BAB II
PEMBAHASAN
A. Putusan/TAP MPR
Sebelum dilakukan atas perubahan UUD 1945, MPR
dikonstruksikan sebagai wadah penjelmaan seluruh rakyat yang berdaulat, tempat
kemana Presiden harus tunduk dan mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan
konstitusionalnya. Menurut ketentuan pasal 3 juncto pasal 37 UUD 1945 yang asli
(sebelum perubahan), MPR berwenang (i) menetapkan UUD, (ii) mengubah UUD, (iii)
memilih presiden dan/atau wakil presiden, (iv) menetapkan garis-garis besar
daripada haluan negara.
Dengan pertimbangan yang demikian, maka haluan-haluan
negara yang dimaksud perlu dituangkan dalam bentuk ketetapan-ketetapan yang
mengatur dengan daya ikat yang efektif. Dengan perkataan lain, Ketetapan MPR/S
itu juga mempunyai nilai-nilai konstitusi atau setidaknya sebagai bentuk
penafsiran atas UUD 1945 atau bahkan merupakan perubahan undang-undang dasar
dalam bentuk yang tidak resmi menurut ketentuan pasal 37 UUD 1945.
Hanya saja, karena prosedur
pembahasan dan pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Ketetapan MPR/S
itu memang berbeda dari penyusunan atau penetapan UUD menurut ketentuan pasal
37 UUD 1945, maka kedudukan keduanya dianggap tidak sederajat.
Itu sebabnya maka Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang
sumber tata tertib hukum yang menentukan hierarki Ketetapan MPRS sebagai
peraturan di bawah UUD, tetapi di atas undang-undang. Tata urutan peraturan
perundang-undangan menurut Ketetapan MPRS ini adalah sebagai berikut:
1)
Undang-undang dasar;
2)
Ketetapan MPRS;
3)
Undang-undan g
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4)
Peraturan pemerintah;
5)
Keputusan Presiden;
6)
Peraturan Menteri dan sebagainya.
Sedangkan, ada
juga beberapa kelemahan dan kekurangan dalam Ketetapan MPRS tersebut telah
disempurnakan dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 yang menentukan tata urutan
hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1)
Undang-undang dasar;
2)
Ketetapan MPRS;
3)
Undang-undang;
4)
Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang;
5)
Peraturan pemerintah;
6)
Keputusan Presiden;
7)
Peraturan Daerah.
Meskipun di satu
sisi pihak TAP MPR No. III/MPR/2000 tersebut memang bersifat menyempurnakan
Ketetapan terdahulu, tetapi Ketetapan MPR tahun 2000 ini justru menimbulkan
masalah lain lagi, yaitu dengan menempatkan Perpu pada urutan di bawah
undang-undang. Padahal seharusnya keduanya berada dalam derajat yang sama.
Karena itu, dalam ketentuan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan antara lain memang dimaksudkan untuk menggantikan fungsi
mengadopsikan materi Ketetapan No. III/MPR/2000 tersebut, bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan tersebut ditentukan terdiri atas:
1)
Undang-undang dasar dan perubahan undang-undang dasar;
2)
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang;
3)
Peraturan pemerintah;
4)
Peraturan Presiden;
5)
Peraturan Pemerintah;
Menurut ketentuan
baru UUD 1945 pasal 3 juncto pasal 8 juncto pasal 37, MPR hanya memiliki empat
kewenangan, yaitu:
1)
Mengubah dan menetapkan UUD;
2)
Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3)
Memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi
lowongan jabatan;
4)
Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Secara yuridis,
MPR itu sendiri sebagai lembaga baru menjadi ada apabila menjalankan salah satu
dari keempat kewenangan tersebut. Namun perlu dicatat bahwa dari keempat
kewenangan yang tersebut di atas, satu-satunya yang bersifat rutin dan berkala
adalah kewenangan yang keempat, yaitu kewenangan untuk melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Mengenai hal ini, harus pula diperhatikan bahwa:
(i)
Pelantikan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidaklah
dilakukan oleh atasan kepada bawahan. Menurut ketentuan pasal 9 UUD 1945,
Presiden dan/atau Wakil Presiden mengucapkan sendiri sumpah atau janji
jabatannya di dalam dan di hadapan sidang MPR. Peranan ketua MPR hanya membuka
dan menutup sidang. Dengan cara demikian, pelantikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden oleh MPR dianggap telah dilaksanakan.
(ii)
Forum sidang MPR sebagai wahana pelantikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden hanya bersifat fakultatif. Artinya, kegiatan pelantikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden itu tidak mutlak harus dilakukan dalam sidang MPR,
melainkan dapat pula dilakukan dalam sidang atau rapat paripurna DPR, apabila
MPR ternyata tidak dapat sidang. Bahkan apabila MPR dan DPR sama-sama tidak
dapat bersidang, maka pelantikan dapat juga dilakukan di hadapan pimpinan MPR
atau DPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Namun demikian,
terlepas dari hal-hal tersebut di atas, MPR secara reformasi memang tidak lagi
mempunyai kewenangan untuk menetapkan peraturan di luar perubahan undang-undang
dasar. Oleh karena itu, mulai sejak terbentuknya MPR hasil pemilihan umum tahun
2004, tidak akan ada lagi produk hukum yang berisi norma yang mengatur yang
ditetapkan oleh MPR, selain dari produk hukum perubahan undang-undang.
Dalam TAP MPR
No. 1/MPR/1973 pasal 102, ditentukan bahwa bentuk putusan MPR adalah sebagai
berikut:
1)
Ketetapan MPR (mengikat keluar dan ke dalam Majelis);
2)
Keputusan MPR (mengikat ke dalam majelis);
Dalam tata
tertib MPR tahun 1998 dan tatib MPR seterusnya (sampai sekarang) kata
“keputusan” dalam kalimat norma tatib tersebut diganti dengan kata “putusan”.
Sedangkan produk hukum dari putusan MPR tersebut bentuknya/wadahnya adalah
“keputusan” dan “ketetapan”. Pada tahun 1999-2000 bentuk produk “putusan” MPR
ditambah lagi yaitu “perubahan” UUD RI tahun 1945. Dengan demikian, semua
produk pengambilan keputusan melalui persidangan MPR, disebut sebagai putusan
yang dapat berbentuk (i) ketetapan, (ii) keputusan, (iii) perubahan
undang-undang dasar. Namun, untuk produk hukum yang disebut ketetapan, baik yang
mengikat ke dalam, maupun keluar sama-sama dapat disebut sebagai Ketetapan MPR.
Oleh sebab itu,
pembedaan antara produk keputusan MPR tersebut di atas, sebaiknya dibedakan
antara produk yang bersifat pengaturan dan produk yang bersifat penetapan
administratif. Yang bersifat mengatur disebut dengan peraturan, sedangkan yang
bersifat penetapan administratif disebut Ketetapan. Baik ketetapan maupun
peraturan sama-sama dilihat sebagai produk keputusan sidang MPR. Dengan
demikian, produk-produk MPR yang akan datang dapat terdiri atas:
1)
Ketetapan MPR tentang Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden;
2)
Ketetapan MPR tentang Presiden/Wakil Presiden yang terpilih;
3)
Peraturan Tata Tertib MPR.
Tentu harus
selalu diingat bahwa produk Ketetapan MPR yang baru ini sama sekali berbeda
dari Ketetapan MPRS dari MPR sebelum pemilihan umum tahun 2004 yang isinya
bersifat pengaturan. Dalam ketetapan No. I/MPR/2003, MPR sendiri juga
menentukan adanya sebelas ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya undang-undang yang mengatur materi-materi ketetapan-ketetapan
tersebut. Artinya, kesebelas ketetapan MPR/S tersebut dapat pula dinilai atau
diuji oleh Mahkamah Konstitusi? Jika DPR dan Presiden diperkenankan menilai,
mengubah, ataupun mencabut kedelapan ketetapan tersebut.
Akan tetapi,
terlepas dari persoalan itu, MPR masa kini dan mendatang masih tetap dapat
mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Tata Tertib MPR dan Produk Ketetapan
MPRS dari pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Ketetapan MPRS dalam
pengertiannya sebagai produk hukum yang mengikat untuk umum, seperti
sebelumnya, memang tidak dikenal lagi. Namun, sampai sekarang masih terdapat
beberapa produk Ketetapan MPR atau MPRS yang masih berlaku mengikat sebagai
peraturan yang mengikat untuk umum.
Hal ini dapat
dilihat dari Ketetapan MPR terakhir yang meninjau kembali seluruh Ketetapan MPR
dan Ketetapan MPRS sejak tahun 1966 sampai dengan 2002, yaitu Ketetapan MPR No.
I/MPR/2003 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS sejak tahun 1966 sampai
2002. Ketetapan MPR RI Nomor
I/MPR/2003, adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002[1].
Tujuan pembentukan Ketetapan MPR tersebut adalah untuk meninjau materi
dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan
(eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan
datang, serta untuk memberi kepastian hukum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi Bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan
Ketiga, dan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktur kelembagaan negara
yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Perubahan tersebut antara lain Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat [2] UUD 1945)[2]
dan pengurangan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga tinggal
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat [1] UUD
1945), melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat [2] UUD 1945),
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat [3] UUD 1945).
Berikut ini bunyi pasal 3 UUD 1945 hasil amandemen:
Pasal 3 berbunyi:
1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar.
2) Majelis
Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3) Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang
diusulkan oleh Presiden jika terjadi kekosongan Wakil Presiden (Pasal 8 ayat
[2] UUD 1945), dan menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden jika Prediden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan
(Pasal 8 ayat [3] UUD 1945).
Perubahan struktur kelembagaan negara tersebut mengakibatkan terjadinya
perubahan kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang lembaga negara dan lembaga
pemerintahan yang ada. Selain itu perubahan tersebut memengaruhi aturan-aturan
yang berlaku menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan mengakibatkan perlunya dilakukan peninjauan terhadap materi dan status
hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Oleh karena itu Majelis Permusyawaratan
Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (Aturan Tambahan Pasal I UUD 1945).
Hasil peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia tersebut telah diambil putusannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 2003 dan telah ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7
Agustus 2003 dalam bentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR
tersebut, seluruh Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang berjumlah 139
dikelompokkan ke dalam 6 pasal (kategori) sesuai dengan materi dan status
hukumnya. Substansi Ketetapan MPR tersebut adalah[3]:
- Kategori I: TAP MPRS/TAP MPR
yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan);
- Kategori II: TAP MPRS/TAP MPR
yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan);
- Kategori III: TAP MPRS/TAP MPR
yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan
Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan);
- Kategori IV: TAP MPRS/TAP MPR
yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang
(11 Ketetapan);
- Kategori V: TAP MPRS/TAP MPR
yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan
Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan);
- Kategori VI: TAP MPRS/TAP MPR
yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik
karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah
selesai dilaksanakan (104 Ketetapan).
Akan tetapi,
dengan telah diundangkannya UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan dan dengan demikian Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat secara umum, maka berdasarkan ketentuan
UUD 1945 pasca perubahan keempat (2002), sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia
dewasa ini tidak lagi mengenal produk hukum yang bersifat mengatur yang
kedudukannya berada di bawah UUD, tetapi mempunyai status hukum di atas UU.
Dalam ketetapan
No. I/MPR/2003, MPR sendiri juga menentukan adanya sebelas ketetapan MPRS yang
tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur
materi-materi ketetapan-ketetapan tersebut. Artinya, sebelas ketetapan MPRS itu
ditundukkan derajatnya oleh MPR sendiri, sehingga dapat diubah oleh atau dengan
undang-undang. Jika demikian halnya, maka lembaga negara yang berwenang yang
membahas undang-undang ada pada empat lembaga, yaitu:
i)
DPR;
ii)
Presiden;
iii)
DPD;
iv)
Dan Mahkamah Konstitusi.
Namun, dapat
juga dipersoalkan secara kritis bahwa deklarasi ketidakberlakuan Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 itu, sebenarnya bukanlah ditetapkan oleh undang-undang no. 10
tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut
Djokosutono, konstitusi dapat dipahami dalam tiga arti, yaitu (i) konstitusi
dalam arti materil, (ii) konstitusi dalam arti formil, (iii konstitusi dalam
arti naskah yang didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian dan kesatuan
rujukan. Oleh karena itu, yang dapat dinilai kembali atau menentukan status
hukum dan materi kedelapan ketetapan MPR/S sisa tersebut ada empat lembaga negara,
yaitu (i) DPR, (ii) Presiden, (iii) DPD, dan (iv) Mahkamah Konstitusi, sesuai
dengan kewenangan konstitusionalnya masing-masing.
Dengan demikian,
lembaga negara yang dapat menentukan status hukum dan materi kedelapan
ketetapan MPRS tersebut untuk selanjutnya adalah lembaga-lembaga negara yang
mempunyai wewenang dalam urusan pembentukan, perubahan, atau pembatalan
undang-undang. Oleh karena itu, yang dapat menilai kembali (review) atau
menentukan status hukum dan materi kedelapan Ketetapan MPRS sisa tersebut ada
empat lembaga negara, yaitu: (i) DPR, (ii) Presiden, (iii) DPD, (iv) Mahkamah
Konstitusi. Sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya masing-masing.
Lembaga negara
yang dapat mengambil inisiatif adalah Presiden atau DPR sebagaimana mestinya.
Dalam hal Ketetapan MPRS itu berkaitan dengan bidang kewenangan DPD, maka DPD
juga dapat terlibat atau dilibatkan dalam proses perancangan atau pembahasan
rancangan undang-undang yang bersangkutan. Namun, apabila belum dilakukan “Legislative review” , Ketetapan MPRS
dimaksud dinilai telah menimbulkan kerugian hak konstitusional pihak-pihak
tertentu, maka dengan memperluas pengertian undang-undang yang dapat diuji oleh
Mahkamah Konstitusi, pihak-pihak yang bersangkutan dapat saja mengajukannya
sebagai perkara pengujian konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini
mekanisme yang ditempuh adalah mekanisme “judicial
review” sebagaimana yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
BAB III
PENUTUP
-kesimpulan
- Sebelum dilakukan atas
perubahan UUD 1945, MPR dikonstruksikan sebagai wadah penjelmaan seluruh
rakyat yang berdaulat, tempat kemana Presiden harus tunduk dan
mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan konstitusionalnya.
- Secara yuridis, MPR itu
sendiri sebagai lembaga baru menjadi ada apabila menjalankan salah satu
dari keempat kewenangan tersebut.
- Dalam tata tertib MPR
tahun 1998 dan tatib MPR seterusnya (sampai sekarang) kata “keputusan”
dalam kalimat norma tatib tersebut diganti dengan kata “putusan”.
- Tujuan
pembentukan Ketetapan MPR tersebut adalah untuk meninjau materi dan status
hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan (eksistensi) dari
TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk
memberi kepastian hukum.
- Lembaga negara yang
dapat menentukan status hukum dan materi kedelapan ketetapan MPRS tersebut
untuk selanjutnya adalah lembaga-lembaga negara yang mempunyai wewenang
dalam urusan pembentukan, perubahan, atau pembatalan undang-undang.
-saran-saran:
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
-Sumber dari internet:
1)
Dikutip dari www.scribd.com/doc/.../Jika-UU-Bertentangan-Dengan-TAP-MPR
(akses 23 Juli pukul 17.56 WIB).
2)
Dikutip dari id.wikipedia.org/wiki/Ketetapan_MPR_Nomor_I/MPR/2003
(akses 23 Juli 2012 pukul 09.15 WIB).
-Sumber dari buku:
1)
Yasir, Armen. 2008. Hukum
Perundang-undangan. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
2)
Pudjosewojo, Kusumadi. 2004. Pedoman
Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
3)
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 2004. Perihal
Kaedah Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
[1] Dikutip
dari id.wikipedia.org/wiki/Ketetapan_MPR_Nomor_I/MPR/2003
(akses 23 Juli 2012 pukul 09.15 WIB)
[2]
Dikutip dari UUD 1945 Amandemen.
[3]
Dikutip dari www.scribd.com/doc/.../Jika-UU-Bertentangan-Dengan-TAP-MPR
(akses 23 Juli pukul 17.56 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar