WILAYAH LAUT DI BAWAH YURISDIKSI NASIONAL
3.1.1 Pengertian Zona Tambahan
Zona tambahan (contiguous zone),
merupakan suatu jalur dari laut lepas yang berbatasan dengan laut
teritorial suatu negara. Keberadaan zona
ini didasarkan pada kebutuhan khusus negara-negara untuk meluaskan kekuasaannya
melewati batas laut teritorial, disebabkan tidak cukup luasnya laut teritorial
untuk melakukan pencegahan penyelundupan dari dan di laut di satu sisi, dan
wewenang penuh atau kedaulatan negara pantai di sisi lain. Kedua faktor inilah yang menimbulkan
adanya jalur atau zona tambahan.
Dalam hal-hal tertentu suatu
negara dirasakan masih memerlukan wilayah untuk menerapkan kekuasaanya terhadap
masalah-masalah khusus, misalnya untuk mengatasi penyelundupan, bea cukai,
karantina dan sebagainya. Oleh karena
itu, baik dalam Kodifikasi Den Haag 1930 maupun Konvensi Jenewa 1958 diberikan
rumusan tentang zona tambahan, walaupun tidak ditemukan kata sepakat tentang
lebar zona ini.
Berlakunya UNCLOS 1982 lebar zona
tambahan secara pasti ditetapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2)
UNCLOS 1982 yaitu “tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dimana laut
teritorial diukur”.
3.1.2 Status Hukum Zona Tambahan
Rumusan Pasal 33 di atas, memberikan
kejelasan bahwa ketentuan tentang laut teritorial dan zona tambahan merupakan
penegasan dan penambahan dalam konvensi-konvensi sebelumnya. Penegasan yang diatur adalah diaturnya secara
pasti lebar zona tersebut. Sedangkan
status hukum zona tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) sub (a)
dan (b) merupakan penyempurnaan dari ketentuan sebelumnya yaitu, negara pantai
dapat mengadakan pengawasan yang diperlukan untuk:
(a)
Mencegah pelanggaran peraturan
perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam wilayah
atau laut teritorialnya.
(b)
Menghukum peraturan perundang-undangan tersebut
di atas yang dilakukan didalam wilayah atau laut teritorialnya.
3.2 Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE)
3.2.1 Pengertian ZEE
Konsep ZEE secara keseluruhan
telah mengubah tatanan hukum laut dan telah membentuk hubungan-hubungan baru
diantara negara-negara dalam memanfaatkan sumber daya alam lautan, riset ilmiah
kelautan, dan pencegahan terhadap kerusakan lingkungan laut.
Prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam ZEE ini merupakan salah satu
hal yang membedakan antara hukum laut tradisional dan hukum laut modern yang
berlaku saat ini.
Dalam sejarah terbentuknya ZEE, dimulai dengan Proklamasi Presiden Truman tahun
1945 tentang Perikanan yang didasarkan pada meningkatnya kemajuan dalam bidang
peralatan dan penangkapan ikan menimbulkan bahaya penangkapan yang berlebihan
(over fishing) yang dapat terkurasnya sumber daya ikan, telah menimbulkan
kebutuhan yang mendesak untuk melindungi sumber perikanan pantai dari cara-cara
pengambilan yang mengancam kelangsungan sumber kekayaan ini (Mochtar
Kusumaatmadja, 1983: 96).
Proklamasi Truman ini, walaupun merupakan tindakan sepihak dari landas
kontinen, namun mewarnai timbulnya rezim ZEE yang kemudian diikuti
negara-negara yang menginginkan yurisdiksi yang lebih luas dalam memanfaatkan
laut diluar laut teritorialnya. Hal ini
memunculkan dibahasnya masalah khusus yang berkaitan dengan ZEE, perikanan,
konservasi sumber daya alam hayati, pemeliharaan lingkungan laut, dan riset
ilmiah kelautan.
Dalam Pasal 55, dijelaskan bahwa ZEE adalah suatu daerah diluar dan
berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rezim khusus. Adapun lebar ZEE tidak boleh melebihi 200 mil
laut dari garis pangkal dimana lebar laut teritorial diukur (Pasal 57).
Pengertian 200 mil dari garis pangkal, dimaksudkan bukan berarti bahwa
antara laut teritorial dan ZEE memiliki status yang sama. Secara murni lebar
ZEE suatu negara adalah 188 mil, karena telah dikurangi lebar laut teritorial.
Persoalan ini bukanlah suatu hal yang overlaving, karena dalam zona-zona laut
dapat diartikan semakin dekat dengan garis pangkal akan semakin besar wewenang
dan kekuasaan suatu negara dan semakin jauh dari garis pangkal maka semakin
sedikit wewenang dan kekuasaan suatu negara. Oleh sebab itu, di laut teritorial
suatu negara memiliki kedaulatan ini berarti suatu negara akan pula memiliki
wewenang atau yurisdiksi sebagaimana di tentukan dalam ZEE di laut teritorialnya.
3.2.2 Status Hukum ZEE
Berdasarkan pengertian ZEE di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ZEE
tidaklah dapat dimasukan ke dalam zona yurisdiksi negara pantai seutuhnya,
begitu pula tidaklah dapat dimasukan ke dalam zona laut lepas, karena yang
dituntut oleh negara-negara peserta konperensi pada umumnya adalah pemanfaatan
sumber daya lautnya. Oleh sebab itu,
rezim atau status hukum ZEE adalah suatu pengaturan baru yang telah menimbulkan
perubahan yang mendasar dalam hukum laut internasional dan dalam pembagian
tradisional antara laut teritorial yang merupakan zona kedaulatan negara pantai
dan laut lepas yang terbuka untuk semua negara.
ZEE yang diatur dalam UNCLOS 1982 hanya menempatkan status pengaturan pada
area kolom airnya saja, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di
atasnya tidak termasuk pada pengturan rezim ZEE, karena dasar laut dan tanah di
bawah kolom air ZEE tunduk pada rezim hukum landas kontinen.
Dalam Pasal 56 dijelaskan bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat
terhadap ZEE, tetapi bukan memiliki kedaulatan, karena hak berdaulat dalam
konsepsi yuridis berbeda dengan kedaulatan. Kedaulatan merupakan kekuasaan
tertinggi suatu negara yang tidak di bawah kekuasaan negara lain. Kedaulatan
suatu negara ini akan berakhir pada batas wilayah negara yang bersangkutan.
Sedangkan hak berdaulat merupakan
kekuasaan penuh suatu negara tetapi pada aspek tertentu saja, dalam pasal di
atas hanya terbatas pada eksplorasi, eksploitasi dan konservasi sumber daya.
Selain, memilki hak berdaulat, negara pantai di ZEEnya memiliki yurisdiksi.
Berdasarkan unsur yurisdiksi ini, jika dihubungkan dengan Pasal 56 UNCLOS,
maka tentunya dapat dibedakan dengan hak
berdaulat sebagaimana di atur dalam poin (a) nya. Dimana hak berdaulat dimiliki
oleh suatu negara terhadap yang memang sudah ada (tersedia) atau ada dengan
sendirinya, sedangkan yurisdiksi hak muncul jika sesuatu tersebut diadakan
terlebih dahulu, misalnya negara memiliki yurisdiksi terhadap pulau buatan,
jika pulau buatan tersebut telah diadakan terlebih dahulu, juga terhadap riset
ilmiah, dilakukan dahulu risetnya baru
negara memiliki yurisdiksi. Oleh sebab itu antara eksplorasi,
eksploitasi dan konservasi sumber daya oleh suatu negara tidak dapat dimasukan
dalam status hukum yurisdiksi, begitu pula dengan pembuatan, pemakaian pulau
buatan, bangunan dan instalasi lainnya, riset ilmiah kelautan dan perlindungan
pelestarian lingkungan laut, tidak dapat ditempatkan pada status hukum hak
berdaulat.
3.2.3 Konservasi Kekayaan Hayati Di ZEE
Negara pantai dalam mengkonservasi kekayaan hayati di ZEE terlebih dahulu
harus menentukan jumlah potensi sumber daya hayatinya. Dasar pertimbangkan
diperlukan data yang jelas tentang sumber daya hayati suatu negara di ZEE, agar
dapat diketahui seberapa banyak potensi yang ada, wilayahnya dan jenis-jenis
serta sumber daya yang dilindungi, sehingga dalam mengkonservasi dapat terjamin
dari tindakan yang akan membahayakan kelangsungan sumber daya tersebut.
Di samping jumlah potensi atau kandungan sumber daya, negara pantai juga
harus menentukan jumlah tangkapan atau kemampuan menangkap sumber daya hayati
yang diperbolehkan dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia
dengan tidak membahayakan eksplorasi yang berlebihan. Dalam hal satu jenis sumber daya hayati
tertentu dilakukan dengan persetujuan bersama secara langsung atau melalui
organisasi regional atau sub regional.
Pengaturan kerja sama khusus untuk jenis ikan tertentu, seperti anadrom dan
catadrom, dalam Pasal 66 UNCLOS
1982 ditegaskan bahwa begara dimana
sungainya merupakan tempat asal persediaan jenis ikan anadrom harus mempunyai
kepentingan utama dan tanggung jawab terhadap jenis ikan ini. Negara asal
persediaan harus menjamin konservasi dengan mengadakan tindakan-tindakan
pengaturan yang tepat untuk penangkapan ikan di semua perairan pada sisi darat
batas luar ZEE. Negara asal setelah mengadakan konsultasi dengan negara lain
yang menangkap ikan jenis ini dapat menetapkan jumlah tangkapan total yang
diperbolehkan. Sedangkan jenis ikan catadrom menggunakan sebagian siklus kehidupannya
mempunyai tanggung jawab atas perolehan jenis-jenis ini dan harus menjamin
masuk dan keluarnya jenis ikan yang bermigrasi. Pemanfaatan jenis ikan ini oleh
negara lain harus diatur dengan perjanjian antar negara. Dalam perjanjian
tersebut harus menjamin pengelolaan rasional dan harus memperhatikan tanggung
jawab masing-masing negara. Dengan pengaturan seperti ini diharapkan
pengelolaan sumber daya yang lestari dapat terjamin.
Jumlah tangkapan ini perlu ditentukan oleh suatu negara untuk mengetahui
kemampuan dari suatu negara dalam mengkonservasi dan berapa jumlah sisa yang
tidak dimanfaatkan, karena jika suatu negara tidak mampu memenuhi jumlah
tangkapan, maka dengan perjanjian internasional atau pengaturan lain harus
memberikan kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan jumlah potensi
perikanan yang tersisa dengan tetap memperhatikan secara khusus kepentingan
negara yang tak berpantai dan negara secara geografis tak beruntung sebagaimana
diatur dalam Pasal 69 dan 70. Pemanfaatan sisa kandungan ZEE yang tidak
dimanfaatkan oleh negara pantai, menjadi suatu hak negara lain. Hak ini dikenal
dengan hak akses.
Persyaratan dan tata cara peran serta negara lain untuk menggunakan hak
akses ditetapkan oleh negara pantai dengan memperhatikan :
a. Kebutuhan untuk menghindari akibat yang
merugikan bagi masyarakat nelayan atau
industri penangkap ikan negara pantai.
b. Sejauh mana negara tak berpantai telah
berperan serta dengan negara-negara lainnya.
c. Sejauhmana negara tak berpantai tersebut
telah berperan serta dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan
hayati di ZEE dan kebutuhan yang timbul untuk menghindari dari suatu beban
khusus dari suatu negara pantai tertentu.
d.
Kebutuhan gizi penduduk masing-masing negara.
Untuk menghindari tumpang tindihnya pemanfaatan
hak akses oleh negara lain, negara pantai diwajibkan untuk mengumumkan
peta-peta yang menunjukkan batas-batas sebelah luar dari ZEE sebagai dasar
untuk memanfaatkan sumber daya perikanan. Dalam UNCLOS 1982 tidak diatur
batasan atau quota secara mutlak bagi negara pantai untuk memanfaatkan ZEE nya.
Ini berarti selama negara
pantai yang bersangkutan mampu untuk memanfaatkan ZEEnya sesuai dengan
data-data yang akurat, maka semakin kecil peluang pihak asing untuk mendapatkan
hak akses. Oleh sebab itu, negara pantai harus mningkatkan kemampuan
menangkapnya, melalui cara peningkatan teknologi peralatan tangkap perikanan.
Satu batasan dalam memberikan kesempatan memanfaatkan ZEE kepada negara lain,
negara pantai harus memperhitungkan semua faktor yang relevan termasuk
pentingnya sumber kekayaan hayati bagi perekonomian negara pantai.
Bagi negara lain yang menangkap ikan di ZEE harus memenuhi tindakan
konservasi, ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam perudang-undangan
negara pantai. Adapun peraturan
perundang-undangan yang harus disesuaikan
dengan UNCLOS 1982, meliputi:
a. Pemberian izin kepada nelayan, kapal
penangkap ikan dan peralatannya, termasuk pembayaran bea dan pungutan lain,
yang dalam hal negara pantai yang berkembang dapat berupa kompensasi yang layak
di bidang pembiayaan peralatan teknologi yang bertalian dengan industri
perikanan.
b.
Penetapan
jenis ikan yang boleh ditangkap, dan mementukan quota-quota penangkapan, baik
yang bertalian dengan persediaan jenis ikan atau kelompok persediaan jenis ikan
suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap oleh warga negara
suatu negara dalam jangka waktu tertentu.
c.
Pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran
dan jumlah penangkapan ikan, serta macam ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan
yang boleh digunakan.
d. Penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis
lain yang boleh ditangkap.
e. Perincian keterangan yang diperlukan dari
kapal penangkap ikan, termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan
serta laporan tentang posisi kapal.
f. Persyaratan di bawah penguasaan dan
pengawasan negara pantai, dilakukannya program riset perikanan tertentu dan
pengaturan pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan,
disposisi cintoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan.
g. Penempatan peninjau atau traience di atas
kapal tersebut oleh negara pantai.
h. Penurunan seluruh atau sebagian hasil
tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan negara pantai.
i.
Ketentuan
dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan kerjasama
lainnya.
j.
Persyaratan
untuk latihan personil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk peningkatan
kemampuan negara pantai untuk melakukan riset perikanan.
k. Prosedur
penegakan.
3.2.4 Penegakkan Peraturan Perundang-Undangan
Nasional Di ZEE
Sesuai dengan Pasal 56 tentang hak, yurisdiksi, dan kewajiban negara pantai
di ZEE, maka dalam Pasal 73 UNCLOS 1982, negara pantai dapat melaksanakan hak
berdaulat dan mengambil tindakan termasuk: menaiki kapal, memeriksa, menangkap
dan melakukan proses peradilan terhadap kapal yang melakukan pelanggaran di
ZEE.
Penangkapan kapal dan awaknya harus segera dibebaskan, jika telah diberikan
uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya, karena sesuai dengan Pasal 73 ayat (3)
UNCLOS, hukum yang dijatuhkan terhadap pelanggaran perikanan di ZEE tidak boleh
mencakup hukuman kurungan (hukuman badan), kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian. Misalnya antara negara yang
bersangkutan terdapat perjanjian ekstradisi yang menentukan lain dari ketentuan
konvensi. Hal ini dibolehkan untuk
menyimpangi ketentuan dalam konvensi sesuai dengan asas “lex specialis derogate lex generis” yaitu suatu asas hukum yang mendahulukan
ketentuan khusus daripada tetentuan yang bersifat umum.
Dalam proses penegakan hukum di ZEE negara yang kepentingannya dirugikan,
harus memberitahukan kepada negara bendera kapal atau negara. Warga negara
asing yang melanggar ketentuan melalui saluran yang tepat, yaitu saluran
diplomatik resmi seperti kementerian luar negeri, kementerian pertahanan
keamanan, duta besar yang berada di negara yang kepentingannya dilanggar.
Adanya ketentuan ini, diharapkan hubungan baik antar negara tetap terjaga,
sehingga kepentingan terhadap pemanfaatan laut dapat dilaksanakan secara tertib
dan teratur.
3.2.5 Penetapan Batas ZEE Dengan Negara Lain
Secara geografis, kondisi ZEE suatu negara dapat terjadi saling tumpang
tindih, oleh sebab itu jika pantai suatu negara berhadapan dan berdampingan
ZEEnya, Dalam penentuan garis batas ini, biasanya digunakan garis tengah atau
median line, sebagaimana dapat dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Jika tidak ada persetujuan dari pihak yang bersengketa dalam jangka waktu
yang pantas, negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur penyelesaian
sengketa secara damai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) Piagam PBB.
3.2.6 Pengaturan ZEE Di Indonesia
Sejalan dengan keberlakuan UNCLOS
1982, pada tanggal 2 Maret 1980 telah dikeluarkan Pengumuman Pemerintah
Republik Indonesia tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, selanjutnya
disingkat ZEEI yang pada intinya berisikan:
a. Penetapan jalur ZEEI yang lebarnya 200 mil
laut diukur dari garis pangkal.
b.
Hak
berdaulat untuk melaksanakan ekspolasi dan eksploitasi dan pelaksanaannya
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
c. Pengakuan mengenai kebebasan-kebebasan
tertentu, antara lain kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta
kebebasan pemasangan kabel dan pipa dibawah permukaan laut.
d. Kesediaan mengadakan perundingan mengenai
penetapan batas dengan negara lain (G. Kartasapoetra dan RG.
Kartasapoetra,1984: 123—124).
Menindaklanjuti pengumuman pemerintah di atas, pada tanggal 18 Oktober 1983
Pemerintah Indonesia menetapkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEEI.
Undang-undang ZEEI ini ditetapkan setelah dirumuskannya UNCLOS 1982, oleh sebab
itu pengaturan ZEEI telah disesuaikan dengan UNCLOS 1982.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang ZEEI, menegaskan bahwa:
ZEEI adalah jalur diluar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang
yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya, dan air diatasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Berdasarkan pasal di atas, pengertian ZEEI telah sesuai dengan pengertian
ZEE yang diatur dalam UNCLOS 1982.
Begitu pula halnya dengan pengaturan tentang aktivitas pengelolaan ZEEI,
penyelesaian ZEEI yang berdampingan, maupun pengaturan tentang konservasi dan
akibatnya.
Berkaitan dengan hal di atas, dalam UU ZEEI disebautkan kewajiban
negara-negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan Indonesia dalan
melaksanakan kegiatan di ZEEI, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 yang
menegaskan bahwa:
Barang siapa yang melakukan
tindakan-tindakan yang dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia dan hukum internasional yang bertalian dengan pulau-pulau
buatan, instalasi-instalasi, dan bangunan-bangunan lainnya di ZEEI dan
mengakibatkan kerugian, wajib memikul tanggung jawab dan membayar ganti rugi
kepada pemilik pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan
lainnya tersebut.
Jika seseorang melakukan tindakan
yang merugikan pihak Indonesia, maka ganti rugi diberikan kepada Republik
Indonesia, dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 8 yaitu menentukan
langkah-langkah untuk menghindari pencemaran.
Jika terjadi pencemaran akibat pengelolaan sumber daya hayati di ZEE, maka
perusak sumber daya alam memikul tanggung jawab mutlak dan membayar biaya
rehabilitasi lingkungan laut dan/atau sumber daya alam tersebut dengan segera dan dalam jumlah yang
memadai, kecuali jika yang bersangkutan
dapat membuktikan bahwa pencemaran lingkungan laut dan /atau perusakan sumber
daya alam tersebut terjadi karena:
a. Akibat dari suatu peristiwa alam yang
berada diluar kemampuannya.
b. Kerusakan yang seluruhnya atau
sebagian, disebabkan oleh pembuatan atau
kelalaian pihak ketiga (Pasal 11 ayat
(1) dan (2) UU ZEEI).
Untuk menegakkan segala bentuk pelanggaran perundang-undangan di ZEEI,
Pasal 14 mengatur wewenang dari aparat penegak hukum yaitu:
(a)
Penyidik
adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(b) Penuntut umum adalah Jaksa pengadilan
negeri.
(c) Pengadilan yang berwenang mengadili
pelanggaran adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan
dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang-orang.
Dalam rangka proses pengadilan dan penjatuhan hukuman, Undang-undang ZEEI,
juga menentukan ketentuan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 16 yaiti
penjatuhan pidana denda setinggi-tingginya Rp. 225.000.000,- (dua ratus dua
puluh lima juta rupiah). Sedangkan yang
berkaitan dengan pencemaran lingkungan ancaman pidananya disesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang lingkungan hidup. Khusus untuk peraturan pemerintah yang
mengatur pelaksanaan Undang-undang ZEEI dapat mencantumkan pidana denda
setinggi-tingginya Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah).
Dengan berlakunya UNCLOS 1982 dan Undang-Undang tentang ZEEI, telah
menghasilkan perairan nusantara dan teritorial negara seluas 3,1 juta km2
serta 2,7 juta km2 perairan ZEEI.
Adanya tambahan wilayah yang demikian luas ini, suatu tantangan yang
tidak ringan bagi bangsa Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya hayati
khususnya ikan sekaligus pula tantangan untuk melindungi dan melestarikannya
(Daniel R. Monintja, 1996: 4). Oleh sebab
itu, perlu diadakan tindakan-tindakan konkrit kearah pemanfaatan sumber daya
laut yang tetap memperhatikan aspek kelestariaannya.
Adapun tindakan-tindakan Indonesia yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber
daya ikan di perairan ZEEI, sebagai berikut (Hasyim Jalal, 1995: 15):
a. Indonesia harus menetapkan allowable
catch dari sumber-sumber perairan ZEEI, berkewajiban memelihara berdasarkan
bukti-bukti ilmiah yang ada, agar sumber-sumber perikanannya tidak over-exploited
demi untuk menjaga maximum sustainable yield.
b. Untuk mencapai optimum utilization
dari kekayaan alam tersebut, Indonesia
harus menetapkan its capacity to harvest dan memberikan kesempatan
negara-negara lain di kawasannya terutama egara-negara tak berpantai dan
negara-negara yang secara geografis kurang menguntungkan,untuk memanfaatkan the
surplus of the allowable catch yang
tidak dimanfaatkan oleh Indonesia.
Tetapi hal ini perlu ditetapkan dengan suatu persetujuan dengan
pihak-pihak yang bersangkutan. Sampai
sekarang belum ada persetujuan tersebut.
c.
Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam ZEE ini,
Indonesia perlu mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang diperkenankan
oleh konvensi, misalnya tentang izin penangkapan ikan, penentuan umur dan
ukuran ikan yang boleh ditangkap, dan lain-lain.
d.
Mengatur dengan negara-negara yang bersangkutan atau
dengan organisasi regional/internasional yang wajar tentang pemeliharaan dan
pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat di ZEE dua negara atau lebih
(shared stocks), highly migratory species dan memperhatikan
ketentuan-ketentuan tentang marine mammals, anadromous, dan catadromous
species serta sedentary species.
PBB dan FAO telah mengatur hal ini lebih jauh dalam suatu implementing
agreement dan code of the conduct dibidang perikanan. Indonesia telah menandatangani implementing
agreement tersebut tanggal 4 Desember 1995.
3.3 Landas Kontinen
3.3.1 Sejarah Lahirnya Landas Kontinen
Munculnya rezim (pranata) landas kontinen berawal dari klaim-klaim
negara-negara terhadap dasar luat dan tanah di bawahnya, karena dengan
ditemukannya teknologi penambangan dasar laut, ternyata pada wilayah landas
kontinen terdapat sumber daya mineral sebagaimana dikatakan Boer Mauna (2000 :
301):
a. Di sepanjang pantai, didasar laut landas
kontinen yang tidak begitu dalam, terdapat placers yang berisikan emas,
ilmen, berlian, dan sumber-sumber lain seperti minyak bumi.
b. Bagian-bagian tertentu lereng kontinen
berisikan kumpulan endapan-endapan yang dapat dianggap sebagai sumber-sumber
minyak dan gas bumi dan bagian-bagian tertentu dasar laut dalam diperkirakan
terdapat juga sumber-sumber minyak.
c. Di dasar-dasar laut dalam juga terdapat
nodule dan mangan yang berisi logam-logam lainnya, seperti cobalt, nickel,
tembaga yang lebih banyak dari dasar laut yang kurang dalam.
d. Di bagian sebelah luar landas kontinen,
dibagian sebelah atas lereng kontinen terdapat pospor yang berbentuk
lapisan-lapisan nodule.
e. Lumpur-lumpur logam yang kaya dengan
tembaga dan zinc diperkirakan terdapat di daerah-daerah laut panas yang sangat
asin seperti laut merah.
Proklamasi Presiden Amerika Serikat Henry S.Truman, yang dikeluarkan pada
tanggal 28 September 1945. Proklamasi ini
sebenarnya terdiri dari dua hal: pertama tentang landas kontinen, kedua tentang
perikanan, akan tetapi yang lebih terkenal adalah Proklamasi tentang Landas
Kontinen. Isi
proklamasi ini sebagai berikut:
Having
concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its natural
recoures, the government of the Unites State regard the natural resources of
the subsoil and seabed of the contonental shelf beneath the high seas but
contiguous to the coasts of the United States as appertaining to the United
States subject to ikts jurisdiction and control……..
The
character as high seas of the waters above the contonental shelf and the right
to their free and unimpeded navigation are in no way thus affected.
Latar belakang munculnya proklamasi di atas, didasarkan pada kemajuan
Amerika Serikat dalam bidang teknologi eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
alam. Pemanfaatan wilayah laut
tidak saja pada perairan, tetapi termasuk pula dasar laut dan tanah di bawahnya
yang secara geologis merupakan kelanjutan atau ada hubungannya dengan
daratan. Kenyataan ini menjadi
pertimbangan bagi Amerika Serikat untuk mengklaim dasar laut dan tanah di
bawahnya yang banyak mengandung sumber daya alam, sehingga merasa perlu untuk
menciptakan dasar yuridis bagi uasahanya.
Proklamasi Truman ini kemudian
diikuti oleh negara-negara di benua Amerika seperti Chili, Equador dan Peru,
namun negara-negara ini menetapkan klaim atas landas kontinen secara lebih
ekstrim, sehinga menimbulkan berbagai reaksi dari negara-negara di dunia.
Reaksi negara-negara ini kemudian menimbulkan pemikiran bahwa landas
kontinen perlu diatur secara jelas dan pasti agar kepentingan antara negara
maju dan negara berkembang dapat terwakili.
Oleh karena itu, masalah landas kontinen kemudian diatur dalam UNCLOS
1982 yang pengaturannya mampu menengahi berbagai kepentingan negara-negara di
dunia.
3.3.2 Pengertian Landas Kontinen
A.
Pengertian Dari Aspek Geologis
Pengertian landas kontinen dapat ditinjau dari dua sudut. Pertama
dari sudut geologis, kedua dari
sudut yuridis. Dari sdut
geologis, landas kontinen tertuju pada struktur tanah di dasar laut yang
merupakan kelanjutan alamiah dari daratan yang melandai secara berangsur-angsur
sampai suatu kedalaman tertentu.
Summers menyatakan bahwa teori
landas kontinen terutama didasarkan pada suatu fakta geologis bahwa sepanjang
sebagian besar pantai, tanahnya menurun kedalam laut, sampai akhirnya di suatu
tempat tanah tersebut jatuh curam di kedalaman laut. Air di atas landas kontinen biasanya tidak
begitu dalam, sehingga sumbr-sumber alam dari landas kontinen dapat
dimanfaatkan dengan pemakaian peralatan yang ada (Chairul Anwar, 1957: 5).
Secara geologis, geografis ddan
oceanografi menggunakan isilah landas kontinen (continental shelf) untuk menunjukan tanah di bawah permukaan
lautyang melandai sebagai kelanjutan alamiah dari daratan benua sampai mencapai
kedalaman rata-rata (isobath) 200
meter, di mana pada kedalaman tersebutdasar laut tiba-tiba menurun dengan tajam
sampai mencapai dasar samudra dalam (R. P. Anand, 1980: 72).
Di luar landas kontinen terdapat
lereng kontinen yaitu daerah dasar laut yang mulai mendalam dengan cepat
dan curam sampai kedalaman di mana dasar laut mulai mendatar kembali yang
jaraknya dari pantai kira-kira 1200 meter sampai 3000 meter dan dalamnya
sekitar 50 sampai 550 meter. Bagian
dasar laut yang berbatasan dengan lereng kontinen dinamakan kaki kontinen
yaitu pada kedalaman 3500 meter sampai 5500 meter. Diluar kaki kontinen terdapat Abysal plain yaitu jurang dasar laut yang tidak lagi
merupakan bagian dari kontinen (R. R. Churchil and Lowe, 1983: 108).
B.
Pengertian Dari Aspek Yuridis
Selain pengertian secara geologis, landas kontinen dapat pula di tinjau
dari sudut yuridis, baik dalam Konvensi Jenewa 1958, Undang-Undang No. 1 Tahun
1973 tentang Landas Kontinen , maupun dalam UNCLOS 1982.
Dalam Pasal 1 Konvensi Jenewa
1958 ditegaskan bahwa landas kontinen adalah:
(a)
Dasar laut dan tanah bagian bawah laut dari
wilayah bawah laut yang berhubungan dengan bawah laut yang berdekatan dengan
pantai, tetapi di luar wilayah laut teritorial, sampai kedalaman 200 meter atau
diantara batas itu, sampai dimana kedalaman perairan yang melekat
memperkenankan eksploitasi sumber daya alam yang disebutkan.
(b)
Sampai dasar laut dan tanah bagian bawah dari
wilayah bawah laut serupa yang berdekatan dengan pantai-pantai pulau.
Pengertian di atas, terdapat dua
kriteria untuk menentukan lebar atau luas landas kontinen yaitu: pertama daerah
dasarlaut di luar laut teritorial sampai kedalaman 200 meter dan kedua dasar
laut di luar wilayah laut teritorial sampai batas yang masih memungkinkan
eksploitasi kekayaan alamnya.
Batasan ini justru menimbulkan ketidak pastian dari ukuran landas kontinen
itu sendiri karena, bagi negara-negara yang menguasai teknologi kelautan yang
maju mampu mengeksploitasi landas kontinen, maka landas kontinennya menjadi
semakin dalam, sedangkan bagi negara berkembang yang belum menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi kelautan landas kontinen hanya sampai batas kedalaman
200 meter. Oleh sebab itu, ukuran landas
kontinen dalam Konvensi Jenewa 1958 sangat menguntungkan negara-negara maju.
Selain pengertian dalam Konvensi
Jenewa 1958, Undang-Undang No. 1 Tahun 1973, terdapat pula pengertian landas
kontinen, walaupun lebih khusus di tujukan untuk landas kontinen
Indonesia. Pengertian landas kontinen
Indonesia dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-Undang Landas Kontinen ini sama dengan
yang di maksudkan dalam Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958, karena ditetapkannya
Undang-Undang Landas kontinen Indonesia masih berpedoman pada Konvensi Jenewa
1958.
Adanya kelemahan definisi, baik
dalam Konvensi Jenewa 1958 maupun dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1973, yang
menggunakan kriteria kedalaman 200 meter dan kemampuan eksploitasi, dalam
UNCLOS 1958 kriteria tersebut diganti dengan kriteria jarak yaitu 200 meter dan
kriteria geologis (batas terluar tepian kontinen), sebagaimana dicantumkan
dalam Pasal 76 ayat (1) yang berbunyi:
Landas
kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar
teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai kebatas
terluar tepian kontinen, atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis
pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial apabila sisi
terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Dalam menetapkan batas landas
kontinen, lebih ditegaskan lagi dengan menunjukan batas terluar tepian kontinen
(continental margin) sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (3) yang
menyatakan:
Tepian kontinen merupakan kelanjutan
bagian daratan negara pantai yang berada di bawah permukaan air, dan terdiri
dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari daratan kontinen, lereng (slope
),dan tanjakan (rise). Tepian
kontinen ini tidak mencakup dasar samudra dengan bukit-bukit samudra atau tanah
di bawahnya.
Pasal 76 ini merupakan kompromi yang sulit dicapai karena banyak negara
yang masih mengikuti ketentuan pengukuran landas kontinen pada kepentingannya
masing-masing. Untuk mengatasi masalah
ini, UNCLOS 1982 mengatur alternative lain, sehingga negara pantai dapat
memilih salah satu dari dua cara penetapan batas tersebut:
a. Dengan menarik garis diantara titik-titik
dimana ketebalan karang sedimen paling sedikit 1 (satu) persen dari jarak
terpendek pada titik tersebut ke kaki lereng kontinen,
b. Dengan
menarik garis diantara titik-titik yang ditetapkan yang panjangnya tidak
melebihi 60 mil laut dari kaki lereng kontinen.
Kedua cara ini untuk menetapkan
titik-titik untuk penarikan garis tersebut.
Setiap garis yang menghubungkan antara dua titik tidak boleh melebihi 60
mil laut. Kemudian titik-titik penarikan
garis tersebut tidak boleh terletak dari 350 mil laut dari garis pangkal untuk
mengukur lebar laut teritorial, atau tidak boleh lebih dari 100 mil laut dari
kedalaman 2500 meter (Pasal 76 ayat (5))
(Albert W. Koers, 1991: 10).
Ketentuan kriteria 200 mil yang
ditetapkan sebagai hak eksklusif negara pantai berlaku bagi tepian kontinen
yang kurang dan sampai 200 mil laut, negara pantai masih diberikan hak untuk
mengeksploitasi karena masih merupakan kelanjutan alamiah dari daratan negara
pantai, tetapi negara pantai wajib untuk melakukan pembayaran atau sumbangan
bertalian dengan eksploitasi sumber kekayaan alam nonhayati landas kontinen
diluar 200 mil laut dihitung dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur
lebar laut teritorial (Pasal 82 UNCLOS 1982).
Adapun teknis pembayaran
sumbangan ini, terdapat pengecualian bagi negara pantai yang mengalami
kekurangan sumber mineral dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri,
sehingga harus mengimpor dari negara lain, negara ini dibebaskan dari keharusan
melakukan pembayaran dan sumbangan (Pasal 82 ayat (3)).
Pembayaran dan sumbangan harus diberikan kepada Otorita Dasar Laut
Internasional yang kemudian
dibagikan kepada negara peserta konvensi atas dasar ukuran pembagian yang
adil,dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan negara-negara berkembang,
terutama yang paling terbelakang (miskin) dan yang tidak berpantai diantaranya
(Pasal 82 ayat (4)).
Gagasan pendirian Otorita Dasar
Laut Internasional dapat dilihat dalam Pasal 137 UNCLOS 1982. Pada intinya pasal ini menyatakan bahwa
hak-hak atas sumberkekayaan alam dari dasar laut samudra dalam ada pada seluruh
umat manusia, oleh sebab itu segala bentuk pemanfaatanya harus juga dapat
digunakan untuk kesehjateraan umat manusia, tidak terbatas pada negara yang
memanfaatkan laut itu saja, tetapi untuk seluruh bangsa yang
memerlukannya. Atas dasar inilah Otorita
Dasar Laut Internasional tersebut bertindak
(Pasal 137 ayat (2)).
Otorita resmi didirikan menurut
Pasal 156 merupakan organisasi tempat para peserta konvensi mengatur dan
mengawasi eksplorasi dan eksploitasi dasar laut samudra dalam (Pasal 157). Semua
Negara peserta konvensi ipso fakto adalah anggota otorita yang akan
berkedudukan di Jamaica (Pasal 156).
Badan-badan utama otorita adalah:
(a) Satu Majelis; (b) Satu Dewan; dan (c) Satu Sekretariat. Badan otorita lain adalah perusahaan (enterprises)
yang terlibat langsung dalam ekplorasi dan eksploitasi dasar laut samudera
dalam (Pasal 158) (Albert W. Koers, 1991: 45—53).
Semua anggota diwakili dalam majelis otorita dan seluruh badan-badan yang
ada bertanggung jawab kepada majelis ini.
Majelis inilah yang memutuskan yang memutuskan pembagian hasil
dari eksporasi dan eksploitasi dasar laut samudra dalam . Disamping hal di atas, majelis mempunyai
kekuasaan dan fungsi:
a.
Memilih anggota dewan.
b.
Memilih sekretaris jenderal.
c.
Memilih anggota dewan pimpinan perusahaan beserta
direktur jenderalnya.
d.
Membentuk badan-badan tambahan.
e.
Menaksir iuran-iuran para anggota sampai otorita
mempunyai penghasilan sendiri yang cukup.
f.
Menyetujui rancangan anggaran.
Bagi negara pantai yang akan menetapkan batas terluar landas kontinennya
lebih dari 200 mil laut sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, harus
memberitahu Komisi Batas Landas Kontinen (Pasal 76 ayat (8)) yang
beranggotakan 21orang, mengenai data ilmu pengetahuan dan teknis yang mendasari
penetapan batas tersebut. Setelah
diberitahukan, selanjutnya Komisi Batas Landas Kontinen akan mempertimbangkan
serta membuat rekomendasi kepada Negara-negara pantai tentang batas terluar
dari batas kontinen. Jika disetujui oleh
Komisi Internasional, peta nagara pantai yang menggambarkan ujung luar dari
tepian kontinen menjadi sah. Jika Negara
pantai tidak menyetujui rekomendasi dari komisi, maka dapat diajukan data baru
kepada komisi untuk dipertimbangkan.
3.3.3 Hak Dan
Kewajiban Negara Pantai Di Landas Kontinen
Hak negara pantai yang memiliki landas kontinen, secara yuridis diatur
dalam Pasal 77 UNCLOS 1982 . Pasal ini
sebetulnya hanya merupakan penegasan dari Pasal 2 Konvensi Jenewa 1958.
Hak-hak negara pantai yang
tercantum dalam Pasal 77 adalah:
(a)
Negara pantai menjalankan hak berdaulat di
landas kontinen untuk tujuan mengeksporasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan
alamnya.
(b) Hak berdaulat ini ekslusif dalam arti jika
negara pantai tidak mengeksplorasi landas kontinen atau mengekploitasi
sumberkekayaan alam, tidak seorangpun dapat melakukannya tanpa persetujuan
tegas negara pantai.
(c) Hak negara pantai tidak tergantung pada pendudukan
atau proklamasi secara jelas apapun.
(d) Sumber
kekayaan tersebut terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non
hayati lainnya pada dasar laut dan tanah dibawahnya, bersama organisme hidup
yang tergolong jenis sedenter yaitu jenis organisme yang pada tingkat sudah
dapat dipanen dengan tidak bergerak, beradapada atau di bawah laut dan tidak
dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak phisik tetap dengan dasar laut
atau tanah di bawahnya.
Hak-hak negara pantai atas landas kontinen ini tidak mempengaruhi status
hukum perairan di atasnya atau ruang udara di atasnya (Pasal 78 ayat (1)). Adanya pasal ini dapat disimpulkan bahwa
kedaulatan dan yurisdiksi negara pantai terbatas pada dasar laut dan tanah di
bawahnya.
Sumber kekayaan yang dapat di
eksploitasi di landas kontinen dalam Pasal 74 ayat (4) disebutkan bahwa:
Dimaksudkan
dengan natural resources dalam ayat ini adalah disamping barang-barang tambang
(mineral resources) dan benda-benda yang tidak bernyawa lainnya (non living organism)
meliputi pula kekayaan hayati laut termasuk jenis sedenter (sedentary species).
Jenis sedenter adalah suatu
organisme yang pada tingkat dapat dipanen berada dalam keadaan tidak dapat
bergerak dan berada di dasar laut atau tanah di bawahnya, atau hanya dapat
bergerak apabila ada kontak fisik yang tetap dengan dasar laut atau tanah di
bawahnya, misalnya lobster (Albert W. Koers, 1991: 40). Adapun jenis sedenter meliputi; ruput laut
(tumbuh-tumbuhan laut), spons, coral enichoderm (bintang laut, tripang)
dan molluscs (kerang-kerangan), terkecuali jenis-jenis ikan yang
walaupun hidup berenang pada dasar continental shelf (bottom fish),
dapat berenang dengan bebas (Mohtar
Kusumaatmadja: 1986: 164).
Disamping hak-hak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 77, negara pantai
masih mempunyai hak lain yaitu pulau buatan dan instalasi dan bangunan di atas
landas kontinen (Pasal 80). Sedangkan
pemasangan kabel dan pipa laut di landas kontinen harus mendapat persetujuan
dari negara pantai, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 79 ayat (1-5).
Disamping memiliki hak-hak di landas kontinen, negara pantai juga dibebani
kewajiban yang diatur dalam Pasal 80 jo Pasal 60 UNCLOS 1982, yaitu:
a. keharusan
memberitahukan mengenai pembangunan pulau-pulau buatan. Setiap instalasi atau bangunan yang
ditinggalkan atau tidak terpakai lagi harus dibongkar untuk menjamin pelayaran
dengan memperhatikan standart-standart internasional yang diterima secara umum,
yang ditetapkan oleh organisasi internasional yang berwenang.
b. Dalam melakukan pembongkaran instalasi
atau bangunan tersebut di atas, Negara pantai harus memperhatikan dengan
semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut serta hak dn
kewajiban negara lain.
c. Dalam menentukan safety zones
negara pantai harus memperhatikan standart-standart internasional yang
berlaku. Zona tersebut harus
dibangun dengan menjamin safety zones demikian layak serta sesuai dengan
fungsi pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan tersebut.
d.
Luas safety zones tidak melebihi jarak 500 meter
di sekeliling bangunan, diukur dari setiap terluarnya kecuali apabila diizinkan
oleh standart hukum internasional yang diterima secara umum atau rekomendasi
dari organisasi internasional yang berwenang.
e.
Pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi,
bangunan-bangunan dan safety zones tidak boleh dibangun apabila hal
tersbut menyebabkan gangguan terhadap alur-alur laut yang penting bagi
pelayaran internasional yang telah diakui.
f.
Pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi, dan bangunan-bangunan
tidak mempunyai status sebagai pulau. Oleh karenanya tidak mempunyai laut
teritorial sendiri dan kehadirannya tidak mempengaruhi terhadap penetapan batas
laut teritorial.
3.3.4 Penetapan Batas Landas Kontinen Dengan Negara
Lain
Apabila landas kontinen suatu negara berdampingan atau berhadapan dengan
landas kontinen negara lain, dalam
UNCLOS 1982, harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk
mencapai suatu penyelesaian yang adil.
Pasal 38 ayat (1) Statuta mahkamah berisikan sumber hukum internasional
yang dijadikan dasar dalam menentukan tindakan
yang berkaitan dengan tindakan suatu negara atau masyarakat
internasional, dan dasar bagi Mahkamah Internasional untuk mengadil
perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Berdasarkan ketentuan di atas, UNCLOS 1982 tidak membatasi penetapan garis
landas kontinen dengan cara-cara tertentu, melainkan memberikan kebebasan
kepada negara-negara yang bersangkutan untuk memetapkan melalui persetujuan
atas dasar hukum internasional. Sebagai
akibat dari ketentuan yang tidak tegas ini, ditambah lagi dengan kebutuhan
negara-negara untuk menguasai sumber-sumber minyak dan mineral yang
kemmungkinan terdapat di lepas pantai negaranya, jumlah sengketa garis batas landas kontinen
makin meningkat (Etty R. Agoes, 1991: 10).
Kenyataan ini, menurut Etty R. Agoes, membuat masyarakat internasional
berupaya untuk menjajagi kemungkinan diadakannya pengaturan tentang kerjasama
pemanfaatan kekayaan alam khususnya minyak dan gas bumi, yang terdapat di dekat
garis batas wilayah negara-negara, misalnya dengan menggunakan konsep unitisasi
oleh Gidel (Etty R. Agoes,
1991), dan selanjutnya banyak ditemukan
dalam persetujuan-persetujuan tentang garis batas dalam klasula resource
deposit atau mineral deposits .
Klausula ini biasanya menjelaskan tentang rencana para pihak untuk
mencari kesepakatan tentang penambangan endapan minyak dan gas bumi yang
terdapat pada daerah yang berbatasan tersebut.
Klausula ini juga terdapat pada persetujuan-persetujuan garis batas
landas kontinen yang dilakukan Indonesia dengan beberapa negara tetangga
melalui ketentuan tentang stuktur tunggal minyak dan gas bumi. (Etty R. Agoes, 1991 : 16).
Apabila pada waktu yang terbatas,
tidak dicapai persetujuan untuk menetapkan batas landas kontinen, maka dalam
Pasal 83 ayat (2) ditegaskan bahwa negara yang bersangkutan harus menggunakan
prosedur yang ditentukan dalam Bab XV UNCLOS 1982 yaitu tentang penyelesaian
sengketa yaitu kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Sambil menunggu persetujuan yang ditentukan, negara-negara yang
bersangkutan dengansemangat saling pengertian dan kerjasama, harus membuat
segala usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan
selama masa peralihan ini, tidakmembahayakan atau mengganggu pencapaian yang tuntas. Pengaturan demikian tidak boleh
merugikan penetapan garis batas yang tuntas (Pasal 83 ayat (3)).
3.3.5 Implementasi Unclos 1982 Terhadap Pengaturan
Landas Kontinen Indonesia
Ketentuan tentang landas kontinen secara internasional telah diatur dalam
Konvensi IV Konvensi Jenewa 1958. Oleh
sebab itu Negara Republik Indonesia yang telah mengumumkan wilayah
perairannya, sekaligus pula pada tanggal 17 Pebruari 1969 mengumumkan pula
Landas Kontinen Indonesia yang memuat pokok-pokok:
(a)
Segala sumber kekayaan alam yang terdapat di
Landas Kontinen Indonesia adalah milik ekslusif Negara Indonesia.
(b)
Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal
garis batas landas kontinen dengan negara tetangga melalui perundingan.
(c)
Jika tiada perjanjian garis batas, maka landas
kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara
pulau terluar Indonesia dengan titik terluar wilayah Negara tetangga.
(d) Klaim di ats tidak mempengaruhi sifat
serta status dari pada perairan di atas Landas Kontinen Indonesia, maupun ruang
udara di atasnya (Mochtar Kusumaatmadja,
1983: 199).
Sehubungan dengan Pengumuman pemerintah tentang Landas Kontinen ini, maka
disusul dengan berbagai perjanjian dengan berbagai negara tetangga tentang
landas kontinen ini, antara lain perjanjian Indonesia dengan Malaysia,
Thailand, Australia, India, Singapura, dan Papua Nugini.
Perkembangan selanjutnya pada tahun
1973 Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1973
tentang Landas Kontinen Indonesia. Berhubung ditetapkanya undang-undang ini
sebelum berlakunya UNCLOS 1982,
undang-undang ini masih berpedoman pada Konvensi Jenewa 1958. Diberlakukannya dan diratifikasikannya UNCLOS
1982, maka beberapa hal yang terdapat dalam Landas Kontinen Indonesia perlu
disesuaikan, antara lain:
a. Dalam Pasal 1 ayat (a) Undang-Undang No. 1
Tahun 1973 tentang pengertian landas kontinen masih berpedoman pada kriteria
sebagaimana dianut dalam Konvensi Jenewa 1958, oleh karena itu perlu
disesuaikan dengan kriteria yang dianut dalam UNCLOS 1982 yaitu kriteria jarak
dan geologis.
b. Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang yang menyatakan bahwa: Untuk melaksanakan eksplorasi dan
eksploitasi sebagaimana dianut dalam
Pasal 4 undang-undang ini, dapat dibangun, dipelihara, dan dipergunakan
instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/alat-alat lainnya di landas kontinen
dan/atau di atasnya.
Untuk
melindungi instalasi-instalasi, kapal-kapal dan alat lainnya dari gangguan
pihak ketiga, pemeritah dapat menetapkan suatu daerah terlarang yang lebarnya
tidak melebihi 1250 meter, terhitung dari titik terluar dari daerah terlarang
itu, dimana kapal-kapal ketiga dilarang membuang atau membongkar sauh.
Berkaitan dengan Pasal 6 di atas,
dalam Pasal 60 paragraf 4 UNCLOS 1982, yang diperkenankan adalah menetapkan
zona keselamatan tanpa menentukan daerah terbatas, didalam zona ini, negara
pantai dapat mengambil tindakan yang tepat, baik untuk keselamatan pelayaran
maupun keselamatan instalasi-instalasi, pulau-pulau buatan dan bangunan
tersebut. Mengenai zona keselamatan tidak boleh melebihi 500 meter sekeliling
pulau buatan atau bangunan-bangunan, diukur dari setiap pulau terluar, kecuali
apabila diizinkan oleh standar-standar internasional yang berwenang, untuk itu
semua kapal harus menghormati zona keselamatan tersebut.
Beberapa persoalan dalam
Undang-undang Landas Kontinen Indonesia yang tidak sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam UNCLOS 1982, kiranya beberapa hal perlu ditindak lanjuti yaitu
harus memperbaharui atau menyesuaikan undang-undang tersebut dengan UNCLOS 1982
dan menata ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan penyelidikan ilmiah,
pemeliharaan lingkungan, pengamanan instalasi-instalasi, eksploitasi dan
eksplorasi di landas kontinen serta yurisdiksi imigrasi, bea cukai,
masalah-masalah perdata dan pidana di landas kontinen. Selain
itu, perlu pula mengambil tindakan-tindakan penyelidikan continental margin
di luar batas 200 mil. Jika ada,
maka harus menetapkan batas tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi
dan mendepositkan peta disertai koordinat batasnya kepada Sekretariat Jenderal
PBB dan International Authority (Pasal 84 UNCLOS) yang pada waktu
pembentukannya pada waktu itu sedang dirundingkan.
Berkenaan dengan penentuan garis batas landas kontinen Indonesia dengan
negara-negara tetangga perlu segera dilakukan terutama dengan Vietnam, Australia,
Philipina, dan Malaysia di Kalimantan Timur. Sedangkan yang telah
ditandatangani perjanjian tentang landas kontinen, antara lain:
a. Persetujuan RI dengan Malaysia tentang
Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan,
ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 27 Oktober 1969, mulai berlaku 7
Nopember 1960.
b. Persetujuan RI dengan Thailand tentang
Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka (bagian Utara) dan Laut Andaman,
ditandatangani di Bangkok tanggal 7 Desember 1971 mulai berlaku 7 April 1972.
c. Persetujuan RI-Malaysia-Thailand tentang
Penetapan Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka (bagianUtara)
ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 21 Desember 1971, mulai berlaku 16 Juli
1973.
d. Persetujuan RI-Australia tentang Penetapan
Penetapan Garis Batas Laut tertentu (Laut Arafura dan Dan Daerah Utara Irian
Jaya-Papua Nugini), ditandatangani di Canberra tanggal 18 Mei 1971, mulai
berlaku tanggal 8 Nopember 1973.
e. Persetujuan RI-Australia tentang Penetapan
Garis Batas Daerah-Daerah tertentu (Selatan Pulau Tanibar dan Pulau Timor),
ditandatangani di Jakarta tanggal 9 Oktober.
f. Persetujuan RI-India tentang Garis Batas
Landas Kontinen antar Kedua Negara, ditandatangani di Jakarta tanggal 8
Agustus1974.
g. Persetujuan RI-India tentang Garis Batas
Landas Kontinen, ditandatangani tanggal 14 Januari 1977 di New Delhi, mulai
berlaku 15 Agustus 1977.
h. Persetujuan RI dengan Thailand tentang
Garis Batas Landas Kontinen antar Kedua Negara di Laut Andaman, ditandatangani
di Jakarta tanggal 11 Desember 1975 mulai berlaku 18 Februari 1978.
i.
Persetujuan
RI-India-Thailand tentang Penetapan Trijuction Point dan Penetapan
Batas-Batas antara Ketiga Negara di Laut Andaman, ditandatangani di New Delhi
tanggal 22 Juni 1978, mulai berlaku tanggal 2 Maret 1979.
3.4 Penelitian
Ilmiah Keluatan Di ZEE dan Landas Kontinen
Pelaksanaan penelitian ilmiah
kelautan di ZEE dan Landas Kontinen, tidaklah semudah dibandingkan dengan
penelitian ilmiah di laut teritorial. Di kedua zona ini, negara pantai yang
umumnya negara berkembang di satu sisi hanya memiliki yurisdiksi sehingga pelaksanaan
penelitian oleh negara lain atau organisasi internasional harus mendapat izin
negara pantai, di sisi lain negara-negara maju yang memiliki kemampuan tinggi
dibidang penelitian menginginkan wilayah
penelitian harus seluas mungkin. Persoalan izin yang dianggap akan membatasi
hak negara lain menimbulkan pertentangan kepentingan.
Adanya pertentangan kepentingan
di atas, menurut Albert W.Koers (1991: 32-33), kemudian diatur bentuk-bentuk
kompromi dalam konvensi senbagaimana diatur dalam Pasal 246-254, yaitu dimana
negara pantai mempunyai hak untuk mengatur, mengizinkan dan menyelenggarakan
penelitian ilmiah di ZEE dan landas kontinen dan riset tersebut hanya boleh
dilakukan dengan persetujuan negara pantai. Walaupun demikian dalam keadaan
biasa negara pantai harus memberikan izin kepada negara lain atau organisasi
internasional untuk melakukan penelitian
dengan maksud damai serta ditujukan
untuk menambah pengetahuan ilmiah demi kepentingan seluruh umat manusia.
Sekalipun ada kewajiban ini, negara pantai mempunyai kebebasan untuk memberikan
atau tidak memberikan izin apabila (1) mempunyai arti langsung bagi eksplorasi
dan eksploitasi sumber kekayaan alam; (2) meliputi pengeboran, penggunaan bahan peledak atau pemasukan
bahan-bahan berbahaya ke dalam lingkungan laut; (3) meliputi pembangunan atau
penggunaan pulau-pulau buatan. Kewajiban untuk memberikan izin juga tidak
berlaku apabila informasi yang diberikan mengenai proyek riset tidak tepat,
atau apabila negara atau organisasiinternasional mempunyai kewajiban yang belum
dipenuhi mengenai proyek riset yang terdahulu (Pasal 246).
Apabila proyek riset yang
dilakukan oleh negara lain atau organisasi internasional lain bekerjasama
dengan negara pantai yang juga sebagai anggota telah disetujui, maka izin tidak
diperlukan, karena pada prinsipnya negara pantai telah memberikan izin (Pasal
247). Izin yang diberikan kepada negara
lain atau organisasi internasional untuk melakukan penelitian di ZEE dan landas
kontinen negara pantai harus memberikan informasi mengenai penelitian tersebut
dalam jangka waktu enam bulan sebelumnya. Adapun deskripsi informasi yang
diberikan oleh peneliti sesuai dengan Pasal 248, meliputi:
a.
Sifat dan tujuan proyek.
b.
Metode dan cara
yang akan digunakan, termasuk nama, tonase, tipe serta kelas kendaraan
air dan deskripsi peralatan ilmiah.
c.
Penentuan wilayah yang tepat dimana proyek tersebur
diselenggarakan.
d.
Tanggal perkiraan pemunculan pertama dan keberangkatan
terakhir kendaraan air riset atau penempatan peralatan dan penyingkirannya
secara tepat.
e.
Nama lembaga sponsor, direkturnya, dan orang-orang yang
bertanggungjawab atas proyek yang idmkasud.
f.
Sampai dimana negara pantai mampu berperan serta atau
terwakili dalam proyek tersebut
Apabila seluruh persyaratan telah
dipenuhi dan tidak ada reaksi dari
negara pantai dalam jangka waktu empat bulan sejak diterimanya informasi
tersebut, penelitian boleh dilaksanakan karena negara pantai dianggap telah
memberikan izin secara diam-diam (immplied consent). Berkenaan
dengan hal ini Hasyim Djalal (1996: 16), menyatakan bahwa izin ini bersifat in
normal circumtances diharapkan dapat diberikan dan persetujuan will not
be delayed or denied unreasonably.
Izin penelitian yang diajukan
oleh negara lain atau organisasi internasional dapat ditolak oleh negara pantai
apabila:
a.
Mempunyai arti langsung bagi eksplorasi dan eksploitasi
kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati.
b.
Meliputi penyebaran dalam lndas kontinen, penggunaan
bahan peledak atau pemasukan bahan-bahan berbahaya ke dalam lingkungan laut.
c.
Meliputi konstruksi, operasi atau penggunaan
pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan sebagaimana
diatur dalam Pasal 60 dan Pasal 80 UNCLOS.
d.
Mengandung informasi yang disampaikan mengenai sifat
dan tujuan proyek yang tidak tepat atau apabila negara yang menyelenggarakan
riset atau organisasi internasional mempunyai kewajiban yang belum dilaksanakan
terhadap negara pantai berdasarkan suatu proyek riset terdahulu.
Izin penelitian di ZEE dan landas
kontinen akan diberikan oleh negara
pantai kepada negara lain atau organisasi internasional apabila memenuhi
persyaratan, yaitu:
a.
Negara pantai harus diperkenankan untuk turut serta
dalam riset tersebut.
b.
Negara pantai berhak mendapatkan laporan pendahuluan
dan hasil akhirnya berikut kesimpulan-kesimpulannya.
c.
Negara pantai mempunyai akses atas seluruh data yang
diperoleh.
d.
Hasil-hasil riset harus dapat diperoleh secara
internasional sesegera mungkin (kecuali apabila negara pantai tidak
menghendakinya karena mempunyai arti langsung dengan eksplorasi dan eksploitasi
sumber kekayaan alam.
e.
Negara pantai harus segera diberitahu apabila terjadi
perubahan besar dalam program penelitian.
f.
Setiap instalasi yang digunakan harus dibongkar apabila
penelitian telah selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar