Rabu, 09 Mei 2012

makalah hukum dan HAM


BAB II
PEMBAHASAN
Liga Bangsa-bangsa
            Peran dunia pertama resmi berakhir dengan traktat Versailles yang ditandatangani pada Konferensi Perdamaian Paris 1919. Traktat juga membentuk Liga Bangsa-bangsa dan Badan Perburuhan Internasional (Internasional Labour Office). Tujuan utama dari liga tersebut adalah “untuk menggalakkan kerja sama internasional dan untuk mencapai perdamaian dan keamanan Internasional”. Instrumen-instrumen untuk mencapai tujuan ini didasarkan pada gagasaan perlucutan senjata, penyelesaian sengketa secara damai dan larangan perang; jaminan umum kemerdekaan masing-masing anggota, dan sanksi terhadap pelanggaran atas asas-asas ini. Liga memiliki tiga organ utama, yaitu: Dewan (Council), Majelis (Assembly), dan Sekretariat. Tanpa masuk terlalu rinci pada organisasi liga yang sesungguhnya, cukup untuk menyatakan bahwa Dewan merupakan organ dengan keanggotaan terbatas, bahwa Majelis merupakan organ Pleno Liga yang mencakup negara penandatanganan pada perjanjian Versailles, sedangkan sekretariat merupakan organ pelayanan. Program perlucutan senjata liga sepenuhnya gagal untuk mencapai tujuannya. Mengenai instrumen lain pada tugas liga, suatu penjelasan ringkas atas kegiatannya menyatakan bahwa bukan kualitas dari instrumen yang ada yang menyebabkan ketidakefektifan pelaksanaannya secara keseluruhan. Kegagalannya untuk bertindak sesuai dengan kewajibannya pada saat yang sangat dibutuhkan lebih terkait dengan kelesuan dan keengganan negara-negara anggota ketimbang tidak memadainya ketentuan-ketentuan traktat yang lahir. Berikut konsepsi HAM dikalangan sejarawan Eropa tumbuh dari konsep hak (right) pada Yurisprudensi Romawi, kemudian meluas pada etika via teori hukum alam. Tentang hal ini, Robert Audi mengatakan sebagai berikut: the concept of right arose in Roman Jurisprudence and was extended to ethics via natural law theory. Just as positive lawmakers, confers legal rights, so the natural confers natural rights. [1]
            Liga bangsa-bangsa tidak pernah dikelola untuk memperoleh sifat universal sebagaimana dapat dilihat dari penyebab utama ketidakikutan AS. Akibatnya, Liga Bangsa-Bangsa akhirnya tetap merupakan organisasi Eropa yang pada suatu saat beranggotakan maksimum 59 negara. Keberhasilannya di bidang ekonomi, keuangan, kesehatan masyarakat, mandat, pengangkutan, komunikasi dan masalah-masalah sosial dan perburuhan dibayang-bayangi oleh ketidakmampuannya untuk mencegah perang dunia kedua, suatu kegagalan yang lebih tepat dapat dipandang sebagai tanggung jawab negara-negara anggota secara pribadi-pribadi. Liga Bangsa-Bangsa resmi dibubarkan pada 18 April 1946; menjelang waktu itu Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dibentuk pada tanggal 24 Oktober 1945, hampir enam bulan usianya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa
Para penulis terkemuka dan organisasi-organisasi swasta selama bertahun-tahun mendorong pembentukan dan pengembangan organisasi internasional yang diperlukan bagi pemeliharaan perdamaian internasional. Untuk itu diperlukan dulu sebuah perang-dunia sampai negara-negara bersetuju mendirikan Liga Bangsa-Bangsa. Tetapi apapun bentuk teror perang dunia pertama, tidak cukup meyakinkan negara-negara itu untuk bertindak demi kepentingan perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan negara-negara tertentu secara sepihak seperti penarikan diri Jerman, Jepang dan Italia [2]dari Liga Bangsa-Bangsa dan kegiatan mereka yang jelas-jelas mengancam perdamaian dan keamanan internasional, tidak cukup upaya untuk menggerakkan negara-negara anggota liga untuk  bertindak sesuai kekuasaan yang dipercayakan oleh Perjanjian Versailles.
            Pada akhir perang dunia kedua negara-negara sekutu memutuskan  membentuk organisasi internasional berjangkauan luas yang dimaksudkan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Rumusan rencana yang pasti untuk organisasi tersebut mengambil bentuk dalam beberapa tahap, di Teheran dalam tahun 1943, Dumbarton Oaks dalam tahun 1944 dan Yalta pada tahun 1945.
Akhirnya, pada Konferensi San Fransisco dalam bulan Juni 1945, lima puluh pemerintah ambil bagian dalam perancangan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB resmi berdiri pada 24 Oktober 1945, yaitu hari yang diperingati sebagai lahirnya PBB secara resmi. Dalam sidang umum PBB 16 Desember 1966 kemudian dirumuskan dua buah covenant (persetujuan), yakni International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,[3] dan International Covenant on Civil and Political Rights[4].    
            Perhatian utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah perdamaian dan keamanan internasional. Strukturnya dibuat mengekor pada tujuannya, dan capaiannya sangat tergantung pada kerja sama di antara Negara anggota. PBB tidak memiliki kekuasaan berdaulat, yang secara logis berarti bahwa organisasi tersebut tidak memiliki kompetensi dalam urusan yang berada di dalam yurisdiksi domestik suatu Negara (lihat piagam PBB, pasal 2.7). Uraian yang lebih rinci mengenai PBB, badan-badan utamanya dan fungsinya dapat ditemukan di bawah. Untuk tujuan Manual In dipusatkan pada penggalakkan dan perlindungan hak asasi manusia melalui sistem PBB.  

Piagam PBB
Selama perancangan Piagam PBB ada diskusi hebat mengenai seberapa banyak ”hak asasi manusia” sungguh-sungguh akaan dinyatakan dan dalam bentuk apa. Semangat awal untuk memasukkan bill of rights lengkap dalam piagam dihapuskan dengan segera untuk memasukkan pernyataan umum tentang hak asasi manusia saja, dan bahkan kompromi bukannya tidak diperdebatkan oleh beberapa negara sekutu utama.
           
Secara ringkas, uraian berikut akan menggambarkan kronologis konseptualisasi penegakan HAM yang diakui secara yuridis-formal.  Perkembangan berikut juga menggambarkan pertumbuhan kesadaran pada masyarakat Barat.
Tonggak-tonggak sosialisasinya adalah sebagai berikut: pertama, dimulai, yang paling dini, oleh munculnya ”Perjanjian Agung (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari pemberontakan para baron terhadap Raja John (saudara Raja Richard Berhati Singa, seorang pemimpin tentara salib).
Isi pokok dokumen itu ialah hendaknya raja tak melakukan pelanggaran terhadap hak miliki dan kebebasan pribadi seorangpun dari rakyat. Kedua, keluarnya Bill of Rights pada 1628, yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau untuk memenjarakan, menyiksa, dan mengirimkan tentara kepada siapapun, tanpa dasar hukum[5]. Ketiga, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli 1776, yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut[6]. Keempat, Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits del’Homme et du Citoyen/Declaration of the Rights of Man and of the citizen) dari Perancis pada 4 Agustus 1789, dengan titik berat kepada lima hak asasi pemilikan harta (propiete), kebebasan (liberte), persamaan (egalite), keamanan (securite), dan perlawanan terhadap penindasan (resistence a l’oppression). Kelima, Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR), pada 10 Desember 1948, yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasan beragama (termasuk pindah agama).
Dalam Pasal 1 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: ”Tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah: untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Untuk memajukan kerja sama internasional di bidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan menggalakkan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama...”
Pasal 55 dan 56 Piagam menetapkan kewajiban hak asasi manusia yang pokok dari semua negara anggota PBB. [7]Pasal 55 berbunyi:
”Dengan mengingat pembuatan kondisi kestabilan dan kemakmuran yang diperlukan bagi perdamaian dan hubungan bersahabat di antara negara-negara yang didasarkan atas penghormatan terhadap prinsip kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri bangsa-bangsa, Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menggalakkan:
a. Standar hidup yang lebih tinggi, pekerjaan penuh, kondisi ekonomi dan kemajuan serta perkembangan sosial.
b.Pemecahan masalah-masalah ekonomi, sosial dan kesehatan internasional dan masalah-masalah terkait lainnya budaya internasional dan kerja sama pendidikan, dan
c. Penghormatan universal dan pematuhan hak-hak asasi dan kebebasan dasar manusia bagi semua tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.”

Pasal 56 berbunyi: ”Semua anggota berjanji kepada diri mereka sendiri untuk melakukan tindakan secara bersama atau sendiri-sendiri dalam bekerja sama dengan organisasi untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam Pasal 55”. Sebagai sebuah proses dialektika, pemikiran HAM akhirnya memasuki tahap penyempurnaan sampai munculnya generasi HAM keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi, sehingga menimbulkan dampak negatif seperti diabaikannya berbagai aspek kesejahteraan rakyat.  
Munculnya generasi keempat HAM ini dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan Declaration of the Basic Duties of Asia People and Government[8].

Badan dan Mekanisme Pemantauan Perserikatan Bangsa-Bangsa Berdasarkan Piagam

1.      Rintisan Pembentukan PBB dan Penghormatan Hak Asasi Manusia
Piagam PBB yang disepakati/ditandatangani oleh 50 negara di San Francisco tanggal 26 juni 1945 merupakan hasil perjuangan yang cukup panjang. Organisasi non pemerintah (swasta) misalnya League of Nations Union (London) dan Commission to Study Organization of Peace ikut memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka penyusunan Piagam PBB tersebut.
Presiden Woodrow Wilson (Amerika Serikat) mengambil inisiatif mengorganisasikan pemikiran-pemikiran lama yang sudah ada untuk membantu terciptanya keamanan, perdamaian, dan kesejahteraan manusia. lewat Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) pemikiran tersebut dijalankan, namun Liga Bangsa-Bangsa itu sendiri gagal akibat “…the rise in popularity of anti democratic and nationalistic doctrines, and the unwillingness of peace-loving peoples to assume necessary responsibility for the maintenance of peace resulted in the disintegration and collapse of the League System”.[9]

Perjanjian yang berisi gagasan menyusun satu organisasi internasional terus-menerus diadakan, terutama kesepakatan tentang Piagam PBB, bermula dari pertemuan Roosevelt dan Churchill di New Foundland Bank di atas kapal USS Augutav dan Price of Walles, selanjutnya menghasilkan kesepakatan antara lain :
·   Deklarasi Prinsip atau Kesepakatan Atlantic (Atlantic Charter)  antara Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Rooselvelt dengan Perdana Mentri Inggris, Winston S. Churchill paada tanggal 14 Agustus 1941. Dalam kesepakatan tersebut diharapkan “…to see established a peace which will efford to all netions the means of dwelling in safety within their own bounderis, and which will efford assurance that all the men in all the lands may live out of lives in freedom from want and fear…”.
·   Pernyataan (Deklarasi) negara-negara sekutu yang ditandatangani/disetujui oleh beberapa kualisi negara sekutu/United Nations pada tanggal 1 Januari 2942 di Washington. Lewat Deklarasi tersebut “…to employ its full resources, military or economic, against those members of the Tripartite Pact and its adherents with which such Governments signotary hereto and not to make a separate armistice or peace with the enemies…”.
·   Konferensi Casablanca tanggal 14 sampai dengan 26 Januari 1943, Roosevelt, Churchill, De Guelle. Stalin, mengadakan konferensi antara lain dinyatakan bahwa PBB akan mengadakan perdamaian dengan syarat negara AS (Jerman, Itali, dan Jepang) harus menyerah tanpa syarat.
Dalam Piagam PBB, Hak Asasi Manusia ditegaskan dalam :
·   Mukadimah antara lain ditegaskan “demi memperteguh pada hak-hak asasi manusia, pada harga dan derajat diri manusia, pada hak-hak yang sama, baik laki-laki maupun wanita, dan bagi segala bangsa besar dan kecil, dan demi membangunkan keadaan, dimana keadilan dan penghargaan terhadap kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian dan lain-lain sumber hukum internasional dapat dipelihara”.[10]

·         “Mewujudkan kerja sama internasional di lapangan ekonomi, social, kebudayaan, atau yang bersifat kemanusiaan, den berusaha serta  menganjurkan adanya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membedakan bangsa, jenis, bahasa, atau agama”.[11]

2.      PBB di tengah dan di antara Negara Berdaulat
Memperhatikan Piagam PBB yang disusun oleh para pendiri PBB (the founding fathers) di San Francisco 1945, disebutkan tujuan utama organisasi ini : “…to save succeeding generation from the scourge of war…”.[12]
Karel Vasak dalam satu uraian yang berjudul  : “A 30 years Struggle” (The Sustained effort to give force of law to the Universal Declaration of Human Rights) antara lain sebagai berikut : “Setelah Perang Dunia II, tugas utama PBB dalam bidang hak asasi manusia ada 3 macam/tingkatan yaitu :
1.      Memproklamasikan Deklarasi Hak Asasi Manusia sedunia sebagai standar utama untuk kemajuan umat manusia dan semua negara.
2.      Menyusun beberapa traktat/perjanjian internasional dalam bidang hak asasi manusia yang mengikat negara-negara yang meratifikasinya.
3.      Mengusahakan suatu badan supervisi yang mengadakan observasi terhadap perjanjian/traktat tersebut.
Sedangkan menurut Richard Pierre Claude, ada tiga langkah pula yang harus ti tempuh, yaitu :
a.       The Formulation and definition of international norms of behavior regarding human rights,
b.      The promotion of human rights through information, education, and training about human rights in all levels of social organization, and
c.       The implementation of human rights norms the design and creation of appropriate institution and procedures[13].

Dengan demikian, merumuskan makna Hak Asasi Manusia secara tepat dan cocok untuk sepanjang masa memerlukan waktu yang cukup lama (1945-1948). Lowenstain menjelaskan, “…efforts to get agreement about what meant by the words human rights … was a toughest semantic job of all, and the fact that job eventually got done makes the complexities that still exist some how more manageable…”.[14]
Perlu ada tindak lanjut dari seluruh anggota PBB untuk mengambil langkah positif, terutama di bidang Hak Asasi Manusia. Setiap anggota PBB diharapkan membantu untuk:
1.        Mempromosikan dan memperkuat penghargaan dan kepedulian terhadap Hak Asasi Manusia tanpa membedakan ras, sumber, seks maupun agama,
2.        Setiap anggota PBB segera mengambil inisiatif mengkaji dan membuat rekomendasi tentang Hak Asasi Manusia demi terwujudnya tujuan PBB,
3.        Setiap anggota PBB diharapkan membantu komisi-komisi PBB yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia dan sekaligus mempromosikannya,
4.        Setiap anggota PBB  bergabung dengan organisasi-organisasi yang ada untuk mengembangkan dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian, langkah-langkah anggota PBB untuk mengkaji Hak Asasi Manusia dalam arti memperkuat posisi Hak Asasi Manusia sangta penting, cara ini menghindari “konfrontasi” dengan kedaulatan yang dimiliki setiap negara merdeka di dalam mengatur dan menyelenggarakan tujuan bernegara.
Proklamasi Hak Asasi Manusia PBB 1948, yang disetujui oleh anggota PBB dalam Sidang Umum tanggal 10 Desember 1948, hanya 8 negara abstain yaitu Uni Soviet, Ukraina, Byelorusia, Cheko-Slowakia, Polandia, Yugoslavia daan Saudi Arabia dan tidak ada satu negara pun yang menolak.
Menurut Harry S. Truman “…we have good reason to expect the framing of an international bill of Rights…that…will be as much a part of in international life as one own bill of rights is part of one Constitusi,” sedangkan Mrs. Eleonar Roosevelt (janda Presiden Amerika Serikat), menyatakan “…Declaration would be “the magna Charta” of all mankind”.[15]

3.      Langkah Yuridik PBB memperkuat Hak Asasi Manusia
Sampai tahun 1990 PBB dan Organisasi-organisasi International lainnya telah memiliki 75 instrumen/alat hukum yang melindungi Hak Asasi Manusia. Sementara itu, Indonesia baru meratifikasi 17 instrumen (aturan) hukum tersebut.
Dalam rangka “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, perlu segera dibentuk tim-tim khusus mengkaji kemungkinan keikutsertaan Indonesia pada kesepakatan lainnya. “di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat benar dari kesusilaan, tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokratis”[16].
Dari ketentuan ini terbukti bahwa, pengakuan/penerimaan ketentuan Hak Asasi Manusia tidak akan menggiring orang per orang menjadi bebas tanpa ada batasan, justru dalam pasal 29 ayat (2) Hak Asasi Manusia dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
 Karena itulah “isi” dan pelaksanaan Undang-undang perlu mendapat perhatian khusus, agar Hak Asasi Manusia sengaja tidak dapat dilaksanakan.
4.      Dewan Hak Asasi Manusia
Dewan Hak Asasi Manusia adalah badan PBB yang baru dibentuk.Badan ini dibentuk dengan Resolusi Majelis Umum 60/251 tertanggal 15 Maret 2006 sebagai bagian pembaharuan untuk memperkuat kegiatan Hak Asasi Manusia PBB. Komisi Hak Asasi Manusia mempunyai mandat yang luas, dan dapat mengangkat dan membicarakan segala macam masalah hak asasi manusia. Komisi inilah yang menegosiasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan diterima oleh Majelis Umum PBB tahun 1948.
Komisi tersebut bekerja untuk mengubah DUHAM menjadi ketentuan yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian hak asasi manusia yang mengikat secara hukum, yang kemudian diterima oleh Majelis Umum dan dibuka untuk penandatangan dan ratifikasi, seperti KIHSP (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) dan KIHESB (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). [17] Sejumlah besar perjanjian dan dokumen lain hak asasi manusia telah dibuat kemudahan oleh bantuan Komisi tersebut.
Aktivitas Komisi yang paling penting dan yang paling kelihatan adalah akivitasnya dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia. Selama lima puluh tahun berfungsinya komisi tersebut telah membuat berbagai alat dan mekanisme pemantauan untuk semua pelanggaran hak asasi manusia yang paling umum. Sesuai dengan pembaruan yang membentuk hak asasi manusia, kebanyakan mekanisme menurut bekas Komisi Hak Asasi Manusia diadopsi oleh Dewan, sesuai dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh sidang pertama dewan. Pembaruan terutama mencabut status komisi dalam sistem PBB dan memungkinkan diadakannya lebih banyak pertemuan. Selain itu dilakukan pengurangan jumlah anggota dari 54 menjadi 47, sedangkan negara yang dipilih untuk menjadi anggota harus menerima bentuk lunak pemeriksaan terhadap praktik hak asasi manusianya.
Mekanisme pemantauan yang dibentuk oleh Bekas Komisi Hak Asasi Manusia dan diterima oleh Dewan dapat dibagi ke dalam empat prosedur khusus yaitu Kelompok Kerja, Sub-Komisi tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, dan Prosedur Pengaduan.
ii) Prosedur Khusus
            Label ”prosedur khusus” yang agak kabur tersebut mencakup berbagai mekanisme yang dibentuk oleh bekas Komisi Hak Asasi Manusia guna menangani permasalahan hak asasi manusia di negara tertentu dan/ atau isu tematik di semua bagian dunia. Dengan demikian prosedur khusus ini masih memainkan peran penting dalam pemantauan hak asasi manusia di negara-negara anggota PBB. Prosedur khusus tersebut diberi bantuan personel dan logistik oleh Komisariat Tinggi Hak Asasi Manusia dan ditetapkan oleh berbagai badan, seperti Dewan Hak Asasi Manusia, Dewan Ekonomi dan Sosial, Sekretaris Jenderal. Struktur prosedur spesial tersebut juga berbeda, yaitu Pelapor Khusus; Ahli Independen; Wakil Pribadi; Kelompok Kerja.[18]
            Mandat dari prosedur khusus tersebut beragam, namun pada umunya dapat dikarakteristikkan sebagai mekanisme pencarian fakta dan investigasi. Individu dan para anggota dari kelompok kerja adalah ahli-ahli independen. Melalui kerja para ahli itu, mereka memberikan perhatian atas kekurangan dan permasalahan untuk diselesaikan oleh komunitas internasional dan negara-negara secara individu. Hal ini bergantung pada mandat dan undangan dari berbagai negara. Para pemegang mandat dapat mengadakan kunjungan ke negara yang bersangkutan dan menjalankan misi pencarian fakta. Prosedur Khusus dibagi dalam dua kelompok besar berdasarkan mandat pelaksana prosedur khusus yang bersangkutan, yaitu mandat tematik dan mandat spesifik negara.




a. Terdapat 28 mandat Tematik:
  1. Pelapor Khusus tentang perumahan yang layak sebagai komponen hak atas estándar kehidupan yang layak (2000).
  2. Kelompok Kerja tentang orang turunan Afrika (2002).
  3. Kelompok Kerja tentang penahanan sewenang-wenang (1991).
  4. Pelapor Khusus tentang perdagangan anak, pelacuran anak, dan pornografi anak (1990).
  5. Pelapor Khusus tentang hak atas pendidikan (1998).
  6. Kelompok Kerja tentang penghilangan paksa atau secara paksa atau secara tidak sukarela (1980).
  7. Pelapor Khusus untuk pelaksanaan hukuman mati ekstra yudis secara cepat atau eksekusi sewenang-wenang (1982).
  8. Ahli independen tentang masalah hak asasi manusia dan kemiskinan ekstrim (1998).
  9. Pelapor Khusus tentang hak atas pangan (2000).
  10. Pelapor Khusus tentang pemajuan dan perlindungan hak atas kebebasan pendapat dan menyampaikan pendapat (1999)
  11. Pelapor Khusus tentang kebebasan agama dan kepercayaan (1986)[19].
  12. Pelapor khusus tentang hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam kesehatan fisik dan mental (2002).
  13. Wakil Khusus Sekretaris Jenderal tentang situasi pembelaan asasi manusia (2000).
  14. Pelapor Khusus tentang Independensi hakim dan pengacara (1994).
  15. Pelapor Khusus tentang Situasi hak dan kebebasan dasar manusia dan kebebasan dasar rakyat pribumi (2001).
  16. Wakil Sekretaris Jenderal tentang orang-orang yang meninggalkan tempat kediaman mereka secara internal (2000).
  17. Kelompok kerja tentang kegunaan penggunaan tentara bayaran sebagai cara untuk menghalangi pelaksanaan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri (2005).
  18. Pelapor Khusus tentang hak asasi manusia migran (1999).
  19. Ahli Independen tentang Isu minoritas (2005).
  20. Pelapor Khusus tentang bentuk kontemporer rasisi diskriminasi rasial, xenophobia, dan ketidak toleransian (1999).
  21. Ahli Independen tentang efek dari kebijakan pembangunan ekonomi, dan utang luar negeri untuk penikmatan terutama hak ekonomi, sosial dan budaya (2003).
  22. Pelapor Khusus tentang pemajuan dan perlindungan hak atas manusia ketika melawan terorisme (2005).
  23. Pelapor Khusus tentang penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (1985)[20].
  24. Pelapor Khusus tentang efek merugikan dari pemindahan, pembuangan produk limbah beracun dan secara gelap penikmatan hak asasi manusia (1995).
  25. Pelapor Khusus tentang perdagangan orang, terutama perempuan dan anak (2004).[21]
  26. Wakil Khusus dari Sekretaris Jenderal tentang Hak Asasi Manusia dan Perusahaan transnasional dan perusahaan bisnis lainnya (2005).
  27. Pelapor Khusus tentang Kekerasan terhadap Perempuan, penyebab dan akibatnya (1994).
  28. Ahli Independen tentang dan solidaritas internasional (2005).

b. 12 (dua belas) mandat spesifik negara meliputi:
  1. Pelapor Khusus tentang Situasi Hak Asasi Manusia di Belarus (2004).
  2. Ahli Independen tentang di situasi hak asasi manusia di Burundi (2004).
  3. Wakil Khusus dari Sekretaris Jenderal untuk hak asasi manusia di Kamboja (1993).
  4. Wakil Pribadi Komisaris Tinggi Hak Asasi manusia di Kuba(2002).

  1. Ahli Independen yang diangkat oleh Sekretaris Jenderal tentang situasi hak asasi manusia di Haiti (2005).
  2. Pelapor Khusus tentang situasi hak asasi manusia di Republik Korea (2004).
  3. Ahli Independen tentang situasi hak asasi manusia di Liberia (2003).
  4. Pelapor Khusus tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar .
  5. Pelapor Khusus tentang situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina sejak tahun 1967 (1993).
  6. Ahli Independen yang diangkat oleh Sekretaris Jenderal tentang situasi hak asasi manusia di Somalia (1993).
  7. Pelapor Khusus untuk situasi hak asasi manusia di Sudan (2005).
  8. Ahli Independen tentang situasi hak asasi manusia di Uzbekistan (prosedur 1503) (2005).

Laporan dari berbagai pemegang mandat menurut prosedur khusus disampaikan kepada Komisi Hak Asasi Manusia, yang digunakan sebagai dasar perdebatan politik dan resolusi di Komisi. Selain itu komisi juga memperdebatkan negara tertentu yang tidak dipantau oleh pelapor khusus. Negara-negara dapat disebut dalam pernyataan oleh wakil-wakil negara, oleh kelompok negara-negara, atau oleh Komisi secara keseluruhan dalam resolusi tentang negara. Kemudian telah tertuang pada Pasal 15, yaitu hak menikmati kehidupan kultural dan manfaat kemajuan ilmiah[22]. Kerja sama internasional sangat dibutuhkan agar prosedur-prosedur khusus dapat berfungsi. Negara-negara yang bersangkutan harus menerima pelapor khusus untuk mengajukan pertanyaan kepada wakil pemerintah maupun kepada wakil oposisi politik lainnya. Kebanyakan negara bekerja sama dengan prosedur-prosedur khusus yang dibentuk menurut Dewan Hak Asasi Manusia, namun terdapat beberapa negara menolak, baik Majelis Umum maupun Dewan Hak Asasi Manusia tidak mempunyai kekuatan penegakan terhadap negara-negara yang tidak bekerja sama.
Prosedur-prosedur khusus sering diperdebatkan di bawah Komisi Hak Asasi Manusia. Karena alasan ini dan alasan lainnya maka semua prosedur khusus tidak bekerja seefektif mungkin menurut kemampuan mereka, sebagian karena kurangnya personel dan uang, dan sebagian lagi karena kurangnya dukungan negara-negara anggota.
iii) Kelompok Kerja
            Berbagai kelompok kerja merupakan bagian penting dari kegiatan Dewan Hak Asasi Manusia. Kelompok kerja dapat dibagi ke dalam tiga kategori yaitu kelompok kerja tentang penetapan standar, kelompok kerja yang terbuka untuk semua dan kelompok kerja mengenai prosedur khusus.
Untuk sementara terdapat tiga kelompok kerja tentang penetapan standar:
a)      Kelompok kerja yang terbuka untuk semua yang membahas opsi-opsi mengenai penggarapan Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang  Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
b)      Kelompok kerja tentang rancangan naskah instrumen normatif yang mengikat secara hukum untuk melindungi semua orang dari penghilangan paksa.
c)      Kelompok kerja tentang rancangan naskah deklarasi mengenai hak rakyat pribumi.
Kelompok kerja terbuka untuk semua adalah:
  1. Kelompok kerja tentang hak atas pembangunan.
  2. Kelompok kerja tentang pelaksanaan efektif deklarasi dan program aksi Durban dan program aksi.
Empat kelompok kerja yang terfokus pada prosedur khusus, yaitu:
a)      Kelompok kerja tentang penahanan sewenang-wenang.
b)      Kelompok kerja tentang penghilangan paksa atau terpaksa.
c)      Kelompok kerja ahli tentang orang-orang keturunan Afrika.
d)     Kelompok kerja tentang situasi-situasi[23].
5. Komite Penasehat Dewan Hak Asasi Manusia
            Komite penasehat Dewan Hak Asasi Manusia atau Human Rights Council Advisory Committee fungsinya adalah sebagai ting tank yang akan memberi bantuan keahlian dan melakukan penelitian-penelitian substantif mengenai isu-isu tematik yang menjadi perhatian Dewan Hak Asasi Manusia. Komite ini hanya bekerja berdasarkan permintaan Dewan HAM.
            Komite ini merupakan pengganti dari Subkomisi tentang pemajuan dan perlindungan HAM yang dahulunya berada di bawah Komisi HAM. Jadi secara umum tugas komite ini adalah memberikan nasehat atas berbagai kasus dan isu tematik kepada Dewan HAM atas permintaan dewan. Komite ini dapat mengadakan pertemuan selama dua kali dalam setahun dan setiap kali bersidang memerlukan maksimal 10 hari dengan kemungkinan sesi tambahan berdasarkan persetujuan Dewan HAM.
            Pada tahun 1947, Komisi HAM menyatakan bahwa Komisi tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk memeriksa pengaduan individual tentang pelanggaran hak asasi manusia. Posisi ini secara bertahap diubah pada tahun-tahun berikutnya terutama melalui dua resolusi penting Dewan Ekonomi dan Sosial yaitu resolusi 1234 (XLII) tertanggal 6 Juni 1967 dan resolusi 1503 (XLVIII) tertanggal 27 Mei 1970. Hal ini pernah terjadi pada tiga negara yang tidak menjadi pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB)[24]. Dan kedua resolusi tersebut membuka kesempatan untuk komunikasi individual dan langkah-langkah yang diambil nama populer untuk kedua prosedur karena prosedur ini telah diterima oleh Dewan HAM. Prosedur 1235 memberikan mandat kepada Komisi dan Subkomisi HAM untuk membahas informasi tentang pelanggaran besar-besaran hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang mereka terima dari perseorangan, dari organisasi non pemerintah dan dari negara.
            Prosedur 1503 lebih kurang disusun sebagai prosedur pengaduan individual. Prosedur ini memberikan kepada komisi dan sekarang Dewan Mandat untuk mempelajari secara konfidensial komunikasi individual.
Jika ditemukan pelanggaran berat hak asasi manusia, maka kasus ini dibawa ke Dewan Hak Asasi Manusia. Dewan kemudian akan mempelajari situasi tersebut dan melaporkannya kepada Dewan Ekonomi dan Sosial. Selanjutnya Dewan Hak Asasi Manusia akan mengangkat seorang pelapor khusus dan memindahkan situasi tersebut ke prosedur 1235 yang bersifat  publik. Prosedur 1503 diperbaiki pada tahun 2000 menurut Dewan Ekonomi, dan Sosial, tertanggal 16 Juni 2000. Satu perubahan penting adalah pembentukan kelompok kerja, baik yang di bawah subkomisi maupun di bawah non komisi, serta pengujian kasus-kasus untuk dapat diterima tidak kelompok kerja tersebut.
            Pada Juni 2007 dilakukan perubahan yaitu untuk membantu kemudahan pengaduan, maka dibentuklah dua kelompok kerja yaitu kelompok Kerja tentang Komunikasi dan Kelompok Kerja tentang Situasi. Kelompok Kerja tentang Komunikasi bertugas untuk menilai apakah pengaduan dapat diterima atau tidak sedangkan Kelompok Kerja tentang Situasi bertugas untuk memberikan laporan tentang pelanggaran berat hak asasi manusia yang konsisten kepada Dewan Hak Asasi Manusia.

6. Komisi tentang Status Perempuan
            Komisi tentang Status Perempuan dibentuk oleh Dewan Ekonomi dan Sosial pada tahun 1946. Komisi ini merupakan badan politik dengan 45 anggota yang dipilih sebagai wakil pemerintahan mereka. Komisi tersebut bertemu dalam sidang tahunan, berlangsung hanya delapan hari, dan komisi itu tidak mengembangkan tindakan dan mekanisme seperti yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia. Komisi tersebut bertemu di New York, dan bukan di Jenewa dimana kebanyakan hak asasi manusia PBB dilaksanakan. Pada tahun-tahun pertamanya, Komisi ini bekerja khususnya untuk menetapkan standar hak asasi manusia baik dalam DUHAM 1948 maupun dalam kedua Kovenan Kembar 1966, tetapi juga dalam konvensi-konvensi dan dokumen-dokumen yang khusus dimana banyak terjadi diskriminasi terhadap perempuan.[25]
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Protokol Opsionalnya adalah Dokumen Hak Asasi Manusia utama yang telah mengatur penyelenggaraan konferensi-konferensi perempuan sedunia, memajukan pengangkatan Pelapor Khusus dan berusaha untuk mengutamakan hak-hak perempuan dalam sistem PBB. Komisi itu telah membentuk sistem pengaduan yang sama dengan Prosedur 1503 menurut Dewan Hak Asasi Manusia.
Ketika membentuk komisi yang terpisah untuk hak-hak perempuan, Dewan Ekonomi dan Sosial di satu pihak mengfokuskan perhatiannya pada situasi perempuan, dan di pihak lain memisahkan isu-isu perempuan dari kegiatan hak asasi manusia yang lebih umum yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia. Ketika membentuk sistem pengaduannya sendiri, dalam banyak hal betumpang tindih dengan sistem yang telah ada dalam Komisi Hak Asasi Manusia. Sehingga komisi tersebut kurang memainkan peran penting seperti yang seharusnya dapat dilakukan. Selain itu pula perhatian khusus pun diberikan atau difokuskan pada perempuan yang berada di daerah pedesaan yang sering memainkan peran yang signifikan dalam kelangsungan ekonomi keluarga mereka[26].

7. Komisariat Tinggi untuk Hak Asasi Manusia
            Sekretariat PBB, yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal mancakup kegiatan yang sangat luas. Seperti halnya departemen, kantor, program, dan komite, terdapat Komisariat Tinggi untuk Hak Asasi Manusia, dimana Komisariat Tinggi mempunyai status sebagai wakil Sekretaris Jenderal. Komisariat tersebut berfungsi sebagai institusi pelayanan untuk banyak badan pemantauan, baik yang berdasarkan Piagam maupun yang berdasarkan perjanjian internasional, di samping mempunyai mandatnya sendiri. Pejabat-pejabat utama berkantor di New York, sedang Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia berkedudukan di Jenewa.

Dalam tahun 1994 Majelis Umum menerima resolusi yang membuat kedudukan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia dan mengangkat Mr. Jose Ayala Lasso dari Ekuador sebagai Komisi tinggi pertama. Majelis Umum menyatakan bahwa Komisioner Tinggi adalah ” pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tanggung jawab utama untuk kegiatan-kegiatan Hak Asasi manusia di bawah pengarahan dan tanggung jawab Sekertariat Jenderal”[27].  Kemudian pembentukan kantor untuk HAM mengalami kesulitan. Pembahasan bermula pada pertengahan 1950-an, namun baru pada 1993 masalah ini diangkat oleh Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia.
Sekretariat dan terutama kantor Komisariat Tinggi untuk Hak Asasi manusia telah menyelenggarakan Konferensi Sedunia untuk Hak Asasi Manusia. Konferensi tersebut pertama kali diadakan di Teheran pada 1968, dan terfokus pada penetapan standar. Konferensi ini dikatakan untuk membuka diskusi Utara-Selatan tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian membuka jalan bagi deklarasi lainnya yaitu Deklarasi tentang Hak Atas Pembangunan. Konferensi sedunia yang kedua diadakan di Wina pada 1993, menginapkan lebih dari 7000 utusan dari 171 negara dan 800 organisasi non pemerintah. Konferensi ini diarahkan ke pelaksanaan pada tingkat nasional. Konferensi sedunia yang pernah dilakukan antara lain di Kairo pada 1994 (tentang kependudukan), Beijing pada 1995 (tentang perempuan), Kopenhagen pada 1995 (tentang perkembangan sosial) dan Durban pada 2001 (tentang rasisme).








Badan dan Mekanisme Pemantauan Perserikatan Bangsa-Bangsa Berdasarkan Perjanjian Internasional

1. Komite Untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
            Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHEBS), bagian IV (Pasal 16-Pasal 25) mengatur mekanisme pemantauan. Menurut Pasal 16 ayat 1, negara pihak diharuskan menyampaikan laporan tentang tindakan-tindakan yang diambil oleh negara-negara pihak dan kemajuan yang telah dicapai dalam pemantauan hak-hak yang diakui di dalamnya. Walaupun Kovenan tidak membentuk badan perjanjian internasional. Pasal 16 ayat 2 memberi Dewan Ekonomi dan Sosial kewenangan untuk membahas laporan-laporan tersebut. Di samping itu salinan laporan disampaikan kepada badan-badan khusus PBB dan Komite Hak Asasi Manusia untuk memperoleh perhatian badan-badan khusus tersebut[28].
            Mandat Dewan Ekonomi dan Sosial berasal dari Piagam PBB Bab X juncto Pasal 55. Dewan berfungsi sebagai forum sentral bagi pembicaraan isu-isu ekonomi dan sosial internasional dan membuat rekomendasi politik dengan tetap menghormati isu-isu ekonomi, sosial, dan budaya internasional yang berkaitan dengan masalah kesehatan, pendidikan, dan masalah sejenis. Dewan tersebut dalam beberapa hal harus bekerja sama dan mengkoordinasikan aktivitasnya dengan program-program PBB seperti (UNICEF dan UNDP) dan badan-badan khusus seperti ILO, WHO, UNESCO, dan FAO. Dewan memiliki 54 anggota yang dipilih untuk masa tiga tahun. Angoota-anggota itu bertugas sebagai utusan pemerintah. Dewan menyelenggarakan pertemuan setiap tahun dalam sidang yang berlangsung selama lima minggu. Tetapi menurut Piagam PBB Pasal 68 bagian utama kerja operasional Dewan tersebut didelegasikan kepada komisi-komisi.



Komisi-komisi dibagi ke dalam tiga kategori utama, yaitu:
  1. Komisi-komisi fungsional, seperti bekas Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi tentang Status Perempuan dan Komisi tentang Pembangunan yang berkelanjutan.
  2. Komisi-komisi regional untuk Afrika, Asia, dan Pasifik, Amerika Latin dan Karibian, Eropa, dan Asia Barat.
  3. Komisi Tetap dan Badan-Badan ahli, seperti Komisi untuk Program dan Koordinasi serta Komisi tentang Pemukiman Manusia.

2. Komite Hak Asasi Manusia
            Bagian IV KHISP, Pasal 28-Pasal 45 mengatur pembentukan Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee). Komite ini mempunyai 18 anggota yang dinominasi dan dipilih oleh negara-negara, [29] tetapi bekerja dalam kapasitas pribadi mereka dan bukan sebagai wakil pemerintah. Anggota-anggota tersebut haruslah “orang-orang yang berkarakter moral yang tinggi dan mempunyai kompetensi di bidang hak asasi manusia yang diakui”[30].
            Fungsi utama Komite tersebut adalah menjamin pelaksanaan ketentuan-ketentuan Kovenan melalui pembahasan laporan-laporan pengaduan antar negara dan secara bertahap, petisi individual komite harus mengembangkan peraturan tata tertibnya sendiri dan peraturan-peraturan mereka sendiri (Pasal 39), agar pelaksanaan mekanisme lebih efektif.

3. Komite atas Penghapusan Diskriminasi Rasial
            Mekanisme pelaksanaan menurut Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial didasarkan pada bagian II Konvensi tersebut yang membahas laporan komunikasi antar Negara dan komunikasi antar individual. Pasal 8 membentuk Komite tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial yang akan menjalankan fungsi-fungsi ini. Komite ini terdiri dari 18 ahli yang mempunyai kedudukan moral tinggi dan imparsialitas yang diakui.
Para anggota dipilih oleh negara-negara pihak dengan mempertimbangkan pembagian geografis yang adil dan terwakilnya berbagai bentuk peradaban serta system-sistem hukum yang utama[31]. Para anggota dan Komite bertugas dalam kapasitas pribadi dan pembiayaan mereka harus ditanggung oleh negara-negara pihak menurut pasal 8 ayat (6).

4. Komite tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
            Bagian V dari Konvensi tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Covenant on the Elimination of All of Discrimination against Woman/CEDAW ) mengatur pelaksanaan Konvensi tersebut. Komite dibentuk berdasarkan Pasal 17 CEDAW dan terdiri dari 23 ahli dengan kedudukan moral tinggi dan kompeten. Menurut Pasal 17 ayat (1) CEDAW para anggota dipilih oleh negara-negara pihak, tetapi bertindak dalam kapasitas pribadi. Pemilihan para ahli harus mempertimbangkan pembagian geografis yang adil dan terwakilnya berbagai bentuk peradaban serta sistem-sistem hukum utama.
Sesungguhnya Pasal 29 CEDAW juga membentuk mekanisme pelaksanaan. Ketentuan ini menetapkan bahwa pertikaian antar negara pihak mengenai penafsiran penerapan Konvensi, dalam keadaan tertentu, dapat dirujuk pada Mahkamah Internasional. Sejumlah negara telah membuat reservasi terhadap ketentuan ini dan mekanisme tersebut belum pernah digunakan.
Melalui Protokol Opsional 1999, Konvensi tentang Penghapusan segala Diskriminasi terhadap Perempuan telah menjadi alat yang lebih efisien untuk menjamin pelaksanaan Konvensi, tetapi mekanisme ini dilemahkan melalui beberapa reservasi yang dibuat oleh negara-negara pada waktu ratifikasi yang memang dibolehkan sesuai Pasal 28. Pasal tersebut menekankan bahwa persyaratan yang “bertentangan dengan obyek dan tujuan” Konvensi tidak diperbolehkan[32].
Banyak negara yang melakukan reservasi, hal ini tentu bertentangan dengan objek dan tujuan CEDAW. Sehingga komite ini telah membuat dua rekomendasi umum dan pernyataan agar negara-negara menarik reservasi mereka sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) 

5. Komisi Menentang Penyiksaan
            Terdapat beberapa mekanisme pelaksanaan menurut Konvensi Menentang Penyiksaan yaitu pembahasan laporan, investigasi, komunikasi antar negara dan komunikasi individual. Semua mekanisme bertumpu pada Komite Menentang Penyiksaan yang dibentuk sesuai dengan Pasal 17. Komite terdiri dari 10 orang ahli ”dengan kedudukan moral tinggi dan kemampuan yang diakui dalam bidang hak asasi manusia” yang menjalankan tugas dalam kapasitas pribadi mereka[33]. Para anggota dipilih oleh negara-negara pihak, dengan mempertimbangkan berbagai alasan geografis yang adil dan pada kegunaan partisipasi beberapa anggota yang memiliki pengalaman hukum. Menurut KIHSP, memilih anggota Komite Menentang Penyiksaan yang juga merangkap sebagai anggota Komite Hak Asasi Manusia adalah sangat dianjurkan.
            Kemudian Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah luar biasa, karena instrumen ini membahas satu hak tunggal yang tercantum dalam DUHAM[34], dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik[35]. Instrumen tersendiri lainnya membahas dasar diskriminasi (seperti gender, ras) atau kelompok rentan yang didefinisikan secara khusus (anak, pekerja migran, dan lain-lain). 
Menurut Pasal 20 Konvensi Menentang Penyiksaan, Komite dapat melakukan investigasinya sendiri. Hal ini merupakan mekanisme semi wajib, namun negara-negara yang menjadi pihak pada Konvensi dapat mendeklarasikan bahwa negara mereka tidak akan memberikan kekuasaan investigatif kepada Komite.
6. Komite Tentang Hak Anak
            Mekanisme pelaksanaan Konvensi tentang Hak Anak disebut dalam bagian II, Pasal 43, dan dipertahankan oleh Komite tentang Hak Anak (Commitee On the Rights of Childs). Komite itu terdiri dari sepuluh ahli “dengan kedudukan moral tinggi dan kompetensi yang diakui dalam bidang yang diliput oleh Konvensi ini”[36]. Meskipun para anggota Komite dipilih oleh negara-negara pihak, mereka melakukan tugas dalam kapasitas pribadi mereka yang pemilihannya didasarkan atas pertimbangan pembagian geografis yang adil dan pada sistem-sistem hukum utama.
            Tujuan utama Komite adalah memeriksa kemajuan yang dibuat oleh negara-negara pihak dalam mencapai perwujudan kewajiban yang dijanjikan dalam Konvensi sesuai dengan Pasal 43 ayat (1). Alat yang paling penting adalah dalam hal Pasal 44 ayat (1) menetapkan bahwa isi laporan harus menginformasikan tindakan yang telah diambil oleh negara pihak yang memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Konvensi dan tentang kemajuan yang telah tercapai tentang penikmatan hak-hak tersebut.
            Laporan negara harus menunjukkan “faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban negara pihak menurut Konvensi ini. Laporan disampaikan setiap lima tahun. Komite tersebut harus menyampaikan laporan kepada Majelis Umum PBB sesuai dengan Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 huruf (d).

7. Komite Pekerja Migran
            Selama bertahun-tahun enanm konvensi hak asasi manusia PBB tersebut di atas dinamakan ‘enam besar’ atau ‘enam konvensi inti’. Salah satu alasan untuk mengedapankan enam konvensi ini dalam arti lebih penting daripada konvensi-konvensi hak asasi manusia lainnya adalah karena enam konvensi ini telah membentuk sistem pemantauan yang didasarkan kepada perjanjian internasional.

Pada 1 Juli 2003 “keluarga enam” tersebut diperbesar ketika Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Angoota Keluarga mereka mulai berlaku pada 14 September 2006, 34 negara telah menjadi pihak pada konvensi tersebut.
Konvensi tersebut membentuk komite dengan sepuluh  anggota ahli independent (untuk diperbesar menjadi empat belas bergantung pada jumlah ratifikasi). Komite mengadakan siding pertamanya pada 2004. Komite tersebut memiliki kewenangan memeriksa laporan-laporan negara yang disampaikan oleh negara-negara lain setiap lima tahun (dimulai dengan laporan awal satu tahun setelah mengakses konvensi). Keprihatinan dan rekomendasi komite akan disampaikan dalam pengamatan umum atas setiap negara yang bersangkutan.
Bergantung pada persetujuan negara anggota, komite akan memperluas kewenangan untuk memeriksa komunikasi antar negara, hal yang sama berlaku untuk komunikasi individual[37]. Seperti badan-badan pemantauan lain, komite tentang Pekerja Migran mengeluarkan komentar umum tentang isu tematis.
Hak-hak substantif menurut Konvensi tentang Perlindungan semua pekerja migran dan anggota keluarga mereka dikemukakan di tempat karena hak-hak substantif ini mencakup hak-hak yang terdapat dalam atau lebih dari konvensi inti yang lain. Dalam hal ini komite memperluas wewenang yang bertumpang tindih dengan komite yang lain. Pada saat yang sama di beberapa bidang, konvensi membuat lingkup penerapan baru yang lebih luas bagi hak-hak substantif tersebut. Hal ini adalah salah satu alasan mengapa negara-negara barat ragu-ragu meratifikasi konvensi (lagi pula konvensi itu oleh beberapa negara, dianggap memberikan beban yang tertinggi pada kebijakan mereka apabila menyangkut masalah imigrasi).
Karena Komite tentang Pekerja Migran baru dibentuk dan kekuasaan komite tersebut belum memperoleh jumlah ratifikasi yang cukup besar ini tidak terdapat yurisprudensi atau dokumentasi yang telah dikeluarkan komite.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah kami di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      LBB selaku perkumpulan negara-negara dalam menegakan HAM di dunia, ternyata gagal dalam melaksanakan tugas tersebut.
2.      LBB kemudian berubah menjadi PBB, berhasil membuat suatu deklarasi universal mengenai pengakuan HAM bagi seluruh dunia atau yang disebut DUHAM.
3.      PBB telah membentuk beberapa lembaga/badan internasional yang bertugas menjaga dan menegakan HAM di dunia.
4.      Walaupun telah terbentuk, namun tidak semua lembaga/badan internasional tersebut dapat berjalan dengan efisien.

B. Saran-saran













DAFTAR PUSTAKA

  1. Cassesse, Antonio. 1994. Hak Asasi Manusia di dunia yg berubah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. de rover, C. 2000. To Serve and To Protect. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  3. Effendi, Masyhur. 1994. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  4. Prof. Dr. H. Muladi, S.H. 2005. Hak Asasi Manusia. Bandung: PT. Refika Aditama.
  5. Prinst, Darwan. 2001. Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan HAM. Bandung: PT. Citra Aditya.



[1] Robert Audi (ed.),.op.cit., hlm.591.
[2] Merupakan negara-negara yang terlibat perang dunia II.
[3] Kovenan ini terdiri dari 4 bab dan 31 pasal. Di Pasal 1 ditegaskan bahwa, “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development .”
[4] Kovenan ini terdiri dari 5 bab dan 33 pasal.
[5] Edward C. Smith, The Constitution of the United States (New york: Barnes&Nobles, 1966), hlm.17.

[6] Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat menyatakan, We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness. Lihat Ibid., hal.20.

[7] Lihat pada buku to serve and to protect. C. de rover.hlm 54.
[8] Beberapa masalah dalam deklarasi ini yang terkait dengan HAM dalam kaitan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia.
[9] Leland M. Goodrich, et al, 1946 : 4.
[10] Effendi A. Masyhur, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam hukum nasional dan internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 62.
[11] Ibid, hlm. 62.
[12] Piagam PBB, alinea I.
[13] Richard Pierre Claude, 1989 : 184.
[14] Effendi A. Masyhur, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam hukum nasional dan internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 65.
[15] Ibid, hlm. 67.
[16] Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 pasal 29 ayat (2).
[17] Lihat  Hukum dan HAM UII press Yogyakarta.hal.174.
[18] Khusus tentang Kelompok Kerja akan dijelaskan lebih terperinci dibagian lain dari buku Hukum dan HAM UII press Yogyakarta.
[19] Sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945
[20] Dikutip dari buku Hukum dan HAM UII Press Yogyakarta.hlm.178.
[21] Dikutip dari buku Hukum dan HAM UII Press Yogyakarta.hlm.178.
[22] Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak-Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya INSIST Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 62-64.
[23] Prosedur konfidental 1503.
[24] Dok PBB. E/CN.4/1997/74, 27 Maret, paragraph 19-21.
[25] Preambul di tahun 1967
[26] Pasal 14 (1) Konvensi tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
[27] G.A. Res 48/148, 1994
[28] Lihat pada pasal 16 ayat (2) huruf (b).
[29] Lihat Pasal 29 dan Pasal 30.
[30] Sesuai dengan pasal 28 ayat (2).
[31] Lihat pasal 8 ayat (1).
[32] Lihat paragraf kedua dari pasal 28 CEDAW dan Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional Pasal 19 ayat (c).
[33] Lihat Pasal 1.
[34] Lihat Pasal 5.
[35] Lihat Pasal 7.
[36] Lihat Pasal 42 ayat (2).
[37] Lihat Pasal 77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar