak menjadi sah bila digunakan[19], sebab dengan kedudukannya sebagai partner[20] maka konsekuensinya adalah pemerintah mempunyai hak juga untuk berinisiatif mengajukan undang-undang dan memberi persetujuan atau penolakan terhadapa Rancangan Undang-Undang yang dibuat oleh DPR. Dengan demikian terdapat perimbangan kekuatan antara DPR dengan Presiden.
            Dalam hubungan ini perlu diingat hubungan fungsional antara DPR dengan Presiden, yakni bahwa kedudukan DPR adalah kuat sebab anggota-anggota DPR semuanya sekaligus menjadi anggota MPR, sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga sekalipun DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden tapi dalam kedudukannya sebagai anggota majelis, DPR dapat mengusulkan diadakannya sidang instimewa Majelis untuk meminta pertanggungjawaban Presiden bila Presiden benar-benar dianggap sudah melanggar haluan negara.
            Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pemakaian sistem kuasi Presidentiil dalam tata pemerintahan negara di Indonesia yang berbeda halnya dengan sistem pemerintahan parlementer di mana Presiden atau usul kabinet dapat membubarkan parlemen yang sudah tidak representatif dan sebaliknya DPR dapat menjatuhkan kabinet atau Dewan Menteri sebagai pemerintah.





            DPR selaku lembaga tinggi negara yang bertugas mengawasi segala kebijakan pemerintah, namun juga harus bekerja sama dengan Presiden dalam hal pembentukan suatu UU, hal ini tentunya bukan pekerjaan yang mudah. Soalnya bagaimana DPR senantiasa bekerja secara obyektif dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap tindakan pemerintah sedangkan di pihak lain pihak Dewan harus bekerja sama dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas legislatif.
            Walaupun dua bidang tugas yang dilakukan itu berbeda, namun hubungan kedua bidang itu sangat erat bahkan tugas yang kedua sebenarnya merupakan kelanjutan dari tugas yang pertama. Jika DPR menganggap pelaksanaan dari produk legislatif oleh pemerintah keliru atau menyimpang disebabkan undang-undangnya, maka pemerintah akan menggeser tanggung jawabnya kepada DPR sebagai partner legislatifnya[21]. Keadaan demikian ini, akan menempatkan DPR dalam kedudukannya yang lemah sebagai pengawas terhadap segala kebijakan dan keputusan pemerintah. Selain karena UUD 1945 menganut sistem pemerintahan dengan kabinet presidensiil, maka pemerintah/Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
            Pada ketentuan lain dalam undang-undang dasar 1945 yang merumuskan bahwa setiap RUU yang telah disetujui oleh DPR memerlukan pengesahan Presiden untuk menjadi undang-undang, menempatkan Presiden pada posisi yang lebih menentukan daripada DPR. Rapat kerja yang diadakan DPR dengan menteri sebagai wakil dari pemerintah menyebabkan suatu rancangan undang-undang yang sudah disetujui DPR juga disahkan secara otomatis oleh Presiden[22]. Selama ini belum dapat ditemukan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR namun ditolak pengesahannya oleh Presiden. Karena itulah, maka fungsi dari pasal 21 ayat 2 itu hanya sebagai legalitas bahwa sahnya suatu undang-undang ialah karena undang-undang itu telah ditandatangani oleh Presiden selaku kepala negara dalam sistem pemerintahan presidensiil yang dianut oleh UUD 1945.
            Berlainan halnya dengan undang-undang yang ditandatangani oleh Menteri Kehakiman dan menteri yang bersangkutan dengan undang-undang itu dalam sistem pemerintahan parlementer, karena menteri yang bersangkutan itulah yang bertanggung jawab terhadap parlemen mengenai pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Kemudian, RUU yang tela disetujui oleh DPR dan RUU ususl inisiatif DPR oleh pimpinan DPR dengan suatu surat pengantar disampaikan kepada Presiden. Sekretaris Kabinet/Negara menyiapkan undang-undang tersebut di atas kertas Presiden untuk dimohon tanda tangan Presiden. Setelah ditandatangani Presiden (disahkan Presiden) maka Sekretaris Negara mengundangkan RUU tersebut.




Disamping banyaknya tugas maupun kewenangan yang dimilikinya, ternyata lembaga tinggi negara tersebut sering mengalami perselisihan pada saat dilaksanaknnya pemilihan umum untuk memilih para anggota DPR, DPRD, dan DPD.
Banyak sekali terjadi pelanggaran dalam proses demokrasi tersebut, atau yang sering disebut dengan istilah PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum). Untuk menyelesaikan PHPU maka ini adalah wewenang dari Mahkamah Konstitusi dimana salah satu kewenangannya adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum[23].
Pada kasus PHPU tersebut terdapat dua masalah yang sangat sering muncul, akan tetapi semua masalah tersebut tidak dapat sepenuhnya diselesaikan apabila menggunakan penafsiran yang terbatas atas rumusan gugatan PHPU pasca penetapan rekapitulasi perolehan suara nasional. Kedua masalah dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut[24]:
1. Terdapat banyak sengketa PHPU antara Calon Agggota DPR, DPRD provinsi dan kebupaten/kota dalam satu partai. Para pihak yang bersengketa sepakat untuk menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan, tetapi sudah ada penetapan KPU maupun KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang memutuskan perolehan suara calon salah satu calon anggota dimaksud.
2.  Terdapat sengketa PHPU antara Calon Agggota DPR, DPRD provinsi dan kebupaten/kota dalam satu partai. Para pihak yang bersengketa tidak setuju untuk menggunakan penyelesaian sengketa secara kekeluargaan serta ada penetapan KPU maupun KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang memutuskan perolehan suara calon dan memenangkan salah satu calon anggota dimaksud.

            Berdasarkan penjelasan di atas, menurut saya Perselisihan Sengketa Hasil Pemili (PHPU) tidak secara langsung harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. PHPU juga dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dengan cara mediasi antar pihak yang mengalami perselisihan. Mediasi merupakan salah satu usaha perdamaian non-litigasi (tanpa jalur pengadilan), tentunya dengan cara mediasi ini akan lebih hemat biayanya dan tidak berlarut-larut masalah PHPU tersebut tanpa adanya penyelesaian. Apabila ingin diselesaikan secara kekeluargaan atau non-litigasi, maka langkah-langkah yang dapat ditempuh sebagai berikut:
a.         Pihak-pihak tersebut harus membuat suatu surat pernyataan berdamai (sering disebut dengan akta otentik) yang isinya mereka setuju untuk menyelesaikan masalah serta menyatakan salah satu pihak tertentu adalah pihak yang mendapatkan suara tertentu sehingga menjadi calon anggota yang mempunyai suara untuk dapat ditetapkan sebagai calon anggota sesuai ketentuan hukum yang berlaku;


b.   Keputusan dari pihak yang berselisih tersebut harus mendapat penguatan dengan melampirkan Surat Keputusan Pimpinan Partai Politik yang bersangkutan yang menegaskan bahwa calon terpilih anggota DPR dan/atau DPRD tersebut dapat diganti dengan calon dari daftar calon pada daerah pemilihan yang sama [25];
c. Surat Kesepakatan dan Surat Keputusan Pimpinan Partai Politik dikirimkan kepada KPU provinsi dan/atau kabupaten/kota sebegai calon terpilih pengganti;
d.  Jika surat keputusan di atas tersebut belum dikirim ke KPU, Bawaslu harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan KPU bahwa masalah tersebut telah diselesaikan secara mediasi atau damai. Sebelum surat sesuai poin c diatas dikirimkan, Bawaslu dan/atau jajarannya melakukan pembicaraan untuk meyakinkan KPU bahwa masalah dimaksud telah diselesaikan di internal para pihak dan partai sehingga tidak ada alasan bagi KPU untuk menolak kesepakatan para pihak yang sudah disetujui partai karena KPU hanya menjalankan perintah perundangan yang berlaku serta tidak ada konsekwensi apapun yang akan dihadapi oleh KPU;

Penjelasa di atas adalah tata cara penyelesaian melalui jalur mediasi atau kekeluargaan, tetapi jika cara mediasi tidak dapat menyelesaikan masalah perselisihan pemilu terebut maka berikut ini adalah tata cara penyelesaian lainnya, yaitu melalui Mahkamah Konstitusi:
a)      Hasil Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD terdiri atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon anggota DPR, DPD dan DPRD[26];
b)      Perolehan hasil suara dimaksud ditetapkan oleh KPU secara nasional (Pasal 199 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008);
c)      Perolehan suara parpol untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU, sedangkan perolehan suara parpol untuk calon anggota DPRD ditetapkan oleh KPU Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota[27].

Menurut saya, cara penyelesaian sengketa pemilihan DPR melalui Mahkamah Konstitusi seharusnya dapat dihindari, asalkan pemilihan umum untuk memlilih anggota DPR, DPRD, maupun DPD dapat dilakukan dengan jujur, adil, dan penuh keterbukaan. KPU selaku lembaga negara yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan pemilihan umum harus bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya, jangan sampai lembaga negara yang baru dibentuk setelah adanya reformasi ini justru melakukan perbuatan yang dapat mencederai rasa keadilan dalam melakukan suatu proses hidup berdemokrasi di Indonesia.





BAB III
PENUTUP

-Kesimpulan:
            DPR adalah salah satu lembaga tinggi negara di Indonesia yang memiliki kewenangan membuat undang-undang, membuat besaran APBN, dan mengawasi segala tindakan maupun kebijakan yang diambil oleh Presiden dan jajarannya. Namun, dibalik itu semua ternyata sering terjadi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum pada saat akan dilakukannya pemilu (dalam memilih calon anggota DPR).
Hal ini bisa saja terjadi di negara Indonesia yang baru dan dalam proses menjalani pesta demokrasi.




-Saran:
            Seharusnya PHPU ini tidak harus terjadi, jika dilakukan dengan cara-cara yang benar pada saat pemilihan calon anggota DPR dan tentunya dapat menjalankan amanat dari UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu.





























BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

-sumber dari buku:
  1. Daman, Rozikin. 1993. Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  2. Soemantri, Sri. 1977. Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945. Bandung: Penerbit Alumni.
  3. Kansil, C.S.T. 1985. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.
  4. Mahfud MD, Moh. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia edisi revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
  5. Kusnadi, Moh dan Bintan R. Saragih. 1994. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: PT. Gramedia Jakarta.
  6. Kartasapoetra, R.G. 1993. Sistematika Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
  7. Huda, Ni’Matul. 2010. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
8.      Subekti, Valina. 2008. Menyusun Konstitusi Transisi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.



-sumber dari internet:
Pemilu Problem dan Sengketa Katalog dalam Terbitan karya Bambang Widjayanto (akses 1 Desember 2012 pukul: 10.21 WIB).


-sumber perundang-undangan:
1.      TAP MPR No. III/MPR/1978.
2.      UU No. 16 tahun 1969
3.      UU No. 5 tahun 1975
4.      UU No. 2 tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan MPR dan DPR.
5.      undang-undang no. 15 tahun 1969.
6.      UUD 1945 (amandemen)
7.      UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu.



[1] Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 193.
[2] Lihat TAP MPR No. III/MPR/1978.
[3] Lihat UU No. 16 tahun 1969, UU No. 5 tahun 1975, dan UU No. 2 tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan MPR dan DPR.
[4] Rozikin Daman, op.cit., hlm. 194
[5] Lihat pasal 20 ayat (4) UUD 1945 amandemen kesatu.
[6] Lihat pasal 23E UUD 1945 ayat (1) amandemen ketiga tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
[7] Lihat pasal 23E UUD 1945 ayat (2) amandemen ketiga tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
[8] Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hlm 28.
[9] Yang dimaksud dengan melaksanakan ini adalah hanya melaksanakan pembentukan UU bukan sebagai lembaga eksekutif, yang sebagaimana kita ketahui tindakan tersebut merupakan perwujudan dari UUD 1945 dan ketetapan-ketetapan MPR.
[10] Rozikin Daman, op.cit., hlm. 46.
[11] Lihat 11 undang-undang no. 15 tahun 1969.
[12] Sekarang telah direvisi dengan UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum, tentunya pada UU terbaru ini dalam proses pemilihan Presiden maka rakyat Indonesia diikutsertakan secara langsung untuk memilih Presiden yang diinginkan, tanpa melalui perantara DPR (seperti pada zaman Orde Baru dulu).
[13] C.S.T Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm. 259.
[14] Bila sekarang, khususnya setelah diadakan amandemen terhadap UUD 1945, maka DPR harus meminta saran atau pertimbangan  (berupa putusan) dari Mahkamah Konstitusi , apakah Presiden telah melakukan pelanggaran atau tidak hal ini sesuai dengan bunyi pasal 24C ayat (2) UUD 1945 amandemen ketiga.
[15] Menurut saya, musyawarah yang mufakat adalah suatu cara untuk menempuh atau mendapatkan hasil akhir dalam menyelesaikan suatu masalah tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan, sebab negara Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila yang lebih mengutamakan jalan musyawarah daripada kekerasan dalam penyelesaiannya.
[16] Menurut saya, cara ini kurang cocok bagi Indonesia. Sebab cara ini biasa dilakukan di negara yang menganut paham liberalisme (yang biasa disebut dengan voting) sedangkan negara kita berdasarkan Pancasila yang lebih mengutamakan musyawarah mufakat. Cara ini juga sering menimbulkan perselisihan hasil dalam hal pemilihan umum, jika dilakukan atas dasar kepentingan kelompoknya masing-masing.
[17] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia edisi revisi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), hlm. 110.
[18] Hal ini dikarenakan sudah tidak ada lagi lembaga tertinggi negara (sesudah adanya amandemen terhadap UUD 1945), jadi semua lembaga negara tersebut kedudukannya setara atau sama, yang semuanya telah diatur dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia.
[19] Maksudnya adalah inisiatif undang-undang yang diajukan DPR tersebut baru sah apabila telah mendapat persetujuan dari Presiden, jadi DPR tidak seenaknya bertindak sendiri dalam mengajukan suatu RUU.
[20] Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 112.
[21] Moh. Kusnadi, Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT. Gramedia Jakarta, 1994), hlm. 124.
[22] Maksudnya adalah setiap persetujuan terhadap suatu RUU yang diberikan oleh DPR baik karena usul itu datangnya dari pemerintah sendiri maupun dikarenakan usul dari DPR, pemerintah akan selalu ikut serta di dalamnya sehingga akhirnya suatu pengesahan terhadap RUU otomatis pula disahkan oleh Presiden.
[23] Lihat pasal 24C ayat 1 UUD 1945 Amandemen Ketiga.
[24] Dikutip dari Pemilu Problem dan Sengketa Katalog dalam Terbitan karya Bambang Widjayanto (akses 1 Desember 2012 pukul: 10.21 WIB).
[25] Lihat pasal 218 ayat (3) UU No. 10 tahun 2008.
[26] Lihat Pasal 199 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008.
[27] Lihat pasal 200 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 10 Tahun 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar