Jumat, 14 Desember 2012

Pembentukan TAP MPR


BAB II
PEMBAHASAN

A. Putusan/TAP MPR
            Sebelum dilakukan atas perubahan UUD 1945, MPR dikonstruksikan sebagai wadah penjelmaan seluruh rakyat yang berdaulat, tempat kemana Presiden harus tunduk dan mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan konstitusionalnya. Menurut ketentuan pasal 3 juncto pasal 37 UUD 1945 yang asli (sebelum perubahan), MPR berwenang (i) menetapkan UUD, (ii) mengubah UUD, (iii) memilih presiden dan/atau wakil presiden, (iv) menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara.
            Dengan pertimbangan yang demikian, maka haluan-haluan negara yang dimaksud perlu dituangkan dalam bentuk ketetapan-ketetapan yang mengatur dengan daya ikat yang efektif. Dengan perkataan lain, Ketetapan MPR/S itu juga mempunyai nilai-nilai konstitusi atau setidaknya sebagai bentuk penafsiran atas UUD 1945 atau bahkan merupakan perubahan undang-undang dasar dalam bentuk yang tidak resmi menurut ketentuan pasal 37 UUD 1945.
Hanya saja, karena prosedur pembahasan dan pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Ketetapan MPR/S itu memang berbeda dari penyusunan atau penetapan UUD menurut ketentuan pasal 37 UUD 1945, maka kedudukan keduanya dianggap tidak sederajat.
            Itu sebabnya maka Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang sumber tata tertib hukum yang menentukan hierarki Ketetapan MPRS sebagai peraturan di bawah UUD, tetapi di atas undang-undang. Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan MPRS ini adalah sebagai berikut:
1)      Undang-undang dasar;
2)      Ketetapan MPRS;
3)      Undang-undan            g dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4)      Peraturan pemerintah;
5)      Keputusan Presiden;
6)      Peraturan Menteri dan sebagainya.

Sedangkan, ada juga beberapa kelemahan dan kekurangan dalam Ketetapan MPRS tersebut telah disempurnakan dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 yang menentukan tata urutan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1)      Undang-undang dasar;
2)      Ketetapan MPRS;
3)      Undang-undang;
4)      Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang;
5)      Peraturan pemerintah;
6)      Keputusan Presiden;
7)      Peraturan Daerah.

Meskipun di satu sisi pihak TAP MPR No. III/MPR/2000 tersebut memang bersifat menyempurnakan Ketetapan terdahulu, tetapi Ketetapan MPR tahun 2000 ini justru menimbulkan masalah lain lagi, yaitu dengan menempatkan Perpu pada urutan di bawah undang-undang. Padahal seharusnya keduanya berada dalam derajat yang sama. Karena itu, dalam ketentuan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain memang dimaksudkan untuk menggantikan fungsi mengadopsikan materi Ketetapan No. III/MPR/2000 tersebut, bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut ditentukan terdiri atas:
1)      Undang-undang dasar dan perubahan undang-undang dasar;
2)      Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
3)      Peraturan pemerintah;
4)      Peraturan Presiden;
5)      Peraturan Pemerintah;

Menurut ketentuan baru UUD 1945 pasal 3 juncto pasal 8 juncto pasal 37, MPR hanya memiliki empat kewenangan, yaitu:
1)      Mengubah dan menetapkan UUD;
2)      Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3)      Memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi lowongan jabatan;
4)      Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Secara yuridis, MPR itu sendiri sebagai lembaga baru menjadi ada apabila menjalankan salah satu dari keempat kewenangan tersebut. Namun perlu dicatat bahwa dari keempat kewenangan yang tersebut di atas, satu-satunya yang bersifat rutin dan berkala adalah kewenangan yang keempat, yaitu kewenangan untuk melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mengenai hal ini, harus pula diperhatikan bahwa:
(i)     Pelantikan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidaklah dilakukan oleh atasan kepada bawahan. Menurut ketentuan pasal 9 UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden mengucapkan sendiri sumpah atau janji jabatannya di dalam dan di hadapan sidang MPR. Peranan ketua MPR hanya membuka dan menutup sidang. Dengan cara demikian, pelantikan Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR dianggap telah dilaksanakan.
(ii)   Forum sidang MPR sebagai wahana pelantikan Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bersifat fakultatif. Artinya, kegiatan pelantikan Presiden dan/atau Wakil Presiden itu tidak mutlak harus dilakukan dalam sidang MPR, melainkan dapat pula dilakukan dalam sidang atau rapat paripurna DPR, apabila MPR ternyata tidak dapat sidang. Bahkan apabila MPR dan DPR sama-sama tidak dapat bersidang, maka pelantikan dapat juga dilakukan di hadapan pimpinan MPR atau DPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Namun demikian, terlepas dari hal-hal tersebut di atas, MPR secara reformasi memang tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menetapkan peraturan di luar perubahan undang-undang dasar. Oleh karena itu, mulai sejak terbentuknya MPR hasil pemilihan umum tahun 2004, tidak akan ada lagi produk hukum yang berisi norma yang mengatur yang ditetapkan oleh MPR, selain dari produk hukum perubahan undang-undang.
Dalam TAP MPR No. 1/MPR/1973 pasal 102, ditentukan bahwa bentuk putusan MPR adalah sebagai berikut:
1)      Ketetapan MPR (mengikat keluar dan ke dalam Majelis);
2)      Keputusan MPR (mengikat ke dalam majelis);

Dalam tata tertib MPR tahun 1998 dan tatib MPR seterusnya (sampai sekarang) kata “keputusan” dalam kalimat norma tatib tersebut diganti dengan kata “putusan”. Sedangkan produk hukum dari putusan MPR tersebut bentuknya/wadahnya adalah “keputusan” dan “ketetapan”. Pada tahun 1999-2000 bentuk produk “putusan” MPR ditambah lagi yaitu “perubahan” UUD RI tahun 1945. Dengan demikian, semua produk pengambilan keputusan melalui persidangan MPR, disebut sebagai putusan yang dapat berbentuk (i) ketetapan, (ii) keputusan, (iii) perubahan undang-undang dasar. Namun, untuk produk hukum yang disebut ketetapan, baik yang mengikat ke dalam, maupun keluar sama-sama dapat disebut sebagai Ketetapan MPR.
Oleh sebab itu, pembedaan antara produk keputusan MPR tersebut di atas, sebaiknya dibedakan antara produk yang bersifat pengaturan dan produk yang bersifat penetapan administratif. Yang bersifat mengatur disebut dengan peraturan, sedangkan yang bersifat penetapan administratif disebut Ketetapan. Baik ketetapan maupun peraturan sama-sama dilihat sebagai produk keputusan sidang MPR. Dengan demikian, produk-produk MPR yang akan datang dapat terdiri atas:
1)      Ketetapan MPR tentang Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden;
2)      Ketetapan MPR tentang Presiden/Wakil Presiden yang terpilih;
3)      Peraturan Tata Tertib MPR.

Tentu harus selalu diingat bahwa produk Ketetapan MPR yang baru ini sama sekali berbeda dari Ketetapan MPRS dari MPR sebelum pemilihan umum tahun 2004 yang isinya bersifat pengaturan. Dalam ketetapan No. I/MPR/2003, MPR sendiri juga menentukan adanya sebelas ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur materi-materi ketetapan-ketetapan tersebut. Artinya, kesebelas ketetapan MPR/S tersebut dapat pula dinilai atau diuji oleh Mahkamah Konstitusi? Jika DPR dan Presiden diperkenankan menilai, mengubah, ataupun mencabut kedelapan ketetapan tersebut.
Akan tetapi, terlepas dari persoalan itu, MPR masa kini dan mendatang masih tetap dapat mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Tata Tertib MPR dan Produk Ketetapan MPRS dari pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Ketetapan MPRS dalam pengertiannya sebagai produk hukum yang mengikat untuk umum, seperti sebelumnya, memang tidak dikenal lagi. Namun, sampai sekarang masih terdapat beberapa produk Ketetapan MPR atau MPRS yang masih berlaku mengikat sebagai peraturan yang mengikat untuk umum.
Hal ini dapat dilihat dari Ketetapan MPR terakhir yang meninjau kembali seluruh Ketetapan MPR dan Ketetapan MPRS sejak tahun 1966 sampai dengan 2002, yaitu Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS sejak tahun 1966 sampai 2002. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002[1].

Tujuan pembentukan Ketetapan MPR tersebut adalah untuk meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk memberi kepastian hukum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktur kelembagaan negara yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Perubahan tersebut antara lain Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat [2] UUD 1945)[2] dan pengurangan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga tinggal berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat [1] UUD 1945), melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat [2] UUD 1945), memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat [3] UUD 1945).
Berikut ini bunyi pasal 3 UUD 1945 hasil amandemen:
Pasal 3 berbunyi:
1)      Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
2)      Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3)      Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

Menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden jika terjadi kekosongan Wakil Presiden (Pasal 8 ayat [2] UUD 1945), dan menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden jika Prediden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan (Pasal 8 ayat [3] UUD 1945).


Perubahan struktur kelembagaan negara tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang lembaga negara dan lembaga pemerintahan yang ada. Selain itu perubahan tersebut memengaruhi aturan-aturan yang berlaku menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengakibatkan perlunya dilakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Oleh karena itu Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (Aturan Tambahan Pasal I UUD 1945).
Hasil peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tersebut telah diambil putusannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2003 dan telah ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 2003 dalam bentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tersebut, seluruh Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang berjumlah 139 dikelompokkan ke dalam 6 pasal (kategori) sesuai dengan materi dan status hukumnya. Substansi Ketetapan MPR tersebut adalah[3]:
  1. Kategori I: TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan);
  2. Kategori II: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan);
  3. Kategori III: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan);
  4. Kategori IV: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan);
  5. Kategori V: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan);
  6. Kategori VI: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan).

Akan tetapi, dengan telah diundangkannya UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan dengan demikian Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat secara umum, maka berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca perubahan keempat (2002), sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia dewasa ini tidak lagi mengenal produk hukum yang bersifat mengatur yang kedudukannya berada di bawah UUD, tetapi mempunyai status hukum di atas UU.
Dalam ketetapan No. I/MPR/2003, MPR sendiri juga menentukan adanya sebelas ketetapan MPRS yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur materi-materi ketetapan-ketetapan tersebut. Artinya, sebelas ketetapan MPRS itu ditundukkan derajatnya oleh MPR sendiri, sehingga dapat diubah oleh atau dengan undang-undang. Jika demikian halnya, maka lembaga negara yang berwenang yang membahas undang-undang ada pada empat lembaga, yaitu:
i)                    DPR;
ii)                  Presiden;
iii)                DPD;
iv)                Dan Mahkamah Konstitusi.

Namun, dapat juga dipersoalkan secara kritis bahwa deklarasi ketidakberlakuan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 itu, sebenarnya bukanlah ditetapkan oleh undang-undang no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut Djokosutono, konstitusi dapat dipahami dalam tiga arti, yaitu (i) konstitusi dalam arti materil, (ii) konstitusi dalam arti formil, (iii konstitusi dalam arti naskah yang didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian dan kesatuan rujukan. Oleh karena itu, yang dapat dinilai kembali atau menentukan status hukum dan materi kedelapan ketetapan MPR/S sisa tersebut ada empat lembaga negara, yaitu (i) DPR, (ii) Presiden, (iii) DPD, dan (iv) Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya masing-masing.

Dengan demikian, lembaga negara yang dapat menentukan status hukum dan materi kedelapan ketetapan MPRS tersebut untuk selanjutnya adalah lembaga-lembaga negara yang mempunyai wewenang dalam urusan pembentukan, perubahan, atau pembatalan undang-undang. Oleh karena itu, yang dapat menilai kembali (review) atau menentukan status hukum dan materi kedelapan Ketetapan MPRS sisa tersebut ada empat lembaga negara, yaitu: (i) DPR, (ii) Presiden, (iii) DPD, (iv) Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya masing-masing.
Lembaga negara yang dapat mengambil inisiatif adalah Presiden atau DPR sebagaimana mestinya. Dalam hal Ketetapan MPRS itu berkaitan dengan bidang kewenangan DPD, maka DPD juga dapat terlibat atau dilibatkan dalam proses perancangan atau pembahasan rancangan undang-undang yang bersangkutan. Namun, apabila belum dilakukan “Legislative review” , Ketetapan MPRS dimaksud dinilai telah menimbulkan kerugian hak konstitusional pihak-pihak tertentu, maka dengan memperluas pengertian undang-undang yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, pihak-pihak yang bersangkutan dapat saja mengajukannya sebagai perkara pengujian konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini mekanisme yang ditempuh adalah mekanisme “judicial review” sebagaimana yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

















BAB III
PENUTUP

-kesimpulan
  1. Sebelum dilakukan atas perubahan UUD 1945, MPR dikonstruksikan sebagai wadah penjelmaan seluruh rakyat yang berdaulat, tempat kemana Presiden harus tunduk dan mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan konstitusionalnya.
  2. Secara yuridis, MPR itu sendiri sebagai lembaga baru menjadi ada apabila menjalankan salah satu dari keempat kewenangan tersebut.
  3. Dalam tata tertib MPR tahun 1998 dan tatib MPR seterusnya (sampai sekarang) kata “keputusan” dalam kalimat norma tatib tersebut diganti dengan kata “putusan”.
  4. Tujuan pembentukan Ketetapan MPR tersebut adalah untuk meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk memberi kepastian hukum.
  5. Lembaga negara yang dapat menentukan status hukum dan materi kedelapan ketetapan MPRS tersebut untuk selanjutnya adalah lembaga-lembaga negara yang mempunyai wewenang dalam urusan pembentukan, perubahan, atau pembatalan undang-undang.









-saran-saran:




BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

-Sumber dari internet:
1)      Dikutip dari www.scribd.com/doc/.../Jika-UU-Bertentangan-Dengan-TAP-MPR (akses 23 Juli pukul 17.56 WIB).
2)      Dikutip dari id.wikipedia.org/wiki/Ketetapan_MPR_Nomor_I/MPR/2003 (akses 23 Juli 2012 pukul 09.15 WIB).




-Sumber dari buku:
1)      Yasir, Armen. 2008. Hukum Perundang-undangan. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
2)      Pudjosewojo, Kusumadi. 2004. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
3)      Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 2004. Perihal Kaedah Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.








[1] Dikutip dari id.wikipedia.org/wiki/Ketetapan_MPR_Nomor_I/MPR/2003 (akses 23 Juli 2012 pukul 09.15 WIB)
[2] Dikutip dari UUD 1945 Amandemen.
[3] Dikutip dari www.scribd.com/doc/.../Jika-UU-Bertentangan-Dengan-TAP-MPR (akses 23 Juli pukul 17.56 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar