BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pengangkutan
Pengangkutan adalah
perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut
mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutanbarang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat
tertentu dgn selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri dengan membayar uang
angkutan. Peranan pengangkutan dalam dunia perdagangan
bersifat mutlak, tanpa pengangkutan perusahaan tidak akan jalan. Sedangkan fungsi pengangkutan adalah
memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan
maksud meningkatkan daya guna dan nilai.
Adapun perpindahan barang atau
orang dari suatu tempat ketempat yang lain yang diselenggarakan dengan
pengangkutan tersebut harus dilakukan dengan memenuhi beberapa ketentuan yang
tidak dapat ditinggalkan, yaitu harus diselenggarakan dengan aman,
selamat, cepat, tidak ada perubahan bentuk tempat dan waktunya[1]. Menurut Sri Rejeki Hartono bahwa pada dasarnya
pengangkutan mempunyai dua nilai kegunaan, yaitu :
a)
Kegunaan Tempat (
Place Utility )
Dengan adanya pengangkutan berarti terjadi perpindahan
barang dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang bermanfaat,
ketempat lain yang menyebabkan barang tadi menjadi lebih bermanfaat.
b)
Kegunaan Waktu (
Time Utility )
Dengan adanya pengangkutan berarti dapat dimungkinkan
terjadinya suatu perpindahan suatu barang dari suatu tempat ketempat lain
dimana barang itu lebih diperlukan tepat pada waktunya.
2. Ruang Lingkup Hukum Pengangkutan
Dalam dunia pengangkutan agar dapat berjalan dengan baik
maka diperlukan suatu peraturan yang khusus membahas tentang pengangkutan, oleh
karena itu dibuatlah hukum pengangkutan atau biasa disebut dengan hukum
pengangkutan niaga. Hukum pengangkutan mencakup tiga ruang lingkup, yaitu:
a) Angkutan
Darat:
ü Diatur dalam buku I Bab V
pasal 90 – 98 KUHD;
ü Sedangkan dasar hukumnya adalah UU
No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
Untuk
mencapai hasil yang diharapkan serta dapat tercapai fungsifungsi pengangkutan,
maka dalam pengangkutan diperlukan beberapa unsur yang memadai berupa[2]:
1.
Alat angkutan itu
sendiri (operating facilities) ,
setiap barang atau orang akan diangkut tentu saja memerlukan alat pengangkutan
yang memadai, baik kapasitasnya, besarnya maupun perlengkapan. Alat
pengangkutan yang dimaksud dapat berupa truk, kereta api, kapal, bis atau
pesawat udara. Perlengkapan yang disediakan haruslah sesuai dengan barang yang
diangkut.
2. Fasilitas yang akan dilalui oleh alat-alat
pengangkutan (right of way), fasilitas
tersebut dapat berupa jalan umum, rel kereta api, perairan/sungai, Bandar
udara, navigasi dan sebagainya.
Jadi apabila
fasilitas yang dilalui oleh angkutan tidak tersedia atau tersedia tidak
sempurna maka proses pengangkutan itu sendiri tidak mungkin berjalan
dengan lancar.
3. Tempat persiapan pengangkutan (terminal facilities), tempat persiapan
pengangkutan ini diperlukan karena suatu kegiatan pengangkutan tidak
dapat berjalan dengan efektif apabila tidak ada terminal yang dipakai sebagai
tempat persiapan sebelum dan sesudah proses pengangkutan dimulai
4. Selain itu dalam dunia perdagangan pengangkutan
memegang peranan yang sangat penting. Tidak hanya sebagai sarana angkutan yang
harus membawa barang-barang yang diperdagangkan kepada konsumen tetapi juga
sebagai alat penentu harga dari barang-barang tersebut. Karena itu untuk
memperlancar usahanya produsen akan mencari pengangkutan yang berkelanjutan dan
biaya pengangkutan yang murah.
Salah
satu angkutan darat yang sangat bermanfaat adalah kereta api. Sarana angkutan
ini merupakan saranan transportasi yang sangat digemari oleh masyarakat, karena
lebih murah biayanya, daripada angkutan darat yang lainnya. Berikut ini hak dan
wewenang dari penyelenggara prasarana perkereta-apian, yaitu:
a. Mengatur, mengendalikan, dan mengawasi
perjalanan kereta api.
b. Menghentikan pengoperasian sarana perkeretapian
apabila dapat membayakan perjalanan kereta api
c. Melakukan penerbitan terhadap pengguna jasa
kereta api yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pengguna jasa kereta api di
stasiun.
d. Mendahulukan perjalanan kereta api di
perpotongan sebidang dengan jalan.
b) Angkutan
Udara:
o Dasar hukumnya adalah UU
No. 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan;
o Dan PP No. 3 Tahun
2000 tentang Angkutan
Udara.
Pertanggung
jawaban pengangkutan udara menjadi hal yang sangat sensitif karena dalam
pengangkutan udara kemungkinan berhubungan dengan negara-negara lain lebih
besar. Ini berarti kemungkinan persinggungan hukum antara dua negara atau lebih
menjadi lebih besar pula.Bukan hal yang mudah mengkoordinasikan dua
kepentingan yang berasal dari hukum yang berbeda tersebut sehingga perlu
sebuah hukum ataupun aturan-aturan tertentu yang mampu menaungi
berbagai kepentingan tersebut.
Berdasarkan
dari pemikiran itulah, kemudian pembahasan dalam makalah ini diawali dengan
pengenalan terhadap hukum udara internasional yang mempunyai pengaruh besar
dalam pertanggungjawaban pengangkutan udara.
Hukum
udara adalah[3]
keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur ruang udara dan penggunaannya
untuk keperluan penerbangan. Hal yang kemudian menjadi
alasan penulis menyangkutpautkan hukum udara dalam pengangkutan
adalah karena sifat pengangkutan udara sendiri yang bersifat internasional. Hukum
udara bersumber dari perjanjian-perjanjian internasional, undang-undang dan
peraturan nasional serta yurisprudensi.
Pada
pengangkutan udara terdapat beberapa prinsip pertanggung jawaban pengangkut
dalam pengangkutan udara, yaitu sebagai berikut:
- Prinsip presumption
of liability /presumtion of fault /presumtion of negligence:
Menurut
prinsip ini pengangkut dianggap bertanggng jawab untuk kerugian yang diderita
oleh penumpang atau seorang pengirim barang karena penumpang terluka atau
tewas, atau bagasinya rusak atau hilang, atau rusaknya barang kiriman dan
keterlambatan datang pihak yang dirugikan tidak perlu membuktikan haknya atas
ganti rugi.
-Prinsip limitation of liability:
Menurut
prinsip ini tanggungjawab pengangkut dibatasi sampai jumlah tertentu. Prinsip
ini mendorong pengangkut untuk menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Untuk
itu limit tanggungjawab tidak boleh terlalu rendah ataupun terlalu tinggi.
-Prinsip absolute liability atau strict
liability:
Prinsip
ini mengatakan bahwa pengangkut bukan lagi dianggap bertanggung jawab,tetapi dalam
hal ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab tanpa ada kemungknan
membebaskan diri kecuali kalau yang dirugikan bersalah atau turut bersalah
dalam timbulnya kerugian pada dirinya. Pertanggung jawaban tidak hanya ada pada diri
pengangkut,tetapi juga ada pada diri penumpang. Hal tersebut menjadi wajar dan
adil karena tidak semua kerugian yang timbul dalam pengangkutan udara merupakan
kesalahan pengangkut,tetapi kemungkinan penumpang melakukan kesalahan yang
menyebabkan kerugian dirinya sendiripun ada.
Namun,
ada juga sistem pertangung jawaban yang dibebankan pada pihak penumpang, yaitu:
-Sistem warsawa atau protokol hague:
Berdasarkan
sistem ini penumpang atau ahli warisnya cukup menunjukkan bahwa kerugian yang
diderita timbul karena suatu kejadian yang terjadi selama penerbangan.Dalam
sistem ini ada kemungkinan pengangkut bebas dari tanggungjawab,yaitu ketika
pengangkut dapat membuktikan bahwa dia telah mengambil semua tindakan yang
diperlukan untuk mencegah kerugian dan pengangkut dapat membuktikan bahwa
kerugian disebabkan oleh kelalaian pihak yang dirugikan.
-Sistem guetemala:
Pada
dasarnya sistem ini lebih menguntungkan penumpang dan memberatkan
pengangkut,karena penetapan limit ganti rugi dinaikkan.
c) Angkutan
Laut:
o Diatur dalam Buku II Bab
V-VB tentang perjanjian carter kapal, pengangkutan barang, dan pengangkutan
orang;
o Dasar hukumnya adalah UU
No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, PP
No. 82 Tahun 1999 tentang
Angkutan di perairan, dan Keputusan Menteri
No. 33 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Angkutan laut;
Oleh karena itulah, hukum pengangkutan laut disebut sebagai norma yang
mengatur tingkah laku manusia dalam menjalankan tugasnya untuk mempersiapkan,
menjalankan dan melancarkan “pelayaran”
di laut. Sehingga, hukum pengangkutan di laut juga disebut “Hukum Pelayaran”.
Kemudian, Prof. Soekardono membagi Hukum Laut menjadi 2 (dua) yaitu Hukum Laut Keperdataan dan Hukum Laut Publik. Hukum laut bersifat keperdataan atau
privat, karena hukum laut mengatur hubungan antara orang-perorangan. Dengan
kata lain orang adalah subjek hukum.
Berdasarkan pasal 6 UU No 17 tahun
2008[4],
angkutan di perairan terdiri atas: Angkutan Laut, Angkutan Sungai dan Danau,
dan Angkutan Penyeberangan.
a)
Angkutan Laut:
Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan
yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut.
b)
Angkutan Sungai dan Danau:
“Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan” merupakan istilah yang terdiri dari dua aspek yaitu “Angkutan
Sungai dan Danau” atau ASD dan “Angkutan Penyeberangan:. Istilah ASDP ini
merujuk pada sebuah jenis “moda” atau “jenis angkutan” dimana suatu sistem
transportasi terdiri dari 5 macam yaitu moda angkutan darat (jalan raya), moda
angkutan udara, moda angkutan kereta api, moda angkutan pipa (yang mungkin
belum dikenal luas), moda angkutan laut dan moda ASDP.
Angkutan Perairan Daratan atau
angkutan perairan pedalaman merupakan istilah lain dari Angkutan Sungai dan
Danau (ASD). Jenis angkutan ini telah lama dikenal oleh manusia bahkan
terbilang tradisional. Sebelum menggunakan angkutan jalan dengan mengendarai
hewan seperti kuda dan sapi, manusia telah memanfaatkan sungai untuk menempuh
perjalanan jarak jauh. Demikian juga di Indonesia, sungai merupakan wilayah
favorit sehingga banyak sekali pusat pemukiman, ekonomi, budaya maupun
kota-kota besar yang berada di tepian sungai seperti Palembang.
Angkutan Perairan Daratan merupakan
sebuah istilah yang diserap dari bahasa
Inggris yaitu Inland Waterways atau juga dalam bahasa Perancis yaitu Navigation
d’Interieure atau juga voies navigables[5] yang memiliki makna yang sama yaitu
pelayaran atau aktivitas angkutan yang berlangsung di perairan yang berada di
kawasan daratan seperti sungai, danau dan kanal.
Sementara itu, menurut Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, terutama pada pasal 1, dijelaskan bahwa
angkutan perairan daratan yang juga dikenal sebagai angkutan sungai dan danau ( ASD ) adalah meliputi angkutan di waduk, rawa,
banjir, kanal, dan terusan. Di Indonesia, angkutan perairan daratan merupakan
bagian dari sub sistem perhubungan darat dalam sistem transportasi nasional.
Moda angkutan ini tentunya tidak
mempergunakan perairan laut sebagai prasarana utamanya namun perairan daratan.
Dalam kamus Himpunan Istilah Perhubungan, istilah perairan daratan
didefinisikan sebagai semua perairan danau, terusan dan sepanjang sungai dari
hulu dari hulu sampai dengan muara sebagaimana dikatakan undang-undang atau
peraturan tentang wilayah perairan daratan.
Angkutan Penyeberangan adalah angkutan
yang berfungsi sebagai jembatan bergerak yang menghubungkan jaringan jalan
dan/atau jaringan kereta api yang terputus karena adanya perairan. Dalam bahasa
Inggris, moda ini dikenal dengan istilah ferry
transport. Lintas penyeberangan Merak–Bakauheni dan Palembang–Bangka adalah
beberapa contoh yang sudah dikenal masyarakat.
Selain yang telah disebutkan di atas,
masih ada jenis-jenis angkutan laut berdasarkan pasal 7 UU No. 17 tahun 2008,
yaitu: Angkutan Laut Dalam Negeri, Angkutan Laut Luar Negeri, Angkutan Laut
Khusus, dan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat.
a) Angkutan
Laut Dalam Negeri:
Merupakan kegiatan angkutan laut yang dilakukan
di wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan
laut nasional[7] atau dalam arti dilakukan dengan menggunakan batas-batas kedaulatan
dalam negara.
Pelayaran dalam negeri yang meliputi[8]:
i. Pelayaran
Nusantara, yaitu
pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia tanpa
memandang jurusan yang ditempuh satu dan lain sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Radius pelayarannya > 200 mil laut;
ii. Pelayaran
Lokal, yaitu
pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia yang
ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar
negeri dengan mempergunakan kapal-kapal yang berukuran 500 m3 isi kotor ke
bawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah. Radius pelayarannya < 200 mil laut
atau sama dengan 200 mil laut;
iii. Pelayaran
Rakyat, yaitu
pelayaran Nusantara dengan menggunakan perahu-perahu layar.
b) Angkutan
Laut Luar Negeri
Merupakan kegiatan angkutan laut dari
pelabuhan atau terminal khus us yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke
pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau
terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri yang diselenggarakan
oleh perusahaan angkutan laut[9] atau
dalam artian dilakukan dengan pengangkutan di lautan bebas yang menghubungkan
satu negara dengan negara lain.
Sedangkan pelayaran luar negeri,
meliputi:
i.
Pelayaran Samudera Dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhan-
pelabuhan negara tetangga yang tidak melebihi jarak 3.000 mil laut dari
pelabuhan terluar Indonesia, tanpa memandang jurusan;
ii.
Pelayaran Samudera,
yaitu pelayaran ke dan dari luar negeri yang bukan merupakan pelayaran samudera
dekat.
c) Angkutan
Laut Khusus
Merupakan kegiatan angkutan untuk
melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.
d) Angkutan
Laut Pelayaran-Rakyat
Usaha rakyat yang bersifat tradisional
dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan
dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor
sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu. Ketiga ruang lingkup
tersebut adalah kajian utama dalam hukum pengangkutan. Oleh karena itu jika
terjadi suatu sengketa pada ketiga ruang lingkup tersebut, maka dapat
diselesaikan dengan hukum pengangkutan.
3. Perjanjian dalam Hukum Pengangkutan
Definisi perjanjian pengangkutan menurut Purwosutjipto (1984)
adalah sebagai perjanjian timbal balik (1) dengan mana pengangkut mengikatkan
untuk menyelenggarakan pengangkutan (2) barang dan atau orang dari
suatu tempat ke tempat tujuan tertentudengan selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Menurut Purwosutjipto, sistem hukum indonesia tidak mensyaratkan pembuatan
perjanjian pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada
persetujuan kehendak atau konsensus.
Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari
penyelengaraan pengangkutan, atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang
diterbitkan dalam perjanjian tersebut. Dokumen
pengangkutan adalah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam
pengangkutan, berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau
hak. Konsep
tanggung jawab timbul karena pengangkutan tidak terjadi sebagaimana mestinya
atau pengangkut tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana termuat dalam dokumen
pengangkutan.
Pada
perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab
pengangkut. Artinya apabila timbul kerugian, pengangkut bebas dari pembayaran
ganti kerugian. Beberapa hal itu adalah:
1. Keadaan
memaksa (overmacht);
2. cacat
pada barang atau penumpang itu sendiri;
3. kesalahan
atau kelalaian pengirim atau penumpang itu sendiri.
Ketiga hal ini diakui dalam undang-undang maupun dalam
doktrin ilmu hukum. Berdasarkan
asas kebebasan berkontrak, pihak-pihak dapat membuat ketentuan yang membatasi
tanggung jawab pihak-pihak. Dalam hal ini pengangkut dapat membatasi tanggung
jawab berdasarkan kelayakan. Apabila
perjanjian dibuat secara tertulis, biasanya pembatasan dituliskan secara tegas
dalam syarat-syarat atau klausula perjanjian.Tetapi apabila perjanjian dibuat
secara tidak tertulis maka kebiasaan yang berintikan kelayakan atau keadilan
memegang peranan penting, disamping ketentuan undang-undang. Bagaimanapun
pihak-pihak dilarang menghapus sama sekali tanggung jawab[10].
a) Asas-Asas
Perjanjian Hukum Pengangkutan
Terdapat
empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan, sebagai berikut:
1) asas
konsensual= asas ini
tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis, sudah cukup
apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir
semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak
tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis
melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan diantara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian
pengangkutan tidak dibuat tertulis karena kewajiban dan hak
pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk (hal
24) atau menerapkanketentuan undang-undang.
2) asas
koordinasi= asas ini
mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian
pengangkutan. Walaupun
perjanjian pengangkutan merupakan ”pelayanan jasa”, asas subordinasi antara
buruh dan majikan pada perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian
pengangkutan.
3) asas
campuran= perjanjian
pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian
kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada
pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim
kepada pengangkut. Jika dalam
perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis
perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas
konsensual.
4) asas tidak
ada hak retensi= penggunaan
hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan
hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan,
biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.
b)
Sifat Hukum dalam Perjanjian Pengangkutan
Pada perjanjian
pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengangkut dan pengirim sama tinggi
atau koordinasi (geeoordineerd)[11], tidak
seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama
tinggi atau kedudukan subordinasi gesubordineerd. Mengenai
sifat hukum perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu :
1) Perjanjian Timbal balik=
Dalam melaksanakan perjanjian itu, antara pihak-pihak dalam perjanjian
yaitu pihak pengirim dan pengangkut mempunyai masing-masing hak dan kewajiban.
Pihak pengirim mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengirim dan sebaliknya
pihak pengangkut mempunyai hak dan kewajiban pula sebagai pengangkut.
2) Perjanjian Pelayanan berkala= Dalam melaksanakan perjanjian itu,
hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak terus-menerus, tetapi
hanya kadangkala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk pengiriman
barang. Hubungan semacam ini disebut pelayanan berkala, sebab pelayanan itu
tidak bersifat tetap, hanya kadangkala saja, bila pengirim membutuhkan
pengangkutan.
3) Perjanjian Pemberian Kuasa= Perjanjian jenis ini mengandung
maksud bahwa pihak pengirim memberikan kuasa sepenuhnya kepada pihak pengangkut
mengenai keselamatan barang muatan yang di muat hingga selamat sampai tujuan
yang ditentukan.
4) Perjanjian Pemborongan= Seperti yang ditentukan dalam Pasal
1601 (b) KUH Perdata yang menentukan, pemborongan pekerjaan adalah persetujuan, dengan mana pihak yang
satu si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu persetujuan
bagi pihak yang lain, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
5) Perjanjian Campuran= Pada pengangkutan ada unsur
melakukan pekerjaan (pelayanan berkala) dan unsur penyimpanan, karena
pengangkut berkewajiban untuk menyelenggara-kan pengangkutan dan menyimpan
barang-barang yang diserahkan kepadanya untuk diangkut (Pasal 466, 468 ayat (1)
KUHD).
4. Subjek Pengangkutan
Niaga
a. Konsep Subjek Perjanjian Pengangkutan
Subjek
hukum adalah pendukung kewajiban dan hak. Subjek hukum pengangkutan adalah
pendukung kewajiban dan hak dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu
pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak
dalam perjanjian pengangkutan.
Mereka itu terdiri atas[12]:
a.
Pihak
pengangkut;
b.
Pihak
penumpang;
c.
Pihak
pengirim dan;
d.
Pihak
penerima kiriman
Selain itu, ada pula pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pengangkutan sebagai perusahaan penunjang pengangkutan. Mereka itu
adalah[13]:
a.
Perusahaan
ekspedisi muatan;
b.
Perusahaan
agen perjalanan;
c.
Perusahaan
agen pelayaran;
d.
Perusahaan
muat bongkar.
Subjek hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum,
persekutuan bukan badan hukum, atau perseorangan. Pihak penumpang selalu
berstatus perseoranga, sedangkan pihak penerima kiriman dapat berstatus
persorangan atau perusahaan. Pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan
pengangkutan selalu berstatus perusahaan badan hukum atau persekutuan bukan
badan hukum.
b.
Klasifikasi Subjek Hukum Pengangkutan
Pihak-pihak dalam perjanjian
pengangkutan adalah mereka yang secara langsung terikat memenuhi kewajiban dan
memperoleh hak dalam perjanjian pengangkutan. Mereka adalah pihak:
a.
Pengangkut=
berkewajiban utama menyelenggarakan pengangkutan dan berhak atas biaya
pengangkutan;
b.
Pengirim=
berkewajiban utama membayar biaya pengangkutan dan berhak atas pelayanan
pengangkutan barangnya;
c.
Penumpang=
berkewajiban utama membayar biaya pengangkutan dan berhak atas pelayanan
pengangkutan.
c. Konsep
Pengangkut
Secara umum, dalam KUHD Indonesia
tidak dijumpai definisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut. Dilihat
dari statusnya sebagai bahan yang bergerak di bidang jasa pengangkutan,
pengangkut dapat dikelompokkan dalam empat jenis, yaitu:
a.
Perusahaan
pengangkutan kereta api;
b.
Perusahaan
pengangkutan darat;
c.
Perusahaan
pengangkutan perairan;
d.
Perusahaan
pengangkutan udara.
d. Konsep
Penumpang
KUHD Indonesia menggunakan kata
“penumpang”. Penumpang adalah semua orang yang ada di kapal, kecuali nakhoda[14].
Undang-undang pengangkutan Indonesia menggunakan istilah “orang” untuk
pengangkutan penumpang. Akan tetapi, rumusan mengenai “orang” secara umum tidak
diatur. Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang
adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas
dasar ini dia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, dapat dipahami
kriteria penumpang menurut Undang-Undang Pengangkutan Indonesia, yaitu:
a.
Orang
yang berstatus pihak dalam perjanjian;
b.
Pihak
tersebut adalah penumpang yang wajib membayar biaya pengangkutan;
c.
Pembayaran
biaya pengangkutan dibuktikan oleh karcis yang dikuasai oleh penumpang.
e. Konsep
Pengirim
KUHD juga tidak mengatur definisi
pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian
pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan
pengangkutan barang dari pengangkut. Undang-undang perkeretaapian menggunakan
istilah “pengguna jasa” dan “penerima barang”. Pengguna jasa bertanggung jawab
atas kebenaran keterangan yang dicantumkan dalam surat pengangkutan barang.
Semua biaya yang timbul akibat keterangan yang tidak benar serta merugikan
penyelenggara sarana perkerataapian atau
pihak ketiga menjadi beban dan bertanggung jawab pengguna jasa.
Pada saat barang tiba di tempat tujuan, penyelenggara
sarana perkeretaapian segera memberi tahu kepada penerima barang bahwa barang
telah tiba dan dapat segera diambil. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas
dapat disimpulkan bahwa pengirim dalam pengangkutan dengan kereta api adalah:
a)
Pihak
dalam perjanjian yang berstatus sebagai pemilik barang, atau bertindak mewakili
pemilik barang, atau sebagai penjual;
b)
Membayar
biaya pengangkutan;
c)
Pemegang
dokumen pengangkutan barang.
f. Konsep
Penerima
Dalam perjanjian pengangkutan,
penerima mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang
berkepentingan. Kenyataannya, penerima adalah pengirim yang dapat diketahui
dari dokumen pengangkutan. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditentukan
kriteria penerima menurut perjanjian, yaitu:
a)
perusahaan
atau perseorangan yang memperoleh hak dari pengirim;
b)
dibuktikan
dengan penguasaan dokumen pengangkutan;
c)
membayar
atau tanpa membayar biaya pengangkutan.
5. Objek Pengangkutan Niaga
Penelitian pelaksanaan pengangkutan
merupakan penelitian hukum empiris tentang pengangkutan. Secara keilmuan,
setiap pengembangan hukum pengangkutan selalu meliputi dua objek penelitian
yang dibahas, yaitu:
a)
Rumusan
ketentuan UU dan/atau perjanjian pengangkutan: menggambarkan proses
pengangkutan, meliputi konsep dan teori menjadi dasar pemikiran untuk
memecahkan masalah pengangkutan sebagai upaya untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki.
b)
Pelaksanaan
pengangkutan: kesatuan rangkaian perbuatan pada umumnya terdiri atas perbuatan
pihak-pihak tentang realisasi ketentuan undang-undang dan/atau perjanjian
pengangkutan. Hal ini disebut studi hukum empiris tentang pengangkutan disebut
juga hukum pengangkutan terapan.
BAB III
PENUTUP
-Kesimpulan:
1.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut
dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutanbarang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat
tertentu dgn selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri dengan membayar uang
angkutan.
2.
Pada dasarnya
pengangkutan mempunyai dua nilai kegunaan, yaitu : Kegunaan Tempat (Place
Utility) dan Kegunaan Waktu (Time
Utility).
3.
Ada tiga ruang lingkup dalam hukum pengangkutan yaitu: angkutan darat,
angkutan udara, dan angkutan laut.
4.
Subjek
hukum pengangkutan adalah pendukung kewajiban dan hak dalam hubungan hukum
pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses
perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan.
5.
Kriteria
penumpang menurut Undang-Undang Pengangkutan Indonesia, yaitu:
a)
Orang
yang berstatus pihak dalam perjanjian;
b)
Pihak
tersebut adalah penumpang yang wajib membayar biaya pengangkutan;
c)
Pembayaran
biaya pengangkutan dibuktikan oleh karcis yang dikuasai oleh penumpang.
6.
Sifat hukum
perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu:
o
Perjanjian Timbal balik;
o
Perjanjian Pelayanan berkala;
o
Perjanjian Pemberian Kuasa;
o
Perjanjian Pemborongan;
o Perjanjian
Campuran.
7.
Pengangkut
dapat dikelompokkan dalam empat jenis, yaitu:
a. Perusahaan pengangkutan kereta api;
b. Perusahaan pengangkutan darat;
c. Perusahaan pengangkutan perairan;
d. Perusahaan pengangkutan udara.
-Saran-Saran:
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
-Sumber dari internet:
a. http://argawahyu.blogspot.com/2011/06/hukum-pengangkutan. (akses 10 November 2012 pukul 19.40 WIB).
b. http://stp.kkp.go.id/elearning/file.php/1/Peraturan_Kelautan_Perikanan/PP_17_Tahun_198
8.pdf (akses 11 November 2012 pukul 19.19 WIB).
c. http://kuliahade.wordpress.com/2009/10/27/pengangkutan-laut. (akses 11 November 2012 pukul 19.36 WIB).
d. Benedictussinggih.blogspot.com/.../makalah-pengangkutan-darat.html.
(akses 12 November 2012 pukul 20.00 WIB).
-Sumber dari Buku:
a. Sri Rejeki Hartono, SH, 1980. Pengangkutan dan Hukum Pengangkutan Darat.
Penerbit: UNDIP.
b.
Suherman, E. 1983. Hukum Udara Indonesia dan Internasional.
Bandung: Penerbit Alumni.
c. Abdul Kadir Muhammad,
2008, Hukum Pengangkutan Niaga.
Bandung: PT. Citra Aditya Abakti.
[1] http://argawahyu.blogspot.com/2011/06/hukum-pengangkutan.
(akses 10 November 2012 pukul 19.40 WIB).
[4] Lihat pasal 6 UU No. 17 tahun 2008
tentang Pelayaran.
[5]http://stp.kkp.go.id/elearning/file.php/1/Peraturan_Kelautan_Perikanan/PP_17_Tahun_1988.pdf
(akses 11 November 2012 pukul 19.19 WIB)
[6] http://kuliahade.wordpress.com/2009/10/27/pengangkutan-laut.
(akses 11 November 2012 pukul 19.36 WIB).
[7] Lihat Pasal 1 angka
3 PP No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan di perairan.
[8]
Lihat Pasal 5 ayat 1 PP No. 2 tahun
1969 tentang Penyelenggaraan Dan Pengusahaan Angkutan Laut.
[9]
Lihat Pasal 1 angka 4 PP No 20
tahun 2010 tentang Angkutan di perairan.
[10] Lihat pasal 470 ayat 1 KUHD.
[11] Benedictussinggih.blogspot.com/.../makalah-pengangkutan-darat.html.
(akses 12 November 2012 pukul 20.00 WIB).
[12]
Abdul Kadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: PT.
Citra Aditya Abakti. Hlm 59.
[13]
Ibid 59.
[14]
Lihat pasal 341 KUHD.
Thx, artikel yang bagus... untuk download draf perjanjian pengangkutan barang dalam format word (.doc), silahkan kunjungi:
BalasHapushttp://www.legalakses.com/download-draf-perjanjian-jasa-pengangkutan-barang/