BAB II
PEMBAHASAN
Hukum
Humaniter atau lengkapnya disebut
International Humanitaian Law Applicable In Armed Conflict yang diperkenalkan
olej International Comitte of the Red
Cross (ICRC), berawal dari istilah Hukum Perang (Laws of War), yang
kemudian sering disebut pula dengan istilah hukum sengketa bersenjata (Laws of
Armed Conflict) dan saat ini masyarakat Indonesia mengatakannya sebagai Hukum
Humaniter Internasional (HHI) atau disingkat lagi menjadi Hukkum Humaniter[1]
Hukum Humaniter Internasional adalah
seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi
akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak
atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode
berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain
dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws
of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari
hukum internasional.
Ada
beberapa sarjana yang mencoba menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan hukum
perang. Lautetrpacht secara singkat mengatakan : Laws of War are the rules of the
law oh nations respecting warfare. Definisi yang lebih panjang di berikan
oleh Starke : the laws of war consist of
the limit set by international law within which the force requiered to
overpower the enemy may be used, and the principles here under governing the
treatment if individuals in the course of war and armed conflict. Sedangkan
Prof. Mochtar Kusumatmadja tidak memberikan definisi. Ia hanya memberikan
pembagian hukum perang, yaitu :
a. Jus ad bellum –
Hukum Tentang Perang; mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan
menggunakan kekerasa senjata.
b. Jus in bello –
Hukum yang berlaku dalam perang. Hukum ini di bagi menjadi 2 (dua) lagi yaitu :
1. Yang
mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Ini lazimnya disebut Hague
Laws
2. Yang
menjadi perlindungan orang- orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya
disebut : Geneva Laws [2]
Dalam kepustakaan ada
tiga aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional :
1.
Aliran
Integrationis:
Aliran
Integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang
lain. Dalam hal ini, maka ada dua kemungkinan, yaitu:
a.
Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti
bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia.
b.
Hukum humaniter internasional merupakan dasar dari hak asasi manusia, dalam
arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat
ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada
hak-hak asasi manusia.
2. Aliran Separatis:
Aliran Separatis melihat hak asasi
manusia dan hukum humaniter internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali
tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem ini terletak
pada:
a.
Obyeknya: hukum humaniter internasional mengatur sengketa bersenjata antara
negara dengan kesatuan lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan
antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara tersebut;
b.
Sifatnya: hukum humaniter internasional bersifat mandatory a political serta peremptory;
c.
Saat berlakunya: Hukum humaniter internasional berlaku pada saat perang atau
masa sengketa bersenjata, sedangkan HAM berlaku pada saat damai.
3. Aliran
Komplementaris:
Aliran
Komplementaris melihat hukum HAM dan hukum humaniter internasional melalui
proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Aliran ini
mengakui adanya perbedaan seperti yang dimukakan oleh aliran separatis, dan
menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu:
a.
Dalam pelaksanaan dan penegakan:
Hukum
humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara pelindung.
Sebaliknya hukum HAM sudah mempunyai aparat mekanisme yang tetap, tetapi hanya
berlaku di negara-negara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi HAM Eropa.
b.
Dalam hal sifat pencegahan:
Hukum
humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan menggunakan
pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum HAM secara fundamental
menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif.
Di
dalam U.S. Army Field Manual of the law of landwarfare, dijelaskan bahwa tujuan
hukm perang adalah :
1. Melindungi
baik kombatan maupun non-kombatan dari penderitaan yang tidak perlu;
2. Menjamin
hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ketangan musuh;
3. Memungkinkan
dikembalikannya perdamaian; dan
4. Membatasi
kekuasaan pihak berperang.[3]
Aturan-aturan
dasar HHI
a. Orang yang
hors de combat dan orang yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dilindungi
dan diperlakukan secara manusiawi.
b. Membunuh
atau mencederai musuh yang menyerah atau yang hors de combat adalah dilarang.
c. Korban luka
dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai
mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus dihormati sebagai
tanda perlindungan.
d. Kombatan dan
orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan
pembalasan. Mereka berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan menerima
bantuan kemanusiaan.
e. Tak seorang
pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau
merendahkan martabat.
f. Pihak
peserta konflik dan anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang
tidak terbatas menyangkut cara dan sarana berperang.
g. Pihak
peserta konflik membedakan setiap saat antara penduduk sipil dan kombatan.
Penyerangan diarahkan hanya terhadap sasaran militer.[4]
Konvensi-konvensi
Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui sejumlah
tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang
sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata.
Sebagai akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi
berdasarkan revisi yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan
sejumlah ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag 1907, dan kemudian diadopsi
ulang oleh masyarakat internasional pada tahun 1949. Disini kelompok kami akan
membahas tentang Konvensi Jenewa II “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut”.
Pada
dasarnya Konvensi Jenewa II adalah sama benar dasar dan tujuannya seperti
konvensi sebelumnya yaitu Konvensi Jenewa I, hanya saja perbedaannya terletak
pada tempat pelaksanaannya saja dimana yang satu perawatan dan perlindungan
korban pertempuran di laut, sedangkan yang lainnya berlaku untuk korban di
darat. Pasal 12 ayat (1) pada pokoknya menetapkan bahwa anggota angkatan
bersenjata dan peserta konflik bersenjata lainnya yang luka dan sakit dan sudah
berhenti bertempur (hors de-combat) tidak boleh diserang dan harus dilindungi.
Keberlakuan dan subjek
dalam Konvensi Jenewa II tedapat dalam pasal 2
yang berbunyi : “Sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan
yang akan dilaksanakan dalam waktu damai, maka Konvensi ini akan berlaku untuk
semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya
yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta Agung, sekalipun
keadaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka.
Konvensi ini juga akan
berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah
Pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan
bersenjata.
Meskipun salah satu dari Negara yang
bersengketa mungkin bukan peserta Konvensi ini, Negara-negara yang menjadi
peserta Konvensi ini akan sama tetap terikat olehnya didalam hubungan antara
mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh Konvensi ini dalam hubungan dengan
Negara tersebut, apabila Negara yang tersebut kemudian ini menerima dan
melaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi ini.”[5]
Dari
pasal diatas dijelaskan bahwa hukum humaniter berlaku bagi siapa saja baik oleh
pihak yang sedang berperang maupun pihak netral dan berlaku bagi peristiwa perang
yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul
antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta Agung, sekalipun keadaan perang tidak
diakui oleh salah satu antara mereka. Negara netral memiliki peran penting
dalam konvensi ini, sebab negara netral pun wajib untuk ikut serta dalam
merawats dan melindungi korban anggota angkatan
bersenjata yang terluka, sakit, dan karam di laut hal ini di jelaskan dalan
Konvensi Jenewa II pasal 17 yang berbunyi:
“Apabila
tidak diperjanjikan lain antara Negara netral dan Negara-negara yang
bersengketa, maka orang-orang yang luka, sakit atau karam yang telah didaratkan
di pelabuhan netral dengan persetujuan penguasa setempat, harus dijaga sedemikan
rupa oleh Negara netral. jika hukum internasional menghendaki demikian,
sehingga orang-orang tersebut tidak dapat lagi turut serta dalam operasi
perang. Biaya-biaya penempatan dalam rumah sakit dan interniran harus dipikul
oleh negara yang ditaati oleh orang-orang yang luka, sakit atau korban karam.”[6]
Subjek dalam Konvensi
Jenewa II terdapat pada pasal 13 yang berbunyi “Konvensi
ini akan berlaku terhadap yang luka, sakit dan korban karam dilaut yang
termasuk dalam kategori-kategori berikut ini :
(1)
Anggota angkatan perang
dari suatu Pihak yang bersengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau
prajurit cadangan sukarela, yang merupakan bagian dari angkatan perang itu;
(2)
Anggota-anggota milisi
serta anggota-anggota dari prajurit cadangan sukarela lainnya, termasuk gerakan
perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan
beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu
diduduki, asal saja milisi atau prajurit cadangan sukarela tersebut, termasuk
gerakan perlawanan yang diorganisir, memenuhi syarat-syarat berikut :
(a)
dipimpin oleh seorang
yang bertanggung jawab atas bawahannya;
(b)
mempunyai tanda
pengenal khusus yang tetap yang dapat dikenal dari jauh;
(c)
membawa senjata secara
terang-terangan;
(d)
melakukan
operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang;
(3)
Anggota-anggota
angkatan perang reguler yang tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang
tidak diakui oleh Negara Penahan;
(4)
Orang-orang yang
menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan
perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan
perang, pemasok barang perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau
dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal
saja mereka telah menerima kewenangan dari angkatan perang yang mereka sertai;
(5)
Anggota awak kapal
pelayaran niaga termasuk nakhoda, pemandu laut, taruna, dan awak pesawat
terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan
yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam hukum
internasional;
Penduduk
wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri
dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang
menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata
yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan
menghormati hukum dan kebiasaan perang.”[7]
Konvensi Jenewa II sangat
menghormati apa yang disebut dengan HAM terutama bagi orang-orang yang luka,
sakit atau korban karam, pasal 12 Konvensi Jenewa II mengatakan :
“ Anggota angkatan perang dan orang-orang lain yang
disebut dalam Pasal berikut yang berada di laut dan yang luka, sakit atau
korban karam, harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan, dengan pengertian
bahwa istilah "karam" berarti karam karena sebab apapun termasuk
pendaratan terpaksa di laut oleh atau dari pesawat terbang. Orang-orang
tersebut itu harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan dirawat oleh pihak
dalam sengketa dalam kekuasaan siapa mereka mungkin berada, tanpa perbedaan
merugikan yang didasarkan atas jenis kelamin, suku, kebangsaan, agama, pendapat
politik, atau setiap kriteria lainnya yang serupa.
Tiap serangan atas jiwa mereka atau tindakan kekerasan
atas diri mereka harus dilarang dengan keras; mereka terutama tidak boleh
dibunuh atau dimusnahkan, dijadikan obyek penganiayaan atau percobaan-percobaan
biologis; mereka tidak boleh dengan sengaja ditinggalkan tanpa bantuan dan
perawatan kesehatan, begitu pula tidak boleh ditimbulkan keadaan-keadaan yang
mengakibatkan mereka mendapat penyakit menular atau infeksi. Hanya
alasan-alasan kesehatan yang mendesak dapat membenarkan pengutamaan dalam
urutan pengobatan yang diberikan. Wanita harus diperlakukan dengan segala
kehormatan yang patut diberikan mengingat jenis kelamin mereka.”
Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian
mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak
asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensikonvensi
Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti
bahwa konvensi-konvensi Jenewa dan hak asasi manusia tidak memilki kaitan sama sekali.
Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung. Di satu
sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949
tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga
mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat
Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh
konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3
tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang
mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar
kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan
demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga
negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia
(HAM).[8]
Pelanggaran dalam
Konvensi Jenewa II dijelaskan dalam pasal 51 yaitu “Pelanggaran-pelanggaran berat yang
dimaksudkan oleh Pasal terdahulu ialah pelanggaran yang meliputi
perbuatan-perbuatan berikut apabila dilakukan terhadap orang atau harta benda
yang dilindungi oleh Konvensi : pembunuhan disengaja, penganiayaan atau
perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan-percobaan biologis,
menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau
kesehatan, serta pembinasaan yang meluas dan tindakan pemilikan atsa harta
benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan dengan
melawan hukum dan dengan semena-mena.”[9]
Pelanggaran berat
Tidak semua
pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang
paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches)
dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime).
Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah
tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi
oleh konvensi tersebut:
- pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau
perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi
- dengan sengaja menyebabkan
penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan
- memaksa orang untuk berdinas di
angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan
- dengan sengaja mencabut hak atas
pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang
Tindakan berikut
ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat:
- penyanderaan
- penghancuran dan pengambilalihan
properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip
kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa
alasan.
- deportasi, pemindahan, atau
pengurungan yang melawan hukum
Negara yang
menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan
peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut.
Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan
kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan
tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan
di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga
berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka
Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal
for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan
penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.[10]
Berikut adalah
contoh kasus tentang pelanggaran didalam hukum humaniter dan HAM :
“Pada saat Perang Vietnam,
Provinsi Quang Ngai
tepatnya di desa Son My Vietnam Selatan dicurigai oleh pasukan
Amerika sebagai tempat perlindungan kaum gerilyawan Angkatan Bersenjata Pembebasan
Rakyat dari Front
Nasional untuk Pembebasan Vietnam (FNPV), yang juga disebut "Viet Cong" atau "VC".
Desa Son My oleh pasukan Amerika disebut Pinkville (karena pada
peta berwarna merah jambu). Pada serangan tanggal 16 Maret 1968, selain
membantai ratusan penduduik sipil, pasukan Amerika juga menghancurkan rumah –
rumah yang ada di desa Song My, tepatnya di dusun My Lai. Pasukan Amerika
menganggap penting bahwa para gerilyawan FNPV harus dimusnahkan. Oleh sebab
itu, mereka tidak mengukur berapa banyak wilayah atau lokasi strategis yang
direbut atau dikuasai sebagai suatu sasaran operasi, melainkan berdasarkan
"jumlah mayat" penduduk yang dicurigai sebagai gerilyawan FNPV
yang terbunuh.
Tujuan
operasi pasukan AS menyerang My Lai adalah mencari dan menghancurkan musuh.
Namun komandan kompi C yaitu Kapten Ermest Medina merasa tidak jelas tindakan
apa yang diambil bila menemukan orang sipil di dusun My Lai.
Ada seorang prajurit Kompi C menannyakan kepada komandannya
yaitu Kapten Medina mengenai kemungkinan tindakan yang di ambil bila
bertemu dengan orang sipil khususnya wanita dan anak-anak. Kapten
Medina mengarahkan agar bertindak secara akal sehat, bila mereka bersenjata dan
berusaha melawan, maka diperbolehkan menembaknya. Berdasarkan informasi
intelijen bahwa dusun My Lai telah diduduki oleh FNPV dan seluruh
penduduknya sudah mengungsi.
Pada pagi hari 16
Maret 1968, satu peleton pasukan Amerika yang dipimpin oleh Letnan Willian
Calley memasuki dusun My Lai, mereka menemukan sekelompok penduduk yang terdiri
dari para perempuan, anak-anak dan laki – laki tua yang sedang melaksanakan
kegiatan rutin sehari-hari. Penduduk sipil tersebut kemudian ditembaki
secara membabi buta, ada sebagian penduduk dimasukkan ke dalam suatu banker
tempat persembunyian, kemudian bunker tersebut dimasukan granat, bahkan
banyak para wanita yang diperkosa sebelum dibunuh. Selama serangan,
tidak ada suara tembakan atau tidak ada perlawanan dari pihak penduduk
sipil yang ada di dusun My Lai. Jumlah korban tewas dalam serangan di
dusun My Lai mencapai 500 orang.
Prajurit
Amerika mendapatkan doktrin dari atasannya agar dalam laporan hasil
operasi tersebut untuk melebihkan perhitungan jumlah korban yang
tewas dari pihak FNPV. Dalam perjuangannya, para gerilyawan
dari FNPV membaur dengan penduduk sipil, sehingga pasukan Amerika kesulitan
membedakan gerilyawan FNPV dan pendudk sipil tersebut. Pasukan Amerika
merasa kesulitan menghadapi taktik dari gerilyawan FNPV. Hal lain yang
melatar belakangi pembantaian di My Lai adalah ketidakmampuan pasukan
Amerika untuk mengejar gerilyawan yang selalu lolos dari penyergapan dan timbulnya
rasa takut akan penyergapan balik dari gerilyawan FNPV. Ada kemungkinan pasukan
Amerika melampiaskan kemarahannya dengan cara melakukan pembantaian terhadap
penduduk sipil yang tidak bersenjata di dusun My Lai.
Pada awalnya,
peristiwa pembantaian ini ditutupi oleh Angkatan Darat AS dan dinyatakan
sebagai kemenangan menghadapi gerilyawan gerilyawan FNPV. Satu
tahun setelah pembantaian di My Lai, masalah ini mencuat di media masa,
sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat AS. Pada tanggal 29
Maret 1968, Ronald Ridenhour seseorang prajurit dari satuan lain mengetahui
pembantaian di My Lai dan memberitahukan kepada Melvin Laird yang
menjabat sebagai sekretaris Menteri Pertahanan AS. Para wartawan mengetahui apa
yang terjadi, kemudian memberitakan peristiwa tersebut sebagai high lines news.
Dengan gencarnya pemberitaan peristiwa pembantaian ini di media masa,
menimbulkan protes dari masyarakat Amerika sendiri. Tindakan
selanjutnya adalah pihak Angkatan Darat AS melaksanakan penyelidikan terhadap
tindakan prajurit Amerika pada perang Vietnam tersebut. Presiden Richard Nixon
pada waktu itu memerintahkan untuk mempercepat penarikan kembali pasukan AS
dari Vietnam. Pihak Angkatan Darat AS memeriksa 12 personel
yang terdiri dari perwira, tamtama dan bintara. Hasil dari penyelidikan
dan penyidikan di mahkamah militer menyatakan bahwa Letnan William Calley
bersalah dan dihukum seumur hidup.”[11]
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan
bahwa, Konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil di waktu perang bukan merupakan
penyempurnaan daripada konvensi-konvesi yang telah ada, melainkan adalah suatu
konvensi yang baru[12].
Selanjutnya dikatakan bahwa ini tidak berarti bahwa sebelumnya kedudukan dan
hak-hak penduduk sipil belum pernah diatur dalam hukum perang yang tertulis.
Orang- orang yang dilindungi dalam konvensi adalah mereka yang dalam suatu
konflik bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dengan
cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu pihak dalam pertikaian atau
kekuasaan penduduk yang bukan negara meraka. Warganegara suatu negara yang
tidak terikat oleh konvensi tidak dilindungi pleh konvensi. Warga negara suatu
negara netral yang ada di wilayah suatu negara yang berperang, serta warga
negara dari suatu negara yang berperang, tidak akan dianggap sebagai
orang-orang yang dilindungi, selama negara mereka mempunyai perwakilan
diplomatik biasa di negara yang menguasai mereka. Dengan demikian untuk
mendapatkan perlindungan konvensi ini seorang prajurit harus (1) luka dan
sakit, (2) telah meletakkan senjatanya. Seorang prajurit yang tidak luka dan
sakit tetapi meletakkan senjatanya dan menyerahkan diri memperoleh perlindungan
juga, namun tidak dibawah konvensi ini, melainkan dibawah konvensi III mengenai
Perlakuan Tawanan Perang.
Sanksi dalam Konvensi Jenewa
II di jelaskan dalam pasal 50 yang berbunyi “Pihak Peserta Agung
berjanji untuk menetapkan peraturan yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana
effektip terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan
salah satu di antara pelanggaran berat atas Konvensi ini sebagaimana ditentukan
di dalam Pasal berikut.
Tiap Pihak Peserta Agung berkewajiban untuk mencari
orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan
pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang
demikian, dengan tak memandang kebangsaanya. Pihak Peserta Agung dapat juga,
jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan
sendiri, menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain yang berkepentingan,
orang-orang demikian untuk diadili, asal saja Pihak Peserta Agung itu dapat
menunjukkan suatu perkara prima facie.
Tiap Pihak Peserta Agung harus mengambil
tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas selain pelanggaran berat yang
ditentukan dalam Pasal berikut, segala perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi ini.
Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapat
jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang tak boleh kurang
menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Pasal 105 dan
jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan
Perang tertanggal 12 Agustus 1949.”[13]
Dari
apa yang telah dijelaskan diatas maka beberapa pihak seperti Liga Bangsa-bangsa
mau[un sarjana-sarjana ahli hukum tidak menghapus dan melarang adanya perang.
Namun, Suasana perang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satu
bidang diantaranya ialah hukum perang. Karena orang tidak menginginkanadanya
timbul perang, maka istilah perang sejauh mungkin harus dihindari. Dengan
sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai. Di bidang lain suasana
tersebut juga berpengaruh besar. Meskipun pada waktu itu terjadi berbagai
pertikaian senjata, yang dilihat dari segi militer sudah pantas disebut perang,
namun pihak-pihak yang bertikai tidak mau menyebut pertikaian tersebut sebagai
perang,merak takut di cap agresor.
Sebagai pengganti perang antara lain dipakai istilah : incident Mansuria, penyerbuan
Tiongkok.
Meraka
yang menentang pengkajian hukum perang mengajukan berbagai alasan :
a. hukum
perang tidak mungkin disusun, sebab perang tidak dapt diatur; perang hanya
dapat ditiadakan
b. hukum
perang tidak perlu ada, karena dalam praktek pasti akan dilanggar;
c. perang
sudah ditiadakan, oleh karena itu hukum perang sudah tidak ada lagi;
d. karena
perang sudah dinyatakan bertentangan dengan hukum )outlawed), maka pembahasaan
hukum perang adalah tidak logis, dan seolah-olah kita tidak percaya kepada
kemajuan yang telah dicapai dalam usaha untuk menghapus perang.[14]
Dalam
konvensi Jenewa secara tidak langsung menjelaskan tentang teritorial laut dan
untuk menhindari terjadinya perang dan membatasi negara dengan hak-hak
wilayahnya yang dikenal dengan Hukum Laut International, namun dalam konvensi
jenewa ahanya mengatur tentang hak lintas
damai melalui laut teritorial dan laut pedalaman yang terbentuk karena
penarikan garis pangkal lurus. Dan dengan berkembangnya hukum-hukum dana aturan
yang mengatur hal tersebut terbentuklah Konvensi Hukum Laut (KHL) tahun 1982 yang
lebih menjelaskan teantang hukum laut internasional. Di dalam KHL, hak lintas
kapal –kapal asing diatur dalam tiga kategori, yaitu :
a.
hak lintas damai;
b.
hak lintas transit;
c.
hak lintas alur kepulauan
Secara umum tujuan
pengaturan lintas kapal asing ini adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan
negara pantai yang dilalui oleh kapal-kapal asing; disamping itu untuk tujan
keselamatan pelayaran kapal-kapal yang bernsangkutan[15].
Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Konsep ini merupakan suatu konsep
baru yang tidak dikenal dalam hukum internasional selama ini. Jauh sebelum
lahirnya konsep ini, batas terluar laut teritorial dianggap sebagai batas
antara bagian laut ke arah darat tempat berlaku kedaulatan penuh negara pantai
dan bagian laut arah luar dari batas tersebut tempat berlaku kebebasan di laut
lepas. Konsep zona ekslusif ekonomi dapat dianggap sebagai suatu hasil revolusi
yang telah mengubah sedemikian rupa pengaturan atas laut.
Dalam
sebagian besar literatur yang ada, konsep ini selalu diakitkan dengan konsep penguasan
wilayah atas laut yang pada tahun 1947 dilakukan oleh beberapa negara Amerika
Latin, khusunya tiga negara Chili, Ekuador dan Peru, terhadap wilayah perairan
sejauh 200 mil laut dari pantai negaranya, dalam bentuk perlindungan serta
pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah tersebut.
Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982
menetapkan bahwa pada suatu jalur laut yang terletak di luar dan berdampingan
dengan laut teritorialnya, yang
dinamakan zona ekslusif ekonomi, suatu negara mempunyai hak-hak berdaulat dan
yusrisdiksi khusus untuk memanfaatkan kekayaan alam yang berada pada jalur
tersebut, termasuk pada dasar laut dan tanah dibawahnya.Pelaksanaan hak dan
yuridiksi tersebut, diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan sebagaimana
mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain sesuai dengan ketentuan konvensi.
Batas terluar Zona Ekonomi Ekslusif ini tidak boleh melebihi 200 mil laut,
diukur dari garis pangkal yang sama yang dipakai untuk mengukur lebar laut
teritorial.
1. Batas Kedaulatan
Wilayah Udara Secara Horisontal
Seperti telah diketahui bahwa batas
wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara
tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di
wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat
negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah
yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United
Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara
pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang
diukur dari garis pangkal (base line). Yaitu dengan cara luas daratan yang
berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan
Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.
Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional.[16]
Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional.[16]
Tetapi ada beberapa negara seperti
Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur
tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan istilah A.D.I.Z.
(Air Defence Identification Zone) yaitu setiap pesawat udara yang terbang
menuju negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan
jati diri pesawat udara. Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya
yang datang melalui ruang udara.
2. . Batas Kedaulatan Wilayah Udara Secara Vertikal
Untuk menentukan batas kedaulatan di wilayah udara secara vertikal masih tetap menjadi permasalahan sampai dengan saat ini, karena perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum dan yurisprudensi internasional yang mengatur tentang batas kedaulatan wilayah udara secara vertikal belum ada, maka beberapa sarjana terkemuka khususnya ahli hukum udara berusaha untuk membuat beberapa konsep (teori, ajaran atau pendapat) yang mungkin dapat digunakan sebagai landasan pembuatan peraturan tentang batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara, yaitu misalnya konsep dari :
a) Beaumont dan Shawcross yang
menyebutkan bahwa batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara adalah tidak terbatas.
kedaulatan negara di ruang udara adalah tidak terbatas.
b) Cooper yang menyebutkan bahwa batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi negara itu dapat menguasainya.
c) Holzendorf yang menyebutkan bahwa
batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi 1000 meter
yang ditarik dari permukaan bumi yang tertinggi.
d) Lee yang menyebutkan bahwa batas
ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah sama dengan jarak tembakan
meriam (canon theory).
e) Von Bar yang menyebutkan bahwa
batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah 60 meter dari
permukaan bumi.
f) Priyatna Abdurrasyid yang
menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah
setinggi sebuah pesawat udara konvensional sudah tidak dapat lagi melayang.
Pendapat Priyatna Abdurrasyid ini
pernah ditentang dengan adanya Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan
Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “T.N.I.- A.U. selaku penegak
kedaulatan negara di udara mempertahankan wilayah dirgantara nasional ……….
dstnya”. Kata dirgantara berarti mencakup ruang udara dan antariksa (ruang
angkasa) termasuk G.S.O. (Geo Stationer Orbit).
Dengan demikian pada waktu itu
negara Indonesia tidak menganut pendapat Priyatna Abdurrasyid tetapi menganut
pendapat Beaumont dan Showcross.
Dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang batas ketinggian wilayah udara yang dapat dimiliki oleh negara bawah, maka banyak negara-negara di dunia melakukan secara sepihak menetapkan batas ketinggian wilayah udara nasionalnya seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat melalui Space Command menetapkan batas vertikal udara adalah 100 kilometer.
Dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang batas ketinggian wilayah udara yang dapat dimiliki oleh negara bawah, maka banyak negara-negara di dunia melakukan secara sepihak menetapkan batas ketinggian wilayah udara nasionalnya seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat melalui Space Command menetapkan batas vertikal udara adalah 100 kilometer.
Negara Australia di dalam Australian
Space Treaty Act 1998 menetapkan batas ketinggian wilayah udaranya adalah 100
kilometer yang diukur dari permukaan laut. Negara Korea Selatan mengusulkan
dalam sidang UNCOPUOS 2003 bahwa batas ketinggian wilayah udara adalah antara 100
sampai dengan 110 kilometer.
Negara Rusia mengusulkan dalam
sidang UNCOPUOS 1992 batas ketinggian wilayah udara adalah antara 100 sampai
dengan 120 kilometer.
Sedangkan negara Indonesia pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”, serta pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa “batas wilayah negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”.
Sedangkan negara Indonesia pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”, serta pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa “batas wilayah negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”.
Sebagian besar negara di dunia,
termasuk Indonesia, telah meratifikasi Konvensi Geneva (Konvensi Jenewa II)
1944 sehingga kita menganut pemahaman bahwa setiap negara memiliki kedaulatan
yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya, dan tidak
dikenal adanya hak lintas damai.[17]
Kesimpulan :
-
Hukum humaniter adalah bukan hukum
yang mengatur tentang bagaimana cara memanusiakan perang karena pada dasarnya
perang tidak ada yang manusiawi, tatapi tujuan dari di bentuknya hukum
humaniter adalah meminimalisir kesewenang-wenangan dalam perang dan menjunjung
tinggi HAM.
Baharuddin
Ahmad Naim, S.H., M.H. Hukum Humaniter Internasional 2010,
Lampung
Haryomataram,
S.H. Hukum Humaniter 1984, CV.
Rajawali, Jakarta
Shaymin
A K, S.H. Hukum Internasional Humaniter 1
(Bagian umum) 1985, CV ARMICO Bandung
Hukum_Humaniter_dan_HAM.pdf
http://www.tandef.net/analisis-pelanggaran-hukum-humaniter-pada-penyerbuan-desa-may-lai-dalam-perang-vietnam-tanggal-16-maret-1968
Muthalib
Abdul Tahar, S.H., M.Hum Zona-zona
maritim bedasarkan konvensi hukum laut 1982 dan perkembangan hukum laut di
Indonesia 2012, fakultas hukum, universitas lampung
Makalah
Hukum Internasional 2011 fakultas hukum, universitas lampung hlm. 13-14
[1] Baharuddin Ahmad Naim, S.H., M.H.
Hukum Humaniter Internasional 2010,
Lampung hlm. 7
[2] Haryomataram, S.H. Hukum Humaniter
1984, CV. Rajawali, Jakarta hlm. 3
[3] Shaymin A K, S.H. Hukum
Internasional Humaniter 1 (Bagian umum) 1985, CV ARMICO Bandung hlm. 8
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/hukum_humaniter_internasional
[5] Konvesi Jenewa II 1949 pasal 2
[6] Konvensi Jenewa II 1949 pasal 17
[7] Konvensi Jenewa II 1949 pasal 13
[8] Hukum_Humaniter_dan_HAM.pdf
[9] Konvensi Jenewa II 1949 pasal 51
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/konvensi_jenewa
[11] http://www.tandef.net/analisis-pelanggaran-hukum-humaniter-pada-penyerbuan-desa-may-lai-dalam-perang-vietnam-tanggal-16-maret-1968
[12] Shaymin A K, S.H. Hukum
Internasional Humaniter 1 (Bagian umum) “dikutip dari mochtar kusumaatmadja hal
75-97” 1985, CV ARMICO Bandung hlm. 116
[13] Konvensi Jenewa II 1949 pasal 50
[14] Haryomataram, S.H. Hukum
Humaniter 1984, CV. Rajawali, Jakarta hlm. 9
[15] Muthalib Abdul Tahar, S.H., M.Hum Zona-zona
maritim bedasarkan konvensi hukum laut 1982 dan perkembangan hukum laut di
Indonesia 2012, fakultas hukum, universitas lampung hlm. 5
[16] Makalah Hukum Internasional 2011 fakultas hukum, universitas lampung
hlm. 13-14
[17] Ibid. Hlm 14-16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar