A. Pendahuluan
Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertebarannya lembaga-lembaga negara
mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan
dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undang-undang,
bahkan ada yang dibentuk dengan keputusan presiden saja.
Dasar hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga
negara mandiri itu dibentuk berdasarkan isu-isu parsial, insidental,
dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Hal
ini mengakibatkan komisi-komisi itu berjalan secara sendiri-sendiri dan
tidak saling melengkapi satu sama lain, sehingga dalam implikasi yang
lebih jauh dapat mengakibatkan efektivitas keberadaan komisi-komisi itu
dalam struktur ketatanegaraan masih belum tampak berjalan sesuai dengan
tujuan mulia pembentukan lembaga yang ekstralegislatif,
ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.
B. Pasang-Surut Lembaga Negara
Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju
demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya
pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal
menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini
mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap
sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup
lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan pemerintah,
kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Sekadar
menunjuk contoh, di Inggris komplikasi persoalan-persoalan
kemasyarakatan yang timbul akibat adanya perubahan konfigurasi
sosial-politik berupa Revolusi Industri pada abad ke-18 dan 19 tidak
bisa diselesaikan dengan mengandalkan mekanisme kelembagaan yang telah
ada sebelumnya, melainkan direspons dengan membentuk badan-badan yang
bersifat khusus yang dilakukan oleh parlemen.[1]
Pembentukan badan-badan yang bersifat khusus ini dianggap sebagai
jawaban yang paling tepat dan diidealkan mampu menangani dan
menyelesaikan kompleksitas persoalan-persoalan ketatanegaraan melalui
cara yang terlembagakan dengan baik.[2]
Oleh karena itu, bersamaan dengan derasnya komplikasi
persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul itu ratusan badan yang
sama sekali baru didirikan dengan tujuan untuk melakukan tugas-tugas
semacam (1) membuat peraturan, seperti Komisi Keselamatan dan Kesehatan
Kantor Perdagangan yang Jujur (The Health and Safety Commission The Office of Fair Trading); (2) memberikan nasihat, seperti Komisi Daerah (Countryside Commission); dan (3) menyelesaikan perselisihan, seperti Komisi untuk Persamaan Rasial (The Commission for Racial Equality).[3]
Alasan utama yang ditunjuk berkenaan dengan pembentukan badan-badan
tersebut adalah untuk meminimalisasi pengaruh kaum aristokrat dan
memberikan penegasan terhadap konsep pemisahan kekuasaan. Nomenklatur
yang diberikan untuk lembaga-lembaga itu pun berlainan satu sama lain,
seperti korporasi publik, quoqos (badan non-pemerintah semiotonom), badan non-departemen, badan publik, komisi, dewan, atau badan ad hoc yang biasanya dasar pembentukannya dapat berupa undang-undang, piagam kerajaan, tindakan administratif, atau perjanjian.[4]
Pembentukan lembaga-lembaga ekstra serupa juga terjadi di Amerika
Serikat seiring dengan meluasnya peran parlemen dalam struktur
ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat yang
semakin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang berbeda dari
sebelumnya, sehingga membutuhkan jawaban-jawaban baru yang harus segera
ditemukan. Oleh karena itu, parlemen Amerika Serikat membentuk suatu
badan yang bertanggung jawab kepadanya dalam pelbagai urusan khusus
berkenaan dengan fungsi legislasi, seperti Komisi Komunikasi Federal (The Federal Communications Commission), Dewan Penerbangan Sipil (Civil Aeronautics Board), Komisi Sekuritas dan Kurs (Securities and Exchange Commission), Dewan Kerja Sama Buruh Nasional (National Labor Relation Board), Komisi Kekuasaan Federal (Federal Power Commission), Komisi Perdagangan Antarnegara Bagian (Interstate Commerce Commission), Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Commission).
Dalam catatan Jimly Asshiddiqie, di seluruh Amerika Serikat,
badan-badan seperti ini tercatat tidak kurang dari 30 buah yang
merupakan badan-badan khusus yang relatif independen dengan tugas
menjalankan fungsi yang bersifat semiyudisial dan semilegislatif.[5]
Kedudukan badan-badan khusus itu di Amerika Serikat meskipun secara
administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan, tetapi
pengangkatan dan pemberhentian para anggota badan-badan khusus itu
ditentukan dengan pemilihan oleh Kongres.[6]
Sementara itu, di negara-negara Skandinavia (Swedia, Denmark,
Finlandia, dan Norwegia), Perancis, Selandia Baru, Guyana Mauritius,
dan lain-lain, secara khusus juga membentuk lembaga tersendiri di luar
kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan
kehakiman untuk melindungi warga negaranya dari tindakan-tindakan yang
tidak adil dari pemerintah. Lembaga ini tidak berhak mengadili atau
memiliki fungsi peradilan terhadap keluhan warga negara atas suatu
tindakan-tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Akan tetapi, lembaga
ini dapat melakukan penyelidikan atas persoalan tersebut. Nomenklatur
untuk lembaga semacam ini disebut secara berbeda-beda di berbagai
negara. Swedia, misalnya, menyebutnya dengan istilah Ombudsman Yustisi (Justitie Ombudsman),[7] Perancis dengan Komisioner Tinggi Pertahanan (Haut Commissionaire Defenseur), dan Selandia Baru dengan Komisi Parlemen untuk Administrasi (Parliamentary Commission for Administration).[8]
Konteks sejarah pembentukan Ombudsman Yustisi di Swedia adalah pada tahun 1713 kantor Ombudsman Tertinggi (King’s Ombudsman)
diciptakan oleh Raja Swedia Charles XII setelah kembali dari
pengasingannya di Turki. Sementara itu, pada tahun 1718 setelah
kematian Raja Swedia Charles XII sebagian besar kekuasaan politik Raja
dilimpahkan kepada parlemen Swedia (Riksdag). Akibatnya Chancellor of Justice (King’s Ombudsman)
yang semula di bawah Raja kemudian menjadi bagian dari Parlemen. Tahun
1776 untuk pertama kalinya Parlemen Swedia memilih seorang Chancellor of Justice. Alasannya adalah bahwa Riksdag tidak percaya kepada kepada Raja untuk memilih orang yang lebih sesuai untuk tugas tersebut.[9]
Oleh karena itu, pada tahun 1776 lahirlan lembaga yang diberi nama
Ombudsman Parlemen. Pada tahun 1809, Swedia mencanangkan Konstitusi
baru di mana asal keseimbangan kekuasaan antara Raja dengan Parlemen
diterapkan (the principle of balance of power between the King and Riksdag).[10]
Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan
bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang
semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan
semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen
dan berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang berkembang di berbagai negara.[11]
Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh
negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah
persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur
ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah,
kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak
terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik
pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari
rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era
demokrasi yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya
parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak
terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa
ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra
tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan
rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen
yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah
tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus
terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut.[12]
Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban ini, menurut Alder,
dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu
kadang-kadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama
lain tanpa ada perangkat konstitusional yang logis.[13]
C. Lembaga Negara di Indonesia
Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function).[14]
Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly Asshiddiqie
menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat dikatakan terdapat 34
lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang
kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang
dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan
konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[15]
Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi
fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara itu
penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan
hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu.
Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan
untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan
jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang
dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang
menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya. Yang bersifat
utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan
hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga
tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang
bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari
segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis.
Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ
lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja, sedangkan organ lapis
ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada
yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Corak dan struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat.
Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali
lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut
Jimly Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga atau
komisi-komisi independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan
dikelompokkan sebagai berikut.[16]
1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu:
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f) Mahkamah Agung (MA);
g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya, seperti:
a) Komisi Yudisial (KY);
b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;
c) Tentara Nasional Indonesia (TNI);
d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
e) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam
UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya
sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama dengan kepolisian;
g) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM-NAS- HAM)49 yang dibentuk berdasarkan undangundang tetapi juga memiliki sifat constitutional importance.
3) Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti:
a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
4) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif
(pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan
yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan, seperti:
a) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);
b) Komisi Pendidikan Nasional;
c) Dewan Pertahanan Nasional;54
d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);
e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
g) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);
i) Lembaga Administrasi Negara (LAN);
j) Lembaga Informasi Nasional (LIN).
5) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti:
a) Menteri dan Kementerian Negara;
b) Dewan Pertimbangan Presiden;
c) Komisi Hukum Nasional (KHN);
d) Komisi Ombudsman Nasional (KON);
e) Komisi Kepolisian;
f) Komisi Kejaksaan.
6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum
yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya,
seperti:
a) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;
b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
c) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);
d) BHMN Perguruan Tinggi;
e) BHMN Rumah Sakit;
f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
g) Ikatan Notaris Indonesia (INI);
h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);
Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri –atau apa
pun namanya– di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang
ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan
yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka
seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran
lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan
publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan
ketatanegaraan yang dihadapi.[17]
Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di
Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak adanya
kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya
asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit
untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara
yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan
tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada
untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi
menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal.
Keempat, adanya pengaruh global yang menunukkan adanya kecenderungan
beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang
disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog)
yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena
lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang
harus diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga
internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai
prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.[18]
sumber:
http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/658-dinamika-lembaga-lembaga-negara-mandiri-di-indonesia-pasca-perubahan-undang-undang-dasar-1945.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar