Rabu, 09 Mei 2012

contoh makalah hukum humaniter (perlindungan terhadap tawanan perang)


BAB II
PEMBAHASAN

1. Ruang Lingkup dan Aliran Hukum Humaniter
Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai dan netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Hukum Humaniter Internasional merupakan suatu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang.
Sedangkan pengertian Hukum Humaniter adalah salah satu cabang ilmu dari ilmu hukum Internasional. Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut Internastional Humanitarian Law applicable in Armed Conflict yang diperkenalkan oleh International Committee of Red Cross (ICRC). Secara rinci, ICRC menguraikan maksud dari istilah ini adalah sebagai berikut: “HHI berarti aturan-aturan internasional, yang dibentuk oleh perjanjian internasional atau kebiasaan, yang secara spesifik, diharapkan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan yang muncul secara langsung dari sengketa-sengketa bersenjata internasional  maupun non internasional, dan untuk alasan-alasan kemanusiaan, membatasi hak dari pihak-pihak  yang berkonflik untuk menggunakan metode dan alat perang pilihan mereka dan atau untuk melindungi orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik”. (Sumber: Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm 7.)
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dia membagi hukum humaniter menjadi dua bagian, yaitu[1]:
a.         Ius Ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
b.        Ius in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang dibagi menjadi:
(1)  Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang. Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.
(2)  Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang ini. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
Kemudian tujuan dari hukum humaniter ini adalah untuk melarang perang atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan perang, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kekuasaan konflik bersenjata diperbolehkan.
Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu:
a.    Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
b.    Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang;
c.    Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas[2].

Berdasarkan penjelasan di atas maka, di dalam kepustakaan ada tiga aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional dan hukum HAM, yaitu:
1. Aliran Integrationis:
Aliran Integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada dua kemungkinan, yaitu:
a. Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional[3], dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia.
b. Hukum humaniter internasional merupakan dasar dari hak asasi manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia. (sumber: Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata).


2.  Aliran Separatis:
            Aliran Separatis melihat hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem ini terletak pada:
a. Obyeknya: hukum humaniter internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara tersebut;
b. Sifatnya: hukum humaniter internasional bersifat mandatory a political serta peremptory;
c. Saat berlakunya: Hukum humaniter internasional berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan HAM berlaku pada saat damai. (sumber: Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata).
3. Aliran Komplementaris[4]:
Aliran Komplementaris melihat hukum HAM dan hukum humaniter internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dimukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu:
a. Pelaksanaan dan penegakan:
Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara pelindung. Sebaliknya hukum HAM sudah mempunyai aparat mekanisme yang tetap, tetapi hanya berlaku di negara-negara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi HAM Eropa.
b. Faktor atau hal yang bersifat pencegahan:
Hukum humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum HAM secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif.
Jadi, berdasarkan Aliran Komplementaris di atas Hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional berkembang sejajar dan untuk saling melengkapi, dengan adanya perpaduan kedua hukum ini maka nasib tawanan perang akan lebih terjamin ketika masa penahanan oleh pihak musuh, karena sudah dilindungi oleh Hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional. Sebagaimana yang kita ketahui tawanan perang salah satu subjek dalam peperangan yang tetap dilindungi oleh hukum, meskipun ia terlibat dalam tindakan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat lain atau penduduk sipil.
2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tawanan Perang
            Tawanan perang adalah tawanan Negara musuh, bukan tawanan orang-perorangan atau kesatuan-kesatuan militer yang telah menawan mereka. Lepas dari tanggung jawab perseorangan yang mungkin ada, Negara Penahan bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan kepada mereka. Hal ini sesuai dengan pasal 29 Bab III tentang Kesehatan dan Pengamatan Kesehatan, yang berbunyi: Negara Penahan wajib mengambil segala tindakan kesehatan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan serta kesehatan tempat tawanan dan untuk mencegah wabah-wabah menular. Bagi tawanan perang harus disediakan untuk dipakai siang dan malam tempat-tempat pemandian dan kakus yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan yang terus menerus dipelihara dalam keadaan bersih. Di tiap kamp tawanan di mana tawanan perang wanita ditampung, harus disediakan bagi mereka tempat-tempat pemandian dan kakus yang terpisah. Selanjutnya di samping tempat-tempat mandi yang tersedia dalam kamp tawanan, tawanan perang harus juga diberikan air dan sabun yang cukup untuk keperluan kamar kecil dan untuk mencuci pakaian pribadinya. Bagi mereka harus disediakan instalasi-instalasi, fasilitas-fasilitas dan waktu yang diperlukan untuk maksud itu[5].
Tawanan perang hanya dapat dipindahkan oleh Negara Penahan ke suatu Negara yang menjadi peserta Konvensi, dan setelah Negara Penahan mendapat kepastian bahwa negara yang disertai tawanan itu berkehendak dan sanggup untuk melaksanakan Konvensi. Apabila tawanan perang dipindahkan dalam keadaan tersebut, maka tanggung jawab tentang pelaksanaan Konvensi terletak pada Negara yang telah menerima mereka, selama mereka berada di bawah pengawasannya. Maksudnya adalah jaminan bagi para tawanan perang ada di tangan negara penahannya, selama negara penahan tersebut sanggup untuk melaksanakan semua ketentuan yang ada pada Konvensi Jenewa III tahun 1949 ini.
Walaupun demikian, apabila Negara itu gagal dalam menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi dalam sesuatu hal yang penting, maka setelah pemberitahuan tentang hal tersebut oleh Negara Pelindung, Negara yang memindahkan tawanan perang itu harus mengambil tindakan-tindakan efektif untuk memperbaiki keadaan atau harus meminta pengembalian dari tawanan perang itu. Permintaan itu harus dikabulkan[6].


Pengertian lain tentang tawanan perang (prisoner of war) adalah sebutan bagi tentara yang dipenjara oleh musuh pada masa atau segera setelah berakhirnya konflik bersenjata. Terdapat undang-undang yang memastikan para tahanan perang diperlakukan dengan manusiawi, namun pematuhan terhadap undang-undang tersebut berbeda antar negara. Selama menjadi tawanan perang para kombatan akan diperlakukan dengan manusiawi sebab bila terjadi penyiksaan bahkan membuat tawanan perang tersebut meninggal dunia, maka negara penahan para tawanan akan mendapat sanksi berdasarkan Konvensi Jenewa III 1949 maupun dari Hukum HAM Internasional.
Tawanan perang juga sudah dilindungi dengan pasal 4 Konvensi Ketiga Jenewa yang memberikan perlindungan bagi anggota militer yang tertangkap (menjadi tawanan perang),  pemberontak gerilya, dan sejumlah warga sipil. Salah satu syarat konvensi tersebut adalah bahwa penyiksaan terhadap para tawanan dianggap ilegal, dan bahwa mereka hanya perlu memberikan nama, tanggal lahir, pangkat, serta nomor jasa (jika berlaku) mereka. Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.
Berikut ini bunyi pasal 3 Konvensi Jenewa III 1949, yang menyatakan bahwa dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatanganan, tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
(1)     Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta karena sakit, luka-luka,  penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.
Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga:
a.    Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam, dan penganiayaan;
b.    Penyanderaan;
c.    Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
d.   Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab[7].
(2)     Yang luka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan kemanusiaan tidak memihak, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan layanan kepada pihak konflik. Para pihak yang terlibat konflik lebih jauh harus berusaha untuk menjadi kekuatan, dengan cara perjanjian khusus, semua atau sebagian dari ketentuan dari Konvensi ini. Penerapan ketentuan sebelumnya tidak akan mempengaruhi status hukum dari pihak yang terlibat konflik[8].

Namun demikian, walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana yang diatur dalam pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa:
a.       Dengan adanya pasal 3 tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa bersenjata yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam pasal 3;
b.      Pasal 3 tidak mengurangi hak pemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut undang-undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata internal, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.
Ketentuan pasal ini terdapat kata-kata tiap pihak (each party). Hal ini merupakan suatu kemajuan dalam hukum internasional karena sebelumnya tidaklah mungkin bahwa suatu konvensi internasional mengikat suatu nonsinagtory party. Apalagi dalam hal ini pihak tersebut belum ada dan pula pihak itu tidak diharuskan mewakili a legal entity capable of undertaking international obligatuons.  
Jadi, tiap pihak diharuskan menerapkan pasal 3, yang menyatakan: by the mere fact that Party’s existence and of the existence of an armed conflict and the other Party[9]. Pasal 3 ini juga sering disebut Konvensi Kecil (Convention in Miniature) karena memuat pokok utama daripada perlakuan korban perang menurut Konvensi Jenewa 1949. Mengenai hal ini Draper menulis sebagai berikut:“as the article stands it is a Convention in miniature aplicable to noninternational conflict only. It has the advantage of not being based upon the principle of reciprocity and it has an automatic application once such a conflict has broken out[10].
Pasal 13 Konvensi I dan II serta pasal 4 paragraf A Konvensi Jenewa III menetapkan bahwa orang-orang yang dilindungi dalam ketiga konvensi tersebut adalah (berikut bunyi pasal 4 Konvensi Jenewa III):
a.    Anggota-anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam sengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau barisan sukarela[11], yang merupakan bagian dari angkatan perang itu;
b.    Anggota-anggota milisi lainnya serta anggota-anggota dari barisan sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja milisi atau barisan sukarela demikian, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;
2)      Mempunyai tanda pengenal tetap yang dapat dikenali dari jauh;
3)      Membawa senjata secara terang-terangan;
4)      Melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
c.    Anggota-anggota angkatan perang tetap yang tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan;
d.   Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai;
e.    Anggota awak pelayaran niaga termasuk nakhkoda pemandu laut, taruna dan awak-awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak dalam sengketa yang tidak mendapat perlakuan yang lebih baik menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam hukum internasional;
f.     Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan mereka sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka memikul senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.

Ketentuan mengenai lamanya perlindungan diberikan, misalnya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 dari Konvensi Jenewa III mengenai Perlakuan terhadap Tawanan Perang, yang berbunyi:
Konvensi ini akan berlaku bagi orang-orang yang disebut dalam Pasal 4 sejak mereka jatuh dalam kekuasaan musuh hingga saat pembebasan dan pemulangan mereka terakhir. Bilamana timbul keragu-raguan apakah orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bersifat perbuatan permusuhan dan telah jatuh dalam tangan musuh termasuk dalam golongan-golongan yang disebut dalam pasal 4, maka orang-orang demikian akan memperoleh perlindungan dari Konvensi ini, hingga saat kedudukan mereka ditentukan oleh pengadilan yang kompeten[12].
Dari ketentuan yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat jatuhnya orang-orang yang dilindungi Konvensi ke tangan musuh adalah saat mulai berlakunya pemberian perlindungan kepada orang-orang sebagaimana yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa tahun 1949.

3. Para Pihak dan Keberlakuan dari Konvensi Jenewa III
            Pihak yang terlibat dalam konvensi Jenewa III ini adalah para angkatan bersenjata atau kombatan yang terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata. Kemudian, para kombatan tersebut telah jatuh ke tangan musuh sebagai tawanan perang. Berikut ini bunyi pasa 9 Konvensi Jenewa III tentang perlindungan terhadap tawanan perang:


“Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini merupakan tidak ada hambatan bagi kegiatan kemanusiaan yang Komite Internasional Palang Merah atau organisasi kemanusiaan lainnya tidak memihak, sesuai dengan persetujuan dari pihak ke konflik yang bersangkutan, melakukan untuk melindungi tawanan perang dan untuk bantuan mereka”[13].

a. Perlindungan Terhadap Tawanan Perang
Tawanan perang bukanlah tawanan orang-perorang atau kesatuan-kesatuan militer yang menahannya, tetapi ia adalah tawanan dari Negara musuh yang berhasil menahannya. Negara yang melakukan penahanan ini berkewajiban menghormati tawanan perang yang tunduk di bawah kekuasaannya dengan memberikan mereka jaminan perlindungan dan perlakuan yang manusiawi. Hal tersebut karena penahanan tawanan perang tidak boleh dianggap sebagai hukuman atau tindakan balas dendam, akan tetapi tujuan penahan itu hanyalah sebatas cara untuk mencegah pihak yang ditawan berada di suatu tempat yang memungkinkannya melakukan gangguan atau ancaman. Tindakan-tindakan yang keluar dari tujuan awal penahanan tawanan perang ini dianggap telah melanggar batas-batas yang harus dihormati dalam suatu konflik bersenjata.
Konvensi Jenewa III tahun 1949 yang berkaitan dengan perlakuan terhadap tawanan perang telah menyatakan substansi di atas, di mana konvensi tersebut memberikan jaminan perlindungan terhadap tawanan perang sejak mereka jatuh sebagai tawanan, sampai kemudian dibebaskan dan dipulangkan ke kampung halaman atau tanah air mereka.

b. Perlindungan Tawanan Perang Saat Pertama Kali Ditahan
Tawanan perang yang telah meletakkan senjata dan menyerahkan dirinya kepada pihak musuh, dilarang untuk disakiti atau dibunuh. Negara penahan berkewajiban membekali para tawanan perang dengan dokumen-dokumen identitas diri. Tanda-tanda pangkat dan kewarganegaran para tawanan tidak boleh dilucuti dan diambil. Demikian pula barang-barang lain yang memiliki nilai pribadi atau mengandung tanda-tanda jasa yang dapat dikenang.[14]



Berikut ini penjelasan dari pasal 13 dan pasal 14 Konvensi Jenewa III 1949, yang mempertegas agar tawanan perang tersebut dapat diberikan perlindungan saat pertama kali mereka ditahan oleh pihak musuh. Berikut bunyi pasal 13:
Tawanan perang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau kelalaian Negara Penahan yang mengakibatkan kematian atau yang benar-benar membahayakan kesehatan tawanan perang yang berada di bawah pengawasannya, adalah dilarang dan harus dianggap sebagai pelanggaran berat dari Konvensi ini.
Tawanan perang terutama tidak boleh dijadikan obyek pengurungan jasmani, percobaan-percobaan kedokteran atau ilmiah dalam bentuk apapun juga yang tidak dibenarkan oleh pengobatan kedokteran, kedokteran gigi atau kesehatan dari tawanan bersangkutan dan dilakukan demi kepentingannya[15]. Tawanan perang juga harus selalu dilindungi, terutama terhadap tindakan-tindakan kekerasan atau ancaman-ancaman, dan terhadap penghinaan-penghinaan serta tontonan umum. Tindakan-tindakan pembalasan terhadap tawanan perang dilarang.
Kemudian berikut bunyi dari pasal 14:
Tawanan perang dalam segala keadaan berhak akan penghormatan terhadap pribadi dan martabatnya. Wanita harus diperlakukan dengan segala kehormatan yang patut diberikan mengingat jenis kelamin mereka, dan dalam segala hal harus mendapat perlakuan sebaik dengan yang diberikan kepada pria. Tawanan perang akan tetap memiliki kemampuan keperdataan penuh yang mereka miliki pada saat penangkapan mereka.
Negara Penahan tidak boleh membatasi penggunaan hak-hak yang timbul dari kemampuan tersebut, baik di dalam maupun diluar wilayahnya sendiri, kecuali sejauh yang diperlukan oleh penawan yang bersangkutan[16].

c. Interogasi Tawanan Perang
Pada saat diinterogasi seorang tawanan perang berkewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu yang ditujukan kepadanya, apa pun pangkat tawanan tersebut. Pertanyaan tersebut berkisar tentang: nama lengkap, pangkat militer, tanggal lahir, dan nomor tentara, resimen, data personel, atau nomor registrasi pokok. Jika seorang tawanan tidak bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka ia dapat dikenakan pembatasan atas hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya berdasarkan pangkat militer atau kedudukannya.
            Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 17 Konvensi Jenewa III 1949, Bagian III tentang Penawanan, yang berbunyi:
Setiap tawanan perang, apabila ditanyakan mengenai hal itu, hanya wajib memberikan nama keluarga, nama kecil dan pangkat, tanggal lahir, dan nomor tentara, resimen, data personel atau nomor registrasi pokok, atau jika tidak mungkin, keterangan yang serupa. Jika ia dengan sengaja melanggar ketentuan ini, ia dapat dikenakan pembatasan atas hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya berdasarkan pangkat atau kedudukannya.
Setiap Pihak dalam sengketa harus melengkapi orang-orang di bawah kekuasaannya yang mungkin menjadi tawanan perang musuh, dengan suatu kartu pengenal yang memuat nama keluarga, nama kecil, pangkat, nomor tentara, resimen, data personel atau nomor registrasi pokok atau keterangan serupa serta tanggal lahir pemegang. Kartu pengenal itu selanjutnya dapat memuat tanda tangan atau cap jari pemegang atau kedua-duanya, dan dapat juga setiap keterangan lainnya, yang mungkin hendak ditambahkan oleh Pihak peserta sengketa tentang orang-orang yang termasuk dalam angkatan bersenjata. Kartu itu sedapat mungkin harus berukuran 6,5 X 10 cm serta harus dikeluarkan dalam rangkap dua. Kartu pengenal itu harus diperlihatkan oleh tawanan perang apabila diminta, akan tetapi sekali-kali tidak dapat diambil dari padanya.
Penganiayaan jasmani atau rohani atau paksaan lain dalam bentuk apapun, tidak boleh dilakukan atas diri tawanan perang untuk memperoleh dari mereka keterangan-keterangan jenis apapun. Tawanan perang yang menolak menjawab, tidak boleh diancam, dihina, atau dikenakan perlakuan yang tidak menyenangkan atau merugikan dalam bentuk apapun.
Tawanan perang yang tidak sanggup menyatakan identitasnya karena keadaan jasmani atau rohani mereka, harus diserahkan kepada dinas kesehatan. Identitas tawanan tersebut akan ditetapkan dengan segala cara yang memungkinkan dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan paragrap diatas. Pemeriksaan tawanan perang harus dilakukan dalam bahasa yang mereka pahami[17].
Berdasarkan pasal di atas, jadi pihak penahan tawanan perang hanya dapat melakukan interogasi atau menanyakan mengenai identitas pribadi dari si tawanan itu saja. Kemudian tidak boleh dilakukan suatu pemaksaan untuk mendapatkan suatu informasi pada saat menginterogasi tersebut.
d. Perlindungan Tawanan Perang pada Masa Tahanan
1.      Hak Mendapatkan Perlakuan Manusiawi
2.      Hak Kehormatan Martabat dan Harga Diri
3.      Hak Perawatan Medis
4.      Hak Memperoleh Perlakuan yang Adil
5.      Hak Melaksanakan Ritual Keagamaan
6.      Hak Aktivitas Mental dan Fisik
7.      Hak Mendapatkan Kebutuhan Primer
8.      Hak Berkomunikasi dengan Dunia Luar

Berkenaan dengan pertumbuhan hukum humaniter internasional, ada empat hal yang dapat dilihat sebagai hal yang menandai evolusi perkembangan hukum humaniter internasional, yaitu sebagai berikut:
1.      Perluasan kategori korban perang yang dilindungi oleh hukum humaniter internasional tidak hanya terbatas pada tentara yang terluka saja tetapi juga mencakup korban kapal perang, tawanan perang[18], orang-orang sipil di wilayah pendudukan asing berikut seluruh penduduk sipil. Termasuk juga sebagai korban perang yang harus dilindungi, tentara yang iinternir oleh negara netral [19]dan pengungsi.
2.      Situasi berlakunya hukum humaniter internasional tidak hanya terbatas pada situasi sengketa bersenjata internasional, tetapi juga telah ada ketentuan hukum humaniter internasional untuk situasi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional atau konflik bersenjata non-internasional.
3.      Pembaruan dan modernisasi perjanjian internasional dilakukan secara teratur, mengingat realitas konflik-konflik yang terus terjadi. Sebagai contoh, aturan-aturan untuk melindungi orang luka yang diadopsi pada tahun 1864 selalu diperbaiki pada tahun 1906, 1929, 1949, dan 1977.
4.      Adanya dua macam ketentuan hukum humaniter internasional yang terpisah, yaitu Hukum Jenewa yang berkaitan dengan perlindungan korban konflik bersenjata dan Hukum Den Haag yang berkaitan dengan cara dan alat perang. Namun, kedua hukum tersebut disatukan dengan dibentuknya dua Protokol Tambahan tahun 1977.

e. Pengawasan Pelaksanaan Konvensi
            Mengenai ketentuan ini terdapat dalam pasal 8 keempat konvensi, yang berbunyi: konvensi ini harus dilaksanakan dengan kerja sama serta di bawah pengawasan dari negara-negara pelindung yang berkewajiban melindungi kepentingan-kepentingan pihak-pihak dalam sengketa. Untuk maksud ini, negara-negara pelindung boleh mengangkat di samping diplomatik dan konsuler merdeka, utusan-utusan yang dipilih dari antara warga negara mereka atau warga negara negara netral lainnya. Utusan tersebut harus mendapat persetujuan negara dengan siapa mereka akan melakukan kewajiban-kewajiban mereka.
            Ketentuan-ketentuan mengenai negara pelindung ini yang akan mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa oleh pihak-pihak dalam sengketa sangat penting lainnya.

4. Pelanggaran dan Sanksi-Sanksi menurut Konvensi Jenewa III 1949
a. Pelanggaran dari segi tempat tinggal dan makanan bagi tawanan perang:         
Pelanggaran yang sering terjadi dalam memperlakukan seorang tawanan perang adalah biasanya menyangkut hidup dari mereka, karena selama dalam penahanan bisa saja mereka tidak dirawat dengan baik hingga menimbulkan penderitaan pada pihak tawanan perang tersebut. Baik dari segi pemberian tempat tinggal, dan makanan untuk mereka. Penjelasan di atas terdapat pada pasal 27 dan 28 Konvensi Jenewa III Bab II tentang Tempat tinggal, makanan dan Pakaian Tawanan Perang. Berikut bunyi pasal 27:
Pakaian, pakaian dalam dan sepatu harus diberikan kepada tawanan perang dalam jumlah yang cukup oleh Negara Penahan, dengan memperhatikan iklim daerah tempat tawanan ditahan. Pakaian seragam angkatan perang musuh yang jatuh ke dalam tangan Negara Penahan harus digunakan untuk pakaian bagi tawanan perang, apabila pakaian itu sesuai dengan iklim.
Negara Penahan harus menjamin diadakannya penggantian dan pembetulan barang-barang tersebut di atas secara teratur, selanjutnya tawanan perang yang bekerja harus menerima pakaian yang cocok apabila sifat pekerjaan itu memerlukannya[20].




Kemudian bunyi dari pasal 28 adalah sebagai berikut:
Kantin-kantin harus diadakan di semua tempat tawanan di mana tawanan perang dapat memperoleh bahan makanan, sabun dan tembakau serta barang kebutuhan sehari-hari. Harganya sekali-kali tidak boleh melebihi harga-harga pasaran setempat.
Keuntungan yang diperoleh kantin-kantin tempat tawanan harus dipergunakan untuk kesejahteraan tawanan; suatu dana khusus akan diadakan untuk maksud ini. Perwakilan dari tawanan perang berhak untuk turut serta dalam pengurusan kantin dan dana itu.
Jika kamp tawanan ditutup, neraca kredit dana khusus itu harus diserahkan kepada suatu organisasi kesejahteraan internasional dan dipergunakan untuk kesejahteraan tawanan perang yang berkebangsaan sama dengan tawanan perang yang telah menyumbang dana itu. Dalam hal pemulangan tawanan umum, keuntungan tersebut akan disimpan oleh Negara Penahan kecuali apabila ditentukan lain dalam suatu persetujuan antara negara-negara yang bersangkutan.

b. Pelanggaran dari segi Pemeliharaan dan Perawatan Kesehatan para Tawanan Perang:
Selain dari segi tempat tinggal dan makanan, ada satu hal lagi yang harus diperhatikan oleh negara penahan terhadap para tawanan perang tersebut, yaitu masalah pemeliharaan/perawatan kesehatan mereka selama masa penahanan. Penjelasan ini telah dituangkan dalam pasal 29 dan 31 Konvensi Jenewa III 1949. Adapun bunyi dari pasal 29 adalah:
Negara Penahan wajib mengambil segala tindakan kesehatan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan serta kesehatan tempat tawanan[21] dan untuk mencegah wabah-wabah menular.
Bagi tawanan perang harus disediakan untuk dipakai siang dan malam tempat-tempat pemandian dan kakus yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan yang terus menerus dipelihara dalam keadaan bersih. Di tiap kamp tawanan di mana tawanan perang wanita ditampung, harus disediakan bagi mereka tempat-tempat pemandian dan kakus yang terpisah. Selanjutnya di samping tempat-tempat mandi yang tersedia dalam kamp tawanan, tawanan perang harus juga diberikan air dan sabun yang cukup untuk keperluan kamar kecil dan untuk mencuci pakaian pribadinya. Bagi mereka harus disediakan instalasi-instalasi, fasilitas-fasilitas dan waktu yang diperlukan untuk maksud itu.
Kemudian bunyi dari pasal 31 adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan kesehatan tawanan perang harus diadakan sekurang-kurangnya sekali sebulan. Pemeriksaan itu akan meliputi penelitian dan pencatatan berat badan setiap tawanan perang. Maksud pemeriksaan-pemeriksaan itu terutama adalah untuk mengawasi keadaan kesehatan secara umum, pemberian makanan dan kebersihan tawanan perang, serta untuk menemukan penyakit-penyakit menular, teristimewa penyakit tuberculosis, malaria dan penyakit kelamin, untuk maksud ini akan digunakan metode-metode yang paling bermanfaat yang tersedia, misalnya radiografi miniatur massal untuk menemukan tuberculosis secara dini.
Para tahanan perang pun mendapat pengawasan dan bantuan dari Palang Merah Internasional dan Organisasi Perikemanusiaan lainnya. Ketentuan hal ini terdapat dalam pasal 9, yang menyatakan bahwa: Ketentuan-ketentuan konvensi ini tidak merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan perikemanusiaan, yang mungkin diusahakan oleh Komite Internasional Palang Merah atau tiap organisasi humaniter lainnya yang tidak berpihak, untuk melindungi dan menolong yang luka dan sakit, anggota dinas kesehatan dan rohaniwan-rohaniwan  selama kegiatan-kegiatan itu mendapat persetujuan pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan[22].

c. Sanksi Pidana dan Sanksi Disiplin:
Sanksi-sanksi juga dapat diberlakukan dalam Konvensi Jenewa III 1949 ini bagi pihak yang melanggar dari isi maupun adanya penyalahgunaan konvensi ini. Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan wajar, yang tidak boleh kurang menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang tertanggal 12 Agustus 1949 dalam pasal 105 dan seterusnya.
Ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran konvensi dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan bagi pihak penanda tangan seperti terdapat pada pasal 49 ini, harus dilihat dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1, bahwa pihak penanda tangan tidak saja harus menaati ketentuan-ketentuan konvensi, tetapi juga “harus menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan konvensi”[23].
Sanksi yang diterapkan dalam Konvensi Jenewa III 1949 ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu sanksi pidana dan sanksi disiplin. Berikut bunyi pasal 96 dan 99:
Bunyi pasal 96 Konvensi Jenewa III 1949: Perbuatan-perbuatan yang merupakan pelanggaran-pelanggaran terhadap disiplin harus diperiksa dengan segera. Dengan tidak mengurangi wewenang pengadilan-pengadilan dan penguasa-penguasa militer yang lebih tinggi, hukuman-hukuman disiplin hanya boleh diberikan oleh seorang perwira yang mempunyai kekuasaan-kekuasaan disiplin dalam kedudukannya sebagai komandan kamp tawanan, atau oleh seorang perwira bertanggung jawab yang menggantikannya, atau kepada siapa ia telah menyerahkan kekuasaan-kekuasaan disiplinnya.
Kekuasaan tersebut sekali-kali tidak dapat diserahkan kepada seorang tawanan perang atau dijalankan oleh seorang tawanan perang. Sebelum sesuatu Keputusan disiplin dijatuhkan, terdakwa harus diberikan keterangan-keterangan yang tepat mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, dan diberikan kesempatan untuk menjelaskan kelakuannya serta membela dirinya. Ia terutama harus diperkenankan memanggil saksi-saksi dan menggunakan jasa seorang penerjemah yang cakap, apabila perlu. Keputusan harus diumumkan kepada tawanan perang terdakwa serta kepada wakil tawanan. Suatu berkas tentang hukuman-hukuman disiplin harus disimpan oleh komandan kamp tawanan dan harus dibuka untuk diperiksa oleh perwakilan Negara Pelindung.
Bunyi pasal 99 Konvensi Jenewa III 1949:
Tawanan perang tidak boleh diadili atau dijatuhi hukuman untuk perbuatan yang tidak dilarang oleh Undang-undang Negara Penahan atau oleh hukum internasional yang berlaku pada waktu perbuatan tersebut dilakukan. Terhadap seorang tawanan perang tidak boleh dilakukan paksaan psikis atau phisik untuk memaksanya mengaku salah atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tawanan perang tidak boleh dihukum tanpa diberi kesempatan sebelumnya untuk mengajukan pembelaannya serta mendapat bantuan seorang pembela atau pengacara yang cakap[24].
Berdasarkan bunyi pasal 96 di atas, bahwa pemberian hukuman disiplin kepada para tawanan hanya dapat dilakukan oleh seorang Komandan kamp yang bertanggung jawab atas semua tawanan tersebut. Hal ini dilakukan agar ada pihak yang bertanggung jawab terhadap keadaan para tawanan apabila mereka mendapat hukuman selama masa penahanan. Dan berdasarkan pasal 99 diatas negara penahan tidak boleh melakukan pemaksaan terhadap tahanan perang untuk mengaku salah atas semua tuduhan yang diberikan kepadanya.
BAB III
PENUTUP

-Kesimpulan:
1)      Tawanan Perang adalah tawanan Negara musuh, bukan tawanan orang-perorangan atau kesatuan-kesatuan militer yang telah menawan mereka.
2)      Pihak yang terlibat dalam konvensi Jenewa III ini adalah para angkatan bersenjata atau kombatan yang terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata. Kemudian, para kombatan tersebut telah jatuh ke tangan musuh sebagai tawanan perang.
3)      Terhadap seorang tawanan perang tidak boleh dilakukan paksaan psikis atau phisik untuk memaksanya mengaku salah atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
4)      Tawanan perang tidak boleh dihukum tanpa diberi kesempatan sebelumnya untuk mengajukan pembelaannya serta mendapat bantuan seorang pembela atau pengacara yang cakap.
5)      Negara Penahan wajib mengambil segala tindakan kesehatan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan serta kesehatan tempat tawanan dan untuk mencegah wabah-wabah menular.


-Saran-saran:




BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

  1. Haryomataram, KGPH. 2007. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  2. Ambarwati, dkk. 2009. Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  3. Naim, Ahmad Baharuddin. 2010. Hukum Humaniter Internasional. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
  4. Istanto, F. Sugeng. 1992. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional. Yogyakarta: Andi Offset Yogyakarta.
  5.  










[1]Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm 13.
[2] Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm 15.
[3] Menurut kami, mengapa HAM menjadi dasar dari hukum humaniter internasional karena pada dasarnya hukum humaniter adalah cabang ilmu yang berguna untuk memanusiawikan peperangan, agar perang tersebut tidak mengakibatkan pelanggaran HAM sangat banyak, baik pada pihak yang berperang maupun para penduduk sipil.
[4] Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm. 27.
[5] Dikutip dari pasal 29 Bagian III Kesehatan dan Pengamatan Kesehatan.
[6] Dikutip dari pasal 12 Bagian II Perlindungan Umum Bagi Tawanan Perang. Konvensi Jenewa III 1949.
[7]Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm. 62.
[8] Dikutip dari pasal 3 Bagian I Ketentuan Umum. Konvensi Jenewa III 1949.
[9] KGPH Haryomataram,loc cit , hlm 62.
[10] KGPH Haryomataram,loc cit , hlm 63.
[11] Menurut kami, yang dimaksud dengan anggota-anggota milisi atau barisan sukarela adalah sekumpulan orang yang bukan/tidak berstatus menjadi anggota angkatan perang (tentara) suatu negara, namun turut membantu para angkatan perang yang resmi tersebut dalam menghadapi suatu perang/konflik bersenjata. Hal ini biasanya didasarkan atas rasa loyalitas yang tinggi terhadap negaranya.
[12] Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm. 65.
[13] Dikutip dari pasal 9 Konvensi Jenewa III 1949.
[14]Dikutip dari  Konvensi Jenewa III tahun 1949, pasal 18, alinea 2.
[15] Dikutip dari pasal 13 Konvensi Jenewa III 1949
[16] Dikutip dari pasal 14 Konvensi Jenewa III 1949
[17] Lihat pasal 17 Konvensi Jenewa III 1949
[18] Sesuai dengan isi Konvensi Jenewa III 1949 yang membahas tentang perlindungan terhadap tawanan perang.
[19] Menurut kami, yang dimaksud dengan tentara diinternir oleh negara netral ialah tentara harus dikendalikan tindakannya dalam  melakukan peperangan agar tidak terjadi pelanggaran HAM berat.
[20] Lihat pasal 27 Konvensi Jenewa III 1949
[21] Menurut kami, hal ini harus selalu dilakukan oleh pihak negara penahan sebab negara penahan harus bertanggung atas keselamatan jiwa para tahanan perang meskipun mereka berada dalam tekanan negara penahan tersebut. Selain itu pula perlu adanya pengawasan dari negara-negara netral untuk memastikan bahwa tidak terjadi penghilangan HAM yang  melekat pada diri tahanan perang.
[22] Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm. 67.
[23] Menurut kami, semua negara yang menyepakati isi dari Konvensi Jenewa III ini harus benar-benar menaati isi dari pasal-pasal yang ada dalam Konvensi tersebut.
[24] Dikutip dari pasal 99 Konvensi Jenewa III 1949 bagian III tentang Acara Peradilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar