Sabtu, 12 Mei 2012

MAKALAH INTERNASIONAL HUMANITARIAN LAW PROTOKOL TAMABAHAN I TAHUN 1977 PERLINDUNGAN KORBAN KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL


BAB I
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

1.1.            Sejarah Hukum Humaniter Internasional
            Dalam sejarah kehidupan politik manusia, peristiwa yang banyak dicatat adalah perang dan damai.[1]   Ungkapan bahwa “peace to be merely a respite between wars” menunjukan situasi perang dan damai, terus silih berganti dalam interaksi manusia.[2] Oleh karena itu, pembahasan akan diarahkan pada konsepsi perang yang meliputi semua konflik yang mengandung potensi kekerasan, yang terentang antara situasi konflik domestic yang mengarah pada penggunaan kekuatan militer yang memungkinkan tidak mampu diatasi oleh kekuatan polisi domestic (Intra state conflict) sampai pada perang antar Negara pada skala penuh (inter state conflict),[3]  yang sekarang lebih dikenal dengan Hukum Humaniter.
            Hukum Humaniter Internasional moderen terdiri dari dua aliran sejarah: Hukum Den Haag, yang pada masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper), dan Hukum Jenewa atau Hukum Humaniter. Kedua aliran ini dinamai berdasarkan tempat diadakannya konferensi internasional yang merancang perjanjian-perjanjian mengenai perang dan konflik, terutama Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Konvensi Jenewa, yang untuk pertama kalinya dirancang pada tahun 1863. Baik Hukum Den Haag maupun Hukum Jenewa adalah cabang dari jus in bello, yaitu hukum internasional mengenai praktik-praktik yang dapat diterima dalam pelaksanaan perang dan konflik bersenjata.
            Hukum Den Haag, atau Hukum Perang yang utama, “menetapkan hak dan kewajiban pihak yang berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan sarana mencelakai yang boleh dipakai.” Pada khususnya, Hukum Den Haag berkenaan dengan definisi kombatan, menetapkan aturan mengenai sarana dan cara berperang, dan menelaah perihal sasaran militer.
            Upaya sistematis untuk membatasi kebiadaban perang baru mulai berkembang pada abad ke-19. Keprihatinan atas keganasan perang berhasil mengembangkan perubahan pandangan tentang perang di kalangan negara-negara yang dipengaruhi oleh Abad Pencerahan. Tujuan perang ialah untuk mengatasi musuh, dan tujuan tersebut dapat dicapai dengan melumpuhkan kombatan musuh. Dengan demikian, “pembedaan antara kombatan dan orang sipil, ketentuan bahwa kombatan musuh yang terluka dan tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, dan pengampunan harus diberikan yang merupakan sebagian dari pilar-pilar Hukum Humaniter moderen– mengikuti prinsip tersebut.” [4]

1.2.            Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter
            Istilah Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu International Humanitarian Law.[5]  Tidak banyak yang mengira bahwa Hukum Humaniter merupakan nama baru dari yang dulu dikenal sebagai “Hukum Perang” (laws of war). Adanya perubahan istilah dari Hukum Perang (Lawa of War), lewat Hukum Konflik Bersenjata (Laws of Armed Conflict), ke Hukum Humaniter (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict).[6]   Mengenai terjemahan ini belum ada kata sepakat tentang istilah yang paling tepat karena istilah tersebut masih (relative) baru, tidaklah mengherankan bahwa masih banyak orang yang belum mengetahui apa yang dimaksudkan dengan International Humanitarian Law itu.[7] Perbedaan istilah Hukum Humaniter internasional dengan hukum perang hanyalah terletak pada penekanannya. Istilah Hukum Humaniter internasional menekankan pada akibat yang ditimbulkan oleh peperangan terhadap kemanusian yaitu perlindungan terhadap kemanusiaan. Sedangkan istilah hukum perang lebih menekankan pada segi yuridis dan peristiwa perangnya bersifat kekerasan atau ciri-ciri perang adalah penggunaan kekerasan dalam suatu perang pasti akan menimbulkan korban baik manusia ataupun materi yang tak mungkin dihindari, namun pelaku-pelaku perang, penduduk sipil harus dilindungi.[8]   Hukum Humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum internasional publik, yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-masalah lintas batas Negara.[9]
Sumber utama Hukum Humaniter adalah :
1)      konvensi-konvensi Den Haag 1907 disebut hukum Den Haag
2)      konvensi-konvensi Jenewa 1949 disebut hukum Jenewa
3)      Protokol Tambahan 1977.[10]
            Ada beberapa sarjana yang mencoba menjelaskan pengertian hukum perang. Lauterpacht secara singkat mengatakan : law of war are the rules of the law of nations respecting warfare.[11]  Menurut Jean Pictet, International Humanitarian Law didalam bukunya yang berjudul The Principles of International Humanitarian Law, dibagi dalam kedua golongan besar yaitu :
1) Hukum perang, yang dibagi lagi dalam :
a.      hukum the Hague
b.      hukum Jenewa
2) Hak-hak asasi manusia[12]
             hukum internasional dalam arti luas adalah suatu ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang memberikan rasa hormat kepada individu maupun kesejahteraannya.[13]
            Berdasarkan pengertian Hukum Humaniter menurut Jean, terdapat ungkapan yakni “memberikan rasa hormat kepada individu maupun kesejahteraannya” ungkapan tersebut sesuai dengan tujuan Hukum Humaniter. Tujuan utama Hukum Humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang mederita/ menjadi korban perang., baik mereka yang secara nyata ataupun aktif turut dalam permusuhan (combat) maupun mereka yang tidak turut dalam permusuhan (penduduk sipil). [14]  
            Berbeda dengan Lauterpacht dan Jean Pictet yang memberikan pengertian mengenai Hukum Humaniter, Prof. Mochtar Kusumaatmadja tidak memberikan definisi. Ia hanya memberikan pembagian hukum perang yaitu sebagai berikut :
1)      Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, hukum yang mengatur dalam hal bagaimana Negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata.
2)      Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang.[15] Dibedakan lagi menjadi dua, yaitu :
a) ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang cara dilakukannya perang itu sendiri (conduct of war). Bagian ini disebut pula peraturan atau ketentuan hukum Den Haag.
      b) ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang baik sipil maupun militer. Bagian ini disebut pula dengan ketentuan-ketentuan hukum Jenewa.[16]








BAB II
PROTOKOL TAMBAHAN I TAHUN 1977

2.1.            Sejarah Protokol Tambahan I 1977
            Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan ketentuan-ketentuan yang menambah dan melengkapi konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949. Protokol Tambahan tahun 1977 ini terdiri dari Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II.[17]
            Judul resmi Protokol I berbunyi “Protokol additional to the Geneva Conventions of 12 august 1949, and relating to the protection of victims of International Armed Conflicts.”[18]  Protokol ini ditandatangani oleh Negara yang turut serta dalam konferensi Diplomatik pada tanggal 10 Juni 1977.[19]   Protokol Tambahan I (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional.[20]   Pada tahun 1979, Protokol telah berlaku (come into force) setelah dua negara, yaitu Libia dan Ghana meratifikasi kedua Protokol tersebut.[21]  Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 167 negara.[22]
            Sebelum melakukan pembahasan yang mendalam mengenai Protokol Tambahan I tahun 1977 yang mengatur tentang  “sengketa bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict).[23]   Sengketa bersenjata digambarkan sebagai perang antara dua negara atau lebih.[24]   Sebelumnya kita terlebih dahulu harus tahu apa yang dinamakaan konflik bersenjata. Menurut Pietro Veeri, istilah konflik bersenjata merupakan ungkapan umum yang mencangkup segala bentuk konfrontasi antara beberapa pihak yaitu :
1.      dua Negara atau lebih,
2.      suatu Negara dengan suatu entitas bukan-negara,
3.      suatu Negara dengan suatu faksi pemberontak, atau
4.      dua kelompok etnis yang berada dalm suatu Negara.[25]
            Secara garis besar hanya ada dua konflik yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu:
1.      Sengketa atau konflik yang bersifat internasional
      disebut juga sengketa bersenjata antar Negara, sengeketa bersenjata antar  Negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 2 common article konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 beserta pasal (1) ayat (4) jo. Pasal (96) ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2.      Sengketa atau konflik yang bersifat non-internasional
      Dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi didalam suatu Negara, juga dapat berbentuk perang saudara. Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal yakni pasal 3 common article konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II tahun 1977.[26]
            Berdasarkan penjelasan diatas maka kita mengetahui mengenai gambaran mengapa Prokol tambahan I dibentuk. Protokol Tambahan I tahun 1977 dibentuk karena metode perang yang digunakan oleh Negara-negara telah berkembang dan tata cara berperang (conduct of war). Protokol ini menentukan bahwa hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih alat dan cara berperang adalah tidak terbatas, juga dilarang menggunakan senjata ataupun proyektil senjata serta alat-alat lainnya yang akan mengakibatkan luka-luka yang berlebihan ataupun penderitaan yang tak perlu.[27]  Protokol Tambahan I ini terdiri dari enam bab yang mencakup 102 artikel dan dua lampiran, berikut bab dan lampiran yang ada dalam Protokol tersebut :
            1) ketentuan umum
            2) yang luka, sakit dan korban karam
            3) status kombatan dan tawanan perang
            4) penduduk sipil
            5) pelaksanaan konvensi dan Protokol ini
            6) ketentuan-ketentuan penutup
            Lampiran 1 : peraturan tentang tanda pengenal
            Lampiran 2 : kartu identitas bagi wartawan yang sedang dalam tugas pekerjaan yang   berbahaya.[28]
Perlu ditekankan bahwa Protokol ini diperuntukan bagi International Armed Conflicts. Disamping itu, dalam Protokol Tambahan I ini terdapt juga ketentuan pokok yang menentukan antara lain :
1)      Melarang                      : Serangan yang membabi buta, dan reprisial (pembalasan) terhadap ;
a.       Penduduk sipil dan orang-orang sipil
b.      Obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil
c.       Benda-benda budaya dan tempat-tempat religius
d.      Bangunan dan instalasi berbahaya
e.       Lingkungan alam
2)   Memperluas                : Perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam                                                    konvensi Jenewa, kepada semua personil medis, unit-                                           unit dan alat transportasi medis, baik yang berasal dari                                              organisasi sipil ataupun militer.
3)   Menentukan                : kewajiban bagi peserta Agung untuk mencari orang-                                                 orang hilang.
4)   Menegaskan                : ketentuan mengenai bantuan suplay militer yang                                                       ditujukan kepada penduduk sipil.
5)   Memberikan                : Perlindungan terhadap kegiatan-kegiatan organisasi
                                            pertahanan sipil.
6)  Mengkhususkan           : adanya tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh
 Negara-negara untuk memfasilitasi implementasi humaniter. Pelanggaran terhadap sub (a) diatas dianggap sebagai pelanggaran berat humaniter, dan dikatagorikan  sebagai kejahatan perang.[29]

2.2.         Intisari Protokol Tambahan I 1977

2.2.1.      Ketentuan Umum
            Bab I dalam Protokol Tambahan ini yakni ketentuan-ketentuan umum terdiri atas 7 pasal. Dari tujuh pasal ini yang akan menjadi pokok pembahasan adalah general principles and scope of application.[30]  Pasal 1 dibagi dalam tujuh paragraph. Hal yang sangat penting untuk pembahasan ini adalah paragraph 3.[31]  Berikut paragraph 3 selengkapnya yang berbunyi :
Protokol ini, yang melengkapi Konvensi- konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 untuk
perlindungan korban-korban perang,  harus  berlaku di dalam situasi-situasi yang disebut dalam pasal 2 yang umum dikenal pada Konvensi-Konvensi tersebut.”[32]   Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977, menyatakan bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 konvensi Jenewa 1949.[33]
            Pada paragraph ke-3 ini hanya menunjuk pada paragraph ke-2, yang bunyinya sama dalam keempat konvensi Jenewa 1949 :
sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan yang ada akan dilaksanakan dalam waktu damai, konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap pertikaian brsenjata lainya yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak peserta agung sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka.”[34]
            Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa penduduk sebagian atau seluruhnya dari pihak peserta agung sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan senjata. Konvensi tersebut berlaku :
1)      dalam setiap perang yang diumumkan
2)      dalam setiap pertikaian bersenjata yang timbul antara pihak peserta agung sekalipun keadaan perang tidak diakui.
3)      Dalam keadaan pendudukan, baik wilayah itu diduduki sebagian ataupun seluruhnya sekalipun pendudukan itu tidak mendapt perlawanan bersenjata.[35]

2.2.2.      Yang Luka, Sakit dan Karam
            Penjelasan mengenai bab II ini dalam Protokol tamabahan I tahun 1977 telah tercantum dalam pasal 9 “bidang penerapan” ayat (1) yang berbunyi :
“Bab ini, yang ketentuan-ketentuannya dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan yang luka, sakit dan korban karam, harus berlaku bagi semua mereka yang terkena oleh situasi yang disebut di dalam Pasal 1, tanpa sesuatu pembedaan yang merugikan yang didasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin,  bahasa, agama atau keyakinan, pandangan  politik atau pandangan lainnya. asal kebangsaan atau sosial, kekayaan, keturunan atau kedudukan lainnya, atau atas kriteria lain yang serupa.”[36]
            Isi dalam pasal 9 ayat (1) bab II Protokol Tambahan I mencakup atas adanya pengakuan akan Hak Asasi Manusia. Masalah hak asasi manusia masih saja dibicarakan, mungkin karena masih banyak pelanggaran atau kepalsuan. Masalah hak asasi manusia memang masalah kemanusiaan, berarti terkait upaya, tidak saja pengakuan harkat kemanusiaan, tapi yang lebih penting sejauh mana harkat kemanusiaan yang dimiliki setiap orang dapat dinikmati oleh setiap orang, oleh setiap individu tanpa beda.[37]   Hak-hak azasi manusia merupakan subyek dari Hukum Internasional dan bersifat kontemporer serta merupakan suatu usaha mengatur hak-hak azasi manusia pada tingkat internasional. Dan hanya ada setelah perang dunia ke II.[38]   Namun, hak asasi manusia akan mengalami hambatan dalam situasi konflik bersenjata, baik itu konflik antar negara maupun konflik dalam negeri. Dalam konflik bersenjata penduduk sipil suatu negara atau wilayah sering menjadi sasaran langsung dan mederita karenanya. Penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konflik terkadang mengalami pembataian missal, diperkosa, disandera, dilecehkan, diusir, dijarah, dan dihalang-halangi aksesnya terhadap makanan, air, dalan layanan kesehatan.[39]        Hak asasi manusia sulit didefinisikan. Pada umumnya hak asasi manusia dikenal sebagai hak-hak yang paling fundamental dan mendasar, serta tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, dan sangat esensial untuk hidup sebagai manusia.[40]  Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapa pun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.[41]  
            Sangat penting bagi orang-orang yang terlibat secara langsung dalam sengketa bersenjata untuk tetap diakui hak asasi manusia. Sebab apabila suatu perang tanpa ada landasan ataupun jaminan akan hak asasinya maka perang itu lantas hanya akan menjatuhkan martabat manusia sebagai makhluk yang berakal dan memiliki hati nurani. Bagaimana tidak, perang tanpa ada dasar belas kasih atau yang biasa disebut perang yang membabi buta itu, akan sama halnya dengan perang yang dilakukan oleh kaum hewani. Meskipun Hukum Humaniter dan hak asasi manusia berbeda dalam hal waktu penerapannya, tapi pad hkekatnya mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan perlindungan kemanusiaan kepada mereka yang berada dalam situasi lemah.[42]
            Selain dalam pasal 9 ayat (1), jaminan atas berlakunya hak asasi manusia ditekankan kembali pada pasal 10 mengenai perlindungan dan perawatan ayat (2), yakni :
“Dalam segala keadaan mereka itu harus diperlakukan secara perikemanusiaan dan harus memperoleh perawatan kesehatan dan perhatian penuh yang diperlukan karena keadaan mereka sampai sejauh apa yang dapat dilakukan dan dengan sesedikit mungkin penundaan. Tidak boleh ada perbedaan diantara mereka itu yang didasarkan atas alasan apapun selain daripada keadaan kesehatan mereka.”[43]

2.2.3. Status Kombatan dan Tawanan perang
            Salah satu sendi hukum perang adalah distinction principle (prinsip pembeda). Pengertian asas ini ialah bahwa penduduk suatu negra terlibat dalam pertikaian bersenjata dibagi dua golongan besar, yaitu mereka yang secara langsung aktif dalam pertikaian tersebut, dan mereka yang tidak turut serta secara aktif. Pembagian ini perlu diadakan karena hukum perang menentukan bahwa masing-masing golongan mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda.[44]  Prinsip ini diatur dalam pasal 48 Protokol Tambahan I tahun 1977.[45]   Tujuan dari prinsip pembeda ini adalah melindungi warga sipil.[46]  Yang intinya menegaskan[47] :
            1.  Penduduk sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan
                (Serangan bom yang membabi buta dipermukiman penduduk sipil dilarang keras)
2.  Sebagai suatu metode peperangan, dilarang keras membuat penduduk sipil 
     menderita kelaparan.
3.  Fasilitas yang sangat dibuthkan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil,
     seperti perkebunan, peternakan dan sumur air tidak boleh dihancurkan.
            Beberapa Ahli telah menjabarkan arti Kombatan, seperti hal nya pendepat KGPH. Haryomataram, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Humaniter, beliau mengatakan bahwa kombatn adalah mereka yang berhak (have the right) untuk secara langsung turut serta dalam permusuhan (hostilities).[48]   Pengertian yang dipakai oleh KGPH. Haryomataram hampir serupa artinya dengan pengertian kombatan menurut F. Sugeng Istanto yaitu mereka yang berhak serta secara langsung dalam permusuhan.[49]
            Pada Protokol tamabahan I 1977 masalah mengenai status kombatan diatur dalam pasal 43 dan 44. Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi ;
Angkatan perang dari suatu Pihak dalam sengketa terdiri dari semua angkatan, kelompok-kelompok dan satuan-satuan bersenjata yang diorganisir yang berada dibawah suatu komando yang bertanggung jawab kepada Pihak tersebut atas perbuatan bawahannya, bahkan apabila Pihak tersebut diwakili oleh sebuah Pemerintah atau suatu kekuasaan yang tidak diakui oleh suatu Pihak lawan. Angkatan Perang seperti itu harus tunduk pada suatu peraturan disiplin tentara, yang internalia, harus berlaku sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata.”  Pasal 43 mulai dengan menjelaskan pengertian angkatan bersenjata (armed force) dari pihak sengketa. Menurut ayat 1, angkatan bersenjata tersebut terdiri dari semua angkatan bersenjata yang terorganisasi, kelompok (group) dan kesatuan (units) yang terorganisir, yang berada dibawah pimpinan/ komando yang bertanggung jawab kepada pihak tersebut atas kelakuan dan tingkah laku anak buah mereka. Perlu dicatat disini bahwa pasal ini tidak lagi menyebut istilah Regular Armed Forces dan Irregular Armed Forces, seperti yang terdapat dalam konvensi-konvensi sebelumnya.[50] Selain itu kombatan juga diatur dalam pasal 1 dan 3 regulasi Den Haag 1907, Pasal 13 common Articles konvensi I dan II, pasal 4A dan 4B konvensi Jenewa III tahun 1949, serta pasal 43 dan 44 Protokol Tambahan I tahun 1977.

   2.2.4. Penduduk Sipil
            Menurut Haryomataram[51]  Penduduk Sipil  (Civilians) ialah mereka yang tidak turut serta secara aktif dalam permusuhan atau pertempuran; mereka harus dilindungi  dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan. Sedangkan Arlina Permanasari[52] mengemukakan bahwa penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.[53]
            Acuan paling pokok mengenai penduduk sipil, adalah pasal 27 konvensi Jenewa IV tahun 1949, yang antaranya berbunyi sebagai berikut :
“orang-orang yang dilindungi dalam segala keadaan berhak atas penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak, keyakinan dan praktek keagamaan serta adat istiadat dan kebiasaan mereka.” mereka harus diperlakukan perimanusiaan,dan harus dilindungi khusus dengan segala tidakan keras atau ancaman-ancaman kekerasan, dan terhadap penghinaan serta tidak boleh menjadi objek totonan umum.[54]  Sebenarnya prinsip yang tertuang dalam pasal 27 konvensi Jenewa tahun 1949merupakan nilai dalam berbagai keagamaan dan kebudayaan.
            Mengenai bab IV dalam Protokol Tambahan I ini d dalam uraian di pasal 50 yang menjelaskan apa itu penduduk sipil dan orang-orang sipil. Yaitu yang terdapat dalam pasal 50 ayat (1) dan (2) : “Seorang sipil adalah setiap orang yang tidak  termasuk dalam salah satu dari penggolongan-penggolongan orang-orang yang disebut dalam Pasal 4 A(1), (2), (3) dan (6) dari Konvensi.” Pasal 50 ayat (1)  dan “Penduduk sipil terdiri dari semua orang sipil.” Pasal 50 ayat (2)
            Pada Protokol Tambahan konvensi jenewa tahun 1977, menetapkan keharusan dihindarinya penduduk sipil menjadi sasaran militer. Seperti yang tercantum dalam pasal 48, yang berbunyi sebagai berikut :
“Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk  sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.” Ketentuan tersebut menunjukan bahwa secara implicit Protokol itu menetapkan keharusan diarahkannya operasi militer hanya pada sasaran militer. [55]
















BAB III
KESIMPULAN

            Ungkapan bahwa “peace to be merely a respite between wars” menunjukan situasi perang dan damai, terus silih berganti dalam interaksi manusia.[56] Oleh karena itu, pembahasan akan diarahkan pada konsepsi perang yang meliputi semua konflik yang mengandung potensi kekerasan, yang terentang antara situasi konflik domestic yang mengarah pada penggunaan kekuatan militer yang memungkinkan tidak mampu diatasi oleh kekuatan polisi domestik (Intra state conflict) sampai pada perang antar Negara pada skala penuh (inter state conflict),[57]  yang sekarang lebih dikenal dengan Hukum Humaniter.
            Pemahaman atas kekerasan atau kekuatan memiliki perbedaan antara pemahaman yang dimiliki oleh Negara berkembang dan Negara maju. Pemahaman di Negara berkembang memahaminya penggunaan kekerasan juga mencakup tekanan ekonomi. sedangkan Negara-negara maju lebih terbatas, hanya meliputi kekerasan fisik.[58]  Oleh karena itu, konflik yang mengandung unsur kekerasan ada pengaturannya dalam “Hukum Humaniter” yang dahulu lebih dikenal dengan “hukum perang”  sebab ketika perang itu terjadi tidak hanya pihak Negara atau militer saja yang terlibat, melainkan penduduk sipil pun ikut terkena akibatnya. Oleh karenanya, dengan adanya Protokol Tambahan I tahun 1977 mengenai perlindungan korban konflik bersenjata internasional diharapkan traumatis ataupun akibat yang ditimbulkan oleh perang tersebut bisa diminimalisir. Sebab didalam Protokol ini terdapat beberapa pasal yang menjamin hak asasi manusia seperti dalam pasal 9 ayat 1 dalam bab “Yang Luka, Sakit, Karam”. Setidaknya perang yang membabi buta dengan adanya konvensi dan Protokol mengenai perang, bisa “memanusiakan perang tersebut”. Namun, bukan berarti dengan adanya kovensi ataupun Protokol yang mengatur tata cara perang, perang itu di legalkan ataupun disetujui. Hanya saja kita semua tahu bahwasanya perang itu tak akan pernah berakhir apabila manusia masih merasa tidak puas atau serakah. Lebih tepatnya ketidakpuasan tersebut adalah naluri manusia.  Dalam Protokol Tambahan I ini terdiri beberapa bab yakni :
            1) ketentuan umum
            2) yang luka, sakit dan korban karam
            3) status kombatan dan tawanan perang
            4) penduduk sipil
            5) pelaksanaan konvensi dan Protokol ini
            6) ketentuan-ketentuan penutup
            Lampiran 1 : peraturan tentang tanda pengenal
            Lampiran 2 : kartu identitas bagi wartawan yang sedang dalam tugas pekerjaan yang   berbahaya.[59]















DAFTAR PUSTAKA

1.      Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2009)

2.      Wikipedia, Hukum Humaniter Internasional, http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Humaniter_Internasional (akses 31 Maret 2012, pukul 10.57)

3.      Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter internasional (Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2011)

4.      Prof. KGPH. Haryomataram, S.H., Pengantar Hukum Humaniter, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005)

5.      Suparman Marzuki, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008)

6.      http://www.scribd.com/doc/45723738/28/Protokol-Tambahan-1977 (akses 31 Maret 2012, pukul 21:36)

7.      Arlina web’s Blog, Apa arti “Konflik Bersenjata”, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/ (akses 31 Maret 2012, pukul 22:24)

8.      Courtesy of ICRC, Regional Delegation Jakarta. Dalam Arlina Web’s Blog, Tipe-tipe Konflik yang diatur dalam Hukum Humaniter, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/ (akses 31 Maret 2012, pukul 22:38)

9.      Muhammad Jamil UH, Konvensi Jenewa 1949, http://jamilkusuka.wordpress.com/tag/Protokol-tambahan-i/ (akses 30 Maret 2012, pukul 18:46)


11.  Prof. H. A. Masyhur Effendi, S.H., M.S., Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, (Jakarta, ghalia Indonesia : 1994)

12.  Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, (London, Sweet & Maxwell:1986)

13. Arlina, Glosary, http://arlina100.wordpress.com/glossary/ (akses 1 April 2012, pukul 11:48)

14. Teddy Sunardi,Perbedaan antara HAM dan Hukum Humaniter Internasional, http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/9938118.html (akses 1 April 2012, pukul 11:34)

15. Supriyanto, Pembedaan Penduduk Sipil dan Kombatan, file PDF, hal. 66. (akses 2 Maret 2012)

16. Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Jakarta : Refika Aditama, 2006)


[1] Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hal. 1.
[2] Ibid, hal. 2.
[3] Ibid, hal. 3.
[4] Wikipedia, Hukum Humaniter Internasional, http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Humaniter_Internasional (akses 31 Maret 2012, pukul 10.57)
[5] Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter internasional (Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2011),  hal. 1.
[6] Prof. KGPH. Haryomataram, S.H., Pengantar Hukum Humaniter, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1.
[7] Ibid, hal. 5.
[8] Ria Wierma Putri, Op.cit, hal. 2.
[9] Mohammed Bedjaoui, modern wars : Humanitarian Challenge. A Report for Independent Commission on International Humanitarian Issues, Zed Books Ltd., London, 1986, hal. 2, dalam Suparman Marzuki, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008), hlm. 377
[10] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 3.
[11] Ibid, hal. 6.
[12] Ibid, hal. 18.
[13] Ria Wierma Putri, Op.cit, hal. 3.
[14] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 3.
[15] Ibid, hal. 6.
[16] Ria Wierma Putri, Op.cit, hal. 2.                          
[18] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 148.
[19] Ibid,hal. 147.
[20] Wikipedia, Hukum Humaniter Internasional Loc.Cit.
[21] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 161.
[22] Wikipedia, Hukum Humaniter Internasional Loc.Cit.
[23] Arlina web’s Blog, Apa arti “konflik bersenjata”, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/ (akses 31 Maret 2012, pukul 22:24)
[24]Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Op.cit, hal. 53.

[25] Pietro Verri, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneve, 1992, hal. 34-35. dalam Arlina web’s Blog, Apa arti “Konflik Bersenjata”, Loc.cit.
[26] Courtesy of ICRC, Regional Delegation Jakarta. Dalam Arlina Web’s Blog, Tipe-tipe konflik yang diatur dalm Hukum Humaniter, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/ (akses 31 Maret 2012, pukul 22:38)
[27] Muhammad Jamil UH, Konvensi Jenewa 1949, http://jamilkusuka.wordpress.com/tag/Protokol-tambahan-i/ (akses 30 Maret 2012, pukul 18:46)
[30] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 148.
[31] Ibid,
[32] Protokol Tambahan I dan II 1977 file PDF, Loc.cit. hal. 2.
[34] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 148.
[35] Ibid, hal. 149.
[36] Protokol Tambahan I dan II 1977 file PDF, Loc.cit. hal. 15.
[37] Prof. H. A. Masyhur Effendi, S.H., M.S., Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, (Jakarta, ghalia Indonesia : 1994), hal. 115.
[38] Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, (London, Sweet & Maxwell:1986),  hlm. 207.
[39] ICRC,kenali ICRC, Jenewa, 2005, hal.22. Dalam Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Op.cit. hal. 128-129.
[40] Ibid.
[41] Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, hlm. 7-21. Juga Maurice Cranston, What are Human Rights? Taplinger, New York, 1973, hlm. 70. Dalam Suparman Marzuki, Hukum Hak Asasi Manusia, Op.cit, hlm. 7.
[42] Ibid, hal. 373.
[43] Protokol Tambahan I dan II 1977 file PDF, Loc.cit. hal. 19.
[44] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 162.
[45] Arlina, Glosary, http://arlina100.wordpress.com/glossary/ (akses 1 April 2012, pukul 11:48)
[46] Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Op.cit, hal. 44.
[47] Teddy Sunardi,Perbedaan antara HAM dan Hukum Humaniter Internasional, http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/9938118.html (akses 1 April 2012, pukul 11:34)
[48] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 163.
[49] Ria Wierma Putri, Op.cit, hal. 21.
[50] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 163.
[51] GPH. Haryomataram. 1994. Sekelumit Tentang Hukum Humaniter.Penerbit Sebelas Maret University Press. Surakarta. Halaman 102. dalam Ria Wierma Putri, Op.cit, hal. 31
[52] Arlina Permanasari,dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Penerbit ICRC. Jakarta. halaman 73. Ibid.
[53] Ibid.
[54] Supriyanto, Pembedaan penduduk sipil dan Kombatan,  file PDF,  hal. 66. (akses 2 Maret 2012).
[55] Ibid. hal. 67.
[56] Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional,Op.cit, hal. 2.
[57] Ibid, hal. 3.
[58] Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Jakarta : Refika Aditama, 2006), hal. 255.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar