BAB II
PEMBAHASAN
a)
Pengertian Perbankan
Perbankan lembaga
keuangan yang berperan sangat vital dalam aktivitas pembangunan nasional maupun
internasional. Pada dunia ekonomi modern seperti saat ini, masyarakat memiliki
minat yang sangat tinggi untuk menyimpan, berbisnis, bahkan berinvestasi
melalui perbankan. Hal ini menyebabkan dunia perbankan semakin marak dengan
tumbuhnya bank-bank swasta baru walaupun pemerintah semakin memperketat
regulasi pada dunia perbankan.[1]
Kekhassan
dari perbankan di Indonesia adalah :
1.
Perbankan di Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Fungsi utamanya adalah sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat dan
bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
2.
Perbankan Indonesia sebagai sarana untuk
memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, guna mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, Undang- Undang
Dasar 1945, pelaksanaan perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur trilogi pembangunan.
3.
Perbankan Indonesia dalam menjalankan
fungsi dan tanggungjawabnya kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergerak
cepat guna menghadapi tantangan- tantangan yang semakin berat dan luas dalam
perkembangan perekonomian nasional maupun internasional[2].
Dalam melaksanakan kemitraan antara bank dan nasabahnya, kegiatan perbankan
perlu dilandasi oleh beberapa asas hukum (khusus) untuk menciptakan sistem
perbankan yang sehat, antara lain :
- Asas Demokrasi Ekonomi
- Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle)
- Asas Kerahasiaan (Confidential Principle)
- Asas Kehati- hatian (Prudential Principle)[3]
Pada suatu mekanisme
perbankan, maka terdapat sebuah Dewan Direksi Perbankan yang memiliki peranan
sangat penting dalam menjaga hubungan yang baik antara nasabah dengan pihak
bank itu sendiri. Direksi bank mempunyai tugas untuk melakukan tugas pokok dan
fungsi bank yang bertanggungjawab kepada para pemegang saham melalui Dewan
Pengawas. Dewan pengawas dan direksi bank diangkat dan dipilih oleh RUPS. Dewan
pengawas mempunyai tugas menetapkan kebijakan umum bank dan melakukan
pengawasan, pengendalian, dan pembinaan terhadap bank. Direksi bertanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Setiap anggota
direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya[4].
b)
Perlindungan Konsumen (nasabah) dalam Perbankan
Nasabah
selaku orang yang melakukan transaksi maupun menyimpan uangnya di bank, juga
dapat dikatakan sebagai seorang konsumen dalam bidang perbankan. Perlindungan
masalah perbankan merupakan salah satu permasalahan yang sampai saat ini belum
mendapatkan tempat yang baik dalam sistem perbankan nasional. Untuk itu masalah
perlindungan dan pemberdayaan konsumen mendapat perhatian khusus dalam Pilar
Keenam Arsitektur Perbankan Indonesia.
Sering kali kita
melihat bahwa nasabah selalu lemah atau kurang diuntungkan apabila terjadi
kasus-kasus perselisihan antara bank dengan nasabahnya, sehingga nasabah
dirugikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perbankan bersama-sama dengan
masyarakat akan memiliki beberapa agenda yang bertujuan untuk memperkuat
perlindungan konsumen.
Agenda tersebut adalah
dengan menyusun mekanisme pengaduan nasabah, membentuk lembaga mediasi perbankan,
meningkatkan transparansi informasi produk dan melakukan edukasi produk-produk
dan jasa bank kepaada masyarakat luas[5].
Ada beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam rangka perlindungan nasabah
bank, yaitu dengan :
1. Pembuatan
peraturan baru;
2. Pelaksanaan
peraturan yang ada;
3. Perlindungan
nasabah deposan lewat lembaga asuransi deposito;
4. Memperketat
perizinan bank
5. Memperketat
pengaturan di bidang kegiatan bank
6. Memperketat
pengawasan bank[6]
Lembaga perbankan
adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, maka
pemerintah harus berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga, ataupun
oknum pegawai bank yang tidak bertanggungjawab, dan merusak sendi kepercayaan
masyarakat. Apabila suatu saat terjadi merosotnya kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga perbankan, maka hal tersebut merupakan bencana bagi ekonomi
negara dan keadaannya sangat sulit untuk dipulihkan kembali. Dalam rangka
pemberdayaan konsumen jasa perbankan, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral
yang bertanggungjawab sebagai pelaksana otoritas moneter yng sangat diharapkan
untuk memperdulikannya.
Oleh karena itu, dengan
berlakunya Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
memberikan konsekuensi logis terhdap pelayanan jasa perbankan, karenanya, pelaku usaha jasa perbankan
dituntut untuk:
- beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikannya;
- melayani konsumen secara benardan jujur, serta tidak diskriminatif;
- menjamin kegiatan usaha perbankannya berdaasarkan ketentuan standar perbankan yang berlaku.
Persoalan perlindungan
terhadap kepentingan tidak dapat dianggap mudah begitu saja dan juga tidak
dapat disepelekan, sebab pihak bank harus bertanggung jawab penuh atas segala
hak yang diperoleh oleh nasabah. Fokus persoalan perlindungan nasabah tertuju
pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang
mengatur hubungan antar bank dengan nasabahnya. Hubungan hukum yang terjadi antara
bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik otentik atau
dibawah tangan. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga
suatu bentuk perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi
bank.
Masalah tanggung jawab
perdata atas kelalaian atau kesalahan yang terjadi pada bank yang dapat
dihubungkan dengan kepengurusan bank tersebut, dimana pengurus bank bertindak
mewakili badan hukum bank berdasarkan ketentuan anggaran dasar perusahaan.
Tanggungjawab pengurus terhadap perbuatannya menjadi dua bentuk, yaitu
tanggungjawab pribadi, dan tanggungjawab perusahaan.
Sebagai lembaga
pengawas perbankan di Indonesia, Bank Indonesia mempunyai peranan penting dalam
usaha melindungi, dan menjamin agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat
tindakan bank yang salah. Pengawasan yang efektif dan baik merupakan langkah
preventif dalam menanggulangi/ mengurangi kerugian nasabah karena tindakan bank
yang melawan hukum[7].
c)
Hubungan Tanggung Jawab Pihak Perbankan dalam Hukum Perlindungan Konsumen
Setiap pelaku
usaha (termasuk pihak perbankan) dibebani tanggung jawab atas perilaku yang
tidak baik yang dapat merugikan nasabah bank. Bentuk tanggung jawab yang paling
utama adalah ganti kerugian yang dapat berupa pengembalian uang, atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya. Ada
beberapa teori yang dapat menjelaskan kewajiban para nasabah bank agar ia dapat
terlindung dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, yaitu:
-
Statement of Account
Teori ini menyatakan
bahwa ada kewajiban bagi nasabah untuk memeriksa adanya ketimpangan dalam
rekeningnya dan wajib memberitahukan kepada bank tentang ketimpangan tersebut
dalam suatu waktu yang pantas. Jika tidak diberitahukan, maka statement of
account dianggap benar.
Teori ini menyatakan
bahwa laporan berkala tersebut sudah menggambarkan keadaan sebenarnya, kecuali
jika pihak nasabah MEMBUKTIKAN sebaliknya. Jadi kewajiban pembuktian ada pada nasabah.
UUPK memberikan jaminan hukum bahwa hak-hak konsumen akan dilindungi.
Begitu juga dengan hak-hak para nasabah, selain dapat dilindungi dengan UU
perbankan juga dapat dilindungi dengn UUPK. Dengan demikian, istilah tanggung
jawab hukum adalah kewajiban menanggung suatu akibat menurut hukum yang
berlaku. Di sini, ada norma atau peraturan hukum yang mengatur tentang tanggung
jawab. Ketika, ada perbuatan yang melanggar norma hukum itu, maka pelakunya
dapat dimintai pertanggung jawaban sesuai dengan norma hukum yang dilanggarnya.
Dalam konteks ini, istilah pertanggung jawaban hukum lebih tepat digunakan,
karena menunjukkan adanya perbuatan yang dapat dimintai tanggung jawab melalui
prosedur hukum dengan mengajukan tuntutan pidana atau gugatan perdata. Meskipun
demikian, kedua istilah ini kadang-kadang digunakan secara bergantian, karena
memiliki kesamaan makna. Sebenarnya ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, jika
seseorang tersebut ingin dimintai pertanggung jawabannya sesuai dengan pasal
1365 KUH Perdata. Unsur-unsur dari ketentuan pasal tersebut adalah[9]:
- Adanya perbuatan melawan hukum;
- Harus ada kesalahannya;
- Harus ada kerugian yang ditimbulkan;
- Ada hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugiannya.
Selain dengan UU perbankan, seorang nasabah juga mendapat jaminan
perlindungan hukum, khususnya mengenai jumlah uang yang ia simpan di bank sudah
dijamin oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Dalam Pasal 19 Ayat (1) UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS menyebutkan: “Klaim Penjaminan dinyatakan tidak layak
dibayar apabila berdasarkan rekonsiliasi dan/atau verifikasi”:
- Data Simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank;
- Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; dan/atau;
- Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat.
Berdasarkan bunyi pasal
di atas, maka para nasabah bank telah diberi jalan penyelesainnya bagi yang
merasa dirugikan. Dalam Pasal 20 ayat (1) UU LPS juga telah mengatur, yang
berbunyi: dalam hal nasabah penyimpan
merasa dirugikan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada LPS
yang didukung dengan bukti nyata dan jelas; atau melakukan upaya hukum melalui
pengadilan.
Kemudian pada ayat (2), yang
berbunyi: apabila LPS menerima keberatan
tersebut atau perintah pengadilan, LPS hanya membayar sesuai dengan penjaminan
berikut bunga yang wajar. Tentu saja ketentuan ayat (1) adalah
sesuatu yang sifatnya “it goes without saying”[10], artinya tanpa ada
“ruang” sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut, nasabah dapat saja
menggugat LPS. Sedangkan dalam ayat (2) sebetulnya bersifat Lex
specialis [11]dan lebih melindungi LPS
sendiri.
Perlindungan hukum lain
yang dapat ditempuh oleh nasabah adalah dengan menggunakan Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini pelaku usaha wajib
memberikan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila jasa yang
diterima atau dimanfaatkan oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. Lalu,
menurut ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen maka pelaku usaha memiliki kewajiban-kewajiban:
- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Hal lain yang masih
dipertanyakan adalah peranan Bank Indonesia selaku bank sentral dalam melakukan
pembinaan dan pengawasan bank merupakan sebagian atau salah satu instrumen
perlindungan konsumen. Tampaknya prinsip kehati-hatian (prudential
principle) saja tidak cukup dilakukan oleh Bank Indonesia[12].
d) Upaya Hukum terhadap Otoritas Pengawas Bank
Seorang nasabah dengan bank itu sendiri memiliki hubungan yang sangat erat
, dapat dikatakan adanya hubungan kontraktual antara bank dan nasabah
penyimpannya tidak hanya menciptakan perikatan kontraktual belaka, melainkan
telah menciptakan perikatan atas dasar “perbuatan
melanggar hukum”. Yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum atau yang
biasa disebut dengan “perbuatan melawan
hukum” atau PMH adalah suatu perbuatan yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
“tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
Perbuatan yang
dikategorikan sebagai PMH adalah perbuatan-perbuatan yang memenuhi beberapa
unsur, yaitu[13]:
a.
perbuatan tersebut haruslah perbuatan yang
melanggar hukum;
b.
perbuatan tersebut membawa kerugian
terhadap orang lain;
c.
adanya unsur kesalahan dalam perbuatan
yang merugikan tersebut.
Menurut KUH Perdata Perbuatan Melawan Hukum dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu:
a.
PMH karena kesengajaan;
b.
PMH tanpa kesalahan; dan
c.
PMH karena kelalaian.
Perbuatan Melawan Hukum dengan unsur kelalaian disebut dengan istilah negligence dalam bahasa Inggris dan nalatigheid [14]dalam bahasa Belanda. Oleh karena itu, suatu perbuatan
dapat dianggap sebagai kelalaian apabila memenuhi unsur pokok sebagai berikut[15]:
- Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan;
- Adanya suatu kewajiban kehati-hatian;
- Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut;
- Adanya kerugian bagi orang lain;
- Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.
Pengawasan bank yang semula didasarkan pada pola pendekatan
pengawasan institusional, oleh UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
diubah menjadi pola pendekatan pengawasan fungsional[16].
Berkenaan dengan itu, maka Pasal 34 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
mengamanatkan perlunya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem pembayaran
di satu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank di sisi lainnya. Dengan
demikian, sesuai dengan amanat UU tersebut, sudah waktunya pola pengawasan
dan pembinaan bank sebaiknya dilakukan oleh sebuah lembaga independen
yang benar-benar kredibel, sehingga ototritas moneter akan terpisah dari
otoritas pengawas bank, dalam rangka mengupayakan optimalisasi perlindungan
hak-hak nasabah.
Hubungan
antara konsumen dan pelaku usaha pada dasarnya adalah tindakan konsumen untuk
melakukan transaksi ekonomi atau bisnis dengan pelaku usaha. Transaksi tersebut
dapat berupa pembelian barang, penggunaan jasa pelayanan, transaksi keuangan
seperti pinjaman atau kredit. Transaksi itu perwujudan dari kesepakatan yang
dibuat oleh konsumen dan pelaku usaha, sehingga disebut transaksi konsumen (consumer transaction). Kesepakatan
antara dua subyek hukum atau lebih itu memuat janji masing-masing pihak,
sehingga ada yang menyebutnya dengan perjanjian[17].
Konsumen
dalam jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Dalam praktik
perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah
deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam
bentuk giro, tabungan, dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan
fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah,
pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan
transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya
transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri
dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C)[18].
Hubungan antara bank
dengan nasabah sebagai konsumen merupakan hubungan yang timpang karena di satu
sisi bank mempunyai bargaining power yang lebih kuat sehingga nasabah berada
pada posisi menerima (take it or leave it) saja. Dengan adanya hubungan
yang tidak seimbang ini, perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen bank
adalah menjadi sangat penting. Perlindungan terhadap nasabah bank atau konsumen
dilakukan melalui undang-undang yang pada akhirnya dapat mengikat para pihak.
Perlindungan hukum bagi nasabah
menjadi sangat penting, karena secara faktual kedudukannya yang bisa dikatakan
relatif lemah. Perjanjian kredit atau pembiayaan dan perjanjian pembukaan
rekening bank yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak namun
karena alasan efisiensi perjanjian tersebut diubah menjadi perjanjian yang
sudah dipersiapkan oleh pihak bank. Nasabah hanya mempunyai pilihan menerima
atau menolak perjanjian yang telah dibuat tersebut.
Pencantuman klausula-klausula dalam
perjanjian kredit atau pembiayaan pada bank sepatutnya merupakan upaya
kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah saling membutuhkan
dalam upaya mengembangkan usahanya masing-masing. Untuk itu dalam memberikan
perlindungan terhadap nasabah perlu adanya upaya edukasi dan penjelasan
mengenai isi perjanjian dimaksud[19].
Dengan adanya kondisi tersebut maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen
memberikan pengaturan mengenai klausula baku, yaitu sebagai berikut[20]
:
1. Pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a.
menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha.
b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen.
c.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen.
d.
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
e.
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.
g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h.
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
3. Setiap klausula
baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal
demi hukum.
4. Pelaku usaha
wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Walaupun ketentuan mengenai klausula
baku sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tetapi pada
kenyataannya di lapangan masih sering
kali terjadi pelanggaran sehingga masih banyak merugikan nasabah dan konsumen
dalam hal ini kedudukannya semakin lemah. Selain pengaturan dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang masalah
tentang perlindungan hokum bagi nasabah dalam perbankan yaitu :
1) Untuk memberikan perlindungan hukum bagi
nasabah deposan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengamanatkan dibentuknya
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana
masyarakat yang disimpan dalam bank yang bersangkutan[21].
Amanat dimaksud
telah direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Fungsinya adalah menjamin simpanan nasabah
penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas sistem perbankan sesuai
dengan kewenangannya[22].
2) Perlindungan hukum bagi nasabah,
khususnya dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Hal ini diatur
melalui PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagaimana
telah diubah dengan PBI No. 10/10/PBI/2008.[23]
Dan PBI No.
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan PBI No.
10/1/PBI/2008[24].
Pasal 1 angka 4 PBI No.
7/7/PBI/2005, mendefinisikan Pengaduan sebagai ungkapan ketidakpuasan Nasabah
yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga
karena kesalahan atau kelalaian Bank. Sesuai dengan Pasal 2 PBI No.
7/7/PBI/2005, bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis
tentang penerimaan pengaduan, penangangan dan penyelesaian pengaduan, serta
pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan. Ketentuan mengenai kebijakan
dan prosedur tertulis dimaksud diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI)
No. 7/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005, yaitu sebagai berikut:
a. Kewajiban Bank
untuk menyelesaikan Pengaduan mencakup kewajiban menyelesaikan Pengaduan yang
diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh Nasabah dan atau Perwakilan
Nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank
lain yang menjadi Nasabah Bank tersebut;
b. Setiap Nasabah,
termasuk walk-in customer, memiliki hak untuk mengajukan pengaduan;
c. Pengajuan
pengaduan dapat dilakukan oleh Perwakilan Nasabah yang bertindak untuk dan atas
nama Nasabah berdasarkan surat kuasa khusus dari Nasabah.
Mengingat penyelesaian pengaduan
nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tidak selalu
berjalan mulus dan tidak memuaskan nasabah dan apabila tidak segera ditangani
dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada
lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah, maka perlu dibentuk lembaga
Mediasi yang khusus menangani sengketa perbankan.
Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan
mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian
dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh
permasalahan yang disengketakan. Adapun yang menjadi penyelenggara Mediasi
Perbankan menurut Pasal 3 PBI No. 8/5/PBI/2006, yakni Lembaga Mediasi perbankan
independen yang dibentuk asosiasi perbankan. Proses beracara dalam Mediasi
Perbankan secara teknis diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank
Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006.
Syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian
Sengketa Melalui Mediasi Perbankan, yaitu sebagai berikut:
a.
Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen
pendukung yang memadai;
b.
Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada
Bank;
c.
Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau
belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat
Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;
d.
Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;
e.
Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam
Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan
f.
Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam
puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang
disampaikan Bank kepada Nasabah.
Proses Mediasi dilaksanakan setelah
Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement
to mediate) yang memuat:
a. Kesepakatan
untuk memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian Sengketa; dan
b. Persetujuan
untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Jika proses mediasi telah selesai dilaksanakan, maka pihak
bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani
oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank. Disamping
perlindungan terhadap nasabah melalui ketentuan-ketentuan di bidang pembinaan
dan pengawasan bank, dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 juga terdapat
ketentuan-ketentuan lain yang mendukung upaya perlindungan terhadap nasabah
antara lain[25]:
a) Dalam
memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Ketentuan ini dimaksudkan agar dalam memberikan kredit, bank selalu
memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, sehingga dapat mengurangi
kredit macet. Sebagaimana diketahui bahwa apabila bank mengalami kredit macetyang
relatif besar maka akan dapat mempengaruhi kelangsungan usahanya dimana
akibatnya lebih lanjut akan menimpa nasabah yang mempercayakan dananya pada
bank.
b) Merger,
konsolidasi antar bank, serta akuisisi bank wajib terlebih dahulu mendapat izin
Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Bank Indonesia. Dalam penjelasan
undang-undang ini secara tegas dinyatakan bahwa merger, konsolidasi dan
akuisisi yang dilakukan tidak boleh merugikan kepentingan nasabah.
c) Dalam
ketentuan tentang rahasia bank sebagaimana diatur dalam UU Perbankan dinyatakan
bahwa bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada pihak lain tentang
keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh
bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal untuk
kepentingan perpajakan, peradilan dalam perkara pidana, dan dalam perkara
perdata antara bank dan nasabah.
d) Ketentuan
sanksi pidana dan administratif dalam UU Perbankan cukup mengikat dan dapat
memberikan efek jera bagi yang melanggarnya. Ketentuan tersebut dimaksudkan
untuk lebih terbentuknya ketaatan yang tinggi terhadap undang-undang ini
mengingat bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepadanya.
BAB III
PENUTUP
-Kesimpulan:
- Perbankan lembaga keuangan yang berperan sangat vital dalam aktivitas pembangunan nasional maupun internasional.
- asas hukum (khusus) untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, antara lain :
a)
Asas Demokrasi Ekonomi
b)
Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle)
c)
Asas Kerahasiaan (Confidential Principle)
d)
Asas Kehati- hatian (Prudential Principle)
- Perlindungan masalah perbankan merupakan salah satu permasalahan yang sampai saat ini belum mendapatkan tempat yang baik dalam sistem perbankan nasional.
- Ada beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam rangka perlindungan nasabah bank, yaitu dengan :
a)
Pembuatan peraturan baru;
b)
Pelaksanaan peraturan yang ada;
c)
Perlindungan nasabah deposan lewat
lembaga asuransi deposito;
d)
Memperketat perizinan bank
e)
Memperketat pengaturan di bidang
kegiatan bank
f)
Memperketat pengawasan bank
- Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.
-saran-saran:
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1) Jumhana,
Muhammad. 2003. Hukum Perbankan di
Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
2) Usman,
Rachmadi. 2001. Aspek-Aspek Hukum
Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
3) Muhammad,
Abdulkadir. 2006. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
4) Hermansyah.
2011. Hukum Perbankan Nasional Indonesia.
Jakarta: Prenada Media Group.
5) Fuady,
Munir. 1999. Hukum Perbankan Modern Buku
Kesatu. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti.
6) Sasongko,
Wahyu. 2007. Ketentuan-Ketentuan Pokok
Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung: Unila.
7) Shofie, Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-instrumen
Hukumnya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
8) Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan Pada Umumnya. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
9) Fuady, Munir. 2005. Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
10)
Shofie,
Yusuf. 2000. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
11)
Ibrahim,
Johannes. 2004. Cross Default dan
Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah. Bandung: PT.
Revika Aditama.
12)
Pardede, Marulak Pardede. 1992. Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah. Jakarta:
Sinar Harapan.
-sumber dari Internet:
1)
http://fh.borneo.ac.id/?p=44#more
(akses 18 Desember 2012 pukul 22.21 WIB).
2)
rahard.wordpress.com/2006/07/11/tidak-adanya-perlindungan-na
..(akses 18 Desember 2012 pukul 22.18 WIB).
3)
www.bi.go.id/NR/rdonlyres/3D290182-176A-4B66-9B9F-1F4E14AE56
(akses 18 Desember 2012 pukul 22.00 WIB).
4)
taathukum.wordpress.com/2009/02/18/perlindungan-hukum-nasaba...(akses: 18 Desember
2012 pukul: 19.00 WIB).
5)
http:/carapedia.com/pengertian_definisi_perbankan
(akses 17 Desember 2012 pukul 19.00 WIB).
[1] http:/carapedia.com/pengertian_definisi_perbankan
(akses 17 Desember 2012 pukul 19.00 WIB).
[2] Drs. Muhamad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 3.
[3] Rachmadi Usman, Aspek- Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hlm.14-18.
[4] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 112.
[5]
Hermansyah, Hukum Perbankan
Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 202-203.
[6] Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, (Bandung: Pt. Citra Aditya
Bakti, 1999), hlm. 106-108.
[7] Muhamad Jumhana, Op.Cit, hlm. 281-286.
[8]Dikutip dari: taathukum.wordpress.com/2009/02/18/perlindungan-hukum-nasaba...(akses: 18 Desember
2012 pukul: 19.00 WIB).
[9] Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandar
Lampung: Unila, 2007), hlm. 97.
[10] Dikutip dari: www.bi.go.id/NR/rdonlyres/3D290182-176A-4B66-9B9F-1F4E14AE56
(akses 18 Desember 2012 pukul 22.00 WIB).
[11] Maksudnya adalah pada ayat 2 ini
ketentuan ini lebih menguntungan pihak LPS sendiri agar LPS tidak terlalu berat
dalam melakukan ganti kerugian kepada nasabah bank yang mengalami kerugian
besar.
[12] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-instrumen
Hukumnya (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 76.
[13] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 49.
[14] Dikutip dari rahard.wordpress.com/2006/07/11/tidak-adanya-perlindungan-na
..(akses 18 Desember 2012 pukul 22.18 WIB).
[15] DR. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. Perbuatan Melawan Hukum,
Pendekatan Kontemporer(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 73.
[16] Dikutip dari: http://fh.borneo.ac.id/?p=44#more
(akses 18 Desember 2012 pukul 22.21 WIB).
[17] Wahyu Sasongko, 2007, Ketentuan-ketentuan Pokok Hukum Perlindungan
Konsumen, (Bandar Lampung: UNILA,
2007), hlm. 58.
[18] Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan
Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 32-33.
[19] Johannes Ibrahim, Cross
Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, (Bandung:
PT. Revika Aditama, 2004), hlm. 47.
[25] Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1992), hal 33.
Halo,
BalasHapusNama saya ROBBI dari Cirebon Jawa Barat Indonesia, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu Alicia Radu karena telah membantu saya mendapatkan pinjaman yang baik setelah saya banyak menderita di tangan pemberi pinjaman online palsu yang menipu saya untuk mendapatkan uang tanpa menawarkan pinjaman, saya telah membutuhkan pinjaman selama 3 tahun terakhir untuk memulai bisnis saya sendiri di kota Cirebon di mana saya tinggal dan saya jatuh ke tangan perusahaan palsu di Turki yang telah menipu saya dan tidak menawarkan pinjaman kepada saya. dan saya sangat Frustrasted karena saya kehilangan semua uang saya ke perusahaan palsu di Turki, karena saya berhutang kepada bank dan teman-teman saya dan saya tidak punya orang untuk dijalankan, sampai suatu hari setia bahwa seorang teman saya menelepon Siti Aminah setelah membaca kesaksiannya tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari Ibu Alicia Radu, jadi saya harus menghubungi Siti Aminah dan dia mengatakan kepada saya dan meyakinkan saya untuk menghubungi Ibu Alicia Radu bahwa dia adalah ibu yang baik dan saya harus mengumpulkan keberanian dan saya menghubungi Ibu Alicia Radu dan saya terkejut ketika pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam waktu 3 jam pinjaman saya ditransfer ke rekening saya dan saya sangat terkejut bahwa ini adalah mukjizat dan saya harus bersaksi tentang pekerjaan baik Ibu Alicia Radu
jadi saya akan menyarankan semua orang yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi email Ibu Alicia Radu: (aliciaradu260@gmail.com) dan saya jamin bahwa Anda akan bersaksi seperti yang saya lakukan dan Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut tentang Ibu Alicia Radu email saya : (robbi5868@gmail.com) dan Anda masih dapat menghubungi Siti Aminah yang memperkenalkan saya kepada ibu Alicia Radu melalui email: (sitiaminah6749@gmail.com)
semoga Tuhan terus memberkati dan mencintai ibu Alicia Radu untuk mengubah kehidupan finansial saya
Halo,
BalasHapusnama saya Siti Aminah dari Indonesia, tolong saya sarankan semua orang di sini harus sangat berhati-hati, karena ada begitu banyak pemberi pinjaman pinjaman palsu di internet, tetapi mereka masih yang asli di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah ditipu oleh 4 pemberi pinjaman yang berbeda, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang karena hutang.
Saya hampir menyerah sampai saya meminta saran dari seorang teman yang memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman asli dan perusahaan yang sangat dapat diandalkan yaitu Bunda Alicia Radu yang mendapatkan pinjaman saya dari 800 juta rupiah Indonesia dalam waktu kurang dari 24 jam Tanpa tekanan dan pada suku bunga rendah 2%. Saya sangat terkejut ketika memeriksa rekening bank saya dan menemukan jumlah pinjaman yang saya minta telah ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan sehingga saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa tekanan dari Bunda Alicia Radu
Saya ingin Anda mempercayai Bunda Alicia Radu dengan sepenuh hati karena ia sangat membantu dalam hidup saya dan kehidupan finansial saya. Anda harus menganggap diri Anda sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membaca kesaksian ini hari ini. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya: (sitiaminah6749@gmail.com) jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapat pinjaman dari Ibu Alicia Radu, Anda sangat bebas untuk menghubungi saya dan saya akan dengan senang hati menjawab Anda karena Anda juga dapat membantu orang lain setelah Anda menerima pinjaman Anda.