Ilmu Budaya Dasar
1. MANUSIA
DAN KEADILAN
Kriteria
keadilan sangat beragam. Tidak ada satu pun kriteria baku yang sifatnya universal yang
dapat menjelaskan konsep keadilan. Bagi kaum Sophis yang oportunis keadilan
sangat subjektif. Bagi Socrates, Plato, dan Aristoteles keadilan mengacu kepada
kepentingan orang banyak. Sedangkan bagi Aquinas yang berpandangan finalistik,
keadilan adalah pemberian hak kepada setiap orang sesuai dengan kewajibannya.
Akan halnya
Machiavelli yang berpandangan naturalistik, maka keadilan akan terwujud apabila
keinginan-keinginan pribadi juga terwujud dan untuk mewujudkannya diperlukan
kekuasaan karena dengan kekuasaan, ambisi pribadi akan tercapai. Sedangkan
bagi Hobes yang materialistis, yang mengukur segala sesuatu dengan materi,
keadilan akan tercipta apabila ada aturan yang mengatur perilaku manusia karena
tanpa aturan yang dibuat manusia akan saling membinasakan. Dari
pandangan di atas, ada benang merah yang dapat ditarik bahwa pada hakikatnya
keadilan selalu mengacu kepada (adanya keseimbangan antara) hak dan kewajiban.
Meskipun
tidak secara gamblang dinyatakan mengenai kewajiban-kewajiban itu tetapi
apabila berbicara mengenai hak, maka secara implisit tersirat adanya kewajiban
meskipun hak dan kewajiban itu sendiri juga sangat subjektif sifatnya.
Ada hubungan antara keadilan
dan harapan yaitu bahwa keadilan memberikan harapan, yaitu adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban dalam hidup sehari-hari. Lalu
bagaimana harapan dapat diwujudkan? Hal ini perlu konsensus dan komitmen dari
semua orang. Harapan adalah keinginan dalam mewujudkan
cita-cita kita. Keinginan untuk memenuhi semua kebutuhan
manusia yang monopluralis dan kebutuhan itu tertuang dalam moralitas Pancasila
(lihat P4).
Jadi
sesungguhnya, Pancasila adalah harapan (bangsa Indonesia) untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Untuk
mewujudkan harapan ini, peran pemimpin sangat penting. Pemimpin
harus menjadi patron, menjadi teladan, menjadi contoh rakyatnya. Karena
semua tindakannya itu menjadi sorotan rakyat, maka segala perilaku dan
tindakannya itu harus dilandasi dengan nilai-nilai moral, dalam hal ini
moralitas Pancasila.
Tujuan dari
upaya-upaya dalam mewujudkan harapan seluruh rakyat bangsa Indonesia sesungguhnya
adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesadaran
pada hakikatnya akan selalu melibatkan akal manusia. Dengan
kesadaran, manusia dapat memahami semua perilaku dan tindakannya. Hanya
saja untuk selalu bertindak dan berperilaku baik, manusia harus memiliki tidak
saja kesadaran semata tetapi lebih dari itu adalah kesadaran moral.
Atas dasar
kesadaran moral itulah manusia dapat memilih tindakan yang baik atau buruk. Dengan kesadaran moral ini manusia akan merasa wajib untuk berbuat
baik tanpa paksaan dan tekanan dari pihak mana pun juga. Semua
didasarkan atas keputusan hati nuraninya sendiri. Di
sini, perbuatan baik manusia itu bersifat ‘imperatif
kategoris’.
Manusia
berbuat baik karena memang sudah seharusnya ia berbuat baik dan apabila ia
tidak berbuat baik itu merupakan suatu pelanggaran moral. Unsur-unsur
kesadaran moral (moral conscience) itu ada tiga, yaitu 1) kewajiban, 2)
rasional, dan 3) kebebasan.
Kesadaran
moral memang hanya dimiliki oleh manusia yang berakal, mempunyai perasaan, dan
memiliki kehendak yang bebas (otonomi) untuk selalu mewujudkan perbuatan baik
semata. Sedangkan moralitas seseorang itu dapat digolongkan ke
dalam tiga tingkatan, yaitu 1) Instinctive morality level pada level ini moralitas
seseorang berada pada tingkatan terendah yang sifatnya naluriah/hewani, 2)
Customary morality level, di sini, moralitas seseorang didasarkan kepada adat
kebiasaan atau adat istiadat suatu masyarakat, dan 3) Conscience morality
level, ini adalah kesadaran moral yang dalam realisasinya selalu bergerak di
atas kaidah-kaidah moral.
Bahwa
manusia berbuat baik itu karena memang sudah merupakan kewajiban dan apabila
tidak, maka ia telah melanggar norma-norma moral yang berlaku. Kebajikan
artinya kebaikan. Berbuat kebajikan artinya berbuat kebaikan. Manifestasi dari perbuatan baik adalah melakukan
perbuatan-perbuatan baik yang dilandasi dengan kesadaran moral. Dengan
demikian kita akan selalu merasa wajib melakukan perbuatan baik.
Apabila kita
tidak melakukan perbuatan baik maka kita merasa bahwa itu merupakan suatu
kesalahan. Perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan itu tidak
boleh bertentangan dengan norma-norma yang ada dan berlaku (norma moral, norma
hukum, dan norma agama). Hakikat kodrat manusia itu adalah 1)
sebagai individu yang berdiri sendiri (yang memiliki cipta, rasa, dan karsa),
2) sebagai makhluk sosial yang terikat kepada lingkungannya (lingkungan sosial
dan alam lingkungannya), dan 3) sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Perbuatan-perbuatan
baik manusia haruslah sejalan, sesuai dengan hakikat kodratnya itu.
Norma-norma yang dihadapi
manusia itu ada yang bercorak moral yaitu kewajiban moral, dan nilai moral
(deontic judgements, dan areatic judgements), dan ada yang bercorak bukan moral
(nilai yang nonmoral) yang sifatnya teknis belaka dan tidak mengandung
pertimbangan-pertimbangan penilaian. Norma-norma moral juga ada
yang bersifat evaluatif, artinya norma-norma itu berlaku dan dianggap baik bagi
komunitas tertentu pada waktu tertentu, tetapi pada suatu saat dapat saja
berubah, tidak lagi dapat diberlakukan karena mungkin sudah dianggap tidak baik
lagi, atau norma-norma itu dapat berlaku baik bagi komunitas tertentu, tetapi
belum tentu baik bagi komunitas lain. Sebagai catatan, selain
kebaikan yang sejati ternyata ada juga kebaikan semu.
Kebaikan semu ini suatu
perbuatan baik yang dilakukan seseorang tetapi untuk memperoleh imbalan, baik
imbalan yang berupa materi maupun yang nonmateri. Pada
hakikatnya, pengabdian adalah perwujudan dari rasa dan sikap setia untuk
melayani dengan penuh hormat, percaya, tulus, dan ikhlas. Pengabdian
mencakup beberapa hal, antara lain 1) pengabdian kepada kebaikan (itu sendiri),
2) pengabdian kepada keluarga, 3) pengabdian kepada masyarakat, 4) pengabdian
kepada negara dan bangsa, 5) pengabdian kepada Tuhan atau agama.
Ungkapan
“Manunggaling kawula Gusti” sesungguhnya mengandung beberapa makna yang sesuai
dengan makna pengabdian, antara lain kesesuaian antara sifat-sifat (baik) Tuhan
dengan perilaku dan tindakan manusia perilaku dan tindakan manusia sesuai
dengan sifat-sifat baik Tuhan. Ungkapan itu juga mengandung
makna bahwa manusia haruslah memelihara alam tempat mereka tinggal
Cita-cita
dan pengorbanan bagaikan mata uang dengan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan.
Cita-cita dan pengorbanan meliputi beberapa hal, antara lain
(a) cita-cita (dan pengorbanan) atas (egoisme) diri, (b) cita-cita (dan
pengorbanan) terhadap keluarga, (c) cita-cita (dan pengorbanan) terhadap
masyarakat, bangsa, dan negara, serta (d) cita-cita (dan pengorbanan) terhadap
agama (Tuhan).
Ungkapan ‘sepi
ing pamrih, rame ing gawe’ selain menggambarkan sikap pantang putus asa
dalam berusaha, dalam mengejar cita-cita, hal itu juga meggambarkan keikhlasan
kita dalam memperoleh imbalan atau reward sesuai dengan usaha yang kita
kerjakan. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Berbicara hak, berarti
berbicara mengenai kewajiban, dan sebaliknya. Di dalam hak
terkandung kewajiban. Sebaliknya, di dalam kewajiban terkandung
pula hak, dan inilah yang dinamakan keadilan. Keadilan yaitu
pelaksanaan hak dan kewajiban secara seimbang dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang dengan kesadaran moral yang tinggi akan melaksanakan
kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut haknya.
Menurut von Magnis, kewajiban merupakan perasaan wajib untuk melaksanakan
tindakan bermoral. Ini sesuai dengan pendapat Kant yang
menyatakan bahwa kewajiban itu bersifat imperatif kategoris. Kewajiban
bersifat objektif universal, artinya berlaku tetap dan bagi siapa saja serta
tidak terikat ruang dan waktu. Selain itu,kewajiban bersifat
rasional atau masuk akal. Dalam kerangka hak dan kewajiban,
manusia diberi otoritas penuh untuk memilih dan menentukan pilihan sesuai
dengan kehendaknya. Tetapi harus diingat bahwa setiap
pilihannya akan dikenai penilaian moral yang konsekuensinya akan terkena sanksi
moral, hukum (positif), dan agama (hukum Tuhan).
Sesuai dengan sifat kodratnya
sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial, manusia diberi otoritas
untuk menentukan pilihan. Kebebasan dan tanggung jawab adalah
salah satu ‘alat uji’ dari kewenangan dalam memilih yang dimiliki manusia.
Pada akhirnya, kebebasan selalu
diikuti oleh tanggung jawab sebagai konsekuensi moral yang harus ditanggung.
Manusia memang bebas untuk memilih, hanya saja pilihan itu tetap di dalam
kerangka etik (etika pribadi, etika sosial, dan etika theistic) yang ada dan
berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar