BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Sejarah Konvensi Jenewa dimulai
pada tahun 1862, Henry Dunant menerbitkan bukunya, Memoir of Solferino (Kenangan
Solferino), mengenai ketidak manusiawaian (kekejaman) perang. Pengalaman Dunant
menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan:
- Dibentuknya perhimpunan bantuan yang
permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan
- Dibentuknya perjanjian antarpemerintah
yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya
memberikan bantuan di kawasan perang.
Usulan yang pertama berujung pada
dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada
dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada
tahun 1901 menjadi salah seorang penerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang untuk pertama kalinya
dianugerahkan. Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama
kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas negara. Clara
Barton memainkan
peran penting dalam mengkampanyekan peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh
Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.[1]
Pada 1906 Konvensi Jenewa Pertama diperbaiki untuk
memberi perlindungan yang lebih besar terhadap korban perang di darat, dan pada
tahun berikutnya seluruh ketentuan tersebut diperluas dengan pertempuran di
laut (Konvensi Jenewa Kedua).
Penghormatan terhadap Konvensi Jenewa dan operasi yang
dipimpin oleh Komite Palang Merah Internasional memainkan peranan penting dalam
menyelamatkan nyawa dan mencegah penderitaan yang tidak seharusnya dalam Perang
Dunia I (1914-1918). Namun, besarnya penderitaan manusia akibat perang menambah
keyakinan masyarakat internasional agar Konvensi Jenewa itu diperkuat.
Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun semenjak diadopsinya
Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam
jumlah yang mencemaskan. Konflik-konflik bersenjata ini terjadi di hampir semua
benua. Dalam kurun waktu tersebut, keempat Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua
Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang
tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan
(yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan
dengan konflik bersenjata, dan orang sipil). Meskipun demikian, dalam kurun
waktu yang sama juga telah terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap
perjanjian-perjanjian internasional tersebut, sehingga timbul penderitaan dan
korban tewas yang mungkin dapat dihindari seandainya Hukum Humaniter
Internasional (HHI) dihormati dengan lebih baik.[2]
Pandangan umum yang ada ialah
bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap HHI bukan disebabkan oleh kurang
memadainya aturan-aturan yang termaksud dalam hukum tersebut, tetapi lebih
disebabkan oleh ketidakmauan untuk menghormatinya, oleh kurang memadainya
sarana yang tersedia untuk menegakkannya, oleh ketidak pastian mengenai
penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu, dan oleh kurangnya
pengetahuan para pemimpin politik, komandan, kombatan, dan masyarakat umum
tentang hukum tersebut.
Konferensi International tentang
Perlindungan Korban Perang yang sah diselenggarakan di Jenewa pada bulan
Agustus-September 1993 membahas secara khusus cara-cara untuk menanggulangi
pelanggaran HHI tetapi tidak mengusulkan diadopsinya sebuah perjanjian
internasional baru. Akan tetapi, dalam Deklarasi Finalnya, yang diadopsi secara
mufakat, Konferensi tersebut menegaskan kembali "perlunya mengefektifkan
implementasi HHI" dan menyerukan kepada Pemerintah Swiss untuk
"mengadakan sebuah kelompok pakar antarpemerintah yang bersifat terbuka
dengan tugas untuk melakukan studi mengenai cara-cara praktis meningkatkan
penghormatan penuh dan kepatuhan terhadap HHI serta menyusun laporan yang perlu
dipresentasikan kepada Negara-negara dan kepada Konferensi Internasional Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah berikutnya."[3]
Kelompok Pakar Antarpemerintah
untuk Perlindungan Korban Perang tersebut bertemu di Jenewa pada bulan Januari
1995 dan mengadopsi sejumlah rekomendasi yang bertujuan meningkatkan
penghormatan terhadap HHI, terutama dengan cara mengambil langkah-langkah
preventif yang bisa menjamin bahwa HHI akan diketahui dengan lebih baik dan
dilaksanakan dengan lebih efektif. Rekomendasi II dari Kelompok Pakar
Antarpemerintah tersebut ialah: bahwa ICRC perlu diminta untuk menyusun sebuah
laporan tentang aturanaturan HHI yang berasal dari Hukum Kebiasaan dan dapat
berlaku (applicable) dalam konflik bersenjata internasional maupun
non-internasional, dengan bantuan pakar HHI dari berbagai kawasan geografis dan
berbagai sistem hukum dan secara berkonsultasi dengan pemerintah-pemerintah dan organisasi-organisasi internasional, dan
untuk mengedarkan laporan tersebut ke Negara-negara dan lembaga-lembaga
internasional yang kompeten.[4]
Pada bulan Desember 1995,
Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-26 menyetujui
rekomendasi tersebut dan secara resmi memberikan mandat kepada ICRC untuk
menyusun sebuah laporan tentang aturan-aturan HHI yang berasal dari Hukum
Kebiasaan dan dapat berlaku dalam konflik bersenjata internasional maupun
non-internasional.[5]
Hampir sepuluh tahun kemudian, yaitu pada
tahun 2006, seusai dilakukan penelitian yang ekstensif dan konsultasi yang
meluas dengan para pakar, maka laporan ini, yang sekarang disebut sebagai Studi
Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (Study on Customary International
Humanitarian Law), diterbitkan.[6]
2. Rumusan Masalah
Berangkat dari
pemaparan diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang representatif
dengan tema yang diangkat. Rumusan masalah yang dimaksud adalah:
1.
Bagaimana Body
of convention di Konvensi Jenewa Pertama?
2.
Apa Yang Menjadi Ruang Lingkup dan Objek
Perlindungan dalam Konvensi Jenewa Pertama?
3.
Kapan Pengaplikasian (Pelaksanaan) Konvensi Jenewa
Pertama?
4.
Bagaimana Penegakan Terhadap Penyalahgunaan dan
Pelanggaran dalam Konvensi Jenewa Pertama dan Siapa Yang Berhak Melakukan Penuntutan Atas Berbagai
Pelanggaran Yang Diduga Telah Terjadi?
5.
Bagaimana Konvensi Jenewa Dewasa Ini?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Batang Tubuh Konvensi Jenewa Pertama (Body of Convention)
Konvensi Jenewa Pertama ini tercakup
dalam 9 Bab dan ditambah Bab Ketentuan Penutup, dan berisi 64 pasal. Ditambah
dengan dua lampiran berisi konsep perjanjian yang berhubungan dengan zona rumah
sakit dan kartu identitas model dan agama tenaga medis.
BAB I -
KETENTUAN UMUM
Pasal 1-11
Pasal 1-11
Pasal 1 tentang ketentuan umum terhadap Kewajiban pihak-pihak peserta
anggung.
Pasal 2 tentang ketentuan-ketentuan tambahan yang akan dilaksanakan dalam waktu damai.
Pasal 3 tentang ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban dalam sengketa yang bersifat non-internasional (internal).
Pasal 4 tentang negara-negara netral yang harus melaksanakan secara analogi ketentuan konvensi ini.
Pasal 5 tentang ketentuan terhadap orang-orang yg dilindungi yang telah jatud dalam tangan musuh.
Pasal 6 tentang ketetentuan tambahan terhadap pihak-piak peserta agung yang dapat mengadakan persetujuan khusus lainnya.
Pasal 7 tentang ketentuan terhadapa hak-hak yang yang tidak boleh ditolak oleh orang yang luka dan sakit, petugas dinas kesehatan serta rohaniawan.
Pasal 8 tentang keharusan dilaksanakannya konvensi ini dengan kerjasama serta pengawasan dari negara-negara pelindung.
Pasal 9 tentang ketentuan yang memungkinkan kegiatan-kegiatan yang dapat diusahakan oleh ICRC (International Comite Red Cross)/ Komite Palang Merah Internasional atau organisasi humaniter dalam kegiatan perikemanusiaan.
Pasal 10 tentang ketentuan terhadap pihak-pihak peserta agung yang dapat bermufakat untuk mempercayakan kepada suatu organisasi.
Pasal 11 tentang penyelesaian terhadap perbedaan penafsiran atau pendapat yang dapat diberikan oleh negara pelindung (pihak ke-3) untuk memberikan jasa-jasa baik.
Pasal 2 tentang ketentuan-ketentuan tambahan yang akan dilaksanakan dalam waktu damai.
Pasal 3 tentang ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban dalam sengketa yang bersifat non-internasional (internal).
Pasal 4 tentang negara-negara netral yang harus melaksanakan secara analogi ketentuan konvensi ini.
Pasal 5 tentang ketentuan terhadap orang-orang yg dilindungi yang telah jatud dalam tangan musuh.
Pasal 6 tentang ketetentuan tambahan terhadap pihak-piak peserta agung yang dapat mengadakan persetujuan khusus lainnya.
Pasal 7 tentang ketentuan terhadapa hak-hak yang yang tidak boleh ditolak oleh orang yang luka dan sakit, petugas dinas kesehatan serta rohaniawan.
Pasal 8 tentang keharusan dilaksanakannya konvensi ini dengan kerjasama serta pengawasan dari negara-negara pelindung.
Pasal 9 tentang ketentuan yang memungkinkan kegiatan-kegiatan yang dapat diusahakan oleh ICRC (International Comite Red Cross)/ Komite Palang Merah Internasional atau organisasi humaniter dalam kegiatan perikemanusiaan.
Pasal 10 tentang ketentuan terhadap pihak-pihak peserta agung yang dapat bermufakat untuk mempercayakan kepada suatu organisasi.
Pasal 11 tentang penyelesaian terhadap perbedaan penafsiran atau pendapat yang dapat diberikan oleh negara pelindung (pihak ke-3) untuk memberikan jasa-jasa baik.
BAB II - YANG
LUKA DAN SAKIT
Pasal 12-18
Pasal 12-18
Pasal 12 tentang perlakuan secara kemanusiaan dan penghormatan terhadap
anggota perang yang luka dan sakit tanpa berdaan merugikan.
Pasal 13 tentang ketentuan golongan-golongan yang diklasifikasikan terhadap orang yang luka dan sakit.
Pasal 14 tentang penegasan terhadap tawanan perang, yang ditentukan oleh hukum internasional mengenai tawanan perang secara spesifik.
Pasal 15 tentang ketentuan terhadap kewajiban para pihak dalam sengketa untuk mencari dan mengumpulkan yang luka dan sakit.
Pasal 16 tentang ketentuan terhadap pihak-pihak dalam sengketa untuk selekas mungkin mecatat mengenai tiap orang yang luka, sakit atau mati dari pihak lawan.
Pasal 17 tentang ketentuan terhadap jaminan terhadap jenazah yang harus dimakamkan dengan hormat.
Pasal 18 tentang kewajiban-kewajiban untuk memberikan perawatan jasmani dan rohani kepada yang luka dan sakit.
Pasal 13 tentang ketentuan golongan-golongan yang diklasifikasikan terhadap orang yang luka dan sakit.
Pasal 14 tentang penegasan terhadap tawanan perang, yang ditentukan oleh hukum internasional mengenai tawanan perang secara spesifik.
Pasal 15 tentang ketentuan terhadap kewajiban para pihak dalam sengketa untuk mencari dan mengumpulkan yang luka dan sakit.
Pasal 16 tentang ketentuan terhadap pihak-pihak dalam sengketa untuk selekas mungkin mecatat mengenai tiap orang yang luka, sakit atau mati dari pihak lawan.
Pasal 17 tentang ketentuan terhadap jaminan terhadap jenazah yang harus dimakamkan dengan hormat.
Pasal 18 tentang kewajiban-kewajiban untuk memberikan perawatan jasmani dan rohani kepada yang luka dan sakit.
BAB III -
KESATUAN-KESATUAN DAN BANGUNAN-BANGUNAN KESEHATAN
Pasal 19-23
Pasal 19-23
Pasal 19 tentang ketentuan terhadap kesatuan dari dinas kesehatan dalam
keadaan apapun tidak boleh diserang, harus dihormati, dan penguasa lah yang
bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan dari bahaya oleh sasaran militer.
Pasal 20 tentang hak atas perlindungan kapal-kapal kesehatan tidak boleh diserang dari daratan.
Pasal 21 tentang perlindungan dari serangan terhadap hak-hak bangunan-bangunan tetap tidak akan berakhir, dengan terkecuali.
Pasal 22 tentang keadaan-keadaan yang tidak dianggap sebagai tindakan meniadakan perlindungan atas kesatuan/ bangunan, yaitu: bahwa anggota kesatuan/ petugas bangunan kesehatan boleh dipersenjatai dengan pengecualian yang telah ditentukan.
Pasal 23 tentang ketentuan selama jalannya permusuhan Pihak-pihak bersangkutan dapat mengadakan persetujuan-persetujuan untuk saling mengakui daerah-daerah kesehatan yang telah mereka bentuk. Dengan bantuan Negara-negara pelindung dan Komite Palang Merah Internasional diminta untuk member jasa-jasa baik.
Pasal 20 tentang hak atas perlindungan kapal-kapal kesehatan tidak boleh diserang dari daratan.
Pasal 21 tentang perlindungan dari serangan terhadap hak-hak bangunan-bangunan tetap tidak akan berakhir, dengan terkecuali.
Pasal 22 tentang keadaan-keadaan yang tidak dianggap sebagai tindakan meniadakan perlindungan atas kesatuan/ bangunan, yaitu: bahwa anggota kesatuan/ petugas bangunan kesehatan boleh dipersenjatai dengan pengecualian yang telah ditentukan.
Pasal 23 tentang ketentuan selama jalannya permusuhan Pihak-pihak bersangkutan dapat mengadakan persetujuan-persetujuan untuk saling mengakui daerah-daerah kesehatan yang telah mereka bentuk. Dengan bantuan Negara-negara pelindung dan Komite Palang Merah Internasional diminta untuk member jasa-jasa baik.
BAB IV -
ANGGOTA DINAS KESEHATAN
Pasal 24-32
Pasal 24 tentang penghormatan dan perlindungan atas anggota dinas kesehatan dan rohaniawan.
Pasal 25 tentang perlindungan dan penghormatan terhadap anggota angkatan perang yg khusuh dilatih (pengawal RS, juru rawat) dalam melakukan kewajibannya pada saat mereka bertemu musuh atau jatuh dalam tangan musuh.
Pasal 26 tentang perlindungan dan penghormatan terhadap perhimpunan Palang Merah Nasional dan Anggota Perhimpunan Sukarela lainnya dalam melaksanakan kewajiabannya, tetapi tetap harus tunduk pada phukum militer yang berlaku.
Pasal 27 tentang pengakuan dan persetujuan terhadap perhimpunan yang diakui dari suatu negara netral.
Pasal 28 tentang ketentuan perlindungan terhadap anggota dinas kesehatan dan rohaniawan yang jatuh dalam tangan pihak lawan.
Pasal 29 tentang ketentuan anggota dinas kesehatan pembantu yang menjadi tawanan perang, harus dipekerjakan dalam kwajiban-kewajiban kesehatan.
Pasal 30 tentang ketentuan pengembalian terhadap anggota dinas kesehatan dan keagamaan yang penahanannya untuk dipekerjakan tidak sangat diperlukan.
Pasal 31 tentang pengindahan terhadap anggota dinas kesehatan dan keagamaan.
Pasal 32 tentang ketentuan perhimpunan yang diakui pihak netral yang jatuh dalam tangan pihak lawan tidak boleh ditahan.
Pasal 24-32
Pasal 24 tentang penghormatan dan perlindungan atas anggota dinas kesehatan dan rohaniawan.
Pasal 25 tentang perlindungan dan penghormatan terhadap anggota angkatan perang yg khusuh dilatih (pengawal RS, juru rawat) dalam melakukan kewajibannya pada saat mereka bertemu musuh atau jatuh dalam tangan musuh.
Pasal 26 tentang perlindungan dan penghormatan terhadap perhimpunan Palang Merah Nasional dan Anggota Perhimpunan Sukarela lainnya dalam melaksanakan kewajiabannya, tetapi tetap harus tunduk pada phukum militer yang berlaku.
Pasal 27 tentang pengakuan dan persetujuan terhadap perhimpunan yang diakui dari suatu negara netral.
Pasal 28 tentang ketentuan perlindungan terhadap anggota dinas kesehatan dan rohaniawan yang jatuh dalam tangan pihak lawan.
Pasal 29 tentang ketentuan anggota dinas kesehatan pembantu yang menjadi tawanan perang, harus dipekerjakan dalam kwajiban-kewajiban kesehatan.
Pasal 30 tentang ketentuan pengembalian terhadap anggota dinas kesehatan dan keagamaan yang penahanannya untuk dipekerjakan tidak sangat diperlukan.
Pasal 31 tentang pengindahan terhadap anggota dinas kesehatan dan keagamaan.
Pasal 32 tentang ketentuan perhimpunan yang diakui pihak netral yang jatuh dalam tangan pihak lawan tidak boleh ditahan.
BAB V -
GEDUNG DAN PERLENGKAPAN
Pasal 33-34
Pasal 33-34
Pasal 33 tentang ketentuan terhadap perlengkapan kesatuan kesahatan
bergerak angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh tidak boleh dimusnahkan,
dan harus digunakan semestinya.
Pasal 34 tentang penentuan pemilik terhadap hak-hak istimewa benda perhimpunan penolong.
Pasal 34 tentang penentuan pemilik terhadap hak-hak istimewa benda perhimpunan penolong.
BAB VI -
PENGANGKUTAN KESEHATAN
Pasal 35-37
Pasal 35-37
Pasal 35 tentang penghormatan dan perlindungan terhadap pengangkutan yang
luka dan sakit.
Pasal 36 tentang ketentuan terhadap perlindungan dan penghormatan, serta pengecualian-pengecualian terhadap pesawat terbang kesehatan untuk pengankutan.
Pasal 37 tentang pengecualian terhadap pesawat terbang kesehatan pihak dalam sengketa untuk melakukan tindakan-tindakan dalam keadaan mendesak.
Pasal 36 tentang ketentuan terhadap perlindungan dan penghormatan, serta pengecualian-pengecualian terhadap pesawat terbang kesehatan untuk pengankutan.
Pasal 37 tentang pengecualian terhadap pesawat terbang kesehatan pihak dalam sengketa untuk melakukan tindakan-tindakan dalam keadaan mendesak.
BAB VII - KEISTIMEWAAN
LAMBANG
Pasal 38-44
Pasal 38-44
Pasal 38 tentang pengakuan terhadap lambang-lambang yang di-istimewakan,
dihormati dan dilindungi.
Pasal 39 tentang ketentuan lambang yang harus tampak dengan jelas.
Pasal 40 tentang ketentuan terhadap hak dan kewajiban pihak-pihak (menurut pasal 24, 26, 27) yang berkewajiban memakai lambang, kartu pengenal yang sah dan jelas dan berhak atas perlindungan.
Pasal 41 tentang ketentuan terhadap mekanisme tanda pengenal militer (menyebutkan pendidikan khusus, sifat daripada tugas, dan hak)
Pasal 42 tentang ketentuan pengibaran bendera pengenal.
Pasal 43 tentang ketentuan dan syarat-syarat terhadap negara netral yang diizinkan memberikan bantuan jasa kepada salah satu pihak.
Pasal 44 tentang pengecualian terhadap penggunaan lambang ‘Palang Merah’ baik dalam waktu damai ataupun dalam keadaan perang.
Pasal 39 tentang ketentuan lambang yang harus tampak dengan jelas.
Pasal 40 tentang ketentuan terhadap hak dan kewajiban pihak-pihak (menurut pasal 24, 26, 27) yang berkewajiban memakai lambang, kartu pengenal yang sah dan jelas dan berhak atas perlindungan.
Pasal 41 tentang ketentuan terhadap mekanisme tanda pengenal militer (menyebutkan pendidikan khusus, sifat daripada tugas, dan hak)
Pasal 42 tentang ketentuan pengibaran bendera pengenal.
Pasal 43 tentang ketentuan dan syarat-syarat terhadap negara netral yang diizinkan memberikan bantuan jasa kepada salah satu pihak.
Pasal 44 tentang pengecualian terhadap penggunaan lambang ‘Palang Merah’ baik dalam waktu damai ataupun dalam keadaan perang.
BAB VIII -
PELAKSANAAN KONVENSI
Pasal 45-48
Pasal 45-48
Pasal 45 tantang jaminan pelaksanaan ketentuan konvensi yang berlaku oleh komandan tertinggi dalam
tiap-tiap pihak sengketa.
Pasal 46 tentang ketentuan larangan terhadap tindakan pembalasan.
Pasal 47 tentang perjanjian terhadap Para Peserta Agung untuk baik di waktu apapun.
Pasal 48 tentang kewajiban Pihak Peserta Agung selama berlangsungnnya permusuhan.
Pasal 46 tentang ketentuan larangan terhadap tindakan pembalasan.
Pasal 47 tentang perjanjian terhadap Para Peserta Agung untuk baik di waktu apapun.
Pasal 48 tentang kewajiban Pihak Peserta Agung selama berlangsungnnya permusuhan.
BAB IX -
TINDAKAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN DAN PELANGGARAN
Pasal 49-54
Pasal 49-54
Pasal 49 tentang perjanjian untuk berkewajiban menetapkan uandang-undang
guna pemberian sanksi yang efektif.
Pasal 50 tentang ketentuan penjelasan terhadap pelanggaran berat.
Pasal 51 tentang tidak diperkenankannya untuk lepas dari tanggung jawab apapun.
Pasal 52 tentang prosedur pemeriksaan suatu pihak dalam sengketa.
Pasal 53 tentang larangan terhadap pemakaian lambang tiruan.
Pasal 54 tentang ketentuan terhadap tindakan pencegahan terhadap penyalahgunaan pemakaian lambang tiruan.
Pasal 50 tentang ketentuan penjelasan terhadap pelanggaran berat.
Pasal 51 tentang tidak diperkenankannya untuk lepas dari tanggung jawab apapun.
Pasal 52 tentang prosedur pemeriksaan suatu pihak dalam sengketa.
Pasal 53 tentang larangan terhadap pemakaian lambang tiruan.
Pasal 54 tentang ketentuan terhadap tindakan pencegahan terhadap penyalahgunaan pemakaian lambang tiruan.
KETENTUAN-KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 55-64
Pasal 55-64
Pasal 55 tentang kekuatan hukum isi konvensi tersebut dalam bahasa
Inggris dan Prancis.
Pasal 56 tentang ketentuan terhadap mekanisme penandatanganan konvensi.
Pasal 57 tentang kewajiban meratifikasi konvensi kepada negara yang setuju.
Pasal 58 tentang keberlakuan konvensi.
Pasal 59 tentang penjelasan bahwa konvensi ini menggantikan konvensi sebelumnya.
Pasal 60 tentang keterbukaan untuk penyataan aksesi tiap negara.
Pasal 61 tentang kewajiban mengkonfirmasikan pernyataan aksesi.
Pasal 62 tentang keadaan-keadaan terhadap belakunya ratifikasi.
Pasal 63 tentang ketentuan terhadap pernyataan ketidak terikatan lagi.
Pasal 64 tentang keharusan pendaftaran konvensi ke PBB.
Pasal 56 tentang ketentuan terhadap mekanisme penandatanganan konvensi.
Pasal 57 tentang kewajiban meratifikasi konvensi kepada negara yang setuju.
Pasal 58 tentang keberlakuan konvensi.
Pasal 59 tentang penjelasan bahwa konvensi ini menggantikan konvensi sebelumnya.
Pasal 60 tentang keterbukaan untuk penyataan aksesi tiap negara.
Pasal 61 tentang kewajiban mengkonfirmasikan pernyataan aksesi.
Pasal 62 tentang keadaan-keadaan terhadap belakunya ratifikasi.
Pasal 63 tentang ketentuan terhadap pernyataan ketidak terikatan lagi.
Pasal 64 tentang keharusan pendaftaran konvensi ke PBB.
2. Ruang Lingkup dan Objek Perlindungan
Konvensi Jenewa Pertama
Konvensi Jenewa pertama tentang
Perbaikan Keadaan Anggota Perang yang Luka Dan Sakit di Medan Pertempuran
Darat. Konvensi Jenewa 1949 ini merupakan versi update keempat Konvensi Jenewa
pada orang yang terluka dan sakit berikut yang digunakan dalam 1864, 1906 dan
1929. Konvensi ini memberikan perlindungan bagi yang terluka dan sakit, tetapi
juga untuk tenaga medis dan keagamaan, unit medis, bangunan dan transportasi
medis serta konvensi ini juga mengakui lambang khas yang harus dilindungi.
Ruang lingkup Konvensi Jenewa
Pertama ini dalam konteks sekala,
memberikan perlidungan dalam konflik internasional maupun non-internasional,
tetapi dasar perlindungan non-internasional tidak terlalu spesifik di terangkan
dalam konvensi ini, kerana di Konvensi Jenewa Pertama ini konflik
non-internasional hanya dimasukkan kedalam Bab Ketentuan Umum, dan akan lebih
di perjelas dalam Protokol II. Lingkup Non-Internasional ini dijelaskan menurut
Konvensi Jenewa Pertama Bab I - Ketentuan
Umum Pasal 3 tentang sengketa
bersenjata yang tidak bersifat internasional (non-internasional) yang
berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung agar tiap Pihak
dalam sengketa itu diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang
berlaku. Dan dilihat dalam konteks
tempat terjadinya, ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini hanya terhadap
perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan
pertempuran darat yang secara umum
dapat sebutkan untuk memberikan
perlindungan bagi: (1) yang terluka dan sakit; (2) tetapi juga untuk tenaga
medis dan keagamaan; (3) unit medis; (4) bangunan dan (5) transportasi medis
serta konvensi ini juga mengakui (6) lambang khas yang harus dilindungi.
Yang menjadi
objek perbaikannya tersebut mencakup perbaikan keadaan terdahap anggota
angkatan perang yang luka dan sakit di
darat. Memberikan penghormatan dan lindungan dalam segala keadaaan terhadap
yang luka dan sakit, perlakuan secara prikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan
yang didasarkan atas kelamin, suku, kebangsaan, agama, atau kriteria lainnya
serupa itu, dan memberikan kewajiban-kewajiban apa yg harus dilakukan dalam
memperlakukan para angkata perang, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab II - Yang Luka dan Sakit Pasal 12-18.
Perbaikan
terhadap gedung-gedung, kesatuan-kesatuan unit
kesehatan (medis), Memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan
kesehatan bergerak dari dinas kesehatan dalam keadaan apapun harus dilindungi,
tidak boleh diserang oleh pihak para sengketa, dan memberikan kewajiban
terhadap penguasa untuk bertanggung jawab terhadap jaminan bangunan-dan
kesatuan-kesatuan sehingga penyerangan atas sasaran-sasaran militer tidak
membahayakan keselamatan mereka, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab III – Kesatuan dan
Bangunan Kesehatan Pasal 19-23.
Perbaikan
terhadap anggota dinas kesehatan (angkatan perang), Memberikan perlindungan
khusus terhadap Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari
atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau untuk
mencegah penyakit, dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi
kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, demikian juga rohaniwan yang
bertugas dalam angkatan perang yang di jelaskan dalam secara lengkap dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab IV – Anggota
Dinas Kesehatan Pasal 24-32.
Perbaikan
terhadap perlengkapan-perlengkapan, kesatuan-kesauan kesehatan bergerak
angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh, harus disediakan untuk perawatan
yang dipaparkan dalam Konvensi Jenewa
Pertama Bab V - Gedung dan Perlengkapan Pasal 33-34.
Perbaikan
dalam konteks perlindungan terhadap pengankutan yang luka dan sakit atau
alat-alat kedokteran harus dihormati dan dilindungi sama halnya dengan kesatuan
kesehatan yang bergerak. Seperti halnya pengakutan dengan pesawat terbang
kesehatan maupun dengan kendaran kesehatan lainnya. Semua itu dijelaskan dan
diatur dalam Konvensi Jenewa Pertama
Bab VI - Pengangkutan Kesehatan Pasal 35-37.
Perbaikan
dalam konteks perlindungan terhadap lambang-lambang yang di-istimewakan,
seperti halnya lambang Internasional Red Cross Comite (PMI), Bulan Sabit Merah,
Singa dan Matahari Merah dsb. lambang istimewa ini harus jelas, dalam artian
tampak pada bendaera-bendera (flag), ban lengan (handband), dan semua alat
perlengkapan yang dipakai dalam dinas kesehatan, selain itu juga memakai tanda
pengenal yang seragam, agar setiap orang yg termasuk dalam
organisasi-organisasi/ himpunan-himpunan yang bersifat netral maupun
berkepentingan dapat jaminan perlindungan yang semuanya itu diatur dan
dijelaskan dalam Konvensi Jenewa
Pertama Bab VII - Lambang Istimewa 38-44.
3. Aplikasi (Pelaksanaan) Konvensi Jenewa
Pertama
Konvensi
Jenewa Pertama ini akan berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu
bagi pemerintah yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut (Pasal 56 Bab Penutup Konvensi Jenewa Pertama). Ketentuan rinci mengenai aplikabilitas Konvensi Jenewa
diuraikan dalam Pasal 2 dan 3 Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini
telah menimbulkan sejumlah kontroversi.
Ketika
Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian
tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national
sovereignty) untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi
Jenewa bisa saja tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai
budaya sebuah negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan
keuntungan bagi individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi
enggan untuk menerima tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi
tersebut.[7]
Dan
pengaplikasian konvensi ini ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam
konvensi Jenewa Pertama yaitu keadaan anggota angkatan perang yang ruang lingkup-nya
masuk ke dalam
ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama, dan subjek-subjek yang terkait, serta
objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi ini dilanggar, baik untuk perlindungan terhadap yang terluka dan
sakit, untuk penghormatan dan perlindungan tenaga medis dan keagamaan,
penjagaan dan perlindungan unit medis, bangunan dan transportasi medis serta
perlindungan khusus untuk lambang-lambang khas yang harus
dilindung, maka ketentuan aturan dari konvensi ini harus diterapkan. Pelaksanaan konvensi
yang memberikan ketentuan terhadap siapa yang menjamin pelaksanaan terhadap
tindakan-tindakan pembalasan terhadap objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan
konvensi yang menjamin pelaksanaan pasal-pasal dalam konvensi dan menetapkan
ketentuan-ketentuan untuk mengatur hal-hal yang tak terduga maka yang menjamin
adalah komandan-komandan tertinggi di setiap pihak-pihak dalam sengketa. Yang
itu pun dipertegas dalam Konvensi Jenewa
Pertama Bab VIII - Pelaksanaan Konvensi Pasal 45, serta ditambah
dengan kesesuaian asas-asas umum
konvensi ini.
4. Penegakan
Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran dalam Konvensi Jenewa
Pertama dan Siapa Yang Berhak Melakukan Penuntutan Atas Berbagai Pelanggaran
Yang Diduga Telah Terjadi
Pertama dan Siapa Yang Berhak Melakukan Penuntutan Atas Berbagai Pelanggaran
Yang Diduga Telah Terjadi
4.1. Kuasa Perlindungan
Istilah kuasa perlindungan (protecting power)
mempunyai arti spesifik berdasarkan Konvensi-konvensi ini. Kuasa perlindungan
ialah sebuah negara yang tidak ikut serta dalam sebuah konflik bersenjata
tetapi setuju untuk mengurus kepentingan sebuah negara lain yang menjadi
peserta konflik tersebut. Kuasa perlindungan berfungsi sebagai mediator yang
memungkinkan terjadinya komunikasi antara pihak-pihak peserta konflik. Kuasa
perlindungan juga berfungsi memantau implementasi Konvensi-konvensi ini, misalnya
dengan cara mengunjungi kawasan konflik dan tawanan perang. Kuasa perlindungan
harus bertindak sebagai pendamping (advocate) bagi tawanan, korban luka,
dan orang sipil (Pasal 8, 10, 11 Bab I
Ketentuan Umum Konvensi Jenewa Pertama).
4.2. Pelanggaran berat
Dan
dalam hal tindakan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran yang terjadi
Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diberlakukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan suatu pelanggaran (dalam konteks ketidak sengajaan ataupun pelanggaran berat yang disengaja) dalam aturan pasal-pasal dalam konvensi ini, yang didasari dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran 49.
Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diberlakukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan suatu pelanggaran (dalam konteks ketidak sengajaan ataupun pelanggaran berat yang disengaja) dalam aturan pasal-pasal dalam konvensi ini, yang didasari dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran 49.
Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa
diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah
pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai
kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat antara lain adalah tindakan-tindakan
berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi
tersebut:
1. Pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau
perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi.
2. Dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar
atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan.
3. Memaksa orang untuk berdinas di angkatan
berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan.
4. Dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan
yang adil (right to a fair trial) dari seseorang. (Pasal 50 Bab Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Konvensi
Jenewa Pertama)
Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat
atas Konvensi Jenewa:
1. Penyanderaan
2. Penghancuran dan pengambilalihan properti
secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan
militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.
3. Deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang
melawan hukum. (Pasal 3 Bab I Ketentuan
Umum Konvensi Jenewa Pertama)
Dan ringkasan Konvensi Jenewa Pertama Bab IX -
Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Pasal 49-54 adalah
ketentuan-ketentuan terhadap kewajiban-kwajiban Pihak Peserta Agung dalam
menerapkan ketentuan terdahap penyalahgunaan dan pelanggaran dalam hal mencari
orang yang disangka telah melakukan atau memerintah untuk melakukan
pelanggaran-pelanggaran berat, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan
tidak memandang kebangsaannya, dan bagaimana Pihak Peserta Agung dalam
mengambil tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Dan dalam hal penyalah gunaan
pula pemakaian lambang atau sebutan tiruan oleh Pihak Peserta Agung itu
dilarang dan harus dipertanggungjawabkan.
Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa
harus memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum
setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang
diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan
dilakukannya kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun
kebangsaan orang tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip
yurisdiksi universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran
berat (Konvensi
Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Pasal
49-54). Untuk
tujuan itulah maka Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International
Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk
eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia)
dibentuk oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk
melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.
5. Konvensi-konvensi Jenewa
dewasa ini
Meskipun peperangan telah mengalami perubahan dramatis
sejak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, konvensi-konvensi terutama
konvensi Jenewa Pertama sangat dianggap sebagai batu penjuru Hukum
Humaniter Internasional kontemporer.
Konvensi-konvensi tersebut melindungi kombatan yang berada dalam keadaan hors
de combat (tidak dapat ikut bertempur lagi) serta melindungi orang sipil yang
terjebak dalam kawasan perang. Perjanjian-perjanjian tersebut menjalankan
fungsinya dalam semua konflik bersenjata internasional yang belum lama ini
terjadi, termasuk Perang Afghanistan (2001- sekarang), Invasi Irak 2003, invasi Chechnya (1994-sekarang), dan Perang
di Georgia (2008). Peperangan moderen terus mengalami perubahan, dan dewasa ini
proporsi konflik bersenjata yang bersifat non-internasional semakin meningkat
[misalnya: Perang Saudara di Sri Lanka, Perang Saudara di Sudan, dan Konflik Bersenjata
di Kolombia. Pasal 3 Ketentuan yang Sama menangani situasi-situasi tersebut,
dengan dilengkapi oleh Protokol II (1977). Pasal dan protokol tersebut
menguraikan standar hukum minimum yang harus diikuti untuk konflik internal.
Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk
eks-Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang
tersebut. Dalam putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun
1999, Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa
pelanggaran berat berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga
pada konflik bersenjata internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan
Protokol II dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan (customary international law),
yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal menerima ketentuan-ketentuan
Konvensi Jenewa.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1. Kesimpulan
Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention),
mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit
di Darat yang objek perlindungannya:
a. Yang
terluka dan sakit, memberikan penghormatan dan lindungan dalam segala
keadaaan terhadapa yang luka dan sakit, perlakuan secara prikemanusiaan tanpa
perbedaan merugikan yang didasarkan atas kelamin, suku, kebangsaan, agama, atau
keriteria lainnya serupa itu, dan memberikan kewajiban-kewajiban apa yg harus
dilakukan dalam memperlakukan para angkata perang.
b. Perbaikan terhadap gedung-gedung, kesatuan-kesatuan unit
kesehatan (medis), memberikan
perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan kesehatan bergerak dari dinas
kesehatan dalam keadaan apapun harus dilindungi, tidak boleh diserang oleh
pihak para sengketa, dan memberikan kewajiban terhadap penguasa untuk
bertanggung jawab terhadap jaminan bangunan-dan kesatuan-kesatuan sehingga
penyerangan atas sasaran-sasaran militer.
c. Perbaikan terhadap anggota dinas kesehatan (angkatan
perang),
memberikan perlindungan khusus terhadap Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau untuk mencegah penyakit, dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, demikian juga rohaniwan yang bertugas dalam angkatan perang.
memberikan perlindungan khusus terhadap Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau untuk mencegah penyakit, dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, demikian juga rohaniwan yang bertugas dalam angkatan perang.
d. Perbaikan terhadap perlengkapan-perlengkapan, kesatuan-kesauan
kesehatan bergerak angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh, harus disediakan untuk
perawatan.
e. Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap
pengankutan yang luka dan sakit atau alat-alat kedokteran, harus dihormati dan
dilindungi sama halnya dengan kesatuan kesehatan yang bergerak. Seperti halnya
pengakutan dengan pesawat terbang kesehatan maupun dengan kendaran kesehatan
lainnya.
f.
Perbaikan dalam
konteks perlindungan terhadap lambang-lambang yang di-istimewakan, seperti halnya
lambang Internasional Red Cross Comite (PMI), Bulan Sabit Merah, Singa dan
Matahari Merah dsb. lambang istimewa ini harus jelas, dalam artian tampak pada
bendaera-bendera (flag), ban lengan (handband), dan semua alat perlengkapan
yang dipakai dalam dinas kesehatan.
Konvensi Jenewa Pertama ini
akan berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah
yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketika
Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian
tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national
sovereignty) untuk dapat mematuhi hukum internasional. Dan pengaplikasian
konvensi ini ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam konvensi
Jenewa Pertama yaitu keadaan anggota angkatan perang yang ruanglingkup-nya
masuk kedalam ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama, dan subjek-subjek yang
terkait, serta objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi ini
dilanggar.
Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa
diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah
pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai
kejahatan perang (war crime). Negara yang menjadi peserta
Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan
perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan perang. Dan Mahkamah Pidana
Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda)
dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk
melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Istanto, F. Sugeng. 1992. Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan
Rakyat Semesta dan Hukum Internasional. Yogyakarta: Andi Offset.
Henckaerts, Jean-Marie. 2005.
Study on Customary International
Humanitarian Law (Indonesian
Translation). Bandung: Nusa Media.
Kusumaatmadja, Mohtar. 1986. Konvensi-Konvensi Palang Merah. Bandung: Bina Cipta.
Murtokusumo, Sudikno. 1996. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.\
Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention). Mengenai
Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat.
1864.
http://hukumunila.blogspot.com
[1] Wikipedia, “Konvensi Jenewa”, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Jenewa, pada tgl. 30 Maret 2012 pukul 14.56
[2] Study on Customary International Humanitarian Law (Indonesian
Translation), Volume 87 Nomor 857 Maret 2005, di unduh dari http://www.icrc.org/eng/index.jsp
[3] Konferensi Internasional Perlindungan Korban Perang, Jenewa, 30
Agustus - 1 September 1993, Deklarasi Final, International Review of the Red
Cross, No. 296, 1993, hal. 381
[4] Pertemuan Kelompok Pakar Antarpemerintah untuk Perlindungan
Korban Perang di Jenewa, 23-27 Januari 1995, Rekomendasi II, International
Review of the Red Cross, No. 310, 1996, hal. 84
[5] Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
ke-26, Jenewa, 3-7 Desember 1995, Resolusi 1, Hukum Humaniter Internasional:
dari Hukum ke Tindakan; Laporan tentang tindak lanjut menyusul Konferensi
Internasional Perlindungan Korban Perang, International Review of the Red
Cross, No. 310, 1996, hal. 58
[6] Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck, Customary
Internasional Humanitarian Law, 2 jilid, Jilid I, Rules (Aturan-aturan),
Jilid II, Practice (Praktik) [2 Bagian], Cambridge University Press,
2005.
[7] Wikipedia, “Konvensi Jenewa”, diakses
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Jenewa, pada tgl. 17 April 2012 pukul 08.26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar