Sabtu, 15 Desember 2012

Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional



1. Umum
            Hukum internasional kini tidak hanya terbatas mengatur hubungan antara negara-negara. Ruang lingkup hukum internasional terus berkembang dan tidak lagi secara ekslusif mengenai aturan peperangan dan hubungan diplomatik. Masalah-masalah sosial sekarang seperti misalnya, kesehatan, pendidikan dan ekonomi masuk dalam lingkup peraturan internasional. Hukum internasional lebih dari sekedar apa yang pernah ditujukan bagi para individu.
            Pada dasarnya, hal-hal yang harus ditelaah dalam bab ini adalah perluasan di mana pengadilan nasional akan memberikan pengakuan dalam sistem hukum setempat terhadap hukum internasional yang bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum nasional. Pendekatan dari pengadilan nasional suatu negara tertentu terhadap hukum internasional akan ditandai oleh sikap negara itu terhadap resesi dan terhadap hukum internasional sikap yang mungkin dan yang berbeda sesuai dengan tipe hukum internasional yang dibicarakan hukum perjanjian atau hukum kebiasaan internasional.
Tidak ada praktek yang seragam dan universal yang menentukan bagaimana negara-negara seharusnya memasukkan hukum internasional ke dalam sistem hukum nasional mereka dan itu merupakan persepsi suatu negara tentang hukum internasional yang menentukan cara hukum internasional menjadi bagian hukum nasional. Dengan kata lain negara-negara berbeda-beda cara apakah pengadilan nasional mereka dituntut atau diijinkan memberi efek terhadap kewajiban-kewajiban internasional[1].
Sebelum melihat apa yang terjadi dalam praktek, perlu disinggung walaupun singkat, tentang teori yang berkembang mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional.

2. Teori-teori Mengenai Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional[2]
            Ada dua teori, yaitu teori dualisme dan monisme. Berikut penjelasannya:
  1. Teori Dualisme:
Eksponen-eksponen utama dari teori dualisme adalah para penulis positivis, Triepel [3]dan Anzilotti[4]. Bagi para positivis itu, dengan konsepsi teori kehendak mereka tentang hukum internasional, merupakan hal yang wajar apabila menganggap hukum nasional sebagai suatu sistem yang terpisah. Dengan demikian, menurut Triepel, terdapat dua perbedaan fundamental kedua sistem hukum tersebut, yaitu:
a)      Subjek-subjek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subjek-subjek hukum internasional adalah semata-mata dan secara ekslusif hanya negara-negara.
b)      Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendak negara itu sendiri, sumber hokum internasional adalah kehendak bersama (gemeinwille) dari negara-negara.

Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda, ia membedakan hukum internasional dan hukum nasional menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing sistem itu ditentukan.        
Dalam pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan oleh prinsip pacta sunt servanda, yaitu perjanjian antara negara-negara harus dijunjung tinggi. Mengenai teori Anzilotti ini, cukuplah mengatakan bahwa karena alasan-alasan yang telah dikemukakan[5], tidak benar bahwa pacta sunt servanda harus dianggap sebagai norma yang melandasi hukum internasional, prinsip ini hanya merupakan sebagian contoh dari prinsip yang sangat luas yang menjadi akar hukum internasional.
Di samping penulis-penulis postivis, teori dualisme telah memperoleh dukungan dari beberapa penulis dan yuridis non-positivis, dan juga dukungan secara implisit dari hakim-hakim pengadilan-pengadilan nasional[6]. Menurut paham dualisme ini yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau seperangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut di atas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Di antara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai berikut:
1)      Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara;
2)      Kedua perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya. Subyek hukum dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subyek hukum dari hukum internasional iala negara;
3)      Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya.

            Pandangan dualisme ini mempunyai beberapa akibat yang penting. Salah satu akibat pokok yang terpenting adalah bahwa kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain.
            Akibat kedua ialah bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja. Akibat lain yang penting pula ialah bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional.
            Keberatan terhadap teori dualisme ialah pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum internasional tidak dapat menerangkan dengan cara memuaskan kenyataan bahwa dalam praktek sering kali hukum nasional itu tunduk pada atau sesuai dengan hukum internasional.

  1. Teori Monisme:
Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualisme, pengikut-pengikut teori monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara. Jika secara hipotesis benar-benar berkarakter hukum, maka menurut Kelsen (1881-1973)[7] dan penulis-penulis monistis lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum.


Namun, ada penulis-penulis lain yang mendukung monisme berdasarkan alasan-alasan yang bukan Cuma abstrak semata-semata, dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai suatu masalah yang memiliki nilai-nilai praktis, bahwa hukum internasional dan hukum nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang mengikat segenap umat manusia baik secara kolektif ataupun individual.
Paham Monisme didasarkan atas peemikiran kesatuan dari keseluruhan hukum yang mengatur hidup manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah ada hubungan hierarki. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum nasional.

  1. Masalah Primat Hukum:
Paham monisme yang telah dijelaskan di atas adalah paham monisme dengan primat hukum nasional. Dari prinsip ke prinsip, dan dari kaidah-kaidah, analisis hukum pada akhirnya menjangkau satu norma fundamental tertinggi[8] yang merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Dalam pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri, atau auszeres staatsrecht. Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional.


Alasan utama anggapan ini ialah: (1) bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini; (2) dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional.
            Kelemahan dasarnya adalah bahwa paham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian internasional, suatu hal sebagaimana diketahui tidak benar. Kelemahan kedua adalah bahwa pada hakikatnya pendirian paham kaum monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional yang mengikat negara.
            Kemudian, secara khusus Kelsen menyatakan bahwa dalil fundamental ini mungkin terdapat dalam hukum internasional ataupun hukum nasional. Menurut Kelsen, tesis primat hukum nasional sepenuhnya sah, dan ia menyatakan sikap ini dengan alasan bahwa menurut pendapatnya pemilihan di antara masing-masing sistem tidak dapat ditentukan seperti dalam ilmu pasti, dengan cara ilmiah. Dikatakan: ”Tidak dapat dinyatakan, sebagaimana dalam ilmu-ilmu pasti, bahwa hipotesis-hipotesis yang baik ini merupakan satu hipotesis yang menyangkut sejumlah besar fakta. Karena di sini kita tidak dapat berhadapan dengan benda-benda, dengan realitas yang dapat dilihat secara konkret, melainkan dengan kaidah-kaidah hukum yang sifatnya bukan merupakan data pasti”[9].





            Keberatan terhadap pandangan Kelsen mengenai pemilihan antara hukum internsional dan hukum nasional didasarkan pada alasan bahwa cara pandangnya tersebut berakar dalam suatu pendekatan filosofis yang sangat meragukan[10] dan bahwa terdapat juga kesulitan-kesulitan yang tidak dapat dipecahkan dengan pandangan tersebut. Berdasarkan alasan-alasan di atas paham monisme dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internsional walaupun secara teoritis dan konstruksi logika apa yang dikemukakannya memang mungkin.
            Menurut paham monisme dengan primat hukum internsional, maka hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hierarkis lebih tinggi. Paham monisme dengan primat hukum internasional sangat menarik dan memuaskan dari sudut logika. Akan tetapi penjelasan primat atau supremasi hukum internasional yang dikaitkan dengan persoalan organik struktural (misalnya masalah: hierarki dan pendelegasian) seperti dilakukan oleh mazhab Vienna itu pun tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Pertama-tama, pandangan bahwa hukum nasional itu tergantung dari hukum internasional yang mau tidak mau mendalilkan bahwa hukum internasional telah ada lebih dulu dari hukum nasional, bertentangan dengan kenyataan sejarah, hukum nasional justru ada sebelum adanya hukum internasional. Demikian pula tak dapat dipertahankan dalil bahwa hukum nasional itu kekuatan mengikatnya diperoleh dari hukum internasional atau bahwa hukum nasional merupakan suatu derivasi darinya. Pada pihak yang lain pandangan monisme yang mengaitkan tunduknya negara pada hukum internasional dengan persoalan suatu hubungan subordinasi dalam arti struktural organis, walaupun menurut logika lebih memuaskan, juga kurang tepat karena memang tidak sesuai dengan kenyataannya.
3. Praktek Negara Menyangkut Pemberlakuan Hukum Internasional di dalam Wilayah Nasional
            Tujuan pembahasan dalam bagian ini adalah untuk menentukan dengan cara bagaimana dan sampai sejauh mana pengadilan-pengadilan nasional memberlakukan kaidah hukum internasional.
a. Praktek Inggris
Praktek Inggris adalah menarik suatu perbedaan antara (i) kaidah-kaidah hukum internasional; (ii) kaidah-kaidah yang diterapkan oleh traktat-traktat.
(i) Aturan mengenai kebiasaan hukum internasional menurut penulis-penulis hukum modern dewasa ini adalah bahwa kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional dianggap merupakan bagian dari hukum negara, dan akan diberlakukan seperti demikian oleh pengadilan-pengadilan nasional Inggris, tunduk pada dua syarat penting:
  1. Bahwa kaidah-kaidah tersebut tidak bertentangan dengan perundang-undangan Inggris[11], baik perundang-undangan itu telah ada sebelum atau baru dibuat setelah kaidah kebiasaan tersebut.
  2. Bahwa sekalinya ruang lingkup kaidah-kaidah kebisaan tersebut ditentukan oleh pengadilan-pengadilan tertinggi Inggris, maka pengadilan-pengadilan Inggris lainnya akan terikat oleh keputusan tersebut, meskipun kemudian muncul kaidah kebiasaan hukum internasional yang berbeda[12].

Syarat-syarat ini harus diperhatikan oleh pengadilan-pengadilan nasional Inggris meskipun akibatnya mungkin akan mengenyampingkan kaidah hukum internasional.


[1] Strictly the way di mana suatu negara membuat hokum internasional sebagai bagian dari perundang-undangan domestik lebih merupakan hokum nasional daripada hokum internasional.
[2] Secara umum mengenai pokok bahasan inti Lihat Kelsen, Principles of Internasional Law (2nd edn, 1966, direvisi dan diedit oleh R.W. Tucker) hal 553-588 dan D.H.M. Meuwissen. “The Relationship Between Internasional Law and Municipal Law and Fundamental Rights”, (1977) 24 Netherlands International Law Review 192, 197 dst.
[3]Lihat buku Volkerrecht und Landsrecht (1899).
[4] Lihat karyanya Corso di Dirrito Internazionale (3rd edn 1928) Vol 1, hal 43 dst. Lihat juga pembahasan dalam bab 1.
[5] Lihat dalam pembahasan terdahulu Bab 1.
[6] Lihat, misalnya bagian dalam Commercial and Estate Co of Egypt v Board of Trade (1925) 1 KB 271, 295.
[7] Teori Monisme Kelsen dilandaskan atas suatu pendekatan filsafat pengetahuan-pengetahuan pada umunya.
[8] Mengenai hal tersebut, lihat Kelsen Op.Cit, hal 557-559 dan karyanya Reine Rechtslehre (1960) hal 9 dst dan 80 dst.
[9] Kelsen dalam Hague Recuiel (1926) Vol 14, hal 313-314. Kelsen menegaskan dalam poin ini dalam The Principles of International Law (1952) hal 446-447 dan pada tahun 1958 dalam Makarov Festgabe. Abhandlungen zum Volkerrecht hal 234-248.
[10] Lihat Kunz, Transaction of The Grotius Society (1924) Vol 10, hal 115 dst.
[11] Lihat Mortensen v Peters (1906) keputusan dari High Court of Justiciary of Scotland, 8 F93 dan Polities v The Commonwealth (1945) keputusan High Court of Australia, 70 CLR 60.
[12] Lihat Chung Chi Cheung v R (1939) AC 160, 168, namun perhatikan, The Berlin (1914) P265, 272. Prinsip ini meskipun demikian tidak diterima oleh Lord Denning MR dalam Trendtex Tranding Corpn v Central Bank of Nigeria (1977) QB 529, (1977) 1 All ER 881.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar