Minggu, 29 Juli 2012

BAGAIMANA AKU HARUS MEMBERI TAHUMU


Alkisah ada seorang nabi yang bersahabat dengan malaikat maut. Pada suatu hari Nabi Allah ini berkata kepada malaikat maut, "Wahai malaikat maut, bila tiba waktunya engkau mencabut nyawaku, maukah engkau memberitahu aku jauh-jauh hari sebelumnya ?".
"Karena engkau nabi Allah, aku akan turuti permintaanmu itu!" jawab malaikat maut singkat.

       Singkat cerita, setelah beberapa lama kemudian datanglah malaikat maut menjumpai sang nabi yang saat itu sedang lesehan melepaskan lelah, "Wahai nabi Allah, sekaranglah saatnya aku ditugaskan Allah untuk menjemputmu!"
"Hai malaikat maut, lupakah engkau akan kesepakatan kita ? lupakah engkau akan janjimu ? Bukankah engkau telah berjanji akan memberitahu aku terlebih dahulu sebelum saat ini tiba, mengapa engkau ingkar janji?" tanya Nabi dengan penuh keheranan "Sebenarnya aku tidak pernah ingkar janji, aku juga tidak lupa akan kesepakatan kita, hanya engkau saja yang tidak menyadari."
"Maksudmu engkau telah memberitahu aku sebelumnya ?"
"Benar wahai Nabi Allah, bahkan aku berkali-kali memberitahu dan memperingatkanmu."
"Kapan itu kau lakukan ?" tanya Nabi penuh keheranan

       "Wahai Nabi Allah, bukankah sebulan yang lalu kau ikut memikul jenazah si fulan ? tidak sadarkah engkau bahwa saat itu akulah yang datang ? bukankah seminggu yang lalu kau ikut memandikan mayat si Polan ? tidak tahukah engkau bahwa saat itu akulah yang mengunjungi ? bukankah kemarin engkau ikut menshalatkan jenazah si anu ? lupakah engkau bahwa saat itu akulah yang bertamu ? bukankah tadi pagi engkau ikut menguburkan si Polin ? masih belum tahu dan belum sadarkah engkau bahwa saat itu akulah yang menjemputnya? Kalau semua itu belum cukup lalu dengan cara bagaimana lagi aku harus memberitahumu ?" jawab malaikat tidak kalah herannya.

BANDING PERKARA PERDATA

A. PERATURAN TENTANG BANDING
1. Konsep Banding
Banding adalah pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap putusan pengadilan negeri, atas permohonan pihak yang berkepentingan. Pada kenyataannya, pihak yang berkepentingan tersebut selalu berada pada pihak yang kalah perkara dalam putusan pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama. Pihak yang kalah itu mungkin pihak penggugat atau mungkin juga pihak tergugat.
Pemeriksaan ulang adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap  perkara perdata yang sudah diputus oleh pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama. Pemeriksaan ulang itu dilakukan sejak awal perkara sampai putusan akhir pengadilan negeri. Pemeriksaan tersebut meliputi, baik dari segi fakta yang terjadi maupun dari segi hukumnya. Dasar pemeriksaan ulang oleh pengadilan tinggi adalah alasan-alasan faktual dan yuridis yang dimohonkan pihak pembanding dalam memori banding.
Pemeriksaan perkara banding oleh pengadilan tinggi pada dasarnya dilakukan terhadap berkas dokumen-dokumen peradilan tingkat pertama (pengadilan negeri). Akan tetapi, apabila pengadilan tinggi memandang perlu, dia berkuasa memanggil pihak-pihak yang berperkara untuk didengar alasan-alasannya. Untuk kepentingan praktis, biasanya dimintakan bantuan dari pengadilan negeri yang memutus perkara untuk memeriksa hal-hal yang diperintahkan oleh pengadilan tinggi untuk melengkapi berkas-berkas yang sudah ada.

2. Hukum Acara Banding
Peraturan undang-undang mana yang menjadi dasar kewenangan pengadilan tinggi melakukan pemeriksaan tingkat banding perkara perdata yang dimohonkan oleh pihak yang berkepentingan? Peraturan undang-undang mana yang menjadi hukum acara perdata di tingkat banding oleh pengadilan tinggi?
Untuk mengetahui dasar hukum kewenangan pengadilan tinggi melakukan pemeriksaan tingkat banding, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan:
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.” (Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Ketentuan Undang-Undang tersebut memberikan pengecualian, “kecuali undang-undang menentukan lain”. Apa yang dimaksud dengan pengecualiaan itu? Pengecualiaan yang dimaksud ditujukan pada perkara perdata yang tidak perlu dimintakan banding, tetapi langsung kasasi ke Mahkamah Agung, misalnya, putusan pengadilan niaga dalam perkara hak kekayaan intelektual dan perkara kepailitan.
Untuk mengetahui hukum acara perdata di tingkat banding perlu dibaca ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951. Menurut ketentuan Undang-Undang tersebut bahwa:
Peraturan hukum acara untuk pemeriksaan ulang atau banding pada Pengadilan Tinggi adalah peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku bagi Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu”. (Pasal 3 Undang-Undang Nomor1 Tahun1951).
Peraturan undang-undang yang mana yang dimaksud dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu adalah:
a.       Untuk pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di Jawa dan Madura adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.
b.      Untuk pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di luar Jawa dan Madura adalah Rechtsreglement voor  de Buitengewesten (RBg.).

Undang-Undang Nomor 20 Tahun1947 sebenernya mengambil alih ketentuan tentang pemeriksaan  ulang atau banding yang terdapat dalam HIR dengan sekedar perubahan dan tambahan. Ketentuan dalam HIR pada dasarnya juga tidak berbeda dengan ketentuan tentang banding dalam RBg. Jadi, walaupun formalnya ada dua jenis peraturan undang-undang yang berlaku mengenai pemeriksaan ulang atau banding, secara materiil mempunyai kesamaan dan keseragaman. Singkatnya, hukum acara banding perkara perdata pada pengadilan tinggi di seluruh wilayah Indonesia mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Acara Banding.






B. SYARAT DAN PROSEDUR BANDING
1. Syarat Banding
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh pengadilan negeri adalah apabila besar nilai gugatan perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp 100,00. Dengan demikian, jika nilai gugatan Rp 100,00 atau kurang, putusan pengadilan negeri tidak dapat dimintakan banding. Pada waktu sekarang, tidak ada perkara yang nilainya sekecil itu sehingga praktis semua perkara perdata yang diputus oleh pengadilan negeri dapat diminta banding.
Dalam pembentukan hukum acara perdata nasional yang akan datang perlu dipikirkan pembatasan nilai perkara yang diperkenankan banding. Jika semua putusan pengadilan negeri dapat diminta banding, padahal nilainya tidak sepadan, tentu membuat proses menjadi lama dan makan biaya lebih mahal, malahan bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan murah.

2. Prosedur Banding
Jika putusan pengadilan negeri diminta banding, permohonan banding disampaikan kepada panitera pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan, baik secara lisan maupun secara tulisan dalam tenggang waktu empat belas hari terhitung mulai hari berikutnya dari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.
Tenggang waktu tersebut dijadikan tiga puluh hari jika pemohon banding berdiam diluar daerah hukum tempat pengadilan itu bersidang, untuk jawa dan madura. Sedangkan untuk luar jawa dan madura tenggang waktu tersebut dijadikan enam minggu. Perkara banding harus harus disertai pembayaran persekot ongkos perkara banding yang jumlahnya ditaksir oleh panitera pengadilan negeri tersebut. Apabila tenggang waktu yang telah ditentukan itu sudah lampau, demikian juga biaya perkara tidak disetor, permohonan banding tidak dapat diterima.
Permohonan banding dapat diterima kemudian dicatat oleh panitera pengadilan negeri dalam daftar yang disediakan untuk itu. Sesudah itu, panitera menyampaikan pemberitahuan permohonan banding kepada pihak lawannya. Pada waktu menyampaikan pemberitahuan permohonan banding dilampirkan juga salinan surat memori banding.   



C. PEMERIKSAAN PADA TINGKAT BANDING
1. Pemeriksaan Berkas Perkara
Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan dengan memeriksa berkas perkara pemeriksaan pengadilan negeri dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara tersebut. Jika dipandang perlu, majelis hakim banding dapat mendengar sendiri kedua belah pihak yang berperkara dan saksi-saksi guna melengkapi bahan-bahan yang diperlukan. Dalam praktiknya, majelis hakim dapat memerintahkan kepada pengadilan negeri yang memutus perkara guna melengkapi bahan-bahan yang diperlukan dengan memanggil dan mendengarkan keterangan pihak-pihak dan saksi-saksi.
Prosedurnya sama dengan prosedur biasa, hanya saja pendaftaranya tidak dilakukan dalam register pengadilan negeri, tetapi dalam register pengadilan tinggi. Kemudian berkas perkara hasil pemeriksaan tambahan yang telah ditanda tangani oleh ketua dan panitera dikirimkan kepada ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan.
Pemeriksaan pada tingkat banding adalah pemeriksaan ulang terhadap perkara yang telah diperiksa dan diputus pengadilan negeri. Dalam pemeriksaan banding, majelis hakim banding mempertimbangkan dalil-dalil yang yang dikemukakan oleh pemohon banding dalam memori bandingnya, apabila didalamnya tidak terdapat hal-hal yang baru, majelis hakim banding mengesampingkan memori tersebut dengan alasan tidak ada hal-hal baru. Dengan pemeriksaan ulang dapat dikoreksi apakah putusan yang diberikan sudah tepat, kurang tepat, atau ada kesalahan, meliputi semua fakta hukumnya. Atas dasar ini pemeriksaan ulang atau banding dikatakan pemeriksaan pada tingkat kedua dan tertinggi.

2. Pemeriksaan Banding oleh Majelis Hakim
Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan tiga orang hakim sebagai majelis hakim, seorang sebagai hakim ketua dan dua orang sebagai anggota, serta di bantu seorang panitera. Ketentuan Undang-undang kekuasaan kehakiman tersebut sudah  sesuai dengan kondisi sekarang bahwa semua pengadilan memutus peradilan tingkat baru. Alasannya di setiap kabupaten/kota dan provinsi dibentuk pengadilan negeri dan pengadilan tinggi atas perintah undang-undang.
Latar belakang dikeluarkanya Undang-undang darurat Nomor 11 tahun 1955 mengenai keharusan penggadilan banding memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim akan menimbulkan akibat banyaknya tunggakan perkara pada perkara tingkat banding karena belum cukupnya tenaga hakim pada pengadilan tinggi.
Oleh karena itu, ketua pengadilan tinggi hendaknya diberi kuasa dan juga diwajibkan untuk memisah-misahkan perkara banding dan menentukan perkara-perkara mana yang dapat diputus oleh seorang hakim saja dan mana pula yang tidak, ketentuan pemeriksaan perkara oleh seorang hakim saja sebenarnya merupakan tindakan darurat yang secara berangsur-angsur harus disesuaikan oleh perintah pasal 15 undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang keharusan memeriksa dan memutus sekurang-kurangnya dengan tiga orang hakim. Sekarang di setiap provinsi dibentuk pengadilan tinggi dengan tenaga hakim tinggi yang cukup dan makin bertambah.

D.PUTUSAN PENGADILAN BANDING
Setelah pemeriksaan perkara selesai dilakukan, majelis hakim banding segera menjatuhkan putusannya. Putusan pada tingkat banding dapat berupa :
1.Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
Putusan menguatkan artinya apa yang telah di periksa dan diputus oleh pengadilan negeri dianggap benar dan tepat menurut asas keadilan .
2. Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri
Putusan memperbaiki artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dipandang kurang tepat menurut rasa keadilan. Oleh karena itu perlu diperbaiki.
3. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri
Putusan membatalkan artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dipandang tidak benar dan tidak adil. Oleh karena itu, harus dibatalkan. Dalam hal ini, pengadilan tinggi atau banding memberikan putusan sendiri.
Apabila pengadilan negeri memutuskan tidak berwenang memeriksa perkara, kemudian oleh yang bersangkutan dimintakan banding dan pengadilan tinggi berpendapat lain, artinya pengadilan negri berwenang memeriksa perkara, maka pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk memeriksa dan memutuskan perkara. Demikian pula jika putusan pengadilan negeri kurang memperhatikan keterangan mengenai peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak dan syarat-syarat yang diharuskan oleh undang-undang yang berlaku, pengadilan tinggi membatalkan putusan itu dan memerintahkan supaya pengadilan negeri memeriksa kembali, atau pengadilan tinggi membatalkan putusan itu dan memrintahkan supaya pengadilan negeri memeriksa kembali, atau pengadilan tinggi akan memeriksa sendiri perkara itu dan memberikan putusan sendiri.
Setelah pengadilan tinggi memberikan putusannya, salinan resmi putusan dan berkas perkaranya dikirimkan kembali kepada pengadilan negeri yang bersangkutan. Setelah putusan itu diterima pengadilan negeri, ketua memerintahkan supaya supaya memberitahukan isi putusan itu diterima pengadilan tinggi kepada dua belah pihak dengan memperingatkan hak mereka untuk mengajukan permohonan kasasi kepada mahkamah agung, atas dasar perintah ketua pengadilan negeri, panitera memerintahkan juru sita untuk memberitahukan isi putusan banding dengan surat pemberitahuan.
Dalam undang-undang tidak diatur secara tegas batas waktu pemeberitahuan isi putusan banding kepada pihak-pihak. Hanya ditentukan segera setelah menerima surat putusan pengadilan tinggi, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan segera memerintahkan agar isi putusan banding diberitahukan kepada pihak-pihak. Dengan pemberitahuan itu mungkin pihak-pihak akan menggunakan haknya untuk memohon kasasi atau kalau tidak memohon kasasi, putusan banding segera dilaksanakan. Bagi pihak yang menang perkara segera akan mendapatkan haknya yang telah di tetapkan dalm putusan pengadilan tinggi.
Apabila dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan undang-undang untuk permohonan kasasi, permohonan kasasi tidak diajukan, maka putusan banding memperoleh kekuatan untuk dilaksanakan.


Minggu, 22 Juli 2012

Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan


Pemerintahan Daerah Dalam Negara Kesatuan Beserta Contohnya
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia, dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Otonomi daerah di dalam negara kesatuan sering menggunakan sistem desentralisasi, dimana dalam sistem ini daerah-daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (Otonomi Daerah). Contoh, RI dengan daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, Desa/Kelurahan[1]. Otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga dearah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada negara federasi. Di negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas daripada di negara yang berbentuk federasi.
Kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti :
1. Hubungan Luar Negeri;
2. Pengadilan ;
3. Moneter dan keuangan;
4. Pertahanan dan Keamanan.
           




2. Masalah-masalah yang Timbul dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah satu kebijakan yang dibuat untuk mengurangi tugas-tugas dari pemerintah pusat, agar semua daerah dapat merasakan dan mencoba menyelesaikan persoalan dalam rumah tangganya sendiri. Akan tetapi, di dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam negara kesatuan (Indonesia) masih terdapat banyak masalah-masalah lainnya. Masalah-masalah tersebut adalah[2]:
a.       Adanya eksploitasi pendapatan daerah;
  1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap;
  2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai;
  3. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah;
  4. Korupsi di Daerah;
  5. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah.

3. Penerapan Sistem Pemerintahan Daerah di negara kesatuan (Indonesia)
Di Indonesia sistem rumah tangga daerahnya adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah[3].
Apabila otonomi daerah diartikan sebagai segala tugas yanga ada pada daerah, maka di dalamnya melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht; bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. Masalahnya kewenangan mana yang diatur oleh pemerintah pusat dan kewenangan mana yang diatur oleh pemerintah daerah. Sehubungan dengan itu secara teoritik dan praktik dijumpai lima jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga yaitu :
  1. Otonomi organik (rumah tangga organik);
  2. Otonomi formal (rumah tangga formal);
  3. Otonomi material (rumah tangga material/substantif);
  4. Otonomi riil (rumah tangga riil);
  5. Otonomi nyata, bertanggung jawab, dan dinamis[4].
Sebenarnya tujuan otonomi daerah itu sendiri adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya[5]. Pemerintah hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Desentralisasi diperlukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai wahana pendidikan politik di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional. Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah.
Secara etimologis[6] istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de”= lepas dan “centerum”= pusat. Jadi, berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos=sendiri; nomos=Undang-Undang) dan berarti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving).
Desentralisasi dikenal memiliki konsep yang bermacam-macam, yaitu desentralisasi politik, fungsional dan kebudayaan[7]. Lalu ada juga yang membagi desentralisasi ke dalam dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan. Desentralisasi ketatanegaraan dibagi dua menjadi desentralisasi territorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial dikenal dalam dua bentuk, yaitu: “Otonomi” dan “Medebewind atau zelfbestuur”[8].
Desentralisasi dalam pelaksanaanya mempunyai beberapa elemen utama. Elemen-elemen ini sangat mendukung berlangsungnya desentralisasi yang benar, sekaligus menjadi dasar hukum terlaksananya otonomi daerah. Elemen utama dari desentralisasi tersebut adalah[9]:
1.      Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta tanggung jawab politik dan administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur yang terdesentralisasi.
2.      Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dasar hukum bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang pembagian sumber-sumber pendapatan dan transfer antar pemerintah.
Ada beberapa hal yang menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menjadi tidak optimal, yaitu sebagai berikut:
1.      Lemahnya pengawasan maupun check and balances. Kondisi inilah kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan ketidak seimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi daerah
2.      Masih banyak pemahaman yang keliru terhadap otonomi daerah, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
3.      Sumber daya yang terbatas, ditambah lagi dengan tuntutan kebutuhan dana pembangunan yang cukup besar. Sehingga pemda menempuh pilihan yang membebani masyarakat daerah yang dipimpinnya. Contohnya, dengan meningkatkan objek pajak dan retribusi[10].
4.      Adanya kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, malah disalah artikan. Bahkan masyarakat mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara yang tidak benar, sehingga menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan.
5.      Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya.
6.      Kurangnya pembangunan sumber daya manusia/Sumber Daya Manusia (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan. Sumber Daya Manusia berkualitas ini merupakan kunci penentu dalam keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.

4. Contoh Penerapan Sistem Pemerintahan Daerah
Daerah yang dapat menjadi contoh dari sistem pemerintahan daerah di negara Kesatuan (Indonesia) adalah Kota Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung merupakan ibukota dari provinsi Lampung, Indonesia. Kota ini memiliki luas 207,50 km² dengan populasi penduduk sebanyak 912.087 jiwa (2008); kepadatan penduduk 4.597 jiwa/km² dan tingkat pertumbuhan penduduk 3,79 % per tahun[11]. Kota Bandar Lampung merupakan ibukota Provinsi Lampung.
Oleh karena itu Kota Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan kebudayaan, serta merupakan pusat kegiatan perekonomian dari Provinsi Lampung. Provinsi Lampung merupakan sebuah daerah keresidenan (sebelum tanggal 18 Maret 1964), dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964, Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Provinsi Lampung dengan ibukotanya Tanjung Karang-Teluk Betung. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1983 Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjung Karang-Teluk Betung diganti menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung terhitung sejak tanggal 17 Juni 1983, dan tahun 1999 berubah menjadi Kota Bandar Lampung.
Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1982[12] tentang perubahan wilayah, maka Kota Bandar Lampung diperluas dengan pemekaran dari 4 kecamatan 30 kelurahan menjadi 9 kecamatan 58 kelurahan. Kemudian berdasarkan SK. Gubernur No. G/185.B.111/Hk/1988 tanggal 6 Juli 1988 serta surat persetujuan MENDAGRI nomor 140/1799/PUOD tanggal 19 Mei 1987 tentang pemekaran kelurahan di Wilayah Kota Bandar Lampung, maka Kota Bandar Lampung terdiri dari 9 kecamatan dan 84 kelrahan. Pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 04[13], Kota Bandar Lampung menjadi 13 kecamatan dengan 98 kelurahan. Sejak berdirinya Kota Bandar Lampung upaya peningkatan potensi-potensi yang ada terus dilakukan dengan upaya peningkatan pembangunan daerah yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang lebih terpadu dan terarah agar sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.
Perkembangan kota Bandar Lampung semakin meningkat, hal ini ditunjukkan daari banyaknya perusahaan dan kawasan industri yang terus bertambah. Pembangunan ini tentunya digerakkan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat, sebagian dilakukan dalam rangka deregulasi dan debirokratisasi sebagai terobosan terhadap tatanan yang ada untuk mempercepat tercapainya pertumbuhan dan pemerataan pembangunan serta persiapan menghadapi era globalisasi.



-Sumber-sumber dari Internet:
1.      ampundeh.wordpress.com (akses 22 Juli pukul 08.30 WIB).
2.      http://www.sinarharapan.co.id (akses 22 Juli 2012 pukul 09.04 WIB)
3.      http://www.ditjen-otda.go.id (akses 22 Juli 2012 pukul 09.06 WIB)
4.      raja1987.blogspot.com (akses 22 Juli 2012 pukul 09.15 WIB).
5.      http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandar_Lampung (akses 22 Juli 2012 pukul 09.18 WIB).
6.      http://www.maswins.com/2010/05/sejarah-kota-bandar-lampung.html (akses 22 Juli 2012 pukul 10.00 WIB).

-Sumber-sumber dari buku:
1.      Neta, Yulia. 2009. Ilmu Negara. Bandar Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung.
2.      Huda, Ni’Matul. 2010. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
3.      Manan, Bagir. 1989. Susunan Pemerintahan. Bandung: Fakultas Hukum Unpad.
4.      Sarundajang, SH. 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.
5.      Koesoemahatmadja, RDH. 1979. Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
6.      Muslimin, Amrah. 1982. Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung: Alumni.



[1]Yulia Netta, S.H., M.H., Ilmu Negara, Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung, 2009,hlm 107.
[2] Dikutip dari ampundeh.wordpress.com (akses 22 Juli pukul 08.30 WIB).
[3] Bagir Manan, Susunan Pemerintahan, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 1989, hlm 26.
[4] SH. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 1999, hlm 38.
[5] Dikutip dari: http://www.sinarharapan.co.id (akses 22 Juli 2012 pukul 09.04 WIB)
[6]RDH. Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Bina cipta, Bandung,1979, hlm 14.
[7] Amrah muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1982, hlm 5.
[8] Ibid hlm.14-15                                                                         
[9] Dikutip dari: http://www.ditjen-otda.go.id (akses 22 Juli 2012 pukul 09.06 WIB)
[10] Dikutip dari: raja1987.blogspot.com (akses 22 Juli 2012 pukul 09.15 WIB).
[11] Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandar_Lampung (akses 22 Juli 2012 pukul 09.18 WIB).
[12] Dikutip dari: http://www.maswins.com/2010/05/sejarah-kota-bandar-lampung.html (akses 22 Juli 2012 pukul 10.00 WIB).