BAB II
PEMBAHASAN
1. Ruang Lingkup dan Aliran Hukum Humaniter
Hukum Humaniter
Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional, merupakan
salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh
negara damai dan netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami
oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Hukum Humaniter Internasional merupakan suatu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis
yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu
internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang.
Sedangkan pengertian Hukum Humaniter adalah salah satu
cabang ilmu dari ilmu hukum Internasional. Istilah Hukum Humaniter atau
lengkapnya disebut Internastional Humanitarian Law
applicable in Armed Conflict yang diperkenalkan oleh International
Committee of Red Cross (ICRC). Secara
rinci, ICRC menguraikan maksud dari istilah ini adalah sebagai berikut: “HHI
berarti aturan-aturan internasional, yang dibentuk oleh perjanjian
internasional atau kebiasaan, yang secara spesifik, diharapkan untuk mengatasi
problem-problem kemanusiaan yang muncul secara langsung dari sengketa-sengketa
bersenjata internasional maupun non
internasional, dan untuk alasan-alasan kemanusiaan, membatasi hak dari
pihak-pihak yang berkonflik untuk
menggunakan metode dan alat perang pilihan mereka dan atau untuk melindungi
orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik”. (Sumber: Ahmad Baharuddin Naim, Hukum
Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm 7.)
Menurut Mochtar
Kusumaatmadja dia membagi hukum humaniter menjadi dua bagian, yaitu[1]:
a.
Ius Ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
b.
Ius in bello, yaitu hukum yang berlaku
dalam perang dibagi menjadi:
(1) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang.
Bagian ini biasanya disebut The Hague
Laws.
(2) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang
yang menjadi korban perang ini. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
Kemudian tujuan
dari hukum humaniter ini adalah untuk melarang perang atau untuk mengadakan
undang-undang yang menentukan permainan perang, tetapi karena alasan-alasan
perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu
dan untuk membatasi wilayah dimana kekuasaan konflik bersenjata diperbolehkan.
Oleh karena itu,
perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian
menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak
dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu:
a.
Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk
sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
b.
Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi
mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus
dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang;
c.
Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal
batas[2].
Berdasarkan
penjelasan di atas maka, di dalam kepustakaan ada tiga aliran yang berkaitan
dengan hubungan hukum humaniter internasional dan
hukum HAM, yaitu:
1. Aliran Integrationis:
Aliran
Integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang
lain. Dalam hal ini, maka ada dua kemungkinan, yaitu:
a. Hak asasi manusia menjadi
dasar bagi hukum humaniter internasional[3], dalam
arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia.
b. Hukum humaniter
internasional merupakan dasar dari hak asasi manusia, dalam arti bahwa hak
asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan
pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi
manusia. (sumber: Resolusi XXIII tanggal
12 Mei 1968 mengenai penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata).
2. Aliran Separatis:
Aliran Separatis melihat hak asasi manusia dan hukum
humaniter internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan,
karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem ini terletak pada:
a. Obyeknya:
hukum humaniter internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan
kesatuan lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan antara
pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara tersebut;
b. Sifatnya:
hukum humaniter internasional bersifat mandatory
a political serta peremptory;
c. Saat
berlakunya: Hukum humaniter internasional berlaku pada saat perang atau masa
sengketa bersenjata, sedangkan HAM berlaku pada saat damai. (sumber: Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968
mengenai penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata).
3. Aliran Komplementaris[4]:
Aliran
Komplementaris melihat hukum HAM dan hukum humaniter internasional melalui
proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Aliran ini
mengakui adanya perbedaan seperti yang dimukakan oleh aliran separatis, dan
menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu:
a. Pelaksanaan dan penegakan:
Hukum humaniter
menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara pelindung. Sebaliknya
hukum HAM sudah mempunyai aparat mekanisme yang tetap, tetapi hanya berlaku di
negara-negara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi HAM Eropa.
b. Faktor atau hal yang bersifat pencegahan:
Hukum humaniter
internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan
preventif dan korektif, sedangkan hukum HAM secara fundamental menggunakan
pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif.
Jadi,
berdasarkan Aliran Komplementaris di atas Hukum HAM dan Hukum Humaniter
Internasional berkembang sejajar dan untuk saling melengkapi, dengan adanya
perpaduan kedua hukum ini maka nasib tawanan perang akan lebih terjamin ketika
masa penahanan oleh pihak musuh, karena sudah dilindungi oleh Hukum HAM dan
Hukum Humaniter Internasional. Sebagaimana yang kita ketahui tawanan perang
salah satu subjek dalam peperangan yang tetap dilindungi oleh hukum, meskipun
ia terlibat dalam tindakan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat lain atau
penduduk sipil.
2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tawanan Perang
Tawanan perang adalah
tawanan Negara musuh, bukan tawanan orang-perorangan atau kesatuan-kesatuan militer
yang telah menawan mereka. Lepas dari tanggung jawab perseorangan yang mungkin
ada, Negara Penahan bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan kepada mereka.
Hal ini sesuai dengan pasal 29 Bab III tentang Kesehatan dan Pengamatan
Kesehatan, yang berbunyi: Negara
Penahan wajib mengambil segala tindakan kesehatan yang diperlukan untuk
menjamin kebersihan serta kesehatan tempat tawanan dan untuk mencegah
wabah-wabah menular. Bagi tawanan perang harus disediakan untuk dipakai siang
dan malam tempat-tempat pemandian dan kakus yang memenuhi syarat-syarat
kesehatan dan yang terus menerus dipelihara dalam keadaan bersih. Di tiap kamp
tawanan di mana tawanan perang wanita ditampung, harus disediakan bagi mereka
tempat-tempat pemandian dan kakus yang terpisah. Selanjutnya di samping
tempat-tempat mandi yang tersedia dalam kamp tawanan, tawanan perang harus juga
diberikan air dan sabun yang cukup untuk keperluan kamar kecil dan untuk
mencuci pakaian pribadinya. Bagi mereka harus disediakan instalasi-instalasi,
fasilitas-fasilitas dan waktu yang diperlukan untuk maksud itu[5].
Tawanan perang hanya dapat dipindahkan oleh Negara
Penahan ke suatu Negara yang menjadi peserta Konvensi, dan setelah Negara
Penahan mendapat kepastian bahwa negara yang disertai tawanan itu berkehendak
dan sanggup untuk melaksanakan Konvensi. Apabila tawanan perang dipindahkan
dalam keadaan tersebut, maka tanggung jawab tentang pelaksanaan Konvensi
terletak pada Negara yang telah menerima mereka, selama mereka berada di bawah
pengawasannya. Maksudnya adalah jaminan bagi para tawanan perang ada di tangan
negara penahannya, selama negara penahan tersebut sanggup untuk melaksanakan
semua ketentuan yang ada pada Konvensi Jenewa III tahun 1949 ini.
Walaupun demikian, apabila Negara itu gagal dalam
menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi dalam sesuatu hal yang penting, maka
setelah pemberitahuan tentang hal tersebut oleh Negara Pelindung, Negara yang
memindahkan tawanan perang itu harus mengambil tindakan-tindakan efektif untuk
memperbaiki keadaan atau harus meminta pengembalian dari tawanan perang itu.
Permintaan itu harus dikabulkan[6].
Pengertian
lain tentang tawanan perang (prisoner
of war) adalah sebutan bagi tentara yang dipenjara oleh musuh pada masa atau segera
setelah berakhirnya konflik bersenjata. Terdapat undang-undang yang memastikan
para tahanan perang diperlakukan dengan manusiawi, namun pematuhan terhadap
undang-undang tersebut berbeda antar negara. Selama menjadi tawanan perang para
kombatan akan diperlakukan dengan manusiawi sebab bila terjadi penyiksaan
bahkan membuat tawanan perang tersebut meninggal dunia, maka negara penahan
para tawanan akan mendapat sanksi berdasarkan Konvensi Jenewa III 1949 maupun
dari Hukum HAM Internasional.
Tawanan perang juga sudah
dilindungi dengan pasal 4 Konvensi Ketiga Jenewa yang
memberikan perlindungan bagi anggota militer yang tertangkap (menjadi tawanan
perang), pemberontak gerilya, dan
sejumlah warga sipil. Salah satu syarat konvensi tersebut adalah bahwa
penyiksaan terhadap para tawanan dianggap ilegal, dan bahwa mereka hanya perlu
memberikan nama, tanggal lahir, pangkat, serta nomor jasa (jika berlaku) mereka.
Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang
mengatur perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya
Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang
bersifat ini diatur. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan
memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga
apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk
menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.
Berikut ini bunyi pasal 3
Konvensi Jenewa III 1949, yang menyatakan bahwa dalam hal sengketa bersenjata
yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu
Pihak Agung penandatanganan, tiap pihak dalam
sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
(1)
Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa
itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan
senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta karena sakit,
luka-luka, penawanan atau sebab lain
apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan,
tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit,
agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria
lainnya serupa itu.
Untuk maksud
ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk
dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun
juga:
a.
Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam
pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam, dan penganiayaan;
b.
Penyanderaan;
c.
Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang
menghina dan merendahkan martabat;
d.
Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului
keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur,
yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh
bangsa-bangsa beradab[7].
(2)
Yang luka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan kemanusiaan tidak memihak, seperti Komite Internasional Palang
Merah, dapat menawarkan layanan kepada pihak konflik. Para pihak yang terlibat
konflik lebih jauh harus berusaha untuk menjadi kekuatan, dengan cara
perjanjian khusus, semua atau sebagian dari ketentuan dari Konvensi ini.
Penerapan ketentuan sebelumnya tidak akan mempengaruhi status hukum dari pihak
yang terlibat konflik[8].
Namun demikian, walaupun sudah ada ketentuan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa:
a.
Dengan adanya pasal 3 tidak dengan sendirinya seluruh
konvensi berlaku dalam sengketa bersenjata yang bersifat intern, melainkan
hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam pasal 3;
b.
Pasal 3 tidak mengurangi hak pemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan
pemberontakan bersenjata, menurut undang-undang atau hukum nasionalnya sendiri.
Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa
bersenjata internal, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.
Ketentuan pasal ini terdapat kata-kata tiap pihak (each party). Hal ini merupakan suatu kemajuan dalam hukum
internasional karena sebelumnya tidaklah mungkin bahwa suatu konvensi
internasional mengikat suatu nonsinagtory
party. Apalagi dalam hal ini pihak tersebut belum ada dan pula pihak itu
tidak diharuskan mewakili a legal entity
capable of undertaking international obligatuons.
Jadi, tiap pihak diharuskan menerapkan pasal 3, yang menyatakan: by the mere fact that Party’s existence and
of the existence of an armed conflict and the other Party[9]. Pasal 3
ini juga sering disebut Konvensi Kecil (Convention in Miniature) karena memuat
pokok utama daripada perlakuan korban perang menurut Konvensi Jenewa 1949. Mengenai
hal ini Draper menulis sebagai berikut:“as
the article stands it is a Convention in miniature aplicable to
noninternational conflict only. It has the advantage of not being based upon
the principle of reciprocity and it has an automatic application once such a
conflict has broken out”[10].
Pasal 13 Konvensi I dan II serta pasal 4 paragraf A Konvensi Jenewa III
menetapkan bahwa orang-orang yang dilindungi dalam ketiga konvensi tersebut
adalah (berikut bunyi pasal 4 Konvensi Jenewa III):
a.
Anggota-anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam
sengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau barisan sukarela[11], yang
merupakan bagian dari angkatan perang itu;
b.
Anggota-anggota milisi lainnya serta anggota-anggota dari
barisan sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, yang
tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam atau di luar
wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja milisi atau barisan
sukarela demikian, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab atas
bawahannya;
2)
Mempunyai tanda pengenal tetap yang dapat dikenali dari jauh;
3)
Membawa senjata secara terang-terangan;
4)
Melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum-hukum
dan kebiasaan-kebiasaan perang.
c.
Anggota-anggota angkatan perang tetap yang tunduk pada suatu
pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan;
d.
Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan
sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak
pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok, anggota-anggota kesatuan
kerja atau dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang,
asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai;
e.
Anggota awak pelayaran niaga termasuk nakhkoda pemandu laut,
taruna dan awak-awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak dalam sengketa yang
tidak mendapat perlakuan yang lebih baik menurut ketentuan-ketentuan lain
apapun dalam hukum internasional;
f.
Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh
mendekat, atas kemauan mereka sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata
untuk melawan pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk
kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka memikul senjata
secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan
perang.
Ketentuan mengenai lamanya perlindungan diberikan, misalnya dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 5 dari Konvensi Jenewa III mengenai Perlakuan terhadap
Tawanan Perang, yang berbunyi:
Konvensi ini akan berlaku
bagi orang-orang yang disebut dalam Pasal 4 sejak mereka jatuh dalam kekuasaan
musuh hingga saat pembebasan dan pemulangan mereka terakhir. Bilamana timbul
keragu-raguan apakah orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bersifat
perbuatan permusuhan dan telah jatuh dalam tangan musuh termasuk dalam
golongan-golongan yang disebut dalam pasal 4, maka orang-orang demikian akan
memperoleh perlindungan dari Konvensi ini, hingga saat kedudukan mereka
ditentukan oleh pengadilan yang kompeten[12].
Dari ketentuan yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat
jatuhnya orang-orang yang dilindungi Konvensi ke tangan musuh adalah saat mulai
berlakunya pemberian perlindungan kepada orang-orang sebagaimana yang
ditentukan dalam Konvensi Jenewa tahun 1949.
3. Para Pihak dan Keberlakuan dari Konvensi Jenewa III
Pihak yang terlibat dalam konvensi
Jenewa III ini adalah para angkatan bersenjata atau kombatan yang terlibat
secara langsung dalam konflik bersenjata. Kemudian, para kombatan tersebut
telah jatuh ke tangan musuh sebagai tawanan perang. Berikut ini bunyi pasa 9
Konvensi Jenewa III tentang perlindungan terhadap tawanan perang:
“Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini merupakan tidak ada hambatan bagi
kegiatan kemanusiaan yang Komite Internasional Palang Merah atau organisasi
kemanusiaan lainnya tidak memihak, sesuai dengan persetujuan dari pihak ke
konflik yang bersangkutan, melakukan untuk melindungi tawanan perang dan untuk
bantuan mereka”[13].
a. Perlindungan Terhadap Tawanan Perang
Tawanan perang bukanlah tawanan orang-perorang atau
kesatuan-kesatuan militer yang menahannya, tetapi ia adalah tawanan dari Negara
musuh yang berhasil menahannya. Negara yang melakukan penahanan ini
berkewajiban menghormati tawanan perang yang tunduk di bawah kekuasaannya
dengan memberikan mereka jaminan perlindungan dan perlakuan yang manusiawi. Hal
tersebut karena penahanan tawanan perang tidak boleh dianggap sebagai hukuman
atau tindakan balas dendam, akan tetapi tujuan penahan itu hanyalah sebatas
cara untuk mencegah pihak yang ditawan berada di suatu tempat yang
memungkinkannya melakukan gangguan atau ancaman. Tindakan-tindakan yang keluar
dari tujuan awal penahanan tawanan perang ini dianggap telah melanggar batas-batas
yang harus dihormati dalam suatu konflik bersenjata.
Konvensi Jenewa III tahun 1949 yang berkaitan dengan
perlakuan terhadap tawanan perang telah menyatakan substansi di atas, di mana
konvensi tersebut memberikan jaminan perlindungan terhadap tawanan perang sejak
mereka jatuh sebagai tawanan, sampai kemudian dibebaskan dan dipulangkan ke
kampung halaman atau tanah air mereka.
b. Perlindungan Tawanan Perang Saat
Pertama Kali Ditahan
Tawanan perang yang telah meletakkan senjata dan
menyerahkan dirinya kepada pihak musuh, dilarang untuk disakiti atau dibunuh.
Negara penahan berkewajiban membekali para tawanan perang dengan
dokumen-dokumen identitas diri. Tanda-tanda pangkat dan kewarganegaran para
tawanan tidak boleh dilucuti dan diambil. Demikian pula barang-barang lain yang
memiliki nilai pribadi atau mengandung tanda-tanda jasa yang dapat dikenang.[14]
Berikut ini penjelasan dari pasal 13 dan pasal 14
Konvensi Jenewa III 1949, yang mempertegas agar tawanan perang tersebut dapat
diberikan perlindungan saat pertama kali mereka ditahan oleh pihak musuh.
Berikut bunyi pasal 13:
Tawanan perang harus diperlakukan
dengan perikemanusiaan. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau
kelalaian Negara Penahan yang mengakibatkan kematian atau yang benar-benar
membahayakan kesehatan tawanan perang yang berada di bawah pengawasannya,
adalah dilarang dan harus dianggap sebagai pelanggaran berat dari Konvensi ini.
Tawanan perang terutama tidak boleh
dijadikan obyek pengurungan jasmani, percobaan-percobaan kedokteran atau ilmiah
dalam bentuk apapun juga yang tidak dibenarkan oleh pengobatan kedokteran,
kedokteran gigi atau kesehatan dari tawanan bersangkutan dan dilakukan demi
kepentingannya[15]. Tawanan perang juga harus selalu dilindungi, terutama terhadap
tindakan-tindakan kekerasan atau ancaman-ancaman, dan terhadap
penghinaan-penghinaan serta tontonan umum. Tindakan-tindakan pembalasan
terhadap tawanan perang dilarang.
Kemudian berikut bunyi dari pasal 14:
Tawanan perang dalam segala keadaan
berhak akan penghormatan terhadap pribadi dan martabatnya. Wanita harus
diperlakukan dengan segala kehormatan yang patut diberikan mengingat jenis
kelamin mereka, dan dalam segala hal harus mendapat perlakuan sebaik dengan
yang diberikan kepada pria. Tawanan perang
akan tetap memiliki kemampuan keperdataan penuh yang mereka miliki pada saat
penangkapan mereka.
Negara Penahan tidak boleh membatasi penggunaan hak-hak yang timbul dari
kemampuan tersebut, baik di dalam maupun diluar wilayahnya sendiri, kecuali
sejauh yang diperlukan oleh penawan yang bersangkutan[16].
c. Interogasi Tawanan Perang
Pada saat diinterogasi seorang tawanan perang
berkewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu yang ditujukan kepadanya,
apa pun pangkat tawanan tersebut. Pertanyaan tersebut berkisar tentang: nama
lengkap, pangkat militer, tanggal lahir, dan nomor tentara, resimen, data
personel, atau nomor registrasi pokok. Jika seorang tawanan tidak bersedia
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka ia dapat dikenakan pembatasan
atas hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya berdasarkan pangkat militer atau
kedudukannya.
Hal
ini sesuai dengan bunyi pasal 17 Konvensi Jenewa III 1949, Bagian III
tentang Penawanan, yang berbunyi:
Setiap tawanan perang, apabila ditanyakan mengenai hal
itu, hanya wajib memberikan nama keluarga, nama kecil dan pangkat, tanggal
lahir, dan nomor tentara, resimen, data personel atau nomor registrasi pokok,
atau jika tidak mungkin, keterangan yang serupa. Jika ia dengan sengaja
melanggar ketentuan ini, ia dapat dikenakan pembatasan atas hak-hak istimewa
yang diberikan kepadanya berdasarkan pangkat atau kedudukannya.
Setiap Pihak dalam sengketa harus melengkapi
orang-orang di bawah kekuasaannya yang mungkin menjadi tawanan perang musuh,
dengan suatu kartu pengenal yang memuat nama keluarga, nama kecil, pangkat,
nomor tentara, resimen, data personel atau nomor registrasi pokok atau
keterangan serupa serta tanggal lahir pemegang. Kartu pengenal itu selanjutnya
dapat memuat tanda tangan atau cap jari pemegang atau kedua-duanya, dan dapat
juga setiap keterangan lainnya, yang mungkin hendak ditambahkan oleh Pihak
peserta sengketa tentang orang-orang yang termasuk dalam angkatan bersenjata.
Kartu itu sedapat mungkin harus berukuran 6,5 X 10 cm serta harus dikeluarkan
dalam rangkap dua. Kartu pengenal itu harus diperlihatkan oleh tawanan perang
apabila diminta, akan tetapi sekali-kali tidak dapat diambil dari padanya.
Penganiayaan jasmani atau rohani atau paksaan lain
dalam bentuk apapun, tidak boleh dilakukan atas diri tawanan perang untuk
memperoleh dari mereka keterangan-keterangan jenis apapun. Tawanan perang yang
menolak menjawab, tidak boleh diancam, dihina, atau dikenakan perlakuan yang
tidak menyenangkan atau merugikan dalam bentuk apapun.
Tawanan perang yang tidak sanggup menyatakan
identitasnya karena keadaan jasmani atau rohani mereka, harus diserahkan kepada
dinas kesehatan. Identitas tawanan tersebut akan ditetapkan dengan segala cara
yang memungkinkan dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan paragrap diatas. Pemeriksaan
tawanan perang harus dilakukan dalam bahasa yang mereka pahami[17].
Berdasarkan
pasal di atas, jadi pihak penahan tawanan perang hanya dapat melakukan
interogasi atau menanyakan mengenai identitas pribadi dari si tawanan itu saja.
Kemudian tidak boleh dilakukan suatu pemaksaan untuk mendapatkan suatu
informasi pada saat menginterogasi tersebut.
d. Perlindungan Tawanan Perang pada
Masa Tahanan
1. Hak
Mendapatkan Perlakuan Manusiawi
2. Hak
Kehormatan Martabat dan Harga Diri
3. Hak
Perawatan Medis
4. Hak
Memperoleh Perlakuan yang Adil
5. Hak
Melaksanakan Ritual Keagamaan
6. Hak
Aktivitas Mental dan Fisik
7. Hak
Mendapatkan Kebutuhan Primer
8. Hak
Berkomunikasi dengan Dunia Luar
Berkenaan dengan pertumbuhan hukum humaniter internasional, ada empat hal
yang dapat dilihat sebagai hal yang menandai evolusi perkembangan hukum
humaniter internasional, yaitu sebagai berikut:
1. Perluasan kategori korban
perang yang dilindungi oleh hukum humaniter internasional tidak hanya terbatas
pada tentara yang terluka saja tetapi juga mencakup korban kapal perang,
tawanan perang[18],
orang-orang sipil di wilayah pendudukan asing berikut seluruh penduduk sipil.
Termasuk juga sebagai korban perang yang harus dilindungi, tentara yang
iinternir oleh negara netral [19]dan
pengungsi.
2. Situasi berlakunya hukum
humaniter internasional tidak hanya terbatas pada situasi sengketa bersenjata
internasional, tetapi juga telah ada ketentuan hukum humaniter internasional
untuk situasi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional atau
konflik bersenjata non-internasional.
3. Pembaruan dan modernisasi
perjanjian internasional dilakukan secara teratur, mengingat realitas
konflik-konflik yang terus terjadi. Sebagai contoh, aturan-aturan untuk
melindungi orang luka yang diadopsi pada tahun 1864 selalu diperbaiki pada
tahun 1906, 1929, 1949, dan 1977.
4. Adanya dua macam ketentuan
hukum humaniter internasional yang terpisah, yaitu Hukum Jenewa yang berkaitan
dengan perlindungan korban konflik bersenjata dan Hukum Den Haag yang berkaitan
dengan cara dan alat perang. Namun, kedua hukum tersebut disatukan dengan
dibentuknya dua Protokol Tambahan tahun 1977.
e. Pengawasan Pelaksanaan Konvensi
Mengenai ketentuan ini terdapat dalam pasal 8 keempat
konvensi, yang berbunyi: konvensi ini
harus dilaksanakan dengan kerja sama serta di bawah pengawasan dari
negara-negara pelindung yang berkewajiban melindungi kepentingan-kepentingan
pihak-pihak dalam sengketa. Untuk maksud ini, negara-negara pelindung boleh
mengangkat di samping diplomatik dan konsuler merdeka, utusan-utusan yang
dipilih dari antara warga negara mereka atau warga negara negara netral
lainnya. Utusan tersebut harus mendapat persetujuan negara dengan siapa mereka
akan melakukan kewajiban-kewajiban mereka.
Ketentuan-ketentuan mengenai negara pelindung ini yang
akan mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa oleh pihak-pihak
dalam sengketa sangat penting lainnya.
4. Pelanggaran dan Sanksi-Sanksi menurut Konvensi Jenewa III
1949
a. Pelanggaran dari segi tempat tinggal dan makanan bagi
tawanan perang:
Pelanggaran yang
sering terjadi dalam memperlakukan seorang tawanan perang adalah biasanya
menyangkut hidup dari mereka, karena selama dalam penahanan bisa saja mereka
tidak dirawat dengan baik hingga menimbulkan penderitaan pada pihak tawanan
perang tersebut. Baik dari segi pemberian tempat tinggal, dan makanan untuk
mereka. Penjelasan di atas terdapat pada pasal 27 dan 28 Konvensi Jenewa III
Bab II tentang Tempat tinggal, makanan dan Pakaian Tawanan Perang. Berikut bunyi pasal 27:
Pakaian, pakaian dalam dan sepatu harus diberikan kepada tawanan perang
dalam jumlah yang cukup oleh Negara Penahan, dengan memperhatikan iklim daerah
tempat tawanan ditahan. Pakaian seragam angkatan perang musuh yang jatuh ke
dalam tangan Negara Penahan harus digunakan untuk pakaian bagi tawanan perang,
apabila pakaian itu sesuai dengan iklim.
Negara Penahan harus menjamin diadakannya penggantian dan pembetulan
barang-barang tersebut di atas secara teratur, selanjutnya tawanan perang yang
bekerja harus menerima pakaian yang cocok apabila sifat pekerjaan itu
memerlukannya[20].
Kemudian bunyi dari pasal 28 adalah
sebagai berikut:
Kantin-kantin harus diadakan di semua tempat tawanan di mana tawanan perang
dapat memperoleh bahan makanan, sabun dan tembakau serta barang kebutuhan
sehari-hari. Harganya sekali-kali tidak boleh melebihi harga-harga pasaran
setempat.
Keuntungan yang diperoleh kantin-kantin tempat tawanan harus dipergunakan
untuk kesejahteraan tawanan; suatu dana khusus akan diadakan untuk maksud ini.
Perwakilan dari tawanan perang berhak untuk turut serta dalam pengurusan kantin
dan dana itu.
Jika kamp tawanan ditutup, neraca kredit dana khusus itu harus diserahkan
kepada suatu organisasi kesejahteraan internasional dan dipergunakan untuk
kesejahteraan tawanan perang yang berkebangsaan sama dengan tawanan perang yang
telah menyumbang dana itu. Dalam hal pemulangan tawanan umum, keuntungan
tersebut akan disimpan oleh Negara Penahan kecuali apabila ditentukan lain
dalam suatu persetujuan antara negara-negara yang bersangkutan.
b. Pelanggaran dari segi Pemeliharaan dan Perawatan Kesehatan para Tawanan
Perang:
Selain dari segi tempat tinggal dan
makanan, ada satu hal lagi yang harus diperhatikan oleh negara penahan terhadap
para tawanan perang tersebut, yaitu masalah pemeliharaan/perawatan kesehatan
mereka selama masa penahanan. Penjelasan ini telah dituangkan dalam pasal 29
dan 31 Konvensi Jenewa III 1949. Adapun bunyi dari pasal 29 adalah:
Negara Penahan wajib mengambil segala tindakan kesehatan yang diperlukan
untuk menjamin kebersihan serta kesehatan tempat tawanan[21] dan untuk mencegah wabah-wabah menular.
Bagi tawanan perang harus disediakan untuk dipakai siang dan malam
tempat-tempat pemandian dan kakus yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan
yang terus menerus dipelihara dalam keadaan bersih. Di tiap kamp tawanan di
mana tawanan perang wanita ditampung, harus disediakan bagi mereka
tempat-tempat pemandian dan kakus yang terpisah. Selanjutnya di samping
tempat-tempat mandi yang tersedia dalam kamp tawanan, tawanan perang harus juga
diberikan air dan sabun yang cukup untuk keperluan kamar kecil dan untuk
mencuci pakaian pribadinya. Bagi mereka harus disediakan instalasi-instalasi,
fasilitas-fasilitas dan waktu yang diperlukan untuk maksud itu.
Kemudian bunyi dari pasal 31 adalah
sebagai berikut:
Pemeriksaan kesehatan tawanan perang harus diadakan sekurang-kurangnya
sekali sebulan. Pemeriksaan itu akan meliputi penelitian dan pencatatan berat
badan setiap tawanan perang. Maksud pemeriksaan-pemeriksaan itu terutama adalah
untuk mengawasi keadaan kesehatan secara umum, pemberian makanan dan kebersihan
tawanan perang, serta untuk menemukan penyakit-penyakit menular, teristimewa
penyakit tuberculosis, malaria dan penyakit kelamin, untuk maksud ini akan
digunakan metode-metode yang paling bermanfaat yang tersedia, misalnya
radiografi miniatur massal untuk menemukan tuberculosis secara dini.
Para tahanan perang pun mendapat
pengawasan dan bantuan dari Palang Merah Internasional dan Organisasi
Perikemanusiaan lainnya. Ketentuan hal ini terdapat dalam pasal 9, yang
menyatakan bahwa: Ketentuan-ketentuan
konvensi ini tidak merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan perikemanusiaan,
yang mungkin diusahakan oleh Komite Internasional Palang Merah atau tiap
organisasi humaniter lainnya yang tidak berpihak, untuk melindungi dan menolong
yang luka dan sakit, anggota dinas kesehatan dan rohaniwan-rohaniwan selama kegiatan-kegiatan itu mendapat
persetujuan pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan[22].
c. Sanksi Pidana dan Sanksi Disiplin:
Sanksi-sanksi juga dapat
diberlakukan dalam Konvensi Jenewa III 1949 ini bagi pihak yang melanggar dari
isi maupun adanya penyalahgunaan konvensi ini. Dalam segala keadaan, orang yang
dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan wajar, yang
tidak boleh kurang menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh
Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang tertanggal 12 Agustus 1949
dalam pasal 105 dan seterusnya.
Ketentuan mengenai sanksi pidana
terhadap pelanggaran-pelanggaran konvensi dan kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan bagi pihak penanda tangan seperti terdapat pada pasal 49 ini, harus
dilihat dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1, bahwa pihak penanda
tangan tidak saja harus menaati ketentuan-ketentuan konvensi, tetapi juga
“harus menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan konvensi”[23].
Sanksi yang diterapkan dalam
Konvensi Jenewa III 1949 ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu sanksi pidana
dan sanksi disiplin. Berikut bunyi pasal 96 dan 99:
Bunyi pasal 96 Konvensi Jenewa III 1949: Perbuatan-perbuatan yang merupakan
pelanggaran-pelanggaran terhadap disiplin harus diperiksa dengan segera. Dengan
tidak mengurangi wewenang pengadilan-pengadilan dan penguasa-penguasa militer
yang lebih tinggi, hukuman-hukuman disiplin hanya boleh diberikan oleh seorang
perwira yang mempunyai kekuasaan-kekuasaan disiplin dalam kedudukannya sebagai
komandan kamp tawanan, atau oleh seorang perwira bertanggung jawab yang
menggantikannya, atau kepada siapa ia telah menyerahkan kekuasaan-kekuasaan
disiplinnya.
Kekuasaan tersebut sekali-kali tidak dapat diserahkan kepada seorang
tawanan perang atau dijalankan oleh seorang tawanan perang. Sebelum sesuatu
Keputusan disiplin dijatuhkan, terdakwa harus diberikan keterangan-keterangan
yang tepat mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, dan
diberikan kesempatan untuk menjelaskan kelakuannya serta membela dirinya. Ia
terutama harus diperkenankan memanggil saksi-saksi dan menggunakan jasa seorang
penerjemah yang cakap, apabila perlu. Keputusan harus diumumkan kepada tawanan
perang terdakwa serta kepada wakil tawanan. Suatu berkas tentang hukuman-hukuman disiplin harus disimpan oleh komandan
kamp tawanan dan harus dibuka untuk diperiksa oleh perwakilan Negara Pelindung.
Bunyi pasal 99 Konvensi Jenewa III
1949:
Tawanan perang tidak boleh diadili atau dijatuhi hukuman untuk perbuatan
yang tidak dilarang oleh Undang-undang Negara Penahan atau oleh hukum
internasional yang berlaku pada waktu perbuatan tersebut dilakukan. Terhadap
seorang tawanan perang tidak boleh dilakukan paksaan psikis atau phisik untuk
memaksanya mengaku salah atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tawanan
perang tidak boleh dihukum tanpa diberi kesempatan sebelumnya untuk mengajukan
pembelaannya serta mendapat bantuan seorang pembela atau pengacara yang cakap[24].
Berdasarkan bunyi pasal 96 di atas,
bahwa pemberian hukuman disiplin kepada para tawanan hanya dapat dilakukan oleh
seorang Komandan kamp yang bertanggung jawab atas semua tawanan tersebut. Hal
ini dilakukan agar ada pihak yang bertanggung jawab terhadap keadaan para
tawanan apabila mereka mendapat hukuman selama masa penahanan. Dan berdasarkan
pasal 99 diatas negara penahan tidak boleh melakukan pemaksaan terhadap tahanan
perang untuk mengaku salah atas semua tuduhan yang diberikan kepadanya.
BAB III
PENUTUP
-Kesimpulan:
1) Tawanan Perang adalah tawanan Negara musuh, bukan tawanan orang-perorangan
atau kesatuan-kesatuan militer yang telah menawan mereka.
2) Pihak yang terlibat dalam
konvensi Jenewa III ini adalah para angkatan bersenjata atau kombatan yang
terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata. Kemudian, para kombatan
tersebut telah jatuh ke tangan musuh sebagai tawanan perang.
3) Terhadap seorang tawanan perang tidak boleh dilakukan
paksaan psikis atau phisik untuk memaksanya mengaku salah atas perbuatan yang
dituduhkan kepadanya.
4) Tawanan perang tidak boleh dihukum tanpa diberi
kesempatan sebelumnya untuk mengajukan pembelaannya serta mendapat bantuan
seorang pembela atau pengacara yang cakap.
5) Negara Penahan wajib mengambil segala tindakan
kesehatan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan serta kesehatan tempat
tawanan dan untuk mencegah wabah-wabah menular.
-Saran-saran:
BAB IV
DAFTAR
PUSTAKA
- Haryomataram, KGPH. 2007. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
- Ambarwati, dkk. 2009. Hukum Humaniter Internasional dalam
Studi Hubungan Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
- Naim, Ahmad Baharuddin. 2010. Hukum Humaniter Internasional.
Bandar Lampung: Universitas Lampung.
- Istanto, F. Sugeng. 1992. Perlindungan
Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional.
Yogyakarta: Andi Offset Yogyakarta.
[1]Ahmad
Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional.
Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm 13.
[2] Ahmad
Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2010, hlm 15.
[3] Menurut
kami, mengapa HAM menjadi dasar dari hukum humaniter internasional karena pada dasarnya
hukum humaniter adalah cabang ilmu yang berguna untuk memanusiawikan
peperangan, agar perang tersebut tidak mengakibatkan pelanggaran HAM sangat
banyak, baik pada pihak yang berperang maupun para penduduk sipil.
[4] Ahmad
Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2010, hlm. 27.
[5]
Dikutip dari pasal 29 Bagian III Kesehatan dan Pengamatan Kesehatan.
[6] Dikutip
dari pasal 12 Bagian II Perlindungan Umum Bagi Tawanan Perang. Konvensi Jenewa
III 1949.
[7]Ahmad
Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2010, hlm. 62.
[8] Dikutip
dari pasal 3 Bagian I Ketentuan Umum. Konvensi Jenewa III 1949.
[11] Menurut
kami, yang dimaksud dengan anggota-anggota milisi atau barisan sukarela adalah
sekumpulan orang yang bukan/tidak berstatus menjadi anggota angkatan perang
(tentara) suatu negara, namun turut membantu para angkatan perang yang resmi
tersebut dalam menghadapi suatu perang/konflik bersenjata. Hal ini biasanya
didasarkan atas rasa loyalitas yang tinggi terhadap negaranya.
[12] Ahmad
Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2010, hlm. 65.
[13] Dikutip
dari pasal 9 Konvensi Jenewa III 1949.
[14]Dikutip
dari Konvensi Jenewa III tahun 1949,
pasal 18, alinea 2.
[15]
Dikutip dari pasal 13 Konvensi Jenewa III 1949
[16]
Dikutip dari pasal 14 Konvensi Jenewa III 1949
[17]
Lihat pasal 17 Konvensi Jenewa III 1949
[18] Sesuai
dengan isi Konvensi Jenewa III 1949 yang membahas tentang perlindungan terhadap
tawanan perang.
[19] Menurut
kami, yang dimaksud dengan tentara diinternir oleh negara netral ialah tentara
harus dikendalikan tindakannya dalam
melakukan peperangan agar tidak terjadi pelanggaran HAM berat.
[20]
Lihat pasal 27 Konvensi Jenewa III 1949
[21] Menurut
kami, hal ini harus selalu dilakukan oleh pihak negara penahan sebab negara
penahan harus bertanggung atas keselamatan jiwa para tahanan perang meskipun
mereka berada dalam tekanan negara penahan tersebut. Selain itu pula perlu
adanya pengawasan dari negara-negara netral untuk memastikan bahwa tidak
terjadi penghilangan HAM yang melekat
pada diri tahanan perang.
[22] Ahmad
Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2010, hlm. 67.
[23] Menurut
kami, semua negara yang menyepakati isi dari Konvensi Jenewa III ini harus
benar-benar menaati isi dari pasal-pasal yang ada dalam Konvensi tersebut.
[24]
Dikutip dari pasal 99 Konvensi Jenewa III 1949 bagian III tentang Acara Peradilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar