Pemerintahan Daerah Dalam Negara Kesatuan Beserta Contohnya
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi
Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan
aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, dengan
adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan
sumber-sumber daya (dana, manusia, dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan
untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang
merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan
oleh pemerintah.
Otonomi daerah di dalam negara kesatuan sering
menggunakan sistem desentralisasi, dimana dalam
sistem ini daerah-daerah
diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri
(Otonomi Daerah). Contoh, RI dengan daerah Provinsi, Kabupaten/Kota,
Desa/Kelurahan[1]. Otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga dearah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada negara federasi.
Di negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas daripada di negara yang
berbentuk federasi.
Kewenangan mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan
kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti :
1. Hubungan Luar Negeri;
2. Pengadilan ;
3. Moneter dan keuangan;
4. Pertahanan dan Keamanan.
2. Masalah-masalah yang Timbul
dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah
adalah satu kebijakan yang dibuat untuk mengurangi tugas-tugas dari pemerintah
pusat, agar semua daerah dapat merasakan dan mencoba menyelesaikan persoalan
dalam rumah tangganya sendiri. Akan tetapi, di dalam pelaksanaan otonomi daerah
dalam negara kesatuan (Indonesia) masih terdapat banyak masalah-masalah
lainnya. Masalah-masalah tersebut adalah[2]:
a.
Adanya eksploitasi pendapatan daerah;
- Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap;
- Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai;
- Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan
otonomi daerah;
- Korupsi di Daerah;
- Adanya potensi munculnya konflik antar
daerah.
3. Penerapan Sistem Pemerintahan
Daerah di negara kesatuan (Indonesia)
Di Indonesia sistem rumah tangga daerahnya adalah tatanan yang
bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan
pembagian tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan
pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang dibiarkan
sebagai urusan rumah tangga daerah[3].
Apabila otonomi daerah diartikan sebagai segala
tugas yanga ada pada daerah, maka di dalamnya melekat kewenangan yang
meliputi kekuasaan (macht;
bevoegdheiden), hak (recht) atau
kewajiban (plicht) yang diberikan
kepada daerah dalam menjalankan tugasnya.
Masalahnya
kewenangan mana yang diatur oleh pemerintah pusat dan kewenangan mana yang
diatur oleh pemerintah daerah. Sehubungan dengan itu
secara teoritik dan praktik dijumpai lima
jenis sistem
otonomi atau sistem rumah tangga yaitu :
- Otonomi organik (rumah tangga organik);
- Otonomi formal (rumah tangga
formal);
- Otonomi material (rumah
tangga material/substantif);
- Otonomi riil (rumah tangga riil);
- Otonomi nyata, bertanggung jawab,
dan dinamis[4].
Sebenarnya
tujuan otonomi daerah itu sendiri adalah membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga
pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami dan merespon berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya[5]. Pemerintah
hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat
strategis. Desentralisasi diperlukan dalam
rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagai wahana pendidikan politik di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara
kesatuan atau integrasi nasional. Untuk mewujudkan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah.
Secara etimologis[6]
istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de”= lepas dan “centerum”= pusat. Jadi, berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah
melepaskan dari pusat. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos=sendiri;
nomos=Undang-Undang) dan berarti
“perundangan sendiri” (zelfwetgeving).
Desentralisasi dikenal memiliki
konsep yang bermacam-macam, yaitu desentralisasi politik, fungsional dan kebudayaan[7]. Lalu ada juga yang membagi desentralisasi ke dalam dekonsentrasi dan
desentralisasi ketatanegaraan. Desentralisasi ketatanegaraan dibagi dua menjadi desentralisasi territorial
dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial dikenal dalam dua bentuk, yaitu: “Otonomi” dan “Medebewind
atau zelfbestuur”[8].
Desentralisasi
dalam pelaksanaanya mempunyai beberapa elemen utama. Elemen-elemen ini sangat
mendukung berlangsungnya desentralisasi yang benar, sekaligus menjadi dasar
hukum terlaksananya otonomi daerah. Elemen utama dari desentralisasi tersebut
adalah[9]:
1. Undang-undang
No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta tanggung jawab politik dan
administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur
yang terdesentralisasi.
2. Undang-undang
No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
dasar hukum bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang
pembagian sumber-sumber pendapatan dan transfer antar pemerintah.
Ada beberapa hal
yang menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menjadi tidak optimal,
yaitu sebagai berikut:
1.
Lemahnya pengawasan maupun check and balances. Kondisi inilah kemudian menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan dan ketidak seimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah
2.
Masih banyak pemahaman yang keliru terhadap
otonomi daerah, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan
pelaksanaan otonomi daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang
aman, damai dan sejahtera.
3.
Sumber daya yang terbatas, ditambah lagi dengan
tuntutan kebutuhan dana pembangunan yang cukup besar. Sehingga pemda menempuh
pilihan yang membebani masyarakat daerah yang dipimpinnya. Contohnya, dengan
meningkatkan objek pajak dan retribusi[10].
4.
Adanya kesempatan seluas-luasnya yang diberikan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, malah disalah
artikan. Bahkan masyarakat mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara yang
tidak benar, sehingga menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan.
5.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya
berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi
Daerah tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya.
6. Kurangnya
pembangunan sumber daya manusia/Sumber Daya Manusia (moral, spiritual
intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan. Sumber Daya
Manusia berkualitas ini merupakan kunci penentu dalam keberhasilan pelaksanaan
Otonomi Daerah.
4. Contoh Penerapan Sistem Pemerintahan Daerah
Daerah yang dapat menjadi contoh dari sistem pemerintahan
daerah di negara Kesatuan (Indonesia) adalah Kota Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung merupakan ibukota dari provinsi
Lampung, Indonesia. Kota ini memiliki luas 207,50 km² dengan populasi penduduk
sebanyak 912.087 jiwa (2008); kepadatan penduduk 4.597 jiwa/km² dan tingkat pertumbuhan
penduduk 3,79 % per tahun[11]. Kota Bandar Lampung merupakan
ibukota Provinsi Lampung.
Oleh karena itu Kota Bandar
Lampung merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan
kebudayaan, serta merupakan pusat kegiatan perekonomian dari Provinsi Lampung. Provinsi
Lampung merupakan sebuah daerah keresidenan (sebelum tanggal 18 Maret 1964), dengan
ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1964 yang kemudian menjadi Undang-undang
Nomor 14 tahun 1964, Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Provinsi Lampung
dengan ibukotanya Tanjung Karang-Teluk Betung. Selanjutnya berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1983 Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjung Karang-Teluk
Betung diganti menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung terhitung
sejak tanggal 17 Juni 1983, dan tahun 1999 berubah menjadi Kota Bandar Lampung.
Berdasarkan Undang-undang No.
5 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1982[12] tentang perubahan wilayah,
maka Kota Bandar Lampung diperluas dengan pemekaran dari 4 kecamatan 30
kelurahan menjadi 9 kecamatan 58 kelurahan. Kemudian berdasarkan SK. Gubernur
No. G/185.B.111/Hk/1988 tanggal 6 Juli 1988 serta surat persetujuan MENDAGRI
nomor 140/1799/PUOD tanggal 19 Mei 1987 tentang pemekaran kelurahan di Wilayah
Kota Bandar Lampung, maka Kota Bandar Lampung terdiri dari 9 kecamatan dan 84
kelrahan. Pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No.
04[13], Kota Bandar Lampung menjadi
13 kecamatan dengan 98 kelurahan. Sejak berdirinya Kota Bandar Lampung upaya peningkatan
potensi-potensi yang ada terus dilakukan dengan upaya peningkatan pembangunan
daerah yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
pembangunan yang lebih terpadu dan terarah agar sumber daya yang ada dapat
dimanfaatkan secara efektif dan efisien.
Perkembangan kota Bandar
Lampung semakin meningkat, hal ini ditunjukkan daari banyaknya perusahaan dan
kawasan industri yang terus bertambah. Pembangunan ini tentunya digerakkan oleh
pemerintah, swasta dan masyarakat, sebagian dilakukan dalam rangka deregulasi dan debirokratisasi sebagai terobosan terhadap tatanan yang ada untuk
mempercepat tercapainya pertumbuhan dan pemerataan pembangunan serta persiapan
menghadapi era globalisasi.
-Sumber-sumber dari Internet:
1.
ampundeh.wordpress.com (akses 22 Juli pukul 08.30 WIB).
4. raja1987.blogspot.com
(akses 22 Juli 2012 pukul 09.15 WIB).
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandar_Lampung
(akses 22 Juli 2012 pukul 09.18 WIB).
6. http://www.maswins.com/2010/05/sejarah-kota-bandar-lampung.html
(akses 22 Juli 2012 pukul 10.00 WIB).
7. http://www.lampungpost.com/index.php/apresiasi/12912-sejarah-kekuasaan-di-lampung.html
(akses 22 Juli 2012 pukul 10.01 WIB).
-Sumber-sumber
dari buku:
1. Neta,
Yulia. 2009. Ilmu Negara. Bandar
Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung.
2. Huda,
Ni’Matul. 2010. Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
3. Manan,
Bagir. 1989. Susunan Pemerintahan.
Bandung: Fakultas Hukum Unpad.
4.
Sarundajang, SH. 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.
5. Koesoemahatmadja,
RDH. 1979. Pengantar ke Arah Sistem
Pemerintahan Daerah di Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
6. Muslimin,
Amrah. 1982. Aspek-Aspek Hukum Otonomi
Daerah. Bandung: Alumni.
[1]Yulia Netta, S.H., M.H., Ilmu
Negara, Lembaga Penelitian
Universitas Lampung. Bandar Lampung, 2009,hlm 107.
[4] SH. Sarundajang, Arus
Balik Kekuasaan Pusat
ke Daerah. Kata
Hasta
Pustaka, Jakarta, 1999, hlm 38.
[6]RDH. Koesoemahatmadja, Pengantar
ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Bina cipta, Bandung,1979, hlm 14.
[8] Ibid hlm.14-15
[10] Dikutip dari: raja1987.blogspot.com (akses 22 Juli 2012
pukul 09.15 WIB).
[11] Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandar_Lampung (akses 22 Juli 2012 pukul 09.18 WIB).
[12] Dikutip dari: http://www.maswins.com/2010/05/sejarah-kota-bandar-lampung.html (akses 22 Juli 2012 pukul 10.00 WIB).
[13] Dikutip dari: http://www.lampungpost.com/index.php/apresiasi/12912-sejarah-kekuasaan-di-lampung.html (akses 22 Juli 2012 pukul 10.01 WIB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar