BAB I
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
1.1. Sejarah Hukum Humaniter Internasional
Dalam sejarah kehidupan politik
manusia, peristiwa yang banyak dicatat adalah perang dan damai.[1]
Ungkapan bahwa “peace to be merely a respite between wars” menunjukan situasi
perang dan damai, terus silih berganti dalam interaksi manusia.[2]
Oleh karena itu, pembahasan akan diarahkan pada konsepsi perang yang meliputi
semua konflik yang mengandung potensi kekerasan, yang terentang antara situasi
konflik domestic yang mengarah pada penggunaan kekuatan militer yang
memungkinkan tidak mampu diatasi oleh kekuatan polisi domestic (Intra state conflict) sampai pada perang
antar Negara pada skala penuh (inter state
conflict),[3] yang sekarang lebih dikenal dengan Hukum
Humaniter.
Hukum Humaniter Internasional
moderen terdiri dari dua aliran sejarah: Hukum Den Haag, yang pada
masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper), dan Hukum Jenewa atau Hukum Humaniter. Kedua aliran ini
dinamai berdasarkan tempat diadakannya konferensi internasional yang merancang
perjanjian-perjanjian mengenai perang dan konflik, terutama Konvensi-konvensi Den Haag
1899 dan 1907 dan Konvensi
Jenewa, yang untuk pertama kalinya dirancang pada tahun 1863. Baik Hukum
Den Haag maupun Hukum Jenewa adalah cabang dari jus in bello , yaitu hukum internasional mengenai
praktik-praktik yang dapat diterima dalam pelaksanaan perang dan konflik
bersenjata.
Hukum Den Haag, atau Hukum Perang
yang utama, “menetapkan hak dan kewajiban pihak yang berperang menyangkut
pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan sarana mencelakai yang boleh
dipakai.” Pada khususnya, Hukum Den Haag berkenaan dengan definisi kombatan,
menetapkan aturan mengenai sarana dan cara berperang, dan menelaah perihal
sasaran militer.
Upaya sistematis untuk membatasi
kebiadaban perang baru mulai berkembang pada abad ke-19. Keprihatinan atas
keganasan perang berhasil mengembangkan perubahan pandangan tentang perang di
kalangan negara-negara yang dipengaruhi oleh Abad Pencerahan. Tujuan perang
ialah untuk mengatasi musuh, dan tujuan tersebut dapat dicapai dengan
melumpuhkan kombatan musuh. Dengan demikian, “pembedaan antara kombatan dan
orang sipil, ketentuan bahwa kombatan musuh yang terluka dan tertangkap harus
diperlakukan secara manusiawi, dan pengampunan harus diberikan yang merupakan
sebagian dari pilar-pilar Hukum Humaniter moderen– mengikuti prinsip tersebut.”
[4]
1.2. Istilah dan
Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum
Humaniter Internasional merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu International Humanitarian Law.[5] Tidak banyak yang mengira bahwa Hukum
Humaniter merupakan nama baru dari yang dulu dikenal sebagai “Hukum Perang” (laws of war). Adanya perubahan istilah
dari Hukum Perang (Lawa of War),
lewat Hukum Konflik Bersenjata (Laws of
Armed Conflict), ke Hukum Humaniter (International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict).[6] Mengenai terjemahan ini belum ada kata
sepakat tentang istilah yang paling tepat karena istilah tersebut masih (relative) baru, tidaklah mengherankan
bahwa masih banyak orang yang belum mengetahui apa yang dimaksudkan dengan International Humanitarian Law itu.[7]
Perbedaan istilah Hukum Humaniter internasional dengan hukum perang hanyalah
terletak pada penekanannya. Istilah Hukum Humaniter internasional menekankan
pada akibat yang ditimbulkan oleh peperangan terhadap kemanusian yaitu
perlindungan terhadap kemanusiaan. Sedangkan istilah hukum perang lebih
menekankan pada segi yuridis dan peristiwa perangnya bersifat kekerasan atau
ciri-ciri perang adalah penggunaan kekerasan dalam suatu perang pasti akan
menimbulkan korban baik manusia ataupun materi yang tak mungkin dihindari, namun
pelaku-pelaku perang, penduduk sipil harus dilindungi.[8]
Hukum
Humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum internasional publik, yaitu
bidang hukum yang mengatur masalah-masalah lintas batas Negara.[9]
Sumber utama Hukum
Humaniter adalah :
1)
konvensi-konvensi Den Haag 1907
disebut hukum Den Haag
2)
konvensi-konvensi Jenewa 1949
disebut hukum Jenewa
3)
Protokol Tambahan 1977.[10]
1) Hukum perang, yang dibagi lagi dalam :
a. hukum the Hague
b.
hukum Jenewa
2) Hak-hak asasi
manusia[12]
hukum
internasional dalam arti luas adalah suatu ketentuan hukum baik tertulis maupun
tidak tertulis yang memberikan rasa hormat kepada individu maupun
kesejahteraannya.[13]
Berdasarkan pengertian Hukum
Humaniter menurut Jean, terdapat ungkapan yakni “memberikan rasa hormat kepada individu maupun kesejahteraannya”
ungkapan tersebut sesuai dengan tujuan Hukum Humaniter. Tujuan utama Hukum
Humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang
mederita/ menjadi korban perang., baik mereka yang secara nyata ataupun aktif
turut dalam permusuhan (combat)
maupun mereka yang tidak turut dalam permusuhan (penduduk sipil). [14]
Berbeda dengan Lauterpacht dan Jean
Pictet yang memberikan pengertian mengenai Hukum Humaniter, Prof. Mochtar
Kusumaatmadja tidak memberikan definisi. Ia hanya memberikan pembagian hukum
perang yaitu sebagai berikut :
1)
Jus ad bellum yaitu hukum tentang
perang, hukum yang mengatur dalam hal bagaimana Negara dibenarkan menggunakan
kekerasan senjata.
2)
Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang.[15]
Dibedakan lagi menjadi dua, yaitu :
a) ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang cara dilakukannya perang itu sendiri (conduct of war). Bagian ini disebut pula peraturan atau ketentuan hukum Den Haag.
a) ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang cara dilakukannya perang itu sendiri (conduct of war). Bagian ini disebut pula peraturan atau ketentuan hukum Den Haag.
b)
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan orang-orang yang
menjadi korban perang baik sipil maupun militer. Bagian ini disebut pula dengan
ketentuan-ketentuan hukum Jenewa.[16]
BAB II
PROTOKOL TAMBAHAN I TAHUN
1977
2.1. Sejarah Protokol Tambahan I 1977
Protokol Tambahan tahun 1977
merupakan ketentuan-ketentuan yang menambah dan melengkapi konvensi-konvensi
Jenewa tahun 1949. Protokol Tambahan tahun 1977 ini terdiri dari Protokol Tambahan
I dan Protokol Tambahan II.[17]
Judul resmi Protokol I berbunyi “Protokol additional to the Geneva Conventions of 12 august 1949, and
relating to the protection of victims of International Armed Conflicts.”[18] Protokol ini ditandatangani oleh Negara
yang turut serta dalam konferensi Diplomatik pada tanggal 10 Juni 1977.[19]
Protokol Tambahan I (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata
Internasional.[20]
Pada tahun 1979, Protokol telah berlaku (come into force) setelah dua negara,
yaitu Libia dan Ghana
meratifikasi kedua Protokol tersebut.[21] Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah
diratifikasi oleh 167 negara.[22]
Sebelum
melakukan pembahasan yang mendalam mengenai Protokol Tambahan I tahun 1977 yang
mengatur tentang “sengketa bersenjata
yang bersifat internasional” (international
armed conflict).[23] Sengketa bersenjata digambarkan sebagai
perang antara dua negara atau lebih.[24] Sebelumnya kita terlebih dahulu harus tahu
apa yang dinamakaan konflik bersenjata. Menurut Pietro Veeri, istilah konflik
bersenjata merupakan ungkapan umum yang mencangkup segala bentuk konfrontasi
antara beberapa pihak yaitu :
1.
dua Negara atau lebih,
2.
suatu Negara dengan suatu
entitas bukan-negara,
3.
suatu Negara dengan suatu faksi
pemberontak, atau
4.
dua kelompok etnis yang berada
dalm suatu Negara.[25]
Secara garis besar hanya ada dua
konflik yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu:
1.
Sengketa atau konflik yang
bersifat internasional
disebut juga sengketa
bersenjata antar Negara, sengeketa bersenjata antar Negara terdiri dari beberapa situasi
sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 2 common article konvensi-konvensi
Jenewa tahun 1949 beserta pasal (1) ayat (4) jo. Pasal (96) ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2.
Sengketa atau konflik yang
bersifat non-internasional
Dikenal juga
sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi didalam suatu Negara, juga dapat
berbentuk perang saudara. Ketentuan mengenai sengketa bersenjata
non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal yakni pasal 3 common
article konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II tahun 1977.[26]
Berdasarkan penjelasan diatas maka
kita mengetahui mengenai gambaran mengapa Prokol tambahan I dibentuk. Protokol
Tambahan I tahun 1977 dibentuk karena metode perang yang digunakan oleh
Negara-negara telah berkembang dan tata cara berperang (conduct of war). Protokol ini menentukan bahwa hak dari para pihak
yang bersengketa untuk memilih alat dan cara berperang adalah tidak terbatas,
juga dilarang menggunakan senjata ataupun proyektil senjata serta alat-alat
lainnya yang akan mengakibatkan luka-luka yang berlebihan ataupun penderitaan
yang tak perlu.[27] Protokol Tambahan I ini terdiri dari enam bab
yang mencakup 102 artikel dan dua lampiran, berikut bab dan lampiran yang ada
dalam Protokol tersebut :
1) ketentuan umum
1) ketentuan umum
2) yang luka, sakit dan korban karam
3) status kombatan dan tawanan
perang
4) penduduk sipil
5) pelaksanaan konvensi dan Protokol
ini
6) ketentuan-ketentuan penutup
Lampiran 1 : peraturan tentang tanda
pengenal
Lampiran 2 : kartu identitas bagi
wartawan yang sedang dalam tugas pekerjaan yang berbahaya.[28]
Perlu ditekankan
bahwa Protokol ini diperuntukan bagi International
Armed Conflicts. Disamping itu, dalam Protokol Tambahan I ini terdapt juga
ketentuan pokok yang menentukan antara lain :
1)
Melarang : Serangan
yang membabi buta, dan reprisial (pembalasan) terhadap ;
a.
Penduduk sipil dan orang-orang
sipil
b.
Obyek-obyek yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup penduduk sipil
c.
Benda-benda budaya dan
tempat-tempat religius
d.
Bangunan dan instalasi
berbahaya
e.
Lingkungan alam
2) Memperluas : Perlindungan yang sebelumnya telah
diatur dalam konvensi Jenewa, kepada semua personil medis,
unit- unit dan alat transportasi medis, baik yang
berasal dari organisasi
sipil ataupun militer.
3) Menentukan : kewajiban bagi peserta Agung untuk
mencari orang- orang hilang.
4) Menegaskan :
ketentuan mengenai bantuan suplay militer yang ditujukan kepada penduduk sipil.
5) Memberikan : Perlindungan terhadap
kegiatan-kegiatan organisasi
pertahanan sipil.
6) Mengkhususkan :
adanya tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh
Negara-negara untuk
memfasilitasi implementasi humaniter. Pelanggaran terhadap sub (a) diatas
dianggap sebagai pelanggaran berat humaniter, dan dikatagorikan sebagai kejahatan perang.[29]
2.2. Intisari Protokol
Tambahan I 1977
2.2.1.
Ketentuan Umum
Bab I dalam Protokol Tambahan ini
yakni ketentuan-ketentuan umum terdiri atas 7 pasal. Dari tujuh pasal ini yang
akan menjadi pokok pembahasan adalah general
principles and scope of application.[30]
Pasal 1 dibagi dalam tujuh paragraph.
Hal yang sangat penting untuk pembahasan ini adalah paragraph 3.[31]
Berikut paragraph 3 selengkapnya yang
berbunyi :
“Protokol ini, yang melengkapi Konvensi- konvensi Jenewa 12
Agustus 1949 untuk
perlindungan korban-korban perang, harus
berlaku di dalam situasi-situasi yang disebut dalam pasal 2 yang umum
dikenal pada Konvensi-Konvensi tersebut.”[32]
Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I
tahun 1977, menyatakan bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 konvensi Jenewa 1949.[33]
Pada paragraph ke-3 ini hanya menunjuk pada
paragraph ke-2, yang bunyinya sama dalam keempat konvensi Jenewa 1949 :
“sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan
yang ada akan dilaksanakan dalam waktu damai, konvensi ini akan berlaku untuk
semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap pertikaian brsenjata lainya
yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak peserta agung sekalipun keadaan
perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka.”[34]
Konvensi ini juga akan berlaku untuk
semua peristiwa penduduk sebagian atau seluruhnya dari pihak peserta agung
sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan senjata. Konvensi
tersebut berlaku :
1) dalam setiap perang yang diumumkan
2) dalam setiap pertikaian bersenjata yang timbul
antara pihak peserta agung sekalipun keadaan perang tidak diakui.
3) Dalam keadaan pendudukan, baik wilayah itu diduduki
sebagian ataupun seluruhnya sekalipun pendudukan itu tidak mendapt perlawanan
bersenjata.[35]
2.2.2.
Yang Luka, Sakit dan Karam
Penjelasan mengenai bab II ini dalam
Protokol tamabahan I tahun 1977 telah tercantum dalam pasal 9 “bidang
penerapan” ayat (1) yang berbunyi :
“Bab ini, yang ketentuan-ketentuannya dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan yang luka, sakit
dan korban karam, harus berlaku bagi semua mereka yang terkena oleh situasi
yang disebut di dalam Pasal 1, tanpa sesuatu pembedaan yang merugikan
yang didasarkan atas ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama atau
keyakinan, pandangan politik atau
pandangan lainnya. asal kebangsaan atau sosial, kekayaan, keturunan atau
kedudukan lainnya, atau atas kriteria lain yang serupa.”[36]
Isi dalam pasal 9 ayat (1) bab II Protokol
Tambahan I mencakup atas adanya pengakuan akan Hak Asasi Manusia. Masalah hak
asasi manusia masih saja dibicarakan, mungkin karena masih banyak pelanggaran
atau kepalsuan. Masalah hak asasi
manusia memang masalah kemanusiaan, berarti terkait upaya, tidak saja pengakuan
harkat kemanusiaan, tapi yang lebih penting sejauh mana harkat kemanusiaan yang
dimiliki setiap orang dapat dinikmati oleh setiap orang, oleh setiap individu
tanpa beda.[37] Hak-hak azasi manusia merupakan subyek dari
Hukum Internasional dan bersifat kontemporer serta merupakan suatu usaha
mengatur hak-hak azasi manusia pada tingkat internasional. Dan hanya ada
setelah perang dunia ke II.[38]
Namun,
hak asasi manusia akan mengalami hambatan dalam situasi konflik bersenjata,
baik itu konflik antar negara maupun konflik dalam negeri. Dalam konflik
bersenjata penduduk sipil suatu negara atau wilayah sering menjadi sasaran
langsung dan mederita karenanya. Penduduk sipil yang tidak terlibat dalam
konflik terkadang mengalami pembataian missal, diperkosa, disandera,
dilecehkan, diusir, dijarah, dan dihalang-halangi aksesnya terhadap makanan,
air, dalan layanan kesehatan.[39] Hak asasi manusia sulit didefinisikan. Pada umumnya hak asasi
manusia dikenal sebagai hak-hak yang paling fundamental dan mendasar, serta
tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, dan sangat esensial untuk hidup
sebagai manusia.[40] Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan
hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapa pun
bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan
karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu
melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.[41]
Sangat penting bagi orang-orang yang
terlibat secara langsung dalam sengketa bersenjata untuk tetap diakui hak asasi
manusia. Sebab apabila suatu perang tanpa ada landasan ataupun jaminan akan hak
asasinya maka perang itu lantas hanya akan menjatuhkan martabat manusia sebagai
makhluk yang berakal dan memiliki hati nurani. Bagaimana tidak, perang tanpa
ada dasar belas kasih atau yang biasa disebut perang yang membabi buta itu,
akan sama halnya dengan perang yang dilakukan oleh kaum hewani. Meskipun Hukum
Humaniter dan hak asasi manusia berbeda dalam hal waktu penerapannya, tapi pad
hkekatnya mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan perlindungan kemanusiaan
kepada mereka yang berada dalam situasi lemah.[42]
Selain dalam pasal 9 ayat (1),
jaminan atas berlakunya hak asasi manusia ditekankan kembali pada pasal 10
mengenai perlindungan dan perawatan ayat (2), yakni :
“Dalam segala keadaan mereka itu harus diperlakukan secara perikemanusiaan dan harus memperoleh
perawatan kesehatan dan perhatian penuh yang diperlukan karena keadaan mereka
sampai sejauh apa yang dapat dilakukan dan dengan sesedikit mungkin penundaan. Tidak boleh ada perbedaan diantara mereka
itu yang didasarkan atas alasan apapun selain daripada keadaan kesehatan mereka.”[43]
2.2.3. Status Kombatan dan Tawanan perang
Salah satu sendi hukum perang adalah distinction principle (prinsip pembeda). Pengertian asas ini ialah
bahwa penduduk suatu negra terlibat dalam pertikaian bersenjata dibagi dua
golongan besar, yaitu mereka yang secara langsung aktif dalam pertikaian
tersebut, dan mereka yang tidak turut serta secara aktif. Pembagian ini perlu
diadakan karena hukum perang menentukan bahwa masing-masing golongan mempunyai
hak dan kewajiban yang berbeda.[44] Prinsip ini diatur dalam pasal 48 Protokol
Tambahan I tahun 1977.[45] Tujuan dari prinsip pembeda ini adalah
melindungi warga sipil.[46] Yang intinya menegaskan[47]
:
1. Penduduk sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan
1. Penduduk sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan
(Serangan bom yang membabi buta dipermukiman penduduk sipil dilarang
keras)
2. Sebagai suatu metode
peperangan, dilarang keras membuat penduduk sipil
menderita kelaparan.
3. Fasilitas yang sangat
dibuthkan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil,
seperti perkebunan,
peternakan dan sumur air tidak boleh dihancurkan.
Beberapa Ahli telah menjabarkan arti
Kombatan, seperti hal nya pendepat KGPH. Haryomataram, dalam bukunya yang
berjudul Pengantar Hukum Humaniter,
beliau mengatakan bahwa kombatn adalah mereka yang berhak (have the right) untuk secara langsung turut serta dalam permusuhan
(hostilities).[48]
Pengertian yang dipakai oleh KGPH.
Haryomataram hampir serupa artinya dengan pengertian kombatan menurut F. Sugeng
Istanto yaitu mereka yang berhak serta secara langsung dalam permusuhan.[49]
Pada Protokol tamabahan I 1977
masalah mengenai status kombatan diatur dalam pasal 43 dan 44. Pasal 43 ayat
(1) yang berbunyi ;
“Angkatan perang dari suatu Pihak dalam sengketa terdiri
dari semua angkatan, kelompok-kelompok
dan satuan-satuan bersenjata yang diorganisir yang berada dibawah suatu komando
yang bertanggung jawab kepada Pihak tersebut atas perbuatan bawahannya,
bahkan apabila Pihak tersebut diwakili oleh sebuah Pemerintah atau suatu
kekuasaan yang tidak diakui oleh suatu Pihak lawan. Angkatan Perang seperti itu
harus tunduk pada suatu peraturan
disiplin tentara, yang internalia, harus berlaku sesuai dengan ketentuan hukum
internasional yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata.” Pasal 43 mulai dengan menjelaskan pengertian
angkatan bersenjata (armed force)
dari pihak sengketa. Menurut ayat 1, angkatan bersenjata tersebut terdiri dari
semua angkatan bersenjata yang terorganisasi, kelompok (group) dan kesatuan (units)
yang terorganisir, yang berada dibawah pimpinan/ komando yang bertanggung jawab
kepada pihak tersebut atas kelakuan dan tingkah laku anak buah mereka. Perlu
dicatat disini bahwa pasal ini tidak lagi menyebut istilah Regular Armed Forces dan Irregular
Armed Forces, seperti yang terdapat dalam konvensi-konvensi sebelumnya.[50]
Selain itu kombatan juga diatur dalam pasal 1 dan 3 regulasi Den Haag 1907,
Pasal 13 common Articles konvensi I dan II, pasal 4A dan 4B konvensi Jenewa III
tahun 1949, serta pasal 43 dan 44 Protokol Tambahan I tahun 1977.
2.2.4. Penduduk
Sipil
Menurut Haryomataram[51]
Penduduk Sipil (Civilians)
ialah mereka yang tidak turut serta secara aktif dalam permusuhan atau
pertempuran; mereka harus dilindungi dan
tidak boleh dijadikan sasaran serangan. Sedangkan Arlina Permanasari[52]
mengemukakan bahwa penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut
serta dalam permusuhan.[53]
Acuan paling pokok mengenai penduduk sipil, adalah pasal 27
konvensi Jenewa IV tahun 1949, yang antaranya berbunyi sebagai berikut :
“orang-orang yang dilindungi dalam segala keadaan berhak
atas penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak, keyakinan dan praktek
keagamaan serta adat istiadat dan kebiasaan mereka.” mereka harus diperlakukan
perimanusiaan,dan harus dilindungi khusus dengan segala tidakan keras atau
ancaman-ancaman kekerasan, dan terhadap penghinaan serta tidak boleh menjadi
objek totonan umum.[54] Sebenarnya prinsip yang tertuang dalam pasal
27 konvensi Jenewa tahun 1949merupakan nilai dalam berbagai keagamaan dan
kebudayaan.
Mengenai bab IV dalam Protokol Tambahan I
ini d dalam uraian di pasal 50 yang menjelaskan apa itu penduduk sipil dan
orang-orang sipil. Yaitu yang terdapat dalam pasal 50 ayat (1) dan (2) : “Seorang
sipil adalah setiap orang yang tidak
termasuk dalam salah satu dari penggolongan-penggolongan orang-orang
yang disebut dalam Pasal 4 A(1), (2), (3) dan (6) dari Konvensi.” Pasal 50 ayat
(1) dan “Penduduk sipil terdiri dari
semua orang sipil.” Pasal 50 ayat (2)
Pada
Protokol Tambahan konvensi jenewa tahun 1977, menetapkan keharusan dihindarinya
penduduk sipil menjadi sasaran militer. Seperti yang tercantum dalam pasal 48,
yang berbunyi sebagai berikut :
“Agar dapat
dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil,
Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil
dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap
sasaran-sasaran militer saja.” Ketentuan tersebut menunjukan bahwa secara implicit Protokol itu menetapkan
keharusan diarahkannya operasi militer hanya pada sasaran militer. [55]
BAB
III
KESIMPULAN
Ungkapan
bahwa “peace to be merely a respite
between wars” menunjukan situasi perang dan damai, terus silih berganti
dalam interaksi manusia.[56]
Oleh karena itu, pembahasan akan diarahkan pada konsepsi perang yang meliputi
semua konflik yang mengandung potensi kekerasan, yang terentang antara situasi
konflik domestic yang mengarah pada penggunaan kekuatan militer yang
memungkinkan tidak mampu diatasi oleh kekuatan polisi domestik (Intra state conflict) sampai pada perang
antar Negara pada skala penuh (inter state
conflict),[57] yang sekarang lebih dikenal dengan Hukum
Humaniter.
Pemahaman
atas kekerasan atau kekuatan memiliki perbedaan antara pemahaman yang dimiliki
oleh Negara berkembang dan Negara maju. Pemahaman di Negara berkembang
memahaminya penggunaan kekerasan juga mencakup tekanan ekonomi. sedangkan
Negara-negara maju lebih terbatas, hanya meliputi kekerasan fisik.[58] Oleh karena itu, konflik yang mengandung
unsur kekerasan ada pengaturannya dalam “Hukum Humaniter” yang dahulu lebih
dikenal dengan “hukum perang” sebab
ketika perang itu terjadi tidak hanya pihak Negara atau militer saja yang
terlibat, melainkan penduduk sipil pun ikut terkena akibatnya. Oleh karenanya,
dengan adanya Protokol Tambahan I tahun 1977 mengenai perlindungan korban
konflik bersenjata internasional diharapkan traumatis ataupun akibat yang
ditimbulkan oleh perang tersebut bisa diminimalisir. Sebab didalam Protokol ini
terdapat beberapa pasal yang menjamin hak asasi manusia seperti dalam pasal 9
ayat 1 dalam bab “Yang Luka, Sakit, Karam”. Setidaknya perang yang membabi buta
dengan adanya konvensi dan Protokol mengenai perang, bisa “memanusiakan perang
tersebut”. Namun, bukan berarti dengan adanya kovensi ataupun Protokol yang
mengatur tata cara perang, perang itu di legalkan ataupun disetujui. Hanya saja
kita semua tahu bahwasanya perang itu tak akan pernah berakhir apabila manusia
masih merasa tidak puas atau serakah. Lebih tepatnya ketidakpuasan tersebut
adalah naluri manusia. Dalam Protokol
Tambahan I ini terdiri beberapa bab yakni :
1) ketentuan umum
2) yang luka, sakit dan korban karam
3) status kombatan dan tawanan
perang
4) penduduk sipil
5) pelaksanaan konvensi dan Protokol
ini
6) ketentuan-ketentuan penutup
Lampiran 1 : peraturan tentang tanda
pengenal
Lampiran 2 : kartu identitas bagi
wartawan yang sedang dalam tugas pekerjaan yang berbahaya.[59]
DAFTAR PUSTAKA
1. Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, (
Jakarta :
Rajawali Pers, 2009)
2. Wikipedia, Hukum Humaniter Internasional, http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Humaniter_Internasional
(akses 31 Maret 2012, pukul 10.57)
3. Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter internasional (Bandar Lampung : Universitas
Lampung, 2011)
4. Prof. KGPH. Haryomataram, S.H., Pengantar Hukum Humaniter, ( Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2005)
5. Suparman Marzuki, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta
: PUSHAM UII, 2008)
6. http://www.scribd.com/doc/45723738/28/Protokol-Tambahan-1977
(akses 31 Maret 2012, pukul 21:36)
7. Arlina web’s
Blog, Apa arti “Konflik Bersenjata”, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/
(akses 31 Maret 2012, pukul 22:24)
8. Courtesy of
ICRC, Regional Delegation Jakarta .
Dalam Arlina Web’s Blog, Tipe-tipe Konflik
yang diatur dalam Hukum Humaniter, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/
(akses 31 Maret 2012, pukul 22:38)
9. Muhammad Jamil UH, Konvensi Jenewa 1949, http://jamilkusuka.wordpress.com/tag/Protokol-tambahan-i/
(akses 30 Maret 2012, pukul 18:46)
10. Protokol Tambahan I dan II 1977 file PDF, http://icrcjakarta.info/documentation-centre/Protokol-tambahan-i-dan-ii-tahun-1977/
11. Prof. H. A. Masyhur Effendi, S.H., M.S., Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Hukum Internasional, (Jakarta, ghalia Indonesia : 1994)
12. Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, (London, Sweet & Maxwell:1986)
13. Arlina, Glosary, http://arlina100.wordpress.com/glossary/
(akses 1 April 2012, pukul 11:48)
14. Teddy Sunardi,Perbedaan antara HAM dan Hukum Humaniter Internasional, http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/9938118.html
(akses 1 April 2012, pukul 11:34)
15. Supriyanto, Pembedaan Penduduk Sipil dan Kombatan, file PDF, hal. 66. (akses 2
Maret 2012)
16. Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Jakarta : Refika Aditama,
2006)
[1] Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, (
Jakarta :
Rajawali Pers, 2009), hal. 1.
[2] Ibid, hal. 2.
[3] Ibid, hal. 3.
[4] Wikipedia, Hukum Humaniter
Internasional, http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Humaniter_Internasional
(akses 31 Maret 2012, pukul 10.57)
[5] Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter
internasional (Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2011), hal. 1.
[6] Prof. KGPH. Haryomataram, S.H., Pengantar
Hukum Humaniter, ( Jakarta
: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1.
[7] Ibid, hal. 5.
[8] Ria Wierma Putri, Op.cit,
hal. 2.
[9] Mohammed Bedjaoui, modern
wars : Humanitarian Challenge. A Report for Independent Commission on
International Humanitarian Issues, Zed Books Ltd., London , 1986, hal. 2, dalam Suparman Marzuki,
Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008), hlm. 377
[10] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit,
hal. 3.
[11] Ibid, hal. 6.
[12] Ibid, hal. 18.
[13] Ria Wierma Putri, Op.cit,
hal. 3.
[14] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit,
hal. 3.
[15] Ibid, hal. 6.
[16] Ria Wierma Putri, Op.cit,
hal. 2.
[17] http://www.scribd.com/doc/45723738/28/Protokol-Tambahan-1977
(akses 31 Maret 2012, pukul 21:36)
[18] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit,
hal. 148.
[19] Ibid,hal. 147.
[20] Wikipedia, Hukum Humaniter
Internasional Loc.Cit.
[21] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit,
hal. 161.
[22] Wikipedia, Hukum Humaniter
Internasional Loc.Cit.
[23] Arlina web’s Blog, Apa arti “konflik bersenjata”, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/
(akses 31 Maret 2012, pukul 22:24)
[24]Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional,
Op.cit, hal. 53.
[25] Pietro Verri, Dictionary
of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneve, 1992, hal. 34-35.
dalam Arlina web’s Blog, Apa arti
“Konflik Bersenjata”, Loc.cit.
[26] Courtesy of ICRC,
Regional Delegation Jakarta .
Dalam Arlina Web’s Blog, Tipe-tipe
konflik yang diatur dalm Hukum Humaniter, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/
(akses 31 Maret 2012, pukul 22:38)
[27] Muhammad Jamil UH, Konvensi
Jenewa 1949, http://jamilkusuka.wordpress.com/tag/Protokol-tambahan-i/
(akses 30 Maret 2012, pukul 18:46)
[28] Protokol Tambahan I dan II 1977 file PDF, http://icrcjakarta.info/documentation-centre/Protokol-tambahan-i-dan-ii-tahun-1977/
[29] http://www.scribd.com/doc/45723738/28/Protokol-Tambahan-1977,
Loc.cit.hal.32.
[30] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit,
hal. 148.
[31] Ibid,
[32] Protokol Tambahan I dan II 1977 file PDF, Loc.cit. hal. 2.
[33] http://www.scribd.com/doc/45723738/28/Protokol-Tambahan-1977,
Loc.cit.hal. 34.
[34] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit,
hal. 148.
[35] Ibid, hal. 149.
[36] Protokol Tambahan I dan II 1977 file PDF, Loc.cit. hal. 15.
[37] Prof. H. A. Masyhur Effendi, S.H., M.S., Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional,
(Jakarta, ghalia Indonesia : 1994), hal. 115.
[38] Rebecca M.M. Wallace, Hukum
Internasional, (London, Sweet & Maxwell:1986), hlm. 207.
[39] ICRC,kenali ICRC, Jenewa,
2005, hal.22. Dalam Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan
Internasional, Op.cit. hal. 128-129.
[40] Ibid.
[41] Jack Donnely, Universal
Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London ,
2003, hlm. 7-21. Juga Maurice Cranston, What are Human Rights? Taplinger , New
York , 1973, hlm. 70. Dalam Suparman Marzuki, Hukum Hak Asasi Manusia, Op.cit, hlm. 7.
[42] Ibid, hal. 373.
[43] Protokol Tambahan I dan II 1977 file PDF, Loc.cit. hal. 19.
[44] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit,
hal. 162.
[45] Arlina, Glosary, http://arlina100.wordpress.com/glossary/
(akses 1 April 2012, pukul 11:48)
[46] Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional,
Op.cit, hal. 44.
[47] Teddy Sunardi,Perbedaan
antara HAM dan Hukum Humaniter Internasional, http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/9938118.html
(akses 1 April 2012, pukul 11:34)
[48] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit,
hal. 163.
[49] Ria Wierma Putri, Op.cit,
hal. 21.
[50] Prof. KGPH. Haryomataram, Op.cit,
hal. 163.
[51] GPH. Haryomataram. 1994. Sekelumit
Tentang Hukum
Humaniter.Penerbit Sebelas Maret
University Press. Surakarta . Halaman 102.
dalam Ria Wierma Putri, Op.cit, hal.
31
[52] Arlina Permanasari,dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Penerbit
ICRC. Jakarta .
halaman 73. Ibid.
[53] Ibid.
[54] Supriyanto, Pembedaan
penduduk sipil dan Kombatan, file
PDF, hal. 66. (akses 2 Maret 2012).
[55] Ibid. hal. 67.
[56] Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan
Internasional,Op.cit, hal. 2.
[57] Ibid, hal. 3.
[58] Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Jakarta : Refika Aditama, 2006), hal. 255.
[59] Protokol Tambahan I dan II 1977 file PDF, http://icrcjakarta.info/documentation-centre/Protokol-tambahan-i-dan-ii-tahun-1977/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar