Kamis, 24 Mei 2012

makalah konvensi jenewa II


BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Humaniter  atau lengkapnya disebut International Humanitaian Law Applicable In Armed Conflict yang diperkenalkan olej International Comitte of the Red Cross (ICRC), berawal dari istilah Hukum Perang (Laws of War), yang kemudian sering disebut pula dengan istilah hukum sengketa bersenjata (Laws of Armed Conflict) dan saat ini masyarakat Indonesia mengatakannya sebagai Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau disingkat lagi menjadi Hukkum Humaniter[1]
Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. 
Ada beberapa sarjana yang mencoba menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan hukum perang. Lautetrpacht secara singkat mengatakan : Laws of  War are the rules of the law oh nations respecting warfare. Definisi yang lebih panjang di berikan oleh Starke : the laws of war consist of the limit set by international law within which the force requiered to overpower the enemy may be used, and the principles here under governing the treatment if individuals in the course of war and armed conflict. Sedangkan Prof. Mochtar Kusumatmadja tidak memberikan definisi. Ia hanya memberikan pembagian hukum perang, yaitu :
a.       Jus ad bellum – Hukum Tentang Perang; mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasa senjata.
b.      Jus in bello­ – Hukum yang berlaku dalam perang. Hukum ini di bagi menjadi 2 (dua) lagi yaitu :
1.      Yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Ini lazimnya disebut Hague Laws
2.      Yang menjadi perlindungan orang- orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut : Geneva Laws [2]


Dalam kepustakaan ada tiga aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional :
1.    Aliran Integrationis:
Aliran Integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada dua kemungkinan, yaitu:
a. Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia.
b. Hukum humaniter internasional merupakan dasar dari hak asasi manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia.
2.  Aliran Separatis:
            Aliran Separatis melihat hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem ini terletak pada:
a. Obyeknya: hukum humaniter internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara tersebut;
b. Sifatnya: hukum humaniter internasional bersifat mandatory a political serta peremptory;
c. Saat berlakunya: Hukum humaniter internasional berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan HAM berlaku pada saat damai.
3. Aliran Komplementaris:
Aliran Komplementaris melihat hukum HAM dan hukum humaniter internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dimukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu:
a. Dalam pelaksanaan dan penegakan:
Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara pelindung. Sebaliknya hukum HAM sudah mempunyai aparat mekanisme yang tetap, tetapi hanya berlaku di negara-negara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi HAM Eropa.
b. Dalam hal sifat pencegahan:
Hukum humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum HAM secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif.

Di dalam U.S. Army Field Manual of the law of landwarfare, dijelaskan bahwa tujuan hukm perang adalah :
1.      Melindungi baik kombatan maupun non-kombatan dari penderitaan yang tidak perlu;
2.      Menjamin hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ketangan musuh;
3.      Memungkinkan dikembalikannya perdamaian; dan
4.      Membatasi kekuasaan pihak berperang.[3]
Aturan-aturan dasar HHI
a.       Orang yang hors de combat dan orang yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi.
b.      Membunuh atau mencederai musuh yang menyerah atau yang hors de combat adalah dilarang.
c.       Korban luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus dihormati sebagai tanda perlindungan.
d.      Kombatan dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan. Mereka berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan menerima bantuan kemanusiaan.
e.       Tak seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan martabat.
f.       Pihak peserta konflik dan anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang tidak terbatas menyangkut cara dan sarana berperang.
g.      Pihak peserta konflik membedakan setiap saat antara penduduk sipil dan kombatan. Penyerangan diarahkan hanya terhadap sasaran militer.[4]
Konvensi-konvensi Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag 1907, dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat internasional pada tahun 1949. Disini kelompok kami akan membahas tentang Konvensi Jenewa II “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut”.
Pada dasarnya Konvensi Jenewa II adalah sama benar dasar dan tujuannya seperti konvensi sebelumnya yaitu Konvensi Jenewa I, hanya saja perbedaannya terletak pada tempat pelaksanaannya saja dimana yang satu perawatan dan perlindungan korban pertempuran di laut, sedangkan yang lainnya berlaku untuk korban di darat. Pasal 12 ayat (1) pada pokoknya menetapkan bahwa anggota angkatan bersenjata dan peserta konflik bersenjata lainnya yang luka dan sakit dan sudah berhenti bertempur (hors de-combat) tidak boleh diserang dan harus dilindungi.
Keberlakuan dan subjek dalam Konvensi Jenewa II tedapat dalam pasal 2 yang berbunyi : “Sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan dalam waktu damai, maka Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka.
             Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah Pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata.
            Meskipun salah satu dari Negara yang bersengketa mungkin bukan peserta Konvensi ini, Negara-negara yang menjadi peserta Konvensi ini akan sama tetap terikat olehnya didalam hubungan antara mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh Konvensi ini dalam hubungan dengan Negara tersebut, apabila Negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi ini.”[5]
            Dari pasal diatas dijelaskan bahwa hukum humaniter berlaku bagi siapa saja baik oleh pihak yang sedang berperang maupun pihak netral dan berlaku bagi peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka. Negara netral memiliki peran penting dalam konvensi ini, sebab negara netral pun wajib untuk ikut serta dalam merawats dan melindungi korban anggota angkatan bersenjata yang terluka, sakit, dan karam di laut hal ini di jelaskan dalan Konvensi Jenewa II pasal 17 yang berbunyi:
 “Apabila tidak diperjanjikan lain antara Negara netral dan Negara-negara yang bersengketa, maka orang-orang yang luka, sakit atau karam yang telah didaratkan di pelabuhan netral dengan persetujuan penguasa setempat, harus dijaga sedemikan rupa oleh Negara netral. jika hukum internasional menghendaki demikian, sehingga orang-orang tersebut tidak dapat lagi turut serta dalam operasi perang. Biaya-biaya penempatan dalam rumah sakit dan interniran harus dipikul oleh negara yang ditaati oleh orang-orang yang luka, sakit atau korban karam.”[6]
Subjek dalam Konvensi Jenewa II terdapat pada pasal 13 yang berbunyi “Konvensi ini akan berlaku terhadap yang luka, sakit dan korban karam dilaut yang termasuk dalam kategori-kategori berikut ini :
(1)         Anggota angkatan perang dari suatu Pihak yang bersengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau prajurit cadangan sukarela, yang merupakan bagian dari angkatan perang itu;
(2)         Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota dari prajurit cadangan sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja milisi atau prajurit cadangan sukarela tersebut, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, memenuhi syarat-syarat berikut :
(a)          dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;
(b)         mempunyai tanda pengenal khusus yang tetap yang dapat dikenal dari jauh;
(c)          membawa senjata secara terang-terangan;
(d)         melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang;
(3)         Anggota-anggota angkatan perang reguler yang tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh Negara Penahan;
(4)         Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok barang perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah menerima kewenangan dari angkatan perang yang mereka sertai;
(5)         Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nakhoda, pemandu laut, taruna, dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam hukum internasional;
Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum dan kebiasaan perang.”[7]
            Konvensi Jenewa II sangat menghormati apa yang disebut dengan HAM terutama bagi orang-orang yang luka, sakit atau korban karam, pasal 12 Konvensi Jenewa II mengatakan :
              Anggota angkatan perang dan orang-orang lain yang disebut dalam Pasal berikut yang berada di laut dan yang luka, sakit atau korban karam, harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan, dengan pengertian bahwa istilah "karam" berarti karam karena sebab apapun termasuk pendaratan terpaksa di laut oleh atau dari pesawat terbang. Orang-orang tersebut itu harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan dirawat oleh pihak dalam sengketa dalam kekuasaan siapa mereka mungkin berada, tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan atas jenis kelamin, suku, kebangsaan, agama, pendapat politik, atau setiap kriteria lainnya yang serupa.
            Tiap serangan atas jiwa mereka atau tindakan kekerasan atas diri mereka harus dilarang dengan keras; mereka terutama tidak boleh dibunuh atau dimusnahkan, dijadikan obyek penganiayaan atau percobaan-percobaan biologis; mereka tidak boleh dengan sengaja ditinggalkan tanpa bantuan dan perawatan kesehatan, begitu pula tidak boleh ditimbulkan keadaan-keadaan yang mengakibatkan mereka mendapat penyakit menular atau infeksi. Hanya alasan-alasan kesehatan yang mendesak dapat membenarkan pengutamaan dalam urutan pengobatan yang diberikan. Wanita harus diperlakukan dengan segala kehormatan yang patut diberikan mengingat jenis kelamin mereka.”

Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensikonvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa konvensi-konvensi Jenewa dan hak asasi manusia tidak memilki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung. Di satu sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia (HAM).[8]

Pelanggaran dalam Konvensi Jenewa II dijelaskan dalam pasal 51 yaitu “Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan oleh Pasal terdahulu ialah pelanggaran yang meliputi perbuatan-perbuatan berikut apabila dilakukan terhadap orang atau harta benda yang dilindungi oleh Konvensi : pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan-percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta pembinasaan yang meluas dan tindakan pemilikan atsa harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan dengan melawan hukum dan dengan semena-mena.”[9]

Pelanggaran berat

Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut:
  1. pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi
  2. dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan
  3. memaksa orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan
  4. dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang
Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat:
  1. penyanderaan
  2. penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.
  3. deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum
Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.[10]

Berikut adalah contoh kasus tentang pelanggaran didalam hukum humaniter dan HAM :
“Pada saat Perang Vietnam, Provinsi Quang Ngai tepatnya di desa Son  My  Vietnam Selatan dicurigai oleh pasukan Amerika sebagai  tempat perlindungan kaum gerilyawan Angkatan Bersenjata Pembebasan Rakyat  dari Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam (FNPV), yang juga disebut "Viet Cong" atau "VC".  Desa Son  My oleh pasukan Amerika disebut Pinkville (karena pada peta berwarna merah jambu).  Pada serangan tanggal 16 Maret 1968, selain membantai ratusan penduduik sipil, pasukan Amerika juga menghancurkan rumah – rumah yang ada di desa Song My, tepatnya di dusun My Lai. Pasukan Amerika menganggap penting bahwa para gerilyawan FNPV harus dimusnahkan. Oleh sebab itu, mereka tidak mengukur berapa banyak wilayah atau lokasi strategis yang direbut atau dikuasai sebagai suatu sasaran operasi, melainkan berdasarkan "jumlah mayat"  penduduk yang dicurigai sebagai gerilyawan FNPV yang terbunuh.
 Tujuan operasi pasukan AS menyerang My Lai adalah mencari dan menghancurkan musuh. Namun komandan kompi C yaitu Kapten Ermest Medina merasa tidak jelas tindakan apa yang diambil  bila menemukan orang sipil di  dusun My Lai.  Ada seorang prajurit Kompi C menannyakan kepada   komandannya yaitu  Kapten Medina mengenai kemungkinan tindakan yang di ambil bila bertemu dengan   orang sipil khususnya wanita dan anak-anak. Kapten Medina mengarahkan agar bertindak secara akal sehat, bila mereka bersenjata dan berusaha melawan, maka diperbolehkan menembaknya. Berdasarkan informasi intelijen   bahwa dusun My Lai telah diduduki oleh FNPV dan seluruh penduduknya  sudah mengungsi.
Pada pagi hari 16 Maret 1968, satu peleton pasukan Amerika yang dipimpin oleh Letnan Willian Calley memasuki dusun My Lai, mereka menemukan sekelompok penduduk yang terdiri dari para perempuan, anak-anak dan laki – laki tua yang sedang melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari. Penduduk sipil tersebut kemudian ditembaki secara membabi buta, ada sebagian penduduk dimasukkan ke dalam suatu banker tempat persembunyian, kemudian bunker tersebut dimasukan granat,  bahkan banyak para wanita  yang diperkosa sebelum dibunuh.  Selama serangan, tidak ada suara tembakan atau tidak ada perlawanan dari pihak penduduk sipil  yang ada di dusun My Lai. Jumlah korban tewas dalam serangan di dusun My Lai mencapai 500 orang.
Prajurit Amerika  mendapatkan doktrin dari atasannya agar dalam laporan hasil operasi tersebut untuk  melebihkan perhitungan jumlah  korban yang tewas dari pihak FNPV.    Dalam perjuangannya, para gerilyawan dari FNPV membaur dengan penduduk sipil, sehingga pasukan Amerika kesulitan membedakan gerilyawan FNPV dan pendudk sipil tersebut. Pasukan  Amerika merasa kesulitan  menghadapi taktik dari gerilyawan FNPV. Hal lain yang melatar belakangi pembantaian di My Lai adalah  ketidakmampuan pasukan Amerika untuk mengejar gerilyawan yang selalu lolos dari penyergapan dan timbulnya rasa takut akan penyergapan balik dari gerilyawan FNPV. Ada kemungkinan pasukan Amerika melampiaskan kemarahannya dengan cara melakukan pembantaian terhadap penduduk sipil yang tidak bersenjata di dusun My Lai.
Pada awalnya, peristiwa pembantaian ini ditutupi oleh Angkatan Darat AS  dan dinyatakan sebagai kemenangan menghadapi gerilyawan gerilyawan FNPV.   Satu tahun setelah pembantaian di My Lai, masalah ini mencuat di media masa, sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat AS.    Pada tanggal 29 Maret 1968, Ronald Ridenhour seseorang prajurit dari satuan lain mengetahui pembantaian di My Lai dan memberitahukan kepada Melvin Laird   yang menjabat sebagai sekretaris Menteri Pertahanan AS. Para wartawan mengetahui apa yang terjadi, kemudian memberitakan peristiwa tersebut sebagai high lines news. Dengan gencarnya pemberitaan peristiwa pembantaian ini di media masa,  menimbulkan protes  dari masyarakat Amerika sendiri. Tindakan selanjutnya adalah pihak Angkatan Darat AS melaksanakan penyelidikan terhadap tindakan prajurit Amerika pada perang Vietnam tersebut. Presiden Richard Nixon pada waktu itu memerintahkan untuk mempercepat penarikan kembali pasukan AS dari Vietnam.  Pihak  Angkatan Darat AS  memeriksa 12 personel yang terdiri dari perwira, tamtama dan bintara.  Hasil dari penyelidikan dan penyidikan di mahkamah militer menyatakan bahwa Letnan William Calley bersalah dan dihukum seumur hidup.”[11]
            Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa, Konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil di waktu perang bukan merupakan penyempurnaan daripada konvensi-konvesi yang telah ada, melainkan adalah suatu konvensi yang baru[12]. Selanjutnya dikatakan bahwa ini tidak berarti bahwa sebelumnya kedudukan dan hak-hak penduduk sipil belum pernah diatur dalam hukum perang yang tertulis. Orang- orang yang dilindungi dalam konvensi adalah mereka yang dalam suatu konflik bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dengan cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu pihak dalam pertikaian atau kekuasaan penduduk yang bukan negara meraka. Warganegara suatu negara yang tidak terikat oleh konvensi tidak dilindungi pleh konvensi. Warga negara suatu negara netral yang ada di wilayah suatu negara yang berperang, serta warga negara dari suatu negara yang berperang, tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi, selama negara mereka mempunyai perwakilan diplomatik biasa di negara yang menguasai mereka. Dengan demikian untuk mendapatkan perlindungan konvensi ini seorang prajurit harus (1) luka dan sakit, (2) telah meletakkan senjatanya. Seorang prajurit yang tidak luka dan sakit tetapi meletakkan senjatanya dan menyerahkan diri memperoleh perlindungan juga, namun tidak dibawah konvensi ini, melainkan dibawah konvensi III mengenai Perlakuan Tawanan Perang.
Sanksi dalam Konvensi Jenewa II di jelaskan dalam pasal 50 yang berbunyi “Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan peraturan yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana effektip terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu di antara pelanggaran berat atas Konvensi ini sebagaimana ditentukan di dalam Pasal berikut.
            Tiap Pihak Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang demikian, dengan tak memandang kebangsaanya. Pihak Peserta Agung dapat juga, jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan sendiri, menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain yang berkepentingan, orang-orang demikian untuk diadili, asal saja Pihak Peserta Agung itu dapat menunjukkan suatu perkara prima facie.
            Tiap Pihak Peserta Agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam Pasal berikut, segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini.
            Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang tak boleh kurang menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Pasal 105 dan jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang tertanggal 12 Agustus 1949.”[13]

Dari apa yang telah dijelaskan diatas maka beberapa pihak seperti Liga Bangsa-bangsa mau[un sarjana-sarjana ahli hukum tidak menghapus dan melarang adanya perang. Namun, Suasana perang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satu bidang diantaranya ialah hukum perang. Karena orang tidak menginginkanadanya timbul perang, maka istilah perang sejauh mungkin harus dihindari. Dengan sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai. Di bidang lain suasana tersebut juga berpengaruh besar. Meskipun pada waktu itu terjadi berbagai pertikaian senjata, yang dilihat dari segi militer sudah pantas disebut perang, namun pihak-pihak yang bertikai tidak mau menyebut pertikaian tersebut sebagai perang,merak takut di cap agresor. Sebagai pengganti perang antara lain dipakai istilah : incident Mansuria, penyerbuan Tiongkok.
Meraka yang menentang pengkajian hukum perang mengajukan berbagai alasan :
a.       hukum perang tidak mungkin disusun, sebab perang tidak dapt diatur; perang hanya dapat ditiadakan
b.      hukum perang tidak perlu ada, karena dalam praktek pasti akan dilanggar;
c.       perang sudah ditiadakan, oleh karena itu hukum perang sudah tidak ada lagi;
d.      karena perang sudah dinyatakan bertentangan dengan hukum )outlawed), maka pembahasaan hukum perang adalah tidak logis, dan seolah-olah kita tidak percaya kepada kemajuan yang telah dicapai dalam usaha untuk menghapus perang.[14]
Dalam konvensi Jenewa secara tidak langsung menjelaskan tentang teritorial laut dan untuk menhindari terjadinya perang dan membatasi negara dengan hak-hak wilayahnya yang dikenal dengan Hukum Laut International, namun dalam konvensi jenewa ahanya mengatur tentang hak lintas damai melalui laut teritorial dan laut pedalaman yang terbentuk karena penarikan garis pangkal lurus. Dan dengan berkembangnya hukum-hukum dana aturan yang mengatur hal tersebut terbentuklah Konvensi Hukum Laut (KHL) tahun 1982 yang lebih menjelaskan teantang hukum laut internasional. Di dalam KHL, hak lintas kapal –kapal asing diatur dalam tiga kategori, yaitu :
a.       hak lintas damai;
b.      hak lintas transit;
c.       hak lintas alur kepulauan
Secara umum tujuan pengaturan lintas kapal asing ini adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara pantai yang dilalui oleh kapal-kapal asing; disamping itu untuk tujan keselamatan pelayaran kapal-kapal yang bernsangkutan[15].
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
            Konsep ini merupakan suatu konsep baru yang tidak dikenal dalam hukum internasional selama ini. Jauh sebelum lahirnya konsep ini, batas terluar laut teritorial dianggap sebagai batas antara bagian laut ke arah darat tempat berlaku kedaulatan penuh negara pantai dan bagian laut arah luar dari batas tersebut tempat berlaku kebebasan di laut lepas. Konsep zona ekslusif ekonomi dapat dianggap sebagai suatu hasil revolusi yang telah mengubah sedemikian rupa pengaturan atas laut.
Dalam sebagian besar literatur yang ada, konsep ini selalu diakitkan dengan konsep penguasan wilayah atas laut yang pada tahun 1947 dilakukan oleh beberapa negara Amerika Latin, khusunya tiga negara Chili, Ekuador dan Peru, terhadap wilayah perairan sejauh 200 mil laut dari pantai negaranya, dalam bentuk perlindungan serta pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah tersebut.
            Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa pada suatu jalur laut yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorialnya,  yang dinamakan zona ekslusif ekonomi, suatu negara mempunyai hak-hak berdaulat dan yusrisdiksi khusus untuk memanfaatkan kekayaan alam yang berada pada jalur tersebut, termasuk pada dasar laut dan tanah dibawahnya.Pelaksanaan hak dan yuridiksi tersebut, diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain sesuai dengan ketentuan konvensi. Batas terluar Zona Ekonomi Ekslusif ini tidak boleh melebihi 200 mil laut, diukur dari garis pangkal yang sama yang dipakai untuk mengukur lebar laut teritorial.
1. Batas Kedaulatan Wilayah Udara Secara Horisontal
Seperti telah diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line). Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.
Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional.[16]
Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan istilah A.D.I.Z. (Air Defence Identification Zone) yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara. Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara.

2. . Batas Kedaulatan Wilayah Udara Secara Vertikal

Untuk menentukan batas kedaulatan di wilayah udara secara vertikal masih tetap menjadi permasalahan sampai dengan saat ini, karena perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum dan yurisprudensi internasional yang mengatur tentang batas kedaulatan wilayah udara secara vertikal belum ada, maka beberapa sarjana terkemuka khususnya ahli hukum udara berusaha untuk membuat beberapa konsep (teori, ajaran atau pendapat) yang mungkin dapat digunakan sebagai landasan pembuatan peraturan tentang batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara, yaitu misalnya konsep dari :

a) Beaumont dan Shawcross yang menyebutkan bahwa batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara adalah tidak terbatas.
b)  Cooper yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi negara itu dapat menguasainya.
c) Holzendorf yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi 1000 meter yang ditarik dari permukaan bumi yang tertinggi.
d) Lee yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah sama dengan jarak tembakan meriam (canon theory).
e) Von Bar yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah 60 meter dari permukaan bumi.
f) Priyatna Abdurrasyid yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi sebuah pesawat udara konvensional sudah tidak dapat lagi melayang.
              Pendapat Priyatna Abdurrasyid ini pernah ditentang dengan adanya Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “T.N.I.- A.U. selaku penegak kedaulatan negara di udara mempertahankan wilayah dirgantara nasional ………. dstnya”. Kata dirgantara berarti mencakup ruang udara dan antariksa (ruang angkasa) termasuk G.S.O. (Geo Stationer Orbit).
Dengan demikian pada waktu itu negara Indonesia tidak menganut pendapat Priyatna Abdurrasyid tetapi menganut pendapat Beaumont dan Showcross.
Dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang batas ketinggian wilayah udara yang dapat dimiliki oleh negara bawah, maka banyak negara-negara di dunia melakukan secara sepihak menetapkan batas ketinggian wilayah udara nasionalnya seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat melalui Space Command menetapkan batas vertikal udara adalah 100 kilometer.
Negara Australia di dalam Australian Space Treaty Act 1998 menetapkan batas ketinggian wilayah udaranya adalah 100 kilometer yang diukur dari permukaan laut. Negara Korea Selatan mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 2003 bahwa batas ketinggian wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 110 kilometer.
Negara Rusia mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 1992 batas ketinggian wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 120 kilometer.
Sedangkan negara Indonesia pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”, serta pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa “batas wilayah negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”.
Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, telah meratifikasi Konvensi Geneva (Konvensi Jenewa II) 1944 sehingga kita menganut pemahaman bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya, dan tidak dikenal adanya hak lintas damai.[17]







Kesimpulan :
-       Hukum humaniter adalah bukan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara memanusiakan perang karena pada dasarnya perang tidak ada yang manusiawi, tatapi tujuan dari di bentuknya hukum humaniter adalah meminimalisir kesewenang-wenangan dalam perang dan menjunjung tinggi HAM.

Daftar Isi

Baharuddin Ahmad Naim, S.H., M.H.  Hukum Humaniter Internasional 2010, Lampung
Haryomataram, S.H. Hukum Humaniter 1984, CV. Rajawali, Jakarta
Shaymin A K, S.H. Hukum Internasional Humaniter 1 (Bagian umum) 1985, CV ARMICO Bandung
Hukum_Humaniter_dan_HAM.pdf
http://www.tandef.net/analisis-pelanggaran-hukum-humaniter-pada-penyerbuan-desa-may-lai-dalam-perang-vietnam-tanggal-16-maret-1968

Muthalib Abdul Tahar, S.H., M.Hum Zona-zona maritim bedasarkan konvensi hukum laut 1982 dan perkembangan hukum laut di Indonesia 2012, fakultas hukum, universitas lampung
Makalah Hukum Internasional 2011 fakultas hukum, universitas lampung hlm. 13-14




[1] Baharuddin Ahmad Naim, S.H., M.H.  Hukum Humaniter Internasional 2010, Lampung hlm. 7
[2] Haryomataram, S.H. Hukum Humaniter 1984, CV. Rajawali, Jakarta hlm. 3
[3] Shaymin A K, S.H. Hukum Internasional Humaniter 1 (Bagian umum) 1985, CV ARMICO Bandung hlm. 8
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/hukum_humaniter_internasional
[5] Konvesi Jenewa II 1949 pasal 2
[6] Konvensi Jenewa II 1949 pasal 17
[7] Konvensi Jenewa II 1949 pasal 13
[8] Hukum_Humaniter_dan_HAM.pdf
[9] Konvensi Jenewa II 1949 pasal 51
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/konvensi_jenewa
[11] http://www.tandef.net/analisis-pelanggaran-hukum-humaniter-pada-penyerbuan-desa-may-lai-dalam-perang-vietnam-tanggal-16-maret-1968
[12] Shaymin A K, S.H. Hukum Internasional Humaniter 1 (Bagian umum) “dikutip dari mochtar kusumaatmadja hal 75-97” 1985, CV ARMICO Bandung hlm. 116
[13] Konvensi Jenewa II 1949 pasal 50
[14] Haryomataram, S.H. Hukum Humaniter 1984, CV. Rajawali, Jakarta hlm. 9
[15] Muthalib Abdul Tahar, S.H., M.Hum Zona-zona maritim bedasarkan konvensi hukum laut 1982 dan perkembangan hukum laut di Indonesia 2012, fakultas hukum, universitas lampung hlm. 5
[16] Makalah Hukum Internasional 2011 fakultas hukum, universitas lampung hlm. 13-14
[17] Ibid. Hlm 14-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar