BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah.
Kajian terhadap
Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dalam bentuk
buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam seminar-seminar serta simposium
yang bertajuk Agraria. Tetapi kajian-kajian tersebut tidak begitu fokus
mengkaji tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di
Indonesia sampai terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Bahkan
wacana untuk mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam
makalah ini disebut UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan peraturan-peraturan
di bidang ke-agraria-an yang sudah dianggap tidak mengakomodir perkembangan
masyarakat. Ini membuktikan bahwa hukum – khususnya hukum agararia – terus
berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masayarakat, untuk itu
diperlukan suatu kajian ilmiah tentang bagaimana rangkaian sejarah (hukum)
hukum agraria Indonesia guna mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di bidang
agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian itu dapat diperoleh bahan untuk
dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum) terhadap hukum agraria.
Substansi yang
akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada sejarah hukum agraria
sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang
memanikan peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan
cita-cita dan tujuan Negara. Dalam kajian terhadap hukum agraria ini penulis
melakukan kajian dari pendekatan sejarah. Hal ini penulis anggap penting karena
perkembangan hukum agararia kedepan tidak akan terlepas dari proses dan
pergelutan yang melatarbelakangi lahirnya hukum agraria ini. Lebih lanjut
kenapa pendekatan sejarah hukum ini diperlukan adalah disebabkan beberapa
alasan sebagai berikut :[1]
1. Hukum
tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala
dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-bentuk
penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu sendiri
(sumber-sumber hukum materil).
2. Norma-norma
hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum. Henri
De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite Elementaire de
Droit Civil yang diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950, mengemukakan
bahwa semakin ia memperdalam studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa
sejarah hukum, lebih dahulu daripada logika dan ajaran hukum sendiri mampu
menjelaskan mengapa dan bagaimana lembaga-lembaga hukum kita mucul ke permukaan
seperti keberadaannya sekarang ini.
3. Sedikit
banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan
suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata
umum.
4. Hal
ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia
terhadap perbuatan semena-mena, bahwa hukum diletakkan dalam perkembangan
sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai suatu gejala historis.
Dari berbagai
alasan kenapa pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka penulis menganggap
perlu untuk melakukan kajian terhadap sejarah hukum agraria Indonesia. Dengan
demikian setidaknya dapat dilihat gambaran tentang hukum agrraria Indonesia
sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses masa lalu.
Dari uraian di
atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini dalam makalah
sederhana dengan judul “Hukum Agraria Indonesia : Sejarah dan
Perkembangannya”
B. Identifikasi
Masalah.
Dari uraian
latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam makalah ini
adalah :
1. Bagaimana
proses sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan terbentuknya UUPA 1960 ?
2. Bagaimana
perkembangan hukum agararia Indonesia dalam konteks kekinian ?
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan
Penelitian.
Dari kajian yang akan dilakukan dalam
makalah ini, penulis bertujuan untuk :
a. Mengetahui
proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang sejarah hukum
Indonesia.
b. Mengetahui
dan memahami perkembangan yang dialami hukum agraria Indonesia sampai dengan
saat sekarang ini.
2. Kegunaan
Penelitian.
a. Secara
Teoritis; makalah ini diaharapkan berguna untuk memperkaya litretaur kasanah
kajian hukum agraria Indonesia guna kemajuan ilmu pengetahuan hukum khususnya
di bidang hukum agararia Indonesia;
b. Secara
Praktis; makalah ini dapt berguna sebagai sumber kajian berikutnya dalam bidang
hukum ke-agraria-an Indonesia.
D. Kerangka
Teoritis.
Di mana ada
masyarakat, di situ ada hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di manapun di
dunia ini selama di situ ada masyarakat, maka di situ ada aturan hukum. Sejalan
dengan hal itu, hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Hukum
itu tumbuh dan berkembang dari refleksi kebutuhan-kebutuhan yang terungkap
dalam jalinan-jalinan hidup masyarakat di mana hukum itu hidup. Apapun corak
hukum itu dipengaruhi oleh jalinan kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu yang
merupakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan.
Friedrich Karl
von Savigny mengatakan bahwa masyarakat manusia di dunia ini terbagi ke dalam
banyak masyrakat bangsa. Tiap masyarakat bangsa itu mempunyai Volksgeist (jiwa
bangsa)-nya sendiri yang berbeda menurut tempat dan zaman. Volksgeist itu
dinyatakan dalam bahasa, adat istiadat, dan organisasi sosial rakyat yang
tentunya berbeda-beda menurut tempat dan zaman pula. Yang dimaksudkan
dengan Volksgeist adalah filasafat hidup suatu bangsa atau
pola kebudayaan atau kepribadian yang tumbuh akibat pengalaman dan tradisi di
masa lampau.[2]
Selanjutnya
Savigny melihat hukum itu sebagai hasil perkembangan historis masyarakat tempat
hukum itu berlaku. Isi hukum ditentukan oleh perkembangan adat istiadat rakyat
di sepanjang sejarah; isi hukum ditentukan oleh sejarah masyarakat manusia
tempat hukum itu berlaku.
W. Friedman
menyimpulkan esensi dari theori Savigny sebagai berikut :
“Pada permulaan sejarah, hukum sudah
mempunyai ciri yang tetap, khas untuk rakyat seperti bahasanya, adat
istiadatnya, dan konstitusinya. Gejala ini tidak berdiri sendiri, tetapi
merupkan kemampuan-kemapuan dan kecenderungan-kecenderungan dari masyarakat
tertentu, disatukan secara tak terpisah dalam tabiat dan menurut pandangan kita
mempunyai atribut-atribut yang jelas. Yang mengikat semua itu dalam suatu
keseluruhan adalah kesamaan pendirian dari rakyat. Kesadaran batiniah yang sama
perlu untuk membuang semua pikiran tentang asal mula yang kebetulan dan tidak
pasti ….hukum berkembang dengan berkembangnya rakyat dan menjadi kuat dengan
kuatnya rakyat dan akhirnya lenyap kalau rakyat kehilangan kebangsaannnya
…..maka inti teori ini adalah bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan
cara, seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa,
tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk, yakni bahwa hukum itu mula-mula
dikembangkan oleh adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum, kemudian oleh
yurisprudensi, jadi di mana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja diam-diam,
tidak oleh kehendak sewenang- wenang dari pembuat undang-undang”.[3]
Dengan
demikian, bahwa suatu tatanan hukum yang hidup dan ditaati keberadaannya di
masyarakat merupakan hasil hasil dari ekstraksi adat sitiadat, cita, rasa,
karsa masyarakat yang dikristalkan dalam bentuk seperangkat aturan yang
memiliki wibawa sehingga hal itu diikuti dalam rangka mencapai tujuan hidup
bermasyarakat yang tertib, teratur, dan adil.
Faham tersebut
di atas dikenal dalam ranah imu pengetahuan hukum dengan faham/mazhab sejarah
(historis). Faham inilah yang melandasi pijakan berfikir dalam makalah ini, di
mana bahwa hukum agraria yang berlaku dalam sistem hukum nasional adalah
merupakan hasil dari ekstraksi volkgeist bangsa Indonesia. Hal
mana ditegaskan dalam UUPA itu sendiri, bahwa UUPA tersebut berdasarkan hukum
adat. Seperti yang disebutkan oleh Pasal 5 UUPA, bahwa :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang
ini dan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam perundangan lainya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
BAB II
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. Pengertian
Agraria.
Boedi Harsono
membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam
arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan
Undang-undang Pokok Agraria.[4] Pertama
dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang
berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti
perladangan, persawahan, pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994,
Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah
pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa
Inggris agrarianselalu dairtikan dengan tanah dan dihubungakan
dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan
seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum
yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih
meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Di Indonesia
sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti
tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian.
Tetapi Agrarisch
Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan
dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan
hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka
perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari hukum administrasi negara.
Sebutan agrarische
wet, agrarische besluit, agrarische inspectiepada departemen Van
Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan Engelbrecht,
bagian agraria pad kementerian dalam negeri, menteri agraria, kementerian
agraira, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria, departemen
pertanian dan agraria, direktur jenderak agraria, direktorat jenderal agraria
pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian demikian.
Dalam tahun
1988 Badan Pertanahan Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor : 26 Tahun 1988,
yang sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen bertugas membantu Presiden
dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan
pertanahan sebagai nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi
lingkup tugas dan kewenangan yang sebelumnya ada pada departemen dan direktorat
jenderal agraria. Sebaliknya justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai
lingkup pengertian agraria yang dipakai di lingkungan administrasi
pemerintahan. Adapun administrasi pertanahan meliputi baik tanah-tanah di
daratan maupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut.
Adanya jabatan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet
Pembagnuan VI, juga tidak mengubah lingkup pengertian agraria. Sebutan jabatan
tersebut tampaknya untuk menunjukkan, bahwa tugas kewenangan Menteri Negara
Agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya sebagai
Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang disebut dalam KEPRES Nomor : 26 Tahun
1988.
Dalam Kepres
Nomor : 44 Tahun 1993 ditentukan, bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan danmenyelenggarakan antar
lain fungsi : c. Mengkoordinasi kegiatan seluruh Instansi Pemerintah yang
berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah
secara menyeluruh. Dengna adanya fungsi koordinasi Menteri Agraria
dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet
Pembanguan VI ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Biarpun tidak
dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam Konsiderans,
pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan, bahwa pengertian agraria
dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas.
Pengertian
agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam
batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang
angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan
unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
Pengertian bumi
meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta
yangberada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo.Pasal 4 ayat(1)). Dengan demikian
pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi
yang berada di bawah air, termasuk air laut.
Sehubungan
dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen
Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di
luar perairan wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-undang
Nomor : 4 Prp Tahun 1960, sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih
meungkin diselenggarakan eksplorasi dan sksploitasi kekayaan alam. Penguasaan
penuh dan hak ekslusif atas kekayaan alam di LKI tersebut serta pemilikannya
ada pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-undang Nomor :1
Tahun 1973)(LN. 1973-1, TLN 2994).
Pengertian air
meliputi baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1 ayat
(5)). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang : Pengairan (LN 1974-65)
pengertian air tidak dipakai dalam arti yang seluas itu. pengertiannya meliputi
air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang
meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).
Kekayaan alam
yang terkandung di dalam bumi sidebut bahan-bahan galian, yaitu unsur-unsur
kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk
batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Undang-undang Nomor
:11 Tahun 1967 tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (LN 1967-227,
TLN 2831).
Kekayaan alam
yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang
berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia. (Undang-undang
Nomor : 9 Tahun 1985 tentang : Perikanan, LN. 1985-46).
Dalam hubungan
dengan kekayaan alma di dalam tubuh bumi dan air tersebut perlku
dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zone Ekonomi Eksklusif, yaitu meliputi
jalur perairan dengan batas terluar 200 mili laut diukur dari garis pangkal
laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukamn
eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati
dan non hayati yang terdapat di dasar laut serta tuuh bumi di bawahnya dan air
di atasnya, ada pada Negara Republik Indonesia. (Undang-undang Nomor : 5 Tahun
1983 tentang : Zone Ekonomi Eksklusif LN. 1983-44).
Sementara, A.P.
Parlindungan menyatakan bahwa pengertian agraria mempunyai ruang lingkup, yaitu
dalam arti sempit, bisa terwujud hak-hak atas tanah, atupun pertanian saja,
sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian yang
meluas, yakni bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Dari batasan
agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di atas mirip dengan
pengertian ruang dalam undang-undang Nomor : 24 Tahun 1992 tentang :
Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang adalah wadah
yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udata sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Dari uraian
pengertian agraria di atas, maka dapat disimpulkan pengertian agraria dengan
membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan pengertian agraria dalam arti
sempit. Dalam arti sempit, agraria hanyalah meliputi bumi yang disebut tanah,
sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang
dimaksudkan di sini adalah bukan dalam arti fisik, melainkan tanah dalam
pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah
pengertian agraria dalam arti luas.
B. Pengertian
Hukum Agraria.
Beberapa pakar
hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum agraria,
antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.
Subekti dan
Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan yang hukum perdata,
tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan bumi,
air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang
yang bersumber pada huungan tersebut.[5]
Prof. E.
Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadai bagian dari hukum
tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi,
air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang bertugas mengurus masalah
agraria.[6]
Daripada itu,
sesuai dnegan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria meliputi :
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam. Oleh karenanya
pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam
arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :
1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;
2. Hukum air, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas air;
3. Hukum pertambangan, yang mengatur
hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang
pokok pertambangan;
4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak
atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;
6. Hukum penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan
oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan
pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan,
yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud
tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan
tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi,
air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas
menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.
C. Hukum
Tanah.
Dalam
pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar berdimensi
dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini buakan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu
aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam hukum,
tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa
yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun
demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek
kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya
adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan
dikuasai dalam berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa tanah dalam artu yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang
berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Yang dimaksud
dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk
mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas
ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepda pemegang hak atas tanah diberikan
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi
dan air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan
langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak
atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
1. Hak
bangsa Indonesia atas tanah;
2. Hak
menguasai negara atas tanah;
3. Hak
ulayat masyarakat hukum adat;
4. Hak-hak
perseorangan, meliputi :
a. Hak-hak
atas tanah, meliputi :
1). Hak
milik atas;
2). Hak
guna usaha;
3). Hak
guna bangunan;
4). Hak
pakai;
5). Hak
sewa;
6). Hak
membuka tanah;
7). Hak
memungut hasil hutan;
8). Hak-hak
yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam Pasal 53 (UUPA).
b. Wakaf
tanah hak milik;
c. Hak
jaminan atas tanah (hak tanggungan);
d. Hak
milik atas satuan rumah susun.
Hukum tanah
adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum
konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara
sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu
sistem.[7]
Objek hukum
tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum;
Hak penguasaan atas tanah ini belum
dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek
atau pemegang hak.
2. Hak
penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit;
Hak penguasaan atas tanah ini sudah
dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan atau orang atau badan hukum
tertentu sebagai subjek pemegang haknya.
Dalam kaitannya
dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya,
ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas pemisahan
horisontal dan asas pelekatan vertikal.
Asas pemisahan
horisontal yaitu suatu asas yang mendasrkan pemilikan tanah dengan memisahakan
tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut. Sedangkan asas
pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasrkan pemilikan tanah san segala benda
yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu.
Asas pemisahan
horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar belakang peraturan
yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam pengaturan hukum
adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas pelekatan vertikal
merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam
pengaturan KUHPerdata.
Dalam bukunya,
Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa sejak berlakunya KUHPerdata kedua asas ini
diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu
(masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam hukum
pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II
KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah
dicabut, kecuali tentang hipotik. Dengan demikian pengaturan tentang hukum
tanah dewasa ini telah merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu
hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan
berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5 UUPA).[8]
D. Sumber
Hukum Agraria.
1. Sumber
Hukum Tertulis.
a. Undang-Undang
Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Di mana dalam Pasal 33 ayat (3)
ditentukan :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
b. Undang-undang
Pokok Agraria.
Undang-undangg ini dimuat dalam
Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran
Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara
nomor 2043.
c. Peraturan
perundang-undangan di bidang agraria :
1). Peraturan
pelaksanaan UUPA
2). Pertauran
yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktik.
d. Peraturan
lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan,
masih berlaku.
2. Sumber
Hukum Tidak Tertulis.
a. Kebiasaan
baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya :
1). Yurisprudensi;
2). Praktik
agraria.
b. Hukum
adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah
dibersihkan.
BAB III
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
A. Hukum
Agraria Kolonial.
Dari segi
berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hukum
agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum
diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan
2. Hukum
Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
Dari konsideran
UUPA di bawah kata ”menimbang”, dapat diketahui beberapa ciri dari hukum
agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1. Hukum
agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan
dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya,
hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
2. Hukum
agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum
adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi
rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Beberapa
ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum
tahun 1870.
a. Pada
masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan
pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari
persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur
penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.
Beberapa
kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang
ditetapkan oleh VOC, antara lain :[9]
1). Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus
diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan
sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2). Verplichte
leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan
oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen
dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan
ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak
berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3). Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja
rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah
pertanian.
b. Masa
Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari
perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah,
hingga menimbulkan tanah partikelir.
Kebijakannya
itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina,
Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah
partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang
mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya
ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang
disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak
pertuanan, misalnya :[10]
a. Hak
untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepal-kepala
kampung/desa;
b. Hak
untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk;
c. Hak
untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil
pertanian dari penduduk;
d. Hak
untuk mendirikan pasar-pasar;
e. Hak
untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
f. Hak
untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan
tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan
sebagainya.
3. Masa
Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Pada masa
Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan
sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah
dikenakan pahaj bumi.
Dari hasil
penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa disimpulkan
bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan
menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka
sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna
sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang
dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik Raja
Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja
Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.
Beberapa
ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :[11]
a. Pajak
tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan
kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan utnuk menetapkan jumlah
sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala
desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah
oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak
tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut penguasaannya, jika petani
yang bersangkutan tidak mau atau tidak mempu membayar pajak tanah yang
ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan dinerika kepada petani lain
yang sanggup memenuhinya.
c. Praktik
pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah
rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa. Seharusnya luas pemilikan
tanahlah yang menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam
praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya
sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh dikuasai
seseorang.
4. Masa
Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830
Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal
dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel.
Dalam sistem
tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang
secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa
waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa
mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah
pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa
kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
Adanya monopoli
pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi
modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para
penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang
kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama.
Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah
dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih
kosong.
2. Sesudah
tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda).
a. Agrarische
Wet (AW).
Pada tahun 1870
lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari
hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa
itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische
Wet (AW) ini adalah sebagai respon terhadap kaingina
perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk
berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus dijamin.
AW
ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun
1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia, dengan
memasukkan Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan
5 ayat tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan
ayat 8. pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.
Pasal 51 IS ini
memuat :
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Ayat (8)
|
:
:
:
:
:
:
:
:
|
Gubernur
Jenderal tidak boleh menjual tanah.
Di dalam
larangan ini tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukan
perluasan kota dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan
kerajinan/industri.
Gubernur
Jenderal dapat menyewakan tanah dnegan ketentuan yang ditetpakan dengan
ordonansi. Ada pun tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia
asli, atau yang dipunyai oleh desa sebagai tempat pengembalaan umum atau atas
dasar lainnya tidak boleh dipersewakan.
Menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah dengan
Hak Erfacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.
Gubernur
Jenderal menjaga jangan sampai ada penberian Hak yang melanggar Hak penduduk
asli.
Gubernur
Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang
Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah kepunyaan
desa sebagai tempatpengembalaan umum atas dasar lainnya, kecuali untuk
kepentingan umum berdasrkan Pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaan tanaman
yang diselenggarakan atas perintah atasan dengan pemberian ganti rugi atas
tanah.
Tanah yang
dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli dengan Hak Milik (hak pakai
perseorangan yang turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang syah
diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan
pembatasan-pembatasan seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi dan
dicantumkan dalam surat eigendomnya, yakni mengenai
kewajiban-kewajiban terhadap negara dan desa serta wewenang untuk menjualnya
kepada bukan orang Indonesia asli.
Menyewakan
tanah-tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia
asli, kepada bukan orang Indonesia asli dilakukan menurut peraturan-peraturan
yang ditetapkan dengan ordonansi.
|
Terbentuknya AW
merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang
karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan
bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana
hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya
kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat
liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara
dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan
bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk
mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebut,
sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein
di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di
kalangan petani Jawa, sebagai akibat penyalah gunaan wewenang dalam melaksanakan
cuktuur stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.
Dari itu
jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kmeungkinan dan
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di
Hindi Belanda.
Selain itu AW
juga bertujuan untuk :
a. Memperhatikan
perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan :
1). Memberikan
tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka waktu lama, sampai 75
tahun.
2). Untuk
memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat.
b. Memperhatikan
kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
1). Melindungi
hak-hak tanah rakyat asli.
2). Memberikan
kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru (Agrarische eigendom).
Untuk
pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan
keputusan, diantaranya dalamAgrarische Besluit.
b. Agrarische
Besluit (AB).
Ketentuan-ketentuan
AW pelaksanaannya diatur lebih lanjuta dalam peraturan dan keputusan. Salah
satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk
Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische
Besluit (AB), S.1870-118.
AB terdiri dari
tiga bab, yaitu ;
1). Pasal
1-7 tentang hak atas tanah;
2). Pasal
8-8b tentang pelepasan tanah;
3). Pasal
19-20 tentang peraturan campuran.
Dalam Pasal 1
AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang sangat penting bagi
perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindi Belanda. Asas
tersebut dinilai sebagai kurang menghargai , bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat
atas tanah yang bersumber pada hukum adat.
Dinyatakan
dalam Pasal 1 AB tersebut :[12]
“Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der
voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet
anderen reght van eigendom wordt bewezen, domein van de staat is”.
Jika diterjemahkan :
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal
2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak
lain tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein negara
(milik) negara”.
AB hanya
berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB
tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan
Domein) semulanjuga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian
pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung
di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam
S.1875-119a.
Maksud dari
adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak
ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan
tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan
domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1). Vrijlands
Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada
hak penduduk bumi putera.
2). Onvrijlands
Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada
hak penduduk maupun desa.
Dalam
praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni :
1). Sebagai
landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan
hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak
opstal, dan hak erfacht.
2). Untuk
keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara
tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha lainlah yang
wajib membuktikan haknya.
Untuk diketahui
bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum adat,
sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal
570 BW, maka denga sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi
tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut
Pemerintah Hindia Belanda, adalah tanah-tanah seperti di bawah ini :
1). Tanh-tanah
daerah swapraja;
2). Tanah-tanah
yang menjadi eigendom orang lain;
3). Tanah-tanah
partikulir;
4). Tanah-tanah
eigendom agraria (Agrarische eigendom).
c. Erfacht
Ordonantie.
Mengenai
pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut AW harus diataur
dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan
mengenai hak erfacht, yaitu :[13]
a. Untuk
Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja :
1). Agrarische
Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;
2). Ordonansi
yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami perubahan , terakhir
dalam tahun 1913 disusun kembali dan diundangkan dalam S.1913-699.
b. Untuk
luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula ada beberapa
ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht yang berlaku di
daerah-daerah tertentu,
1). S.1874f
untuk Sumatera.
2). S.1877-55
untuk keresidenan Manado.
3). S.1888-58
utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.
Dalam tahun 1914 diundangkan satu
ordonansi utnuk semua daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat
dalam S.1914-367 Ordonansi yang baru itu dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie
Buitengewesten”. Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecuali Pasal
1-nya masing-masing.
c. Untuk
daerah-daerah swapraja luar Jawa :
Diatur dalam S.1910-61 dengan
sebutan erfachtordonantie Zelfbesturende Landschappen Buitengewesten.
Berlakunya di masing-masing swapraja menurut petunjuk Gubernur
Jenderal.
Sebelum adanya ordonansi itu di
daerah-daerah swapraja di luar Jawa tidak diberikan hak erfacht,
melainkan hak konsesi untuk perusahaan kebun besar.
Persewaan tanah rakyat kepada
perusahaan kebun besar diatur pula dengan ordonansi, yang telah mengalami
perubahan-perubahan menjadi :
1). Grondhuurordonantie (S.1918-88),
yang berlaku di Jawa dan Madura, kecuali Surakarta dan Yogyakarta;
2). Vordtenlands
Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di daerah swapraja
Surakarta dan Yogyakarta.
d. Agrarische
Eigendom.
Agrarische
eigendom adalah suatu
koninklijk besluit tertanggal 16 April 1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische
eigendom.
Yang dimaksud
dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak yang bertujuan
untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi,nsuatu hak yang kuat atas
sebidang tanah.Agrarische eigendom ini, dalam praktik untuk
membedakan hak eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam BW.
Agrarische
eigendom diatur dalam
Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 AB kemudian diatur
lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872 Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S.
1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara memperoleh Agrarische
eigendomdijelaskan di bawah ini, yaitu :
1). Apabila
seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak milik atas
tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka
pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, agar ia
ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van
erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya di
lkuar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain.
2). Untuk
ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang bersangkutan untuk
memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa berkepentigan akan
mengajukan keberatan-keberatan terhadap permohonan uitwijzing van erfelijk
individucel gebbruikrecht di atas.
3). Dengan
berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka agrarische
eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang bersangkutan
bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.
4). Agrarische
eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka Agrarische
eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan sebagaimana
dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan mendapat surat tanda bukti
hak.
5). Setiap
peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan di Kantor
Pengadilan Negeri.
Tujuan
adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk
memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang
pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi dalam
praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische
eigendomtidak banyak dipergunakan.
3. Hukum
Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
KUHPerdata yang
berlaku di Indonesia merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan
KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan beberapa perubahan, berdasarkan asas
konkordansi[14]diberlakukan
di Indonesia.
Kaitannya
dengan pemberlakuan hukum perdata di Hindia Belanda harus juga diperhatikan
politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang terapkan dalam pemberlakuan hukum
bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum penggolongan
penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan sebagaimana
dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S. (Indische Staatsregeling) yakni :
1). Golongan
Eropa dan dipersamakan dengannya;
2). Golongan
Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa
seperti Arab, India, dan lain-lain;
3). Golongan
Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas semua
suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Dengan demikian
di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis). Pertama,
terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan warga negara seperti yang
sudah diuraikan di atas :
1). Untuk
bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah
berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi
hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan
masyarakat.
2). Untuk
warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab
Undang-udang Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(WvK), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada
sedikit penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai
upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak
berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand
tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak
(adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai akibat
politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata, hukum tanah pun
berstruktur ganda atau dulaistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat
peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat yang tidak
tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam
buku II KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis.
Ini berarti,
bahwa hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum di kalangan
orang-orang dari golongan bumi putera diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan
hukum adatnya masing-masing. Demikian pula dengan kalangan orang-orang dari
golongan yang lain. Hukum yang ditetpkan adalah hukum yang berlaku untuk
golongan masing-masing.
Adapun
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang pribumi dan orang-orang non pribumi
diselesaikan apa yang disebut Hukum Antar Golongan atau hukum intergentiel.
Dalam peristiwa hubungan hukum semacam itu timbul pertanyaan hukum mana yang
berlaku. Pertanyaan itu timbul karena pemerintah Hindia Belanda menganut
apayang disebut asas persamaan derajat atau persamaan penghargaan bagi
stelse-stelsel hukum yang berlaku, baik hukum barat, hukum adat
golongan pribumi maupun hukum adat golongan timur asing bukan Cina. Tidak ada
salah satu di antaranya yang superior atau dihargai lebih tinggi dari yang lain.
Maka dalam menyelesaikan peristiwa hukum antar golongan tidak musti salah satu
stelsel hukum tertentu yang harus diberlakukan.
Perihal
peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam KUHPerdata adalah
Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam buku II
KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang dikenal
yaitu :
1) Tanah eigendom,
yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyai kekuatan mutlak atas tanah
tersebut;
2) Tanah
hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lain yang
dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya di samping hak
opstal tersebut memberikan wewenang terhadap benda-benda tersebut kepada
pemegang haknya juga diberikan wewenang-wewenang yaitu :
a). Memindah-tangankan
benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b). Dapat
dijadikan jaminan utang;
c). Dapat
diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut
belum habis waktunya menurut perjanjian yang telah ditetapkan bersama.
3) Tanah
hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah orang
lain dan menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut,
keweangangan pemegang hak erfacht hampir sama dengan kewewnangan hak opstal.
4) Tanah
hak gebruis, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.
Di samping hak
atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak Indonesia,
seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat. Ada pula
tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda seperti agararische
eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan
pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan
hak-hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut
tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak
adat.
Tanah-tanah hak
barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings
Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie S.
1834-27 dan dipetakan oelh Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan
kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak
dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal
mengenai tanah yang dihaki, sert aperolehannya, pembebanannya diatur menuurut
ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.[15]
Tanah-tanah hak
adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat
yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang teridiri atas apa yang disebut
tanh ulayat msyarakat-masayrakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak
milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda.
Untuk
tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja Sumatera
Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja. Di daerah Kesultanan
Deli misalnya dikenal tanh-tanah yang dipunyai dengan apa yang disebut :[16]
1) Grant
Sultan semacam hak milik adat, diberikan oleh pemrintah swapraja,
khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat swapraja;
2) Grant
Controleu, diberikan oleh pemerintah swapraja bagi bukan kaula swapraja,
didaftar di kantor Controleur (pejabat pangreh praja Belanda);
3) Grant
Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan diberikan oleh Deli
Maatschappaij, juga didaftar di kantor perusahaan tersebut. Deli Maatschappaij
adalah suatu perusahaan yang mempunyai usah perkebunan besar tembakau dan
bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah, memperoleh tanah yang luas
dari pemerintah swapraja Deli dengan Grant. Tanah tersebut
dipetak-petak dan diberikan kepada yang memerlukan oleh Deli Maatschappaij
kepada juga dengan grant yang merupakan “sub-grant” dikenal dengan sebutan
“grant D”, singkatatan dari grant Deli Maatschappaij.
4) Hak
konsesi untuk perusahaan perkebunan besar, diberikan oleh pemerintah
swapraja dan didaftar di kantor residen.
4. Sesudah
Tahun 1942.
Pada periode
sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
a. Periode
kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan pemanfaatana tanah dan
penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan
utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c. Permulaan
akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
d. Usaha
pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e. Kerusakan
fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah melampaui batas
kemampuannya.
Pada masa
penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia menurut hukum adat
tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat hukumnya
tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung.
Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;
a. Hak
persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl;
b. Hak
perorangan atas tanah :
1) Hak
milik, hak yayasan;
2) Hak
wenang pilih, hak mendahulu;
3) Hak
menikmati hasil;
4) Hak
pakai;
5) Hak
imbal jabatan;
6) Hak
wenang beli.
Pada masa
kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah
bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya,
sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.
5. Hukum
Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas
nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di
tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal
yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah
perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan
keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata
kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut :[17]
a. Mendata
kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-tanah
perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah Malang luasnya tanah
perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat
seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ±23.000
Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut
perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000
Ha. telah diduduki rakyat seluas ± 80.000 Ha.
b. Pendudukan
tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan
menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi
negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan
yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah
pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu
ditertibkan.
c. Pemakian
tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan
akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
d. Pemakaian
tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan
yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk itu, maka
dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian soal
Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan bertingkat
2 (dua) sebagai berikut :
a. Tahap
pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat
dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan
dengan rakyat/penggarap;
b. Tahap
kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak
berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut
akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan :
1) Kepentingan
rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yangbersangkutan;
2) Kedudukan
perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara.
Agar
pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka
diatur ketentuan sebagai berikut :
a. Kemungkinan
pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik
sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya
penyelesaian;
b. Ancaman
hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
c. Ancaman
hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih
terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan;
d. Ketentuan
tentang harus mengadakan pengosongan.
Untuk mencegah
pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan
perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu
Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain
ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah
telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut :
1. Undang-undang
Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik
Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2. Undang-undang
Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah
Perkebunan.
3. Undang-undang
Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan
Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan
lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang
kembali ke negerinya.
B. Politik
Hukum Agraria Kolonial.
Politik agraria
dimaksudkan adalah kebijaksanaan dalam bidang ke-agraria-an. Prof. Dr. Mahfud
M.D. dalam bukunya “Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”, memberikan
pengertian politik hukum. Dalam bukunya itu disebutkan bahwa politik hukum
adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan
oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan
hukum baru dan penggantian hukum lama.[18]
Dengan
demikian, politik hukum agraria merupakan arah kebijaksanaan hukum dalam bidang
agraria dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan,
mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber daya alam lainnya yang
terkandung di dalamnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dimana dalam
pelaksanaan legal policyitu dapat dituangkan dalam sebuah peraturan
perundang-undangan yang memuat asas, dasar, dan norma dalam bidang agraria
dalam garis besar.
Sementara itu,
politik hukum agraria kolonial adalah prinsip dagang, yakni untuk mendapatkan
hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual
dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencari keuntungan
sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai
pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan pengusaha
Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat
mendalam.
Sistem kolonial
ditandai dengan 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan
dependensi. Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan penjajah yang
minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh
keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk
peribumi. Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk
kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil
peoduksinyaaunutk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah
itu dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi
atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang
superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang
rendah atau hina. Dependensi atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadao
penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam
hal modal, teknologim pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah
dan miskin.[19]
Politik hukum
agraria kolonial dimuat dalam Agrarische Wet (AW) S.1870-55
dengan isi dan maksud serta tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan
primer :
Memberikan kesempatan kepada pihak
swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah unutk waktu
yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Di samping itu untuk
memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atu mendapat hak pakai
atas tanah langsung dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang
ditetapkan dengan ordonansi. Meaksudnya adalah memungkinkan berkembangnya
perusahaan pertanian swasta asing.
2. Tujuan
sekunder.
Melindungi hak penduduk Bumi Putera
atas tanahnya, yaitu :
a. Pemberian
tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak Bumi Putera;
b. Pemerintah
hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila diperlukan untuk kepentingan
umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari atasan dengan pemberian
gantik kerugian;
c. Bumi
Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat yaitu
hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom);
d. Diadakan
peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan Bumi Putera.
Dlam perjalanan
berlakunya AW terjadi penyimpangan terhadap tujuan skundernya, yaitu adanya
penjualan tanah-tanah mili pribumi langsung kepada orang-orang Belanda atau
Eropa lainnya. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah milik
Bumi Putera dari pembelian orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, maka
pemerintah Hindi Belanda mengeluarkan kebijaksanaan berupa Vervreemdingsverbod S.1875-179.
Yang dimaksud
dengan Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah
tidak dapat dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan
orang Indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk
memindahkan hak tersbut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah
batal karenanya.
Selain AW, maka
pemerintah Hindia Belanda juga telah mengeluarkan kebijakan agraria dalam Agrarische
Besluit (AB) sebagai pelaksanaan dari ketentuan AW. AB ini diundangkan
dalam S.1870-118. yang terpenting dalam AB ini adalah adanya pernyataan domein
negara atau lebih dikenal denganDomein Verklaring.
Berkaitan
dengan struktur agraria warisan penjajah, menurut Imam Soetiknjo, bahwa
struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria kolonial
apabila :[20]
1. Dipandang
dari sudut hukumnya tidak ada kesatuan hukum.
a. Ada
dua macam (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang dibawa dan diberlakukan di
Hindia Belanda oleh pihak penjajah Belanda dan hukum adat penduduk Bumi Putera;
b. Hukum
adat di Indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di pelbagai daerah
(plurisme) yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak bertentangan
dengan politik agraria penjajah;
c. Ada
hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi yang bukan hukum barat, yaitu
hak agraris eigendom.
2. dilihat
dari sudut objeknya, tidak ada kesamaan status subjek.
a. Ada
pemegang hak yang orang orang Bumi Putera, ada yang bukan orang Bumi Putera
yang sistem hukumnya berbeda;
b. Yang
bukan Bumi Putera ada :
1) Orang
asing bangsa Eropa/Barat;
2) Orang
keturunan asiang;
3) Orang
Timur Asing.
3. dilihat
dari yang menguasai/memiliki tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan
antara mausia dengan tanah.
a. Ada
besar golongan manusia (petanai) yang tidak mempunyai tanah atau yang mempunyai
tanah yang sangat sempit;
b. Di
lain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa, pengusaha asing, tuan tanah,
pemilik tanah partikelir) yang memiliki/menguasai tanah;
4. Dilihat
dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam penggunaan tanah.
a. Tanah
di Jawa dan Madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan;
b. Di
luar Jawa, Madura dan Bali masih ada tanah luas yang bukan dibuka/diusahakan.
5. Dilihat
dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum.
a. Penjajah
Jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah orang asing yang menguasai atau
ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada di atasnya;
b. Rakyat
sendiri juga menduduki tanah perkebunan, pekarangan bahkan rumah orang
asing/bekas penjajah yang mengungsi secara tidak sah.
BAB IV
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)
SEBAGAI HUKUM AGRARIA NASIONAL
A. Upaya
Penyusunan Hukum Agraria Nasional.
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945
oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan suatu tonggak sejarah
sebagai simbol terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat. Secara yuridis, proklamasi tersebut memiliki makna terputusnya atau
tidak berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional,
sedangkan secara politis, proklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa
Indonesia terlepas dari penjajahan menjadi bangsa yang merdeka.
Proklamasi
kemerdekaan tersebut memberi arti penting terhadap upaya penyusunan hukum
agraria nasional. Pertama dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
memutuskan hubungan dengan hukum agraria kolonial sekaligus, yang kedua, bangsa
Indonesia berupaya membentuk hukum agraria nasional.
Meskipun
demikian, dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia ternyata tidak serta
merta pemerintah dapat dengan mudah membentuk hukum agraria nasional, hal itu
membutuhkan waktu yang cukup lama sampai terbentuknya hukum agraria yang
bersifat nasional. Dengan demikian, guna mencegah adanya kekosongan hukum (reccht
vacuum), maka sambil menunggu terbentuknya hukum agraria nasional
diberlakukanlah Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945[21],
yaitu : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini”.
Dengan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, maka segala badan maupun peraturan yang
ditetapkan dan merupakan produk kolonial dinyatakan masih tetap berlaku selama
hal tersebut belum dicabut, belum diubah atau belum diganti dengan hukum yang
baru.
Dasar politik
hukum agraria nasional dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan
:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Ketentuan
tersebut bersifat imperatif, artinya berbentuk perintah kepada negara agar
bumi, air dan kekayaan alamyang terkandung di dalamnya nyang diletakkan di
bawah penguasaan negara harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat Indonesia.
Upaya yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum Agraria kolonial
dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka, yaitu :[22]
1. Menggunakan
kebijaksanaan dan penafsiran baru.
Dala pelaksanaan hukum agraria
didasarkan atas kebijaksanaan baru dengan memakai tafsir yang baru pula yang
sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. tafsir baru di
sini, conthnya adalah menegenai hubungan domein verklaring, yaitu
negara tidak lagi sebagai pemilik tanaah, melainkan negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.
2. Penghapusan
hak-hak konversi.
Salah satu warisan feodal yang sangat
merugikan rakyat adalah lembaga konversi yang berlaku di karasidenan Surakarta
dan Yogyakarta. Di daeran ini semua tanah dianggap milik raja. Rakyat hany
sekedar memakainya, yang diwaibkan menyerahkan sebagian dari hasil tanah itu
kepada raja, jika tanah itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa, jika
tanahnya tanah perkarangan. Kepada anggota keluarganya atau hamba-hambanya yang
berjasa atau seti kepada raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian
tanah ini disertai pula pelimpahan hak raja atau sebagian hasil tanha tersebut
di atas. Mereka pun berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini dinamakan setelsel
apanage.
Tanah-tanah tersebut oleh raja atau
penegang apanage disewakan kepada pengusaha-pengusaha asing unutk usaha
pertanian, berikut hak untuk memungut sebgian dari hasil tanama rakyat yang
mengusahakan tanah itu. berdasarkan S.1918-20, para pengusaha asing tersebut
kemudian mendapatkan hak atas tanah oleh raja yang disebut hal konversi (beschikking
konversi). Keputusan raja, pada hakikatnya merupakan suatu keputusan
penguasa untuk memakai dan mengusahakan tanah tertentu.
Berdasrkan Undang-undang Nomor 13 Tahun
1948 yang mencabut Stb.1918-20. dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1950, yang secara tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak
konversi serta hypotheek yangmembebaninya menjadi hapus.
3. Pengahapusan
tanah pertikelir.
Pada masa penjajahan dikeluarkan
kebijaksanaan di bidan pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda berpa tanah
partikelir yang di dalamnya terdapat hak peruanan. Dengan adanya hak pertuanan
ini, seakan-akan tanah-tanah partikelir tersebut merupakan negara dalam negara.
Tuan-tuan tanah yang mempunyai hak kekuasaan yang demikian besar banyak yang
menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan rakyat yang ada atau berdiam di wilayahnya.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah
Indonesia melakukan pembelian tanah-tanah partikelir, namun hasilnya tidak
memuaskan dikarenakan tidak tersedianya dan yang cukup juga karena tuan-tuan
tanah yang bersangkutan menuntut harga yang tinggi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik
partikelir atas tanahnya dan hak-hak pertuanannya hapus, dan tanah bekas
apartikelir itu karen hukum seluruhnya serentak menjadai tanah negara.
Undang-unang Nomor 1 Tahun 1958 pada
hakikatnya merupajan pencabutan hak, dan kepada pemilik tanah partikelir
diberikan ganti kerugian. Tanah partikelir dinyatakan hapus jika pembayaran
ganti kerugian telah sesuai.
4. Perubahan
peraturan persewaan tanah rakyat.
Praturan tentang persewaan tanah rakyat
kepada perusahaan perkebunan bedar khususnya dan orang-orang bukan Indonesia
asli pada umumnya sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk
Jawa dan Madura diatur dalam dua peraturan, yaitu Grondhuur Ordonantie S.1918-88
untuk daerahpemerintahan langsung dan Voerstenlands Grondhuureglement S.1918-20
untuk Surakarta dan Yogyakarta (daerah-daerah swapraja). Menurut ketentuan ini
persewaan tanah dimungkinkan berjangka waktu palig lama 21,5 tahun.
Setelah Indonesia merdeka, kedua
peraturan tersebut diubah dengan ditambahkan Pasal 8a dan 8b serta Pasal 15a
dan 15b oleh Undang-undang Darurat Nomor 6 Tahun 1951. undang-undang Darurat
ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1952. Dengan
penambahan pasal-pasal tersebut, maka persewaan tanah rakyat untuk tanama tebu
dan lain-lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya diperbolehkan
paling lama 1 tahun atau 1 tahun tanaman. Adapun besar sewanya ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri, kemudian oleh Menteri Agraria. Dengan demikian, rakyat tidak
lagi dirugikan karena besar dan jumlah sewanya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan harga pada saat itu dan waktunya hanya untuk 1 tahun tanaman.
5. Peraturan
tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 24
Tahun 1954 yang menetapkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang
Pemindahan Tanah-tanah dan Barang-barang Tetap Lainnya yang Tunduk Pada Hukum
Eropa, dinyatakan bahwa sambil menunggu pengaturan lebih lanjut unutk sementara
untuk setiap serah pakai lebih dari 1 tahun dan perbuata-perbuatan yang
berwujud pemindahan hak mengenai hak tanah-tanah dan barang-barang tetap
lainnya yang tunduk pada hukum Eropa hanya dapat dilakukan setelah mendapat
ijin dari Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya
dari Menteri Agraria).
Semua perbuatan yang dilakukan di luar
izin menteri tersebut dengan semdirinya batal menurut hukum, artinya
tanah/rumahnya kembali pada penjual, uangnya kembali kepada pembeli jika
perbuatan berbentuk jual beli. Peraturan mengenai perizinan ini dimaksudkan
untk mencegah atau paling tidak mengurangi kemungkinan jatuhnya tanah-tanah
Eropa, termasuk rumah atau bangunan yang ada di atasnya ke tangan orang-orang
dan badan-badan hukum asing.
Ketentuan di atas dilengkapi dengan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan
Hak-hak Atas Tanah Perkebunan Erfacht, Eigendom, dan lain-lain Hak Kebendaan.
Dikeluarkan juga peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan
Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanh Perkebunan Konsesi, yang kemudian
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1959.
Menurut ketentuan di atas, setiap
perbuatan yang berwujud pemindahan hak dan setiap serah pakai untuk lebih dari
satru tahun mengenai tanah erfacht, eigendom, dan hak-hak kebendaan lainnya
atas tanah perkebunan, demikian tanah-tanah konsesi untuk perkebunan dari
bangsa Belanda dan bangsa-bangsa asinglein serta badan-badan hukum hanya dapat
dilakukan dengan izin Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun
1957 izinnya dari Menteri Agraria dengan persetujuan Menteri Pertanian).
Maksud praturan tersebut di atas adalah
untuk mengadakan pengawasan serta jaminan bahwa penerima haknya mampu
mengusahakan perusahaan perkebunan yang bersangkutan dengan baik dan bahwa
kebun itu tidak akan dijadikan objek spekulasi belaka.
6. Peraturan
dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.
Atas dasar Undang-undang Nomor 29 Tahun
1956, Menteri Agraria dan Pertanian berwenanga melakukan tidakan-tindakan agar
tanah-tanah perkebunan yang mempunyai sifat sangat penting dalam perekonomian
negara diusahakan dengan baik. Dalam undang-undan gini juga ditetapkan bahwa
pemegang erfacht, eigendom dan hak kebendaan lainnya yang sudah mengusahakan
kembali perusahaan-perusahaan, wajib melakukan segala sesuatu yang perlu untuk
memulai atau meneruskan usahanya secaa layak menurut ketentuan yang ditetapkan
oleh Menteri Pertanian.
Jika pemegan hak tersebut belum
memenuhi kewajibannya, maka atas pertimbangan Menteri Pertanian, hak erfacht
yang bersanglkutan dapat dibatalkan oleh Menteri Agraria. Hak erfacht juga
dapat dibatalkan, jika menurut pertimbagnan Menteri Agraria dan Menteri
Pertanian sikap pemegang hak selama waktu yang ditentukan tidak berniat
mengusahakan perusahaan perkebunannya sebagaimana mestinya.
Tanaman dan bangunan di atas tanah
tersebut yang menurut keputusan Menteri Pertanian diperlukan untuk kelangsungan
atau memulihkan pengusahaan yang layak dikuasai oleh negara dengan pemberian
ganti kerugian.
7. Kenaikan Canon dan Cijn.
Canon adalah uang yang wajib dibayar oleh
pemgang hak erfacht setiap tahunnya kepada negara, sedangkan cijn adalah
uang yang wajib dibayar oleh pemegang konsesi perusahaan perkebunan besar. Pada
umumnya,ccnon dan cijn dulu tidak besar jumlahnya,
karena terutama dianggap sebagai tanfa pengakuan hak pemilik tanah yang
dikuasainya dengan hak erfacht atau konsesi.
Setelah Indonesia merdeka, sebgaian
besar tanah-tanah perkebunan sudah dibuka dan diusahakan, sehingga uang wajib
yang harus dibayar setiap tahunnya itu fungsi atau sifatnya lain, yaitu sebagai
sewa pemakaian tanah.
Dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1957
tentang Perubahan Canon dan Cijn Atas Hak-hak Erfacht dan Konsesi guna
perkebunan besar ditetpkan bahwa selambat-lambatnya 5 tahun sekali uang wajib
tahunan ini harus ditinjau kembali.
8. Larangan
dan penyelesaian soal pemakaiantanah tanpa izin.
Untuk mencegah meluasnya pemakaian
tanah-tanah perkebunan oleh rakyat tanpa izin pengusahanya dan untuk
menyelesaikan soal pemakaian tanah yang sudah ada, maka dikeluarkanlah
Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian
Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. Undang-undang darurat ini diubah dan ditambah
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961.
Ketentuan mengenai larangan pemakaian
tanah ranpa izin yangberhak atau kuasanya diatur oleh Undang-undang Nomor 51
Prp Tahun 1960. undang-undang ini kemudian diganti dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961.
Dalam Pasal 2 jo. Pasal 6
Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dinyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa
izin yang berhak atau kuasanya yang saha adalah perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan hukuman pidana, tetapi tidak selalu penunutan pidana. Menurut
Psal 3 jo. Pasal 5, dapat dilakukan penyelesaian melalui cara dengan mengingat
kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan rencana peruntukan dan penggunaan
tanah yang dipai itu.
9. Peraturan
perjanjian bagi hasil.
Perjanjian bagi hasi adalah salah satu
bentuk perjanjian antara pemili tanah dengan pihak lain sebagai penggarap, di
mana penggarap diperkenankan untuk mengusahakan tanah itu dengan pembagaian
hasilnya menurut imbagan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Perjanjian bagai hasil semula diatur
menurut hukum adat setempat. Imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua belah pihak. Pada umumnya, pembagian hasil tersebut tidak
menguntungka pihak penggarap, karena tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan
tidak seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan.
Mengingat bahwa golongan penggarap bagi
hasil itu biasanya golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan, maka dalam
rangka melindungi mereka, dikeluarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil. Undang-undanga ini mengharuskan agar pihak-pihak yang
membuat perjanjian bagi hasil dibuat secara tertulis, dengan maksud agar mudah
mengawasi dan mengadakan tindakan-tindakan terhadap mperjanjian bagi hasil yang
merugikan penggarapnya.
10. Peralihan
tugas dan wewenang agraria.
Setelah Indonesia merdeka sampai dengan
1955 urusan agraria berada dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955 dibentuk Kementerian Agraria
yang berdiri sendiri yang terpisah dari Kementerian Dalam Negeri. Dalam
Keputusna Presiden Nomor 190 Tahun 1957 ditetapkan bahwa Jawatan Pendafataran
Kehakiman semula masuk dalam lingkungan Kementerian Kehakiman dialihkan dalam
lingkungan Kementrian Agraria.
Berdasarka Undang-undang Nomor 7 Tahun
1958 ditetapkan pengalihan tugas dan wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri
kepada Menteri Agraria, serta pejabat-pejabat di daerah. Dengan keluarnya
undang-undang tersebut, maka lambat laun terbentuklah aparat agraria di tingkat
provinsi, karasidenan, dan kabupaten/kotamadya.
B. Sejarah
Penyusunan UUPA.
Perjalaanan
panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima Panitia rancangan,
yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan
Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo.
1. Panitia
Rancangan Yogyakarta.
a. Dasar
Hukum.
Panitia ini
dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948,
berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, Kepala Bagian
Agraria Kementerian Agraria. Panitia ini bertugas anatara lain :
1) Memberikan
pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum tanah pada
umumnya;
2) Merencanakan
dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia Republik Indonesia;
3) Merencanakan
peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama tentang tanah yang
tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang
merdeka;
4) Menyelidiki
soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.
b. Asas-asas
yang Menjadai Dasar Hukum Agraria Indonesia.
Panitia ini
mengusulkan tentang asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum Agraria
yang baru, yaitu :
1) Meniadakan
asas domein dan pengakuan adanya hak ulayat;
2) Mengadakan
peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang dapat dibebani
hak tanggungan;
3) Mengadakan
penyelidikan terutama di negara tetangga tentang kemungkinan pemberian hak
milik atas tanah kepaa orang asing;
4) Perlu
diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi apra petani kecil untuk
dapat hidup layak untuk Jawa 2 hektar;
5) Perlu
adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang siusulkan untuk pulau Jawa
10 hektar, tanpa memandang macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih diperlukan
penelitian lebih lanjut;
6) Perlu
diadkan regidsrasi tanah milik dan hak-hak lainnya.
c. Keanggotaan
Panitia.
Panitia
Yogyakarta beranggotakan sebagai berikut :
1) Para
pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan;
2) Anggota
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
3) Para
ahli hukum, wakil-wakil daerah dan ahli adat;
4) Wakil
dari dari sarikat buruh perkebunan;
2. Panitia
Jakarta.
a. Dasar
Hukum.
Panitia
Yogyakarta dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor : 3 6 Tahun 1951 tanggal
19 Maret 1951, sekaligus dubentuk Panitia Agraria Jakarta
yang berkedudukan di Jakarta.
b. Keanggotaan.
Panitia Jakarta
beranggotakan :
1) Ketua
: Sarimin Reksodihardjo, kemudian pada tahun 1953 diganti oleh Singgih
Praptodihardjo (Wakil Kepala Bagian Agraria Kementrian Agararia);
2) Pejabat-pejabat
kementrian;
3) Pejabat-pejabt
jawatan; dan
4) Wakil-wakil
organisasi tani.
c. Usulan
kepada pemerintah.
Dalam
laporannya panitia ini mengusulkan beberapa hal dalam hal tanah pertanian,
sebagai berikut :
1) Mengadakan
batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengna mengadakan peninjauan
lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris;
2) Mengadakan
ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai;
3) Pertanian
rakyat hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak dibedakan antara
warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah
rakyat;
4) Bagunan
hukum untuk pertanian rakyat ialah hakl milik, hak usaha, hak sewa, dan hak
pakai;
5) Pengeturan
hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan suatu undang-undang.
3. Panitia
Soewahjo.
a. Dasar
Hukum.
Guna
mempercepat proses pembentukan undang-undang agraria nasional, maka dengan
Keputusan Presiden RI tertanggal 14 Januari 1956 Nomor : 1 Tahun
1956, berkedudukan di Jakarta, diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris
Jenderal Kementrian Agraria. Tugas utama panitia ini adalah mepersiapkan
rencana undang-undang pokok agararia yang nasional, sedapat-dapatnya dalam
waktu satu tahun.
b. Rancangan
Undang-undang.
Panitia ini
berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-undang Pokok Agraria pada tanggal 1
Januari 1957 yang pada berisi :
1) dihapuskannya
asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentingan
mum (negara);
2) Asas
domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan Pasal 38 ayat
(3) UUDS 1950;
3) Dualisme
hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan hukum yang akan
memuata lembaga-lembga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam
hukum adat maupun hukum barat;
4) Hak-hak
atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial kemudian
ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai;
5) Hak
milik hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia yang tidak diadakan
pembedaan antara waraga negara asli dan tidak asli. Badan-badan hukum pada
asasnya tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah;
6) Perlu
diadakan penetapan batan maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi
milik seseorang atau badan hukum;
7) Tanah
pertanian pada asasnya perlu dikerjakan dan diushakan sendiri oleh pemiliknya;
Perlu diadakan
pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor : 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia Negara
Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) dibubarkan.
4. Rancangan
Soenarjo.
Setelah
diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa pasal, Rancangan Panitia
Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ek Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk
membahas rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan yang lebih lengkap
dengan meminta kepada Universitas Gadjah Mada, selanjutnya membentuk
panitia ad hoc yang terdiri dari :
Ketua merangkap
anggota :
A.M. Tambunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar