BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sepanjang
sejarah peradaban umat manusia, perang selalu memiliki tempat dalam setiap
perkembangannya karena perang kerapkali menghiasi perjalanan hidup manusia dan dinamikanya
sejak ribuan tahun yang lalu hingga sekarang.
Oleh
karena manusia seolah tak mampu menghindari adanya perang, maka manusia membuat
suatu hukum tentang perang yang mengatur pembatasan-pembatasan dan menetapkan
ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antar bangsa-bangsa.[1] Aturan
tersebut kini kita kenal dengan Hukum Humaniter Internasional.
Hukum
Humaniter Internasional yang diterapkan dalam sengketa bersenjata dibentuk untuk
menjamin sejauh mungkin penghormatan terhadap manusia, sesuai dengan
persyaratan militer dan keamanan umum, serta untuk mengurangi penderitaan
berlebihan yang disebabkan oleh peperangan. [2]
Hukum
perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau
hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban
manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri.[3]
Haryomataram
membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu:[4]
1. Hukum
yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den
Haag/The Hague Laws);
2. Hukum
yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari
akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).
1. Jus
ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana
negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
2.
Jus in bello, yaitu hukum yang
berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya
perang (condact of war). Bagian ini
biasanya disebut The Hague
laws.
b. Hukum yang mengatur perlindungan
orang-orang yang menjadi korban perang.
Hukum ini lazimnya disebut The Genewa Laws.
Berdasarkan
uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan
pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.
Hukum
Den Haag sendiri lebih memfokuskan diri
kepada peraturan mengenai alat dan cara berperang serta menekankan
bagaiman cara melakukan operasi-operasi militer. Olek karena itu hukum Den Haag
sangat penting bagi komandan militer baik yang bertugas di darat, di laut
maupun di udara. [6]
Hukum
Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang bersengketa tentang
cara melakukan operasi–operasi militer serta membatasi cara-cara yang dapat
menyebabkan kerusakan di pihak musuh. Peraturan-peraturan ini terdapat dalam
Konvensi-konvensi Den Haag 1899, yang semuanya revisi dari tahun 1907, dan
sejak 1977, dalam Protokol-protokol tambahan pada Konvensi-konvensi Jenewa, demikian pula dalam berbagai
perjanjian yang melarang atau mengatur penggunaan senjata.[7]
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah
yang akan dibahas pada penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1.2.1
Ketentuan apa sajakah
yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1899?
1.2.2
Ketentuan apa sajakah
yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1907?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.1.1
Untuk mengetahui
ketentuan apa saja yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1899.
1.1.2
Untuk mengetahui
ketentuan apa saja yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1907.
2.1
KONVENSI
DEN HAAG 1899
Hukum
Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan
serangkaian ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan
cara (metode) berperang (means and
methods of warfare).[8] Disebut dengan The Hague Laws, karena pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut
dihasilkan di kota Den Haag, Belanda. Hukum Den Haag terdiri dari serangkaian
ketentuan yang dihasilkan dari Konferensi 1899 dan ketentuan-ketentuan yang
dihasilkan dari konferensi 1907.
Konferensi
Den Haag 1899 diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899 yang
menghasilkan tiga konvensi (perjanjian internasional) dan tiga deklarasi (pernyataan)
pada tanggal 29 Juli 1899.
Adapun
tiga konvensi tersebut adalah :[9]
a. Konvensi
I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai;
b. Konvensi
II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; beserta Lampirannya;
c. Konvensi
III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang
Hukum Perang di Laut.
Sedangkan
tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai Berikut :
a. Deklarasi
tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran Proyektil-proyektil
dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa lainnya;
b. Deklarasi
tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas cekik atau
“asphyxiating gases”;
c. Deklarasi
tentang Peluru-peluru yang bersifat ‘mengembang’ di dalam tubuh manusia
(peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga
dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
Lahirnya
konvensi I Den Haag 1899 tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional
secara Damai tidak terlepas dari upaya untuk sebisa mungkin menyelesaikan
segala bentuk perselisihan dengan jalan damai tanpa perlu angkat senjata.
Mengingat bahwa perang dilakukan dengan persenjataan yang mengakibatkan
malapetaka yang lebih besar, maka tidaklah mengherankan apabila umat manusia
berusaha sekuat-kuatnya menghapuskan perang, atau sekurang-kurangnya memperkecil
timbulnya perang.[10] Suasana jemu terhadap perang itulah yang
melatar belakangi timbunya keinginan untuk membuat ketentuan dalam konvensi I
Den Haag 1899 tentang Penyelesaian Sengkata Internasional secara Damai.
Pada
awalnya tahun 1874 atas prakarsa Czar Alexander II dari Rusia, mengundang 15
negara Eropa berkumpul di Brussels untuk mempelajari suatu draft tentang the laws and customs of war, yang
diajukan oleh pemerintah Rusia. Tetapi ke-15 negara yang diundang tersebut
tidak mau meratifikasi Konferensi tersebut karena mereka tidak bersedia diikat
oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi itu. Akhirnya pada tahun
1899 di Den Haag atas prakarsa Rusia lagi dilangsungkan apa yang disebut First Hague Peace Conference. Salah satu
tujuan Konferensi tersebut adalah untuk mengadakan revisi dari Konvensi yang
sudah disetujui di Brussels pada tahun 1874.[11]
Ketentuan
Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai ini
tidak terlepas dari keinginan yang kaut untuk memelihara perdamaian umum. Konvensi
ini mulai berlaku pada 4 September 1900.
Pada judul I dari
Konvensi ini tentang On The Maintenance Of The Gereral
Peace/Pemeliharaan Perdamaian Umum yang terdiri
dari satu pasal menegaskan bahwa untuk menghindarkan sejauh mungkin hal yang
tidak diinginkan dalam hal adanya perbedaan antar negara, negara-negara yang
menandatangani persetujuan ini, sepakat untuk menggunakan upaya terbaik mereka
untuk menjamin penyelesaian persengketaan internasional.
Dalam judul II tentang On good Offices and Mediation terdapat 7 Pasal, dalam Pasal 2
menerangkan jika ada perselisihan atau konflik yang melanda suatu negara dengan
negara lain, sebelum menggunakan angkatan bersenjata, negara-negara
penandatangan sepakat untuk meminta bantuan, sejauh keadaan memungkinkan kepada
satu atau lebih negara sahabat untuk memberikan jasa-jasa baik atau mediasi.
Dalam Pasal 3 menjelaskan tentang bagaiamana suatu negara menawarkan jasa baik
atau mediasi kepada negara yang berselisih, dalam Pasal 6 menjelaskan jasa baik
atau mediasi yang dilakukan baik atas permintaan pihak yang berselisih atau
atas inisiatif negara lain terhadap negara yang berselisih hanya bersifat saran
dan tidak mengikat. Pada umumnya dalam judul II tentang jasa-jasa baik dan
mediasi ini telah memberikan ketentuan yang jelas bagi negara-negara yang
berselisih untuk menggunakan jasa-jasa baik atau mediasi sebelum mereka
menggunakan angkatan bersenjata, dan bagi negara lain di perbolehkan mengambil
langkah untuk menjadi penengah diantara negara yang berselisih.
Dalam judul III tentang On International Commissions of Inquary terdapat 6 Pasal, menjelaskan
tentang Komisi Penyelidikan Internasional yang memfasilitasi para pihak
berselisih yang belum bisa mencapai kesepakatan melalui diplomasi dalam mencari
fakta. Dalam Pasal 9 menjelasan bahwa sebuah lembaga bernama Komisi
penyelidikan Internasional hadir untuk memfasilitasi dalam mencari solusi dari perbedaan-perbedaan dengan
mencari fakta-fakta melalui investigasi yang mengedepankan ketidak berpihakan
dan ketelitian. Dengan kata lain Komisi Penyelidikan Internasional hadir
sebagai pilihan kedua bilamana jasa-jasa baik dan mediasi tidak berhasil
menyelesaikan perselisihan.
Dalam judul IV tentang On International Arbiration terdapat 3 (tiga) Bab. Bab I tentang Sistem Arbitrase terdiri
dari 5 Pasal, Bab II tentang Pengadilan
tetap Arbitrase terdiri dari 10 Pasal, dan Bab III tentang Prosedur Arbitrase terdiri dari 33 Pasal.
Pada Bab I tentang Sistem Arbitrase menjelaskan
bahwa penyelesaian perbedaan/perselisihan antar negara dilakukan oleh hakim
yang ditunjuk sendiri oleh mereka yang berselisih atas dasar penghormatan
terhadap hukum (Pasal 15). Bila ada pertanyaan yang bersifat hukum terutama
terhadap penafsiran dan penerapan Konvensi Internasional maka negara-negara
pendatangan Konvensi ini setuju bahwa Arbitrase adalah sarana yang paling
efektif dan adil dalam menyelesaikan sengketa ketika cara diplomasi telah gagal
(Pasal 16).
Pada Bab II tentang Pengadilan tetap
Arbitrase menjelaskan tentang Pengadilan tetap Arbitrase yang harus segera
dibuat untuk membantu menyelesaikan perselisihan/perbedaan internasional
bilamana jalan diplomasi tidak memungkinkan menyelesaikan masalah (Pasal
20). Pengadilan tetap juga harus
memiliki kompetensi yang tetap dalam setiap kasus Arbitrase, kecuali para pihak
menetapkan lain dengan membentuk lembaga khusus (Pasal 21).
Pada Bab III tentang Prosedur
Arbitrase menjelaskan tentang tujuan dan tata cara negara-negara menunjuk
arbiter (Pasal 30-34). Aturan umum dari prosedur Arbitrase terdiri dari dua
tahap yang berbeda, yakni pemeriksaan awal dan diskusi (Pasal 39). Dari Pasal
40 sampai dengan Pasal 57 menerangkan tentang prosedur Arbitrase di Pengadilan.
Sementara Pasal 58 samapai Pasal 61 berisi tentang aturan umum.
Konvensi yang terdiri dari 60 Pasal
ini berlaku mulai 4 September 1900. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan
untuk menjaga perdamaian dan mencegah konflik bersenjata, namun tidak semua jalan
pencegahan konflik bersenjata dapat dihentikan, maka perlu adanya peninjauan
kembali terhadap hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan umum dalam perang, baik
dengan memberikan pengertian, atau meletakkan beberapa batasan tertentu dalam
rangka untuk sejauh mungkin mengurangi kerusakan.
Ketentuan-ketentuan
dalam Konvensi ini diilhami oleh keinginan untuk menghilangkan kekejaman
peperangan, sejauh kepentingan militer memungkinkan, dimaksudkan untuk
dipergunakan sebagai suatu aturan umum bagi tindakan Belijeren dalam
hubungannya dengan pihak lain dan masyarakat.
Lampiran
pada Konvensi ini mengenai peraturan menghormati hukum dan kebiasaan perang di
darat dan terdiri dari 4 (empat) bagian.
Pada Bagian I tentang
pihak-pihak yang bersengketa terdapat 3 (tiga) Bab.
Bab
I membahas mengenai kualifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa. Dalam Pasal
1 menerangkan bahwa Hukum mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang
tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok
sukarelawan yang memenuhi persyararatan-persyaratan sebagai berikut:
1.
Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak buahnya;
2.
Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak jauh;
3.
Membawa senjata secara terbuka; dan
4.
Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan
perang.
Sementara
negara-negara di mana milisi atau kelompok sukarelawan merupakan atau menjadi
bagian dari tentara, maka mereka termasuk dalam pengertian "Angkatan
Darat".
Dalam
Pasal 2 menerangkan penduduk yang wilayahnya belum dikuasi musuh kemudian
mengangkat senjata secara terbuka meski tidak terorganisir harus dianggap
sebagai beligeren. Kemudian angkatan bersenjata yang dapat terdiri dari
kombatan dan non-kombatan jika tertangkap oleh musuh maka keduanya mempunyai
hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang (Pasal 3).
Bab
II membahas mengenai Tawanan Perang.
Pada Bab II ini terdapat 17 (tujuh belas) Pasal mengenai hak dan
kewajiban dari tawanan perang dan bagaimana pemerintah musuh memperlakukan hal
yang pantas pada tawanannya.
Bagian II tentang
Permusuhan terdapat 5 (lima) Bab.
Bab
I mengatur mengenai alat-alat melukai musuh, pengepungan dan pengeboman.
Di
dalamnya terdapat bagian terpenting, yaitu klausula pokok yang menyatakan bahwa
: hak para pihak yang berperang untuk menggunakan
alat-alat untuk melukai musuh adalah tidak tak berbatas (Pasal 22). Bagian ini
juga memuat larangan-larangan seperti:
-
Larangan penggunaan
racun atau senjata beracun, tindakan licik;
-
Larangan membunuh atau
melukai musuh yang terluka dan telah meletakkan senjatanya, atau tidak memiliki
senjata lagi untuk bertahan;
-
Larangan untuk membunuh
atau melukai mereka yang telah menyerah;
-
Larangan menyatakan
tidak ada pertolongan yang akan diberikan;
-
Larangan penggunaan
senjata, proyektil atau material yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak
perlu;
-
Larangan menggunakan
bendera perdamaian, bendera nasional, tanda-tanda militer, seragam musuh atau
tanda pembedaan dalam Konvensi Jenewa yang tidak pada tempatnya. Juga larangan
penjarahan, mata-mata dan penyalahgunaan bendera perdamaian (Pasal 23).
Perturan-peraturan
dasar diatas telah terbentuk menjadi kebiasaan yang diterima oleh negara-negara
sebagai hukum kebiasaan internasional.[12] Sementara
tipu daya perang dan penggunaan cara-cara yang diperlukan untuk memperoleh
informasi mengenai musuh dan negaranya diperbolehkan (Pasal 24).
Sedangkan
mengenai ketentuan bagaimana cara pengepungan dan pemboman diatur secara tegas
dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 27.
Di Pasal 28 segala bentuk penjarahan terhadap sebuah kota atau tempat dilarang,
walaupun diperoleh dengan cara penyerangan.
Bab
II tentang Mata-mata, dalam bagian ini dijelaskan tentang kualifikasi mereka
yang tergolong sebagai mata-mata dan mereka yang bukan mata-mata (Pasal 29).
Juga terdapat ketentuan bila tertangkapnya seorang mata-mata ketika ia
melakukan tugasnya tidak dapat dihukum tanpa melalui proses pengadilannya
sebelumnya (Pasal 30). Dari isi Pasal 30 tersebut dapat kita lihat bahwa
perlakuan terhadap musuh yang melakukan mata-mata jika tertangkap tidak boleh
diperlakukan secara sembarangan.
Bab
III tentang Bendera Gencatan Senjata, di Bab ini menjelaskan Seseorang dianggap
sebagai pembawa bendera gencatan senjata, yang diberi kewenangan oleh salah
satu Belijeren untuk berkomunikasi dengan pihak Belijeren lainnya dengan
membawa bendera putih. la berhak untuk tidak diganggu-gugat, demikian pula
peniup terompet, penabuh drum, pembawa bendera penerjemah yang mungkin
menyertainya (Pasal 32).
Pembawa
bendera gencatan senjata kehilangan hak tidak dapat digangu gugat apabila
terbukti dengan jelas dan tidak dapat dibantah, telah mengambil keuntungan dari
posisinya yang istimewa itu untuk menginterogasi atau melakukan pengkhianatan
(Pasal 34).
Gencatan senjata harus diberitahukan secara resmi
dan dalam waktu yang tepat melalui pihak yang berwenang dan pasukan. Pertempuran ditangguhkan segera setelah pemberitahuan, atau pada tanggal yang tetap
(Pasal 38).
Bila ada pelanggaran dalam Gencatan Senjata yang dilakukan oleh salah satu
pihak terhadap pihak lain maka telah memeberikan hak kapada pihak yang
dilanggar, bila keadaan mendesak untuk memulai lagi pertempuran (Pasal 40). Dan
bila pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan gencatan senjata dilakukan oleh
seorang individu yang bertindak atas inisiatif sendiri maka dapat menuntut
hukuman hanya kepada si pelanggar dan jika perlu ganti rugi atas kerugian yang
diderita (Pasal 41).
Bagian III tentang
Penguasa Militer di Wilayah Negara yang Bertikai. Pada
bagian ini menerangkan tentang suatu wilayah dinyatakan diduduki ketika wilayah
tersebut secara nyata berada di bawah penguasaan pasukan musuh (Pasal 42).
Sementara
dalam Pasal 43 sampai Pasal 45 memberi ketentuan kepada Penguasa Militer untuk
menghormati hukum di wilayah yang diduduki, dilarang untuk memaksa penduduk
dari wilayah yang diduduki untuk memberikan informasi mengenai tentara dari
pihak berperang lainnya, atau mengenai alat-alat pertahanan mereka. Dan
dilarang untuk memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk bersumpah
setia kepada Penguasa Pendudukan.
Sedangkan
dalam Pasal 46 memberikan perlindungan terhadap Kehormatan dan hak-hak keluarga
dan hak hidup manusia serta hak milik pribadi dan juga praktik keagamaan serta
kebebasan beribadah harus dihormati. Hak milik pribadi tidak boleh dirampas.
Melakukan
penjarahan pun dilarang di dalam Pasal 47. Di dalam Pasal 48 sampai 51
memberikan kebolehan kepada Penguasa Pendudukan untuk mengumpulkan pajak dengan
menyesuaikan pada kondisi wilayah yang diduduki, namun pengumpulan pajak tidak
boleh dengan kesewenang-wenangan. Sementara Pasal 52 sampai 56 menjelskan
ketentuan-ketentuan kepada Pengusa Pendudukan tentang hak dan kewajiban, apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Penguasa Pendudukan terhadap wilayah
dan penduduk daerah yang diduduki agar tidak ada kesewenang-wenangan.
Bagian IV tentang Menginternir
Pihak yang Bersengketa dan Perawatan mereka yang Terluka di Negara Netral. Pada
bagian ini terdapat 4 (empat) Pasal, yang mengatur ketentuan negara netral dalam
mebantu merawat korban yang terluka (Pasal 57-59). Sedangkan pasal terakhir
yakni Pasal 60, menjelaskan tentang pemberlakuan Konvensi Jenewa terhadap
mereka yang sakit dan terluka pada wilayah netral.
Konvensi
ini terdiri dari 14 (empat belas) Pasal. Pada Pasal I menjelaskan bahwa Kapal rumah sakit militer, yakni: kapal yang dibangun
atau ditugaskan oleh Negara-negara yang khusus dan semata-mata
untuk tujuan membantu korban luka, sakit atau
terdampar, yang mana harus
telah dikomunikasikan kepada negara-negara yang bersengketa di
awal atau selama persengketaan berlangsung, dan dalam hal apapun
sebelum mereka bekerja, harus menghormati dan dilarang menangkap
atau mengganggu kapal rumah sakit karena mereka berlabuh
pada pelabuhan yang netral. Sementara dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 14
mengatur ketentuan tentang keberadaan kapal rumah sakit militer yang harus
dilindungi dari penangkapan dan penyerangan oleh pihak yang bersengketa,
kewajiban kapal perang militer unrtuk mengupayakan bantuan-bantuan kepada yang
terluka, sakit dan terdampar dari pihak yang berperang secara independen dari
kebangsaan mereka. Kapal-kapal rumah sakit militer harus diberikan tanda
pembeda pada catnya dan mengibarkan bendera putih dengan salib merah sesuai
dengan ketentuan Konvensi Jenewa. Kemudian setiap staf agama, medis atau rumah
sakit dari setiap kapal yang ditangkap tidak bisa dijadiakan sebagai tawanan
perang. Pelaut
dan prajurit yang diambil di atas kapal ketika sakit atau terluka, apa pun negara mereka,
harus dilindungi dan dijaga oleh para penculik. Sementara dalam Pasal
11 terdapat ketentuan yang menarik, yakni Aturan yang terdapat
dalam Pasal Konvensi ini hanya
mengikat negara-negara yang setuju dalam Konvensi ini,
dalam kasus perang antara dua atau lebih dari mereka. Aturan
akan berhenti mengikat ketika dalam sebuah perang antara pihak negara-negara yang
berselisih, salah satu pihaknya bergabung dengan
negara yang tidak terikat dalam Konvensi ini.
2.1.4 Deklarasi-Deklarasi dalam Konvensi Den
Haag 1899
Di
samping konvensi tersebut di atas, ada juga tiga buah deklarasi yang masih
tetap sangat penting dalam konflik dewasa ini, yaitu :
a. Deklarasi
tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran Proyektil-proyektil
dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa lainnya;
b. Deklarasi
tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas cekik atau
“asphyxiating gases”;
c. Deklarasi
tentang Peluru-peluru yang bersifat ‘mengembang’ di dalam tubuh manusia
(peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga
dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
The
Second Hague Peace Conference pada tanggal 18
Oktober 1907, menghasilkan 13 konvensi dan sebuah deklarasi.
Konvensi-konvensi
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Konvensi
I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai.
2.
Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut Pembayaran
Hutang yang berasal dari Kontrak.
3.
Konvensi III tentang Permulaan Perang.
4.
Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta Lampirannya.
5.
Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam
Perang di Darat.
6.
Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang.
7.
Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.
8.
Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.
9.
Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat Perang.
10.
Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut.
11.
Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan
dalam Perang di Laut.
12.
Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.
13.
Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.
Konvensi VI
sampai dengan Konvensi XII Den Haag 1907 pada umumnya mengatur masalah kapal,
kapal perang, jadi menyangkut perang di laut.
Adapun
satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian II tersebut
adalah Deklarasi yang melarang Penggunaan Proyektil-proyektil atau
Bahan-bahan Peledak dari Balon.
Hukum den haag
merupakan serangkaian ketentuan yang berlaku dalam peperangan. Hukum ini
ditujukan kepada para komandan militer beserta anak buahnya, yang menentukan
hak dan kewajiban peserta tempur, dan oleh karena itu penerapannya terbatas
hanya pada waktu pertempuran sedang berlangsung.[14]
2.2.1 Konvensi III tentang
Permulaan Perang
Analisis Konvensi Den Haag III 1907
Konvensi Den Haag III mengatur mengenai cara memulai
perang. Konvensi Den Haag III 1907 terdiri dari 8 pasal yang mana pada pasal 1
merupakan ketentuan umum, pasal 2 sampai pasal 7 merupakan pelaksanaan konvensi
dan pasal 8 merupakan penutup. Para pihak yang terlibat dalam konvensi ini
adalah Yang Mulia Kaisar Jerman, Raja Pursia dan lain-lain yang terlibat di
dalmnya.
Dengan melihat isi pasal tersebut maka Pihak Peserta
Agung mengakui bahwa perang diantara mereka tidak akan dimulai tanpa adanya:
1.
Pernyataan perang
yang disertai alasan
2.
Dengan suatu
ultimatum yang disertai dengan pernyataan perang apabila ultimatum itu tidak
diketahui
Di dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag III (1907), adalah contoh yang jelas guna menggambarkan adanya
nilai-nilai kemanusiaan di dalam Konvensi Den Haag III. Adanya “declaration of
war” yang terdapat dalam Pasal 1 dimaksudkan agar negara yang bersengketa
mempersiapkan dirinya dalam menghadapi musuhnya dengan cara, antara lain,
menyelamatkan penduduk sipil yang tidak ikut bertempur ke dalam zona-zona aman
(zona demiliterisasi).[15]
Jadi, ketentuan tersbut
mengandung asas kesatriaan; pun juga
mencerminkan asas kemanusiaan.
Berkaitan dengan ketentuan konvensi Den Haag III tahun
1907, sering timbul salah pengertian bahwa hukum humaniter hanya berlaku dalam
perang yang dimulai dengan adanya pernyataan perang atau ultimatum.[16]
Bahwa hukum humaniter berlaku untuk setiap sengketa bersenjata, baik yang
dimulai dengan deklarasi perang atau ultimatum. Ultimatum yang
disertai dengan pernyataan perang yang beryarat apabila penerima ultimatum
tidak memberi jawaban yang tegas/memuaskan (bagi pihak pengirim ultimatum)
dalam waktu yang ditentukan, maka pihak pengirim ultimatum akan berada dalam
keadaan perang dengan penerima ultimatum.
Deklarasi perang
diperlukan agar : (1) untuk mencegah adanya serangan yang sekoyong-koyong
dan upaya ada batas yang nyata antara
keadaan damai dan perang; (2) agar negara-negara netral mengetahui bahwa dua
negara berada dalam keadaan perang; (3) untuk mencegah tuduhan adanya suatu
perang yang tidak adil (unlawful war)[17]
Hukum perang
dilihat dari segi perkembangannya dapat dibedakan atas hukum perang tradisional
dan hukum perang modern. Hukum perang tradisional yaitu segala macam kekerasan
untuk mencapai maksudnya, menundukkan tawanannya hingga sifatnya adalah
sedemikian rupa sehingga dapat bertentangan dengan asas perikemanusiaan tidak
dilarang oleh piak yang bersengketa. Walaupun demikian pihak-pihak yang
berperang harus melaksanakan aturan-aturan perang sebagaimana yang telah diakui
oleh bangsa-bangsa yang beradab. Menurut J.P.A. francois bahwa dalam pemkiran
yang primitif, kekuatan merupakan sarana untuk menunjukkan berlakunya, karena
menurut pendirian demikian, kekuatan itu sendiri merupakan suatu hukum yang
juga dapat diartikan hukum dari pada pihak yang terkuat. Kepada pihak yang menang dalam peperangan tentunya tidak perlu
ditanyakan lagi, bahwa dalam memulai dan mengorbankan api peperangan bukanlah
kebenaran yang menjadi pertimbangan akan tetapi kemenangan; hukum perang
modern, bahwa dalam perang modern pihak-pihak yang terlibat didalamnya jauh
lebih luas. Tidak saja anggota angkatan bersenjata merupakan para pihak, akan
tetapi seluruh anggota masyarakat dari pihak lain bahkan sering terjadi
melibatkan pula anggota masyarakat negara pihak lain (pihak ketiga). Ditambah
lagi dengan munculnya senjata-senjata pemusnahan massal yang antara lain
senjata nuklir dan pepranganpun sudah disebut perang bintang.
Perang
dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi Den Haag III 1907.
Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan perang yang disertai alasan
atau dengan suatu ultimatum, dengan pernyataan perang jika ultimatum itu tidak
dipenuhi.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja[18]
hukum humaniter dapat dibagi sebgai berikut:
1.
Jus ad Bellum atau
tentang perang yang mengatur dalam hal-hal bagaimanakah suatu negara dibenarkan
untuk menggunakan kekerasan senjata.
2.
Jus in Bello yaitu
hukum yang berlaku mengatur dalam perang, dibedakan lagi menjadi dua yaitu:
a.
Ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur tentang cara dilakukannnya perang itu sendiri (conduct of war). Bagian ini disebut
pula peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan hukum Den Haag.
b.
Ketntuan-ketentuan
hukum yang mengatur tentang perlindungan prang-orang yang menjadi korban perang
baik sipil maupun militer. Bagian ini disebut pula peraturan-peraturan atau
ketentuan-ketentuan hukum Jenewa.
Jika dihubungkan dengan pendapat Muchtar Kusumaatmadja
Konvensi Den Haag III 1907 termasuk ke dalam golongan Jus in Bellum.
Konvensi
IV mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat ini hadir untuk merevisi
Konvensi 1899 mengenai Hukum dan kebiasaan Perang di Darat, maka tak heran jika
Konvensi 1907 ini tidak jauh berbeda dengan Konvensi pendahulunya di tahun
1899.
Konvensi
ini hanya terdiri dari 9 Pasal, tetapi dilampiri sebuah annex yang berjudul
Regulations respecting the laws and customs of war on land, yang terdiri dari
56 Pasal. Annex ini lebih dikenal dengan sebutan : Hague Regulations, atau
disingkat HR.[19]
Di
dalam Pasal 1 dari HR tersebut dinyatakan bahwa :
Hukum,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan kepada
tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan yang memenuhi
persyararatan-persyaratan sebagai berikut:
1.
Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak
buahnya;
2.
Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak
jauh;
3.
Membawa senjata secara terbuka; dan
4.
Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan kebiasaankebiasaan
perang.
Di
Negara-negara di mana milisi atau kelompok sukarelawan merupakan atau menjadi
bagian dari tentara, maka mereka termasuk dalam pengertian "Angkatan
Darat".
Selanjutnya
dalam Pasal 2 ditentukan juga bahwa segolangan penduduk disebut belligeren,
seperti mereka yang tersebut dalam Pasal 1, apabila mereka memenuhi
persyaratan:
Penduduk
di wilayah yang belum diduduki, yang pada saaat musuh akan menyerang, yang
secara spontan mengangkat senjata untuk memberikan perlawanan tanpa sempat
mengorganisir diri mereka sendiri sesuai dengan Pasal 1, harus dianggap sebagai
Belijeren apabila mereka mengangkat senjata secara terbuka dan apabila mereka
mematuhi hukum dan kebiasaan
perang.
Pasal 2 ini menyangkut apa yang dikenal dengan istilah levee en masse. Jadi persyaratan yang harus dipenuhi supaya diakui
sebagai levee en masse adalah:[20]
1. Penduduk
dari wilayah yang diduduki;
2. Secara
spontan mengangkat senjata;
3. Tidak
ada waktu untuk mengatur diri;
4. Mengindahkan
hukum perang;
5. Membawa
senjata secara terbuka.
Perlu
dicatat disini bahwa non-kombatan yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ini bukanlah
penduduk sipil, tetapi bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut
bertempur.[21]
Berdasarkan
apa yang tercantum dalam Pasal 1,2 dan 3 itu, maka menurut HR golongan yang
secara aktif dapat turut serta dalam pertempuran adalah:[22]
1. Tentara
(Armies)
2. Milisi
dan Volunteer Corps (apabila memenuhi persyaratan)
3. Leeve
en masse (dengan memenuhi persyaratan tertentu)
Pasal
1,2 dan 3 ini juga berkaitan dengan Distinction
Principle/Prinsip pembedaan, yakni mengenai kombatan dan penduduk sipil.
Prinsip Pembedaan dalam pasal-pasal di Konvensi IV Den Haag 1907 ini juga
berhubungan dengan Konvensi Jenewa 1,2 dan 3, yaitu Pasal 13 dalam Konvensi 1-2
dan Pasal 4 dalam Konvensi 3.
Sementara
dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 20 membahas mengenai hak dan kewajiban dari
tawanan perang dan bagaimana pemerintah musuh memperlakukan hal yang pantas
pada tawanannya.
Di
dalam Pasal 21 dikatakan kewajiban para pihak yang berperang berkaitan dengan
orang yang sakit dan luka-luka diatur oleh Konvensi Jenewa.
Di
dalam HR ini juga mengatur ketentuan mengenai alat-alat melukai musuh,
pengepungan dan pengeboman.
Di
dalamnya terdapat bagian terpenting, yaitu klausula pokok yang menyatakan bahwa
: hak para pihak yang berperang untuk
menggunakan alat-alat untuk melukai musuh adalah tidak tak berbatas (Pasal 22).
Bagian ini juga memuat larangan-larangan seperti:
-
Larangan penggunaan
racun atau senjata beracun, tindakan licik;
-
Larangan membunuh atau
melukai musuh yang terluka dan telah meletakkan senjatanya, atau tidak memiliki
senjata lagi untuk bertahan;
-
Larangan untuk membunuh
atau melukai mereka yang telah menyerah;
-
Larangan menyatakan
tidak ada pertolongan yang akan diberikan;
-
Larangan penggunaan
senjata, proyektil atau material yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak
perlu;
-
Larangan menggunakan
bendera perdamaian, bendera nasional, tanda-tanda militer, seragam musuh atau
tanda pembedaan dalam Konvensi Jenewa yang tidak pada tempatnya. Juga larangan
penjarahan, mata-mata dan penyalahgunaan bendera perdamaian (Pasal 23).
Sementara
tipu daya perang dan penggunaan cara-cara yang diperlukan untuk memperoleh
informasi mengenai musuh dan negaranya diperbolehkan (Pasal 24).
Sedangkan
mengenai ketentuan bagaimana cara pengepungan dan pemboman diatur secara tegas
dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 27.
Di Pasal 28 segala bentuk penjarahan terhadap sebuah kota atau tempat dilarang,
walaupun diperoleh dengan cara penyerangan.
Mengenai
Mata-mata, dalam bagian ini dijelaskan tentang kualifikasi mereka yang
tergolong sebagai mata-mata dan mereka yang bukan mata-mata (Pasal 29). Juga
terdapat ketentuan bila tertangkapnya seorang mata-mata ketika ia melakukan
tugasnya tidak dapat dihukum tanpa melalui proses pengadilannya sebelumnya
(Pasal 30). Dari isi Pasal 30 tersebut dapat kita lihat bahwa perlakuan
terhadap musuh yang melakukan mata-mata jika tertangkap tidak boleh
diperlakukan secara semena-mena.
Mengenai
Bendera Gencatan Senjata, di Bab ini menjelaskan Seseorang dianggap sebagai
pembawa bendera gencatan senjata, yang diberi kewenangan oleh salah satu
Belijeren untuk berkomunikasi dengan pihak Belijeren lainnya dengan membawa
bendera putih. la berhak untuk tidak diganggu-gugat, demikian pula peniup
terompet, penabuh drum, pembawa bendera penerjemah yang mungkin menyertainya
(Pasal 32).
Pembawa
bendera gencatan senjata kehilangan hak tidak dapat digangu gugat apabila
terbukti dengan jelas dan tidak dapat dibantah, telah mengambil keuntungan dari
posisinya yang istimewa itu untuk menginterogasi atau melakukan pengkhianatan
(Pasal 34).
Mengenai
Penyerahan, menjelaskan tentang Penyerahan-penyerahan yang disetujui antar
negara yang melakukan perjanjian harus sesuai dengan aturan-aturan kehormatan
militer. Setelah disetujui, perjanjian tersebut harus dengan saksama diawasi
oleh kedua pihak (Pasal 35).
Mengenai Gencatan Senjata, menerangkan tentang
Gencatan Senjata adalah penundaan operasi militer melalui kesepakatan bersama
antara pihak yang berperang. Operasi militer bisa dilanjutkan kembali sesuai
dengan durasi yang ditentukan melalui kesepakatan bersama (Pasal 36).
Gencatan senjata harus diberitahukan secara resmi
dan dalam waktu yang tepat melalui pihak yang berwenang dan pasukan. Pertempuran ditangguhkan segera setelah pemberitahuan, atau pada tanggal yang tetap
(Pasal 38).
Bila ada pelanggaran dalam Gencatan Senjata yang dilakukan oleh salah satu
pihak terhadap pihak lain maka telah memeberikan hak kapada pihak yang
dilanggar, bila keadaan mendesak untuk memulai lagi pertempuran (Pasal 40). Dan
bila pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan gencatan senjata dilakukan oleh
seorang individu yang bertindak atas inisiatif sendiri maka dapat menuntut
hukuman hanya kepada si pelanggar dan jika perlu ganti rugi atas kerugian yang
diderita (Pasal 41).
Sementara
mengenai Penguasa Militer di Wilayah
Negara yang Bertikai, menjelaskan bahwa pada
bagian ini menerangkan tentang suatu wilayah dinyatakan diduduki ketika wilayah
tersebut secara nyata berada di bawah penguasaan pasukan musuh (Pasal 42).
Sementara
dalam Pasal 43 sampai Pasal 45 memberi ketentuan kepada Penguasa Militer untuk
menghormati hukum di wilayah yang diduduki, dilarang untuk memaksa penduduk
dari wilayah yang diduduki untuk memberikan informasi mengenai tentara dari
pihak berperang lainnya, atau mengenai alat-alat pertahanan mereka. Dan
dilarang untuk memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk bersumpah
setia kepada Penguasa Pendudukan.
Sedangkan
dalam Pasal 46 memberikan perlindungan terhadap Kehormatan dan hak-hak keluarga
dan hak hidup manusia serta hak milik pribadi dan juga praktik keagamaan serta
kebebasan beribadah harus dihormati. Hak milik pribadi tidak boleh dirampas.
Melakukan
penjarahan pun dilarang di dalam Pasal 47. Di dalam Pasal 48 sampai 51
memberikan kebolehan kepada Penguasa Pendudukan untuk mengumpulkan pajak dengan
menyesuaikan pada kondisi wilayah yang diduduki, namun pengumpulan pajak tidak
boleh dengan kesewenang-wenangan. Sementara Pasal 52 sampai 56 menjelskan
ketentuan-ketentuan kepada Pengusa Pendudukan tentang hak dan kewajiban, apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Penguasa Pendudukan terhadap wilayah
dan penduduk daerah yang diduduki agar tidak ada kesewenang-wenangan.
Sedangkan
perbedaan Konvensi ini dengan Konvensi sebelumnya di tahun 1899 adalah di
konvensi ini tidak terdapat pasal-pasaal mengenai Menginternir Pihak yang
Bersengketa dan Perawatan mereka yang Terluka di Negara Netral. Meski begitu, konvensi
ini sangat penting karena mengatur segala segi dari peperangan di darat. Di
dalam Konvensi IV kita dapat menemukan bahwa prikemanusiaan telah menjadi dasar
dalam menyusun konvensi ini.
Konvensi IV ini menjadi penting karena memberikan ketentuan
pada perang di darat yang mempunyai tujuan utama untuk mengalahkan pihak musuh
dan menguasai wilayahnya. Wilayah operasi perang didarat hanyalah meliputi
wilayah para pihak yang berperang saja dan keterlibatan Negara netral sedikit
sekali. Untuk perang di darat, ketentuan ketentuan-ketentuan hukum humaniter
pada dasarnya berlaku bagi para pihak yang bertikai. Ketentuan mengenai perang
didarat secara umum melarang perampasan hak milik pribadi, baik milik pihak
musuh maupun milik pihak netral. Dalam pelaksanaan perang di darat, penduduk
sipil dari pihak musuh yang ikut ambil bagian dalam peperangan, apabila ia
tertangkap tidak diberikan status sebagai tawanan perang.[23]
2.2.3
Konvensi
V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang
di Darat
Konvensi Den Haag V terdiri dari 25 Pasal. Dimana Pasal 1
- Pasal 10 tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral. Pasal 11 - Pasal 15 tentang
Wilayah Netral. Pasal 16 - Pasal 18 tentang orang Netral. Pasal 19 tentang
bahan perkeretapian. Pasal 20 - Pasal 25 tentang ketentuan penutup. Konvensi
Den Haag V 1907 mengatur tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara
Netral dalam perang di darat. Dengan
demikian, dalam konvensi ini terdapat dua pengertian yang harus diperhatikan
yaitu Negara Netral (Neutral Powers) dan
Orang Netral (Neutral Persons).
Yang dimaksud dengan Negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam
suatu peperangan yang sedang berlangsung. Dengan demikian tidak ada keharusan
negara tersebut untuk membantu salah satu pihak. Sebagai negara netral, maka
kedaulatan Negara tersebut dalam suatu peperangan, tidak boleh diganggu dan dilanggar. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag V 1907 yang menyatakan “The
territory of neutral Powers is inviolable”. Untuk mempertahankan
kenetralan, maka wilayah dari negara tersebut tidak dapat dijadikan sebagai wilayah
yang dapat dilintasi oleh para pihak yang sedang bersengketa. Sedangkan yang
dimaksud dengan
orang netral (Neutral Persons) adalah warga negara dari suatu negara yang
tidak terlibat dalam suatu peperangan. Orang netral ini tidak boleh mengambil keuntungan dari statusnya sebagai orang netral, misalnya dengan menjadi relawan
dari suatu angkatan bersenjata salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 17).[24] Dibuatnya
Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral di Darat
dapat kita cermati bahwa tujuannya untuk memberikan kejelasan mengenai apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh Negara Netral dan Warga netral
ketika terjadi perang.
BAB III KESIMPULAN
Hukum
Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan
serangkaian ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan
cara (metode) berperang (means and
methods of warfare) serta menekankan bagaiman cara melakukan operasi-operasi
militer.
Hukum
Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang bersengketa tentang
cara melakukan operasi–operasi militer serta membatasi cara-cara yang dapat
menyebabkan kerusakan di pihak musuh. Peraturan-peraturan ini terdapat dalam
Konvensi-konvensi Den Haag 1899, yang kemudian direvisi tahun 1907.
Disebut
dengan The Hague Laws, karena
pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda.
Hukum Den Haag terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari
Konferensi 1899 dan ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konferensi 1907.
Konferensi
Den Haag 1899 diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899 yang
menghasilkan tiga konvensi (perjanjian internasional) dan tiga deklarasi
(pernyataan) pada tanggal 29 Juli 1899.
Adapun
tiga konvensi tersebut adalah :
d. Konvensi
I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai;
e. Konvensi
II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; beserta Lampirannya;
f. Konvensi
III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang
Hukum Perang di Laut.
Sedangkan
tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai Berikut :
d. Deklarasi
tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran Proyektil-proyektil
dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa lainnya;
e. Deklarasi
tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas cekik atau
“asphyxiating gases”;
f. Deklarasi
tentang Peluru-peluru yang bersifat ‘mengembang’ di dalam tubuh manusia (peluru-peluru
yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan
membesar dalam tubuh manusia).
Sedangkan The
Second Hague Peace Conference pada tanggal 18 Oktober 1907,
menghasilkan 13 konvensi dan sebuah deklarasi.
Konvensi-konvensi
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai.
2.
Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut Pembayaran
Hutang yang berasal dari Kontrak.
3.
Konvensi III tentang Permulaan Perang.
4.
Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta Lampirannya.
5.
Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam
Perang di Darat.
6.
Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang.
7.
Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.
8.
Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.
9.
Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat Perang.
10.
Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut.
11.
Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan
dalam Perang di Laut.
12.
Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.
13.
Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.
Konvensi VI
sampai dengan Konvensi XII Den Haag 1907 pada umumnya mengatur masalah kapal,
kapal perang, jadi menyangkut perang di laut.
Adapun
satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian II tersebut
adalah Deklarasi yang melarang Penggunaan Proyektil-proyektil atau
Bahan-bahan Peledak dari Balon.
Naim, Ahmad Baharuddin. Hukum
Humaniter Internasional. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2010.
________, Bahan Ajaran Hukum Humaniter. Jakarta: Direktorat Hukum
TNI AD dan ICRC, 2004.
Haryomataram. Sekelumit tentang Hukum Humaniter. Surakarta: Sebelas Maret
University Press, 1994.
Haryomataram. Hukum Humaniter. Jakarta: C.V. Radjawali, 1994.
Rhona K. M. Smith, at.al,. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII,
2008.
Suardi. Jurnal Ilmiah: Konflik Bersenjata Dalam Hukum
humaniter Internasional. Vol. 2 No. 3 Juli 2005.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konvensi-Konvensi
Palang Merah Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang. Bima Cipta: Bandung, 1949.
Internet
[1] Ahmad Baharuddin Naim, Hukum
Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2010, hlm. 2.
[2] ________, Bahan Ajaran Hukum Humaniter, Jakarta: Direktorat Hukum TNI
AD dan ICRC, 2004, File 2, hlm. 1.
[3] Ahmad Baharuddin, Op.cit.
[4] Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret
University Press, 1994, hlm. 1.
[7] Ibid., File 2, hlm. 7.
[8] Ahmad Baharuddin Naim, Hukum
Humaniter Internasional, Op.Cit., hlm.
47.
[9] Ibid., Hlm. 48.
[10] Haryomataram, Hukum Humaniter,
Op.cit., hal.6.
[13] Ibid., File 2, hlm. 13.
[14] “ pihak terlibat dalam
konvensi den haag IV tahun 1907 “ , dalam http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/20308443458.pdf, diakses 1 April 2012, 08:00
[15] “Ruang Lingkup Hukum Humaniter”, dalam http://arlina100.wordpress.com/tag/konvensi-den-haag/, diakses 4
April 2012, 17:40
[17] Suardi, Jurnal Ilmiah: Konflik Bersenjata Dalam
Hukum humaniter Internasional, Vol.
2 No. 3 Juli 2005. hlm. 291
[18] Mochtar Kusumaatmadja.
1949. Konvensi-Konvensi Palang Merah
Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang. Bima Cipta. Bandung. Hlm.
12.
[19] Haryomataram, Hukum Humaniter,
Op.cit., hal. 68.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] “tuuan konvensi den haag IV tahun 1907”,
dalam http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/20308443458.pdf, diakses 1 April 2012, 08:00 .
[24] “Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia”, dalam http://www.icrc.org/eng/assets/files/other/indo-irrc_857_henckaerts.pdf, diakses 1 Aril 2012, 15:35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar