Sabtu, 15 Desember 2012

‘Konvensi Jenewa Pertama 1949 Tentang Perbaikan Keadaan Anggota Perang Yang Luka Dan Sakit di Medan Pertempuran Darat’


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejarah Konvensi Jenewa dimulai pada tahun 1862, Henry Dunant menerbitkan bukunya, Memoir of Solferino (Kenangan Solferino), mengenai ketidak manusiawaian (kekejaman) perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan:
  1. Dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan
  2. Dibentuknya perjanjian antarpemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.
Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang untuk pertama kalinya dianugerahkan. Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas negara. Clara Barton memainkan peran penting dalam mengkampanyekan peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.[1]
Pada 1906 Konvensi Jenewa Pertama diperbaiki untuk memberi perlindungan yang lebih besar terhadap korban perang di darat, dan pada tahun berikutnya seluruh ketentuan tersebut diperluas dengan pertempuran di laut (Konvensi Jenewa Kedua).
Penghormatan terhadap Konvensi Jenewa dan operasi yang dipimpin oleh Komite Palang Merah Internasional memainkan peranan penting dalam menyelamatkan nyawa dan mencegah penderitaan yang tidak seharusnya dalam Perang Dunia I (1914-1918). Namun, besarnya penderitaan manusia akibat perang menambah keyakinan masyarakat internasional agar Konvensi Jenewa itu diperkuat.
Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam jumlah yang mencemaskan. Konflik-konflik bersenjata ini terjadi di hampir semua benua. Dalam kurun waktu tersebut, keempat Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan (yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil). Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang sama juga telah terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut, sehingga timbul penderitaan dan korban tewas yang mungkin dapat dihindari seandainya Hukum Humaniter Internasional (HHI) dihormati dengan lebih baik.[2]
Pandangan umum yang ada ialah bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap HHI bukan disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan yang termaksud dalam hukum tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk menghormatinya, oleh kurang memadainya sarana yang tersedia untuk menegakkannya, oleh ketidak pastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu, dan oleh kurangnya pengetahuan para pemimpin politik, komandan, kombatan, dan masyarakat umum tentang hukum tersebut.
Konferensi International tentang Perlindungan Korban Perang yang sah diselenggarakan di Jenewa pada bulan Agustus-September 1993 membahas secara khusus cara-cara untuk menanggulangi pelanggaran HHI tetapi tidak mengusulkan diadopsinya sebuah perjanjian internasional baru. Akan tetapi, dalam Deklarasi Finalnya, yang diadopsi secara mufakat, Konferensi tersebut menegaskan kembali "perlunya mengefektifkan implementasi HHI" dan menyerukan kepada Pemerintah Swiss untuk "mengadakan sebuah kelompok pakar antarpemerintah yang bersifat terbuka dengan tugas untuk melakukan studi mengenai cara-cara praktis meningkatkan penghormatan penuh dan kepatuhan terhadap HHI serta menyusun laporan yang perlu dipresentasikan kepada Negara-negara dan kepada Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah berikutnya."[3]
Kelompok Pakar Antarpemerintah untuk Perlindungan Korban Perang tersebut bertemu di Jenewa pada bulan Januari 1995 dan mengadopsi sejumlah rekomendasi yang bertujuan meningkatkan penghormatan terhadap HHI, terutama dengan cara mengambil langkah-langkah preventif yang bisa menjamin bahwa HHI akan diketahui dengan lebih baik dan dilaksanakan dengan lebih efektif. Rekomendasi II dari Kelompok Pakar Antarpemerintah tersebut ialah: bahwa ICRC perlu diminta untuk menyusun sebuah laporan tentang aturanaturan HHI yang berasal dari Hukum Kebiasaan dan dapat berlaku (applicable) dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional, dengan bantuan pakar HHI dari berbagai kawasan geografis dan berbagai sistem hukum dan secara berkonsultasi dengan pemerintah-pemerintah dan organisasi-organisasi internasional, dan untuk mengedarkan laporan tersebut ke Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang kompeten.[4]
Pada bulan Desember 1995, Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-26 menyetujui rekomendasi tersebut dan secara resmi memberikan mandat kepada ICRC untuk menyusun sebuah laporan tentang aturan-aturan HHI yang berasal dari Hukum Kebiasaan dan dapat berlaku dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional.[5]
Hampir sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 2006, seusai dilakukan penelitian yang ekstensif dan konsultasi yang meluas dengan para pakar, maka laporan ini, yang sekarang disebut sebagai Studi Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (Study on Customary International Humanitarian Law), diterbitkan.[6]
2. Rumusan Masalah
Berangkat dari pemaparan diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang representatif dengan tema yang diangkat. Rumusan masalah yang dimaksud adalah:
1.       Bagaimana Body of convention di Konvensi Jenewa Pertama?
2.       Apa Yang Menjadi Ruang Lingkup dan Objek Perlindungan dalam Konvensi Jenewa Pertama?
3.       Kapan Pengaplikasian (Pelaksanaan) Konvensi Jenewa Pertama?
4.       Bagaimana Penegakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran dalam Konvensi Jenewa Pertama dan Siapa Yang Berhak Melakukan Penuntutan Atas Berbagai Pelanggaran Yang Diduga Telah Terjadi?
5.       Bagaimana Konvensi Jenewa Dewasa Ini?
 BAB II 
PEMBAHASAN
1. Batang Tubuh Konvensi Jenewa Pertama (Body of Convention)
Konvensi Jenewa Pertama ini tercakup dalam 9 Bab dan ditambah Bab Ketentuan Penutup, dan berisi 64 pasal. Ditambah dengan dua lampiran berisi konsep perjanjian yang berhubungan dengan zona rumah sakit dan kartu identitas model dan agama tenaga medis.
BAB I - KETENTUAN UMUM
Pasal 1-11
Pasal 1 tentang ketentuan umum terhadap Kewajiban pihak-pihak peserta anggung.
Pasal 2 tentang ketentuan-ketentuan tambahan yang akan dilaksanakan dalam waktu damai.
Pasal 3 tentang ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban dalam sengketa yang bersifat non-internasional (internal).
Pasal 4 tentang negara-negara netral yang harus melaksanakan secara analogi ketentuan konvensi ini.
Pasal 5 tentang ketentuan terhadap orang-orang yg dilindungi yang telah jatud dalam tangan musuh.
Pasal 6 tentang ketetentuan tambahan terhadap pihak-piak peserta agung yang dapat mengadakan persetujuan khusus lainnya.
Pasal 7 tentang ketentuan terhadapa hak-hak yang yang tidak boleh ditolak oleh orang yang luka dan sakit, petugas dinas kesehatan serta rohaniawan.
Pasal 8 tentang keharusan dilaksanakannya konvensi ini dengan kerjasama serta  pengawasan dari negara-negara pelindung.
Pasal 9 tentang ketentuan yang memungkinkan kegiatan-kegiatan yang dapat diusahakan oleh ICRC (International Comite Red Cross)/ Komite Palang Merah Internasional atau organisasi humaniter dalam kegiatan perikemanusiaan.
Pasal 10 tentang ketentuan terhadap pihak-pihak peserta agung yang dapat bermufakat untuk mempercayakan kepada suatu organisasi.
Pasal 11 tentang penyelesaian terhadap perbedaan penafsiran atau pendapat yang dapat diberikan oleh negara pelindung (pihak ke-3) untuk memberikan jasa-jasa baik.

BAB II - YANG LUKA DAN SAKIT
Pasal 12-18
Pasal 12 tentang perlakuan secara kemanusiaan dan penghormatan terhadap anggota perang yang luka dan sakit tanpa berdaan merugikan.
Pasal 13 tentang ketentuan golongan-golongan yang diklasifikasikan terhadap orang yang luka dan sakit.
Pasal 14 tentang penegasan terhadap tawanan perang, yang ditentukan oleh hukum internasional mengenai tawanan perang secara spesifik.
Pasal 15 tentang ketentuan terhadap kewajiban para pihak dalam sengketa untuk mencari dan mengumpulkan yang luka dan sakit.
Pasal 16 tentang ketentuan terhadap pihak-pihak dalam sengketa untuk selekas mungkin mecatat mengenai tiap orang yang luka, sakit atau mati dari pihak lawan.
Pasal 17 tentang ketentuan terhadap jaminan terhadap jenazah yang harus dimakamkan dengan hormat.
Pasal 18 tentang kewajiban-kewajiban untuk memberikan perawatan jasmani dan rohani kepada yang luka dan sakit.

BAB III - KESATUAN-KESATUAN DAN BANGUNAN-BANGUNAN KESEHATAN
Pasal 19-23
Pasal 19 tentang ketentuan terhadap kesatuan dari dinas kesehatan dalam keadaan apapun tidak boleh diserang, harus dihormati, dan penguasa lah yang bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan dari bahaya oleh sasaran militer.
Pasal 20 tentang hak atas perlindungan kapal-kapal kesehatan tidak boleh diserang dari daratan.
Pasal 21 tentang perlindungan dari serangan terhadap hak-hak bangunan-bangunan tetap tidak akan berakhir, dengan terkecuali.
Pasal 22 tentang keadaan-keadaan yang tidak dianggap sebagai tindakan meniadakan perlindungan atas kesatuan/ bangunan, yaitu: bahwa anggota kesatuan/ petugas bangunan kesehatan boleh dipersenjatai dengan pengecualian yang telah ditentukan.
Pasal 23 tentang
ketentuan selama jalannya permusuhan Pihak-pihak bersangkutan dapat mengadakan persetujuan-persetujuan untuk saling mengakui daerah-daerah kesehatan yang telah mereka bentuk. Dengan bantuan Negara-negara pelindung dan Komite Palang Merah Internasional diminta untuk member jasa-jasa baik.

BAB IV - ANGGOTA DINAS KESEHATAN
Pasal 24-32
Pasal 24 tentang penghormatan dan perlindungan atas anggota dinas kesehatan dan rohaniawan.
Pasal 25 tentang perlindungan dan penghormatan terhadap anggota angkatan perang yg khusuh dilatih (pengawal RS, juru rawat) dalam melakukan kewajibannya pada saat mereka bertemu musuh atau jatuh dalam tangan musuh.
Pasal 26 tentang perlindungan dan penghormatan terhadap perhimpunan Palang Merah Nasional dan Anggota Perhimpunan Sukarela lainnya dalam melaksanakan kewajiabannya, tetapi tetap harus tunduk pada phukum militer yang berlaku.
Pasal 27 tentang pengakuan dan persetujuan terhadap perhimpunan yang diakui dari suatu negara netral.
Pasal 28 tentang ketentuan perlindungan terhadap anggota dinas kesehatan dan rohaniawan yang jatuh dalam tangan pihak lawan.
Pasal 29 tentang ketentuan anggota dinas kesehatan pembantu yang menjadi tawanan perang, harus dipekerjakan dalam kwajiban-kewajiban kesehatan.
Pasal 30 tentang ketentuan pengembalian terhadap anggota dinas kesehatan dan keagamaan yang penahanannya untuk dipekerjakan tidak sangat diperlukan.
Pasal 31 tentang pengindahan terhadap anggota dinas kesehatan dan keagamaan.
Pasal 32 tentang ketentuan perhimpunan yang diakui pihak netral yang jatuh dalam tangan pihak lawan tidak boleh ditahan.

BAB V - GEDUNG DAN PERLENGKAPAN
Pasal 33-34
Pasal 33 tentang ketentuan terhadap perlengkapan kesatuan kesahatan bergerak angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh tidak boleh dimusnahkan, dan harus digunakan semestinya.
Pasal 34 tentang penentuan pemilik terhadap hak-hak istimewa benda perhimpunan penolong.

BAB VI - PENGANGKUTAN KESEHATAN
Pasal 35-37
Pasal 35 tentang penghormatan dan perlindungan terhadap pengangkutan yang luka dan sakit.
Pasal 36 tentang ketentuan terhadap perlindungan dan penghormatan, serta pengecualian-pengecualian terhadap pesawat terbang kesehatan untuk pengankutan.
Pasal 37 tentang pengecualian terhadap pesawat terbang kesehatan pihak dalam sengketa untuk melakukan tindakan-tindakan dalam keadaan mendesak.

BAB VII - KEISTIMEWAAN LAMBANG
Pasal 38-44
Pasal 38 tentang pengakuan terhadap lambang-lambang yang di-istimewakan, dihormati dan dilindungi.
Pasal 39 tentang ketentuan lambang yang harus tampak dengan jelas.
Pasal 40 tentang ketentuan terhadap hak dan kewajiban pihak-pihak (menurut pasal 24, 26, 27) yang berkewajiban memakai lambang, kartu pengenal yang sah dan jelas dan berhak atas perlindungan.
Pasal 41 tentang ketentuan terhadap mekanisme tanda pengenal militer (menyebutkan pendidikan khusus, sifat daripada tugas, dan hak)
Pasal 42 tentang ketentuan pengibaran bendera pengenal.
Pasal 43 tentang ketentuan dan syarat-syarat terhadap negara netral yang diizinkan memberikan bantuan jasa kepada salah satu pihak.
Pasal 44 tentang pengecualian terhadap penggunaan lambang ‘Palang Merah’ baik dalam waktu damai ataupun dalam keadaan perang.

BAB VIII - PELAKSANAAN KONVENSI
Pasal 45-48
Pasal 45 tantang jaminan pelaksanaan ketentuan konvensi  yang berlaku oleh komandan tertinggi dalam tiap-tiap pihak sengketa.
Pasal  46 tentang ketentuan larangan terhadap tindakan pembalasan.
Pasal 47 tentang perjanjian terhadap Para Peserta Agung untuk baik di waktu apapun.
Pasal 48 tentang kewajiban Pihak Peserta Agung selama berlangsungnnya permusuhan.

BAB IX - TINDAKAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN DAN PELANGGARAN
Pasal 49-54
Pasal 49 tentang perjanjian untuk berkewajiban menetapkan uandang-undang guna pemberian sanksi yang efektif.
Pasal 50 tentang ketentuan penjelasan terhadap pelanggaran berat.
Pasal 51 tentang tidak diperkenankannya untuk lepas dari tanggung jawab apapun.
Pasal 52 tentang prosedur pemeriksaan suatu pihak dalam sengketa.
Pasal 53 tentang larangan terhadap pemakaian lambang tiruan.
Pasal 54 tentang ketentuan terhadap tindakan pencegahan terhadap penyalahgunaan pemakaian lambang tiruan.

KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55-64
Pasal 55 tentang kekuatan hukum isi konvensi tersebut dalam bahasa Inggris dan Prancis.
Pasal 56 tentang ketentuan terhadap mekanisme penandatanganan konvensi.
Pasal 57 tentang kewajiban meratifikasi konvensi kepada negara yang setuju.
Pasal 58 tentang keberlakuan konvensi.
Pasal 59 tentang penjelasan bahwa konvensi ini menggantikan konvensi sebelumnya.
Pasal 60 tentang keterbukaan untuk penyataan aksesi tiap negara.
Pasal 61 tentang kewajiban mengkonfirmasikan pernyataan aksesi.
Pasal 62 tentang keadaan-keadaan terhadap belakunya ratifikasi.
Pasal 63 tentang ketentuan terhadap pernyataan ketidak terikatan lagi.
Pasal 64 tentang keharusan pendaftaran konvensi ke PBB.
2. Ruang Lingkup dan Objek Perlindungan Konvensi Jenewa Pertama
Konvensi Jenewa pertama tentang Perbaikan Keadaan Anggota Perang yang Luka Dan Sakit di Medan Pertempuran Darat. Konvensi Jenewa 1949 ini merupakan versi update keempat Konvensi Jenewa pada orang yang terluka dan sakit berikut yang digunakan dalam 1864, 1906 dan 1929. Konvensi ini memberikan perlindungan bagi yang terluka dan sakit, tetapi juga untuk tenaga medis dan keagamaan, unit medis, bangunan dan transportasi medis serta konvensi ini juga mengakui lambang khas yang harus dilindungi.
Ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini dalam konteks sekala, memberikan perlidungan dalam konflik internasional maupun non-internasional, tetapi dasar perlindungan non-internasional tidak terlalu spesifik di terangkan dalam konvensi ini, kerana di Konvensi Jenewa Pertama ini konflik non-internasional hanya dimasukkan kedalam Bab Ketentuan Umum, dan akan lebih di perjelas dalam Protokol II. Lingkup Non-Internasional ini dijelaskan menurut Konvensi Jenewa Pertama Bab I - Ketentuan Umum Pasal 3 tentang sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (non-internasional) yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung agar tiap Pihak dalam sengketa itu diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang berlaku. Dan dilihat dalam konteks tempat terjadinya, ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini hanya terhadap perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat yang secara umum dapat sebutkan untuk memberikan perlindungan bagi: (1) yang terluka dan sakit; (2) tetapi juga untuk tenaga medis dan keagamaan; (3) unit medis; (4) bangunan dan (5) transportasi medis serta konvensi ini juga mengakui (6) lambang khas yang harus dilindungi.
Yang menjadi objek perbaikannya tersebut mencakup perbaikan keadaan terdahap anggota angkatan perang yang luka dan sakit di darat. Memberikan penghormatan dan lindungan dalam segala keadaaan terhadap yang luka dan sakit, perlakuan secara prikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan atas kelamin, suku, kebangsaan, agama, atau kriteria lainnya serupa itu, dan memberikan kewajiban-kewajiban apa yg harus dilakukan dalam memperlakukan para angkata perang, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab II - Yang Luka dan Sakit Pasal 12-18.
Perbaikan terhadap gedung-gedung, kesatuan-kesatuan unit kesehatan (medis), Memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan kesehatan bergerak dari dinas kesehatan dalam keadaan apapun harus dilindungi, tidak boleh diserang oleh pihak para sengketa, dan memberikan kewajiban terhadap penguasa untuk bertanggung jawab terhadap jaminan bangunan-dan kesatuan-kesatuan sehingga penyerangan atas sasaran-sasaran militer tidak membahayakan keselamatan mereka, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab III – Kesatuan dan Bangunan Kesehatan Pasal 19-23.
Perbaikan terhadap anggota dinas kesehatan (angkatan perang), Memberikan perlindungan khusus terhadap Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau untuk mencegah penyakit, dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, demikian juga rohaniwan yang bertugas dalam angkatan perang yang di jelaskan dalam secara lengkap dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab IV – Anggota Dinas Kesehatan Pasal 24-32.
Perbaikan terhadap perlengkapan-perlengkapan, kesatuan-kesauan kesehatan bergerak angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh, harus disediakan untuk perawatan yang dipaparkan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab V - Gedung dan Perlengkapan Pasal 33-34.
Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap pengankutan yang luka dan sakit atau alat-alat kedokteran harus dihormati dan dilindungi sama halnya dengan kesatuan kesehatan yang bergerak. Seperti halnya pengakutan dengan pesawat terbang kesehatan maupun dengan kendaran kesehatan lainnya. Semua itu dijelaskan dan diatur dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VI - Pengangkutan Kesehatan Pasal 35-37.
Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap lambang-lambang yang di-istimewakan, seperti halnya lambang Internasional Red Cross Comite (PMI), Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah dsb. lambang istimewa ini harus jelas, dalam artian tampak pada bendaera-bendera (flag), ban lengan (handband), dan semua alat perlengkapan yang dipakai dalam dinas kesehatan, selain itu juga memakai tanda pengenal yang seragam, agar setiap orang yg termasuk dalam organisasi-organisasi/ himpunan-himpunan yang bersifat netral maupun berkepentingan dapat jaminan perlindungan yang semuanya itu diatur dan dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VII - Lambang Istimewa 38-44.
3. Aplikasi (Pelaksanaan) Konvensi Jenewa Pertama
Konvensi Jenewa Pertama ini akan berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut (Pasal 56 Bab Penutup Konvensi Jenewa Pertama). Ketentuan rinci mengenai aplikabilitas Konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3 Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah kontroversi.
Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty) untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut.[7]
Dan pengaplikasian konvensi ini ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam konvensi Jenewa Pertama yaitu keadaan anggota angkatan perang yang ruang lingkup-nya masuk ke dalam ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama, dan subjek-subjek yang terkait, serta objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi ini dilanggar, baik untuk perlindungan terhadap yang terluka dan sakit, untuk penghormatan dan perlindungan tenaga medis dan keagamaan, penjagaan dan perlindungan unit medis, bangunan dan transportasi medis serta perlindungan khusus untuk lambang-lambang khas yang harus dilindung, maka ketentuan aturan dari konvensi ini harus diterapkan. Pelaksanaan konvensi yang memberikan ketentuan terhadap siapa yang menjamin pelaksanaan terhadap tindakan-tindakan pembalasan terhadap objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi yang menjamin pelaksanaan pasal-pasal dalam konvensi dan menetapkan ketentuan-ketentuan untuk mengatur hal-hal yang tak terduga maka yang menjamin adalah komandan-komandan tertinggi di setiap pihak-pihak dalam sengketa. Yang itu pun dipertegas dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VIII - Pelaksanaan Konvensi Pasal 45, serta ditambah dengan kesesuaian asas-asas umum konvensi ini.
4. Penegakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran dalam Konvensi Jenewa
      Pertama dan Siapa Yang Berhak
Melakukan Penuntutan Atas Berbagai Pelanggaran
      Yang Diduga Telah Terjadi
4.1. Kuasa Perlindungan
Istilah kuasa perlindungan (protecting power) mempunyai arti spesifik berdasarkan Konvensi-konvensi ini. Kuasa perlindungan ialah sebuah negara yang tidak ikut serta dalam sebuah konflik bersenjata tetapi setuju untuk mengurus kepentingan sebuah negara lain yang menjadi peserta konflik tersebut. Kuasa perlindungan berfungsi sebagai mediator yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara pihak-pihak peserta konflik. Kuasa perlindungan juga berfungsi memantau implementasi Konvensi-konvensi ini, misalnya dengan cara mengunjungi kawasan konflik dan tawanan perang. Kuasa perlindungan harus bertindak sebagai pendamping (advocate) bagi tawanan, korban luka, dan orang sipil (Pasal 8, 10, 11 Bab I Ketentuan Umum Konvensi Jenewa Pertama).
4.2. Pelanggaran berat
Dan dalam hal tindakan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran yang terjadi
Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diberlakukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan suatu pelanggaran (dalam konteks ketidak sengajaan ataupun pelanggaran berat yang disengaja) dalam aturan pasal-pasal dalam konvensi ini, yang didasari dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran 49.
Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut:
1.       Pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi.
2.       Dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan.
3.       Memaksa orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan.
4.       Dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang. (Pasal 50 Bab Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Konvensi Jenewa Pertama)

Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa:
1.       Penyanderaan
2.       Penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.
3.       Deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum. (Pasal 3 Bab I Ketentuan Umum Konvensi Jenewa Pertama)

Dan ringkasan Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Pasal 49-54 adalah ketentuan-ketentuan terhadap kewajiban-kwajiban Pihak Peserta Agung dalam menerapkan ketentuan terdahap penyalahgunaan dan pelanggaran dalam hal mencari orang yang disangka telah melakukan atau memerintah untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan tidak memandang kebangsaannya, dan bagaimana Pihak Peserta Agung dalam mengambil tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Dan dalam hal penyalah gunaan pula pemakaian lambang atau sebutan tiruan oleh Pihak Peserta Agung itu dilarang dan harus dipertanggungjawabkan. Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat (Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Pasal 49-54). Untuk tujuan itulah maka Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi. 
5. Konvensi-konvensi Jenewa dewasa ini
Meskipun peperangan telah mengalami perubahan dramatis sejak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, konvensi-konvensi terutama konvensi Jenewa Pertama sangat dianggap sebagai batu penjuru Hukum Humaniter Internasional kontemporer. Konvensi-konvensi tersebut melindungi kombatan yang berada dalam keadaan hors de combat (tidak dapat ikut bertempur lagi) serta melindungi orang sipil yang terjebak dalam kawasan perang. Perjanjian-perjanjian tersebut menjalankan fungsinya dalam semua konflik bersenjata internasional yang belum lama ini terjadi, termasuk Perang Afghanistan (2001- sekarang), Invasi Irak 2003, invasi Chechnya (1994-sekarang), dan Perang di Georgia (2008). Peperangan moderen terus mengalami perubahan, dan dewasa ini proporsi konflik bersenjata yang bersifat non-internasional semakin meningkat [misalnya: Perang Saudara di Sri Lanka, Perang Saudara di Sudan, dan Konflik Bersenjata di Kolombia. Pasal 3 Ketentuan yang Sama menangani situasi-situasi tersebut, dengan dilengkapi oleh Protokol II (1977). Pasal dan protokol tersebut menguraikan standar hukum minimum yang harus diikuti untuk konflik internal. Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan (customary international law), yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal menerima ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat yang objek perlindungannya:
a.       Yang terluka dan sakit, memberikan penghormatan dan lindungan dalam segala keadaaan terhadapa yang luka dan sakit, perlakuan secara prikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan atas kelamin, suku, kebangsaan, agama, atau keriteria lainnya serupa itu, dan memberikan kewajiban-kewajiban apa yg harus dilakukan dalam memperlakukan para angkata perang.
b.      Perbaikan terhadap  gedung-gedung, kesatuan-kesatuan unit kesehatan (medis), memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan kesehatan bergerak dari dinas kesehatan dalam keadaan apapun harus dilindungi, tidak boleh diserang oleh pihak para sengketa, dan memberikan kewajiban terhadap penguasa untuk bertanggung jawab terhadap jaminan bangunan-dan kesatuan-kesatuan sehingga penyerangan atas sasaran-sasaran militer.
c.       Perbaikan terhadap anggota dinas kesehatan (angkatan perang),
memberikan perlindungan khusus terhadap Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau untuk mencegah penyakit, dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, demikian juga rohaniwan yang bertugas dalam angkatan perang.
d.      Perbaikan terhadap perlengkapan-perlengkapan, kesatuan-kesauan kesehatan bergerak angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh, harus disediakan untuk perawatan.
e.      Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap pengankutan yang luka dan sakit atau alat-alat kedokteran, harus dihormati dan dilindungi sama halnya dengan kesatuan kesehatan yang bergerak. Seperti halnya pengakutan dengan pesawat terbang kesehatan maupun dengan kendaran kesehatan lainnya.
f.        Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap lambang-lambang yang di-istimewakan, seperti halnya lambang Internasional Red Cross Comite (PMI), Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah dsb. lambang istimewa ini harus jelas, dalam artian tampak pada bendaera-bendera (flag), ban lengan (handband), dan semua alat perlengkapan yang dipakai dalam dinas kesehatan.
Konvensi Jenewa Pertama ini akan berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty) untuk dapat mematuhi hukum internasional. Dan pengaplikasian konvensi ini ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam konvensi Jenewa Pertama yaitu keadaan anggota angkatan perang yang ruanglingkup-nya masuk kedalam ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama, dan subjek-subjek yang terkait, serta objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi ini dilanggar.
Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan perang. Dan Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.
  
DAFTAR PUSTAKA
 Istanto, F. Sugeng. 1992. Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional. Yogyakarta: Andi Offset.
Henckaerts, Jean-Marie. 2005. Study on Customary International Humanitarian Law (Indonesian Translation). Bandung: Nusa Media.
Kusumaatmadja, Mohtar. 1986. Konvensi-Konvensi Palang Merah. Bandung: Bina Cipta.
Murtokusumo, Sudikno. 1996. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.\
Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention). Mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat. 1864.


[1] Wikipedia, “Konvensi Jenewa”, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Jenewa, pada tgl. 30 Maret 2012 pukul 14.56
[2] Study on Customary International Humanitarian Law (Indonesian Translation), Volume 87 Nomor 857 Maret 2005, di unduh dari http://www.icrc.org/eng/index.jsp
[3] Konferensi Internasional Perlindungan Korban Perang, Jenewa, 30 Agustus - 1 September 1993, Deklarasi Final, International Review of the Red Cross, No. 296, 1993, hal. 381
[4] Pertemuan Kelompok Pakar Antarpemerintah untuk Perlindungan Korban Perang di Jenewa, 23-27 Januari 1995, Rekomendasi II, International Review of the Red Cross, No. 310, 1996, hal. 84               
[5] Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-26, Jenewa, 3-7 Desember 1995, Resolusi 1, Hukum Humaniter Internasional: dari Hukum ke Tindakan; Laporan tentang tindak lanjut menyusul Konferensi Internasional Perlindungan Korban Perang, International Review of the Red Cross, No. 310, 1996, hal. 58
[6] Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck, Customary Internasional Humanitarian Law, 2 jilid, Jilid I, Rules (Aturan-aturan), Jilid II, Practice (Praktik) [2 Bagian], Cambridge University Press, 2005.
[7] Wikipedia, “Konvensi Jenewa”, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Jenewa, pada tgl. 17 April 2012 pukul 08.26

1 komentar: