BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan
Kerja
Hubungan kerja
adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya
perjanjian kerja. Dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undangg No. 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Analisis dari pernyataan di atas: maksudnya hubungan kerja itu adalah hubungan yang hanya
terjadi pada seseorang yang ingin maupun sedang bekerja pada orang lain.
Hubungan kerja dilakukan setelah seorang pelamar kerja tersebut diterima
ditempat dimana dia melamar pekerjaan tersebut.
B. Perjanjian Kerja
1. Pengertian Perjanjian
Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa
pengertian. Pasal 1601 a KUH Perdata memberikan pengertian sebagai berikut:
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak
kesatu (buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak lain, si
majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum.
Dapat dikatakan lebih umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Pengertian perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 ini
tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tertulis, demikian juga
mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur
dalam Undang-Undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
2. Unsur-unsur dalam
Perjanjian Kerja
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja di atas, dapat
ditarik beberapa unsur dari perjanijan kerja yakni:
a. Adanya unsur work atau pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja
ada pekerjaan yang diperjanjikan, pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri
oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain.
Sifat pekerjaan yang
dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan
keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka
perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
b. Adanya unsur Perintah
Manifestasi dari pekerjaan
yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan
harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan
yang diperjanjikan.
c. Adanya Upah
Upah memegang peranan
penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang
pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah.
Analisis dari ketiga unsur di atas: maksud dari ketiga unsur di atas adalah, sebuah perjanjian
kerja harus memuat ketiga unsur tadi, jika salah satu unsur tidak terpenuhi
maka tidak ada suatu hubungan kerja yang disepakati, sebab akan ada pihak yang
dirugikan baik itu pihak pengusaha maupun pihak pekerja itu sendiri.
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Kerja
Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 Undang-Undang
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian
kerja dibuat atas dasar:
1. Kesepakatan kedua belah
pihak;
2. Kemampuan atau kecakapan
melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya pekerjaan yang
diperjanjikan;
4. Pekerjaan yang diperjanjikan
tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesepakatan
kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya
maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus
setuju/sepakat, seia-sekata hal-hal yang diperjanjikan. Keempat syarat tersebut
bersifat kumulatif, artinya hanya dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa
perjanjian tersebut sah. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan
hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.
4. Bentuk dan Jangka Waktu
Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau
tertulis (Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang no. 13 Tahun 2003). Namun, tidak dapat
dipungkiri masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat
perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya
manusia maupun karena kelaziman, sehingga atas dasar kepercayaan membuat
perjanjian kerja secara lisan. Dalam pasal 54 Undang-undang no. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara
tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a) Nama, alamat perusahaan, dan
jenis usaha;
b) Nama, jenis kelamin, umur,
dan alamat pekerja/buruh;
c) Jabatan atau jenis
pekerjaan;
d) Tempat pekerjaan;
e) Besarnya upah dan cara
pembayaran;
f) Syarat-syarat kerja yang
memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g) Mulai dan jangka waktu
berlakunya perjanjian kerja;
h) Tempat dan tanggal
perjanjian kerja dibuat;
i)
Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Analisis pernyataan di atas: Penjelasan di atas menyebutkan bahwa perjanjian kerja dapat
dibuat dengan cara tertulis maupun hanya secara lisan. Namun, pada zaman
sekarang agar para pekerja lebih terjamin keberadaannya ketika ia bekerja di
suatu perusahaan sebaiknya menggunakan cara tertulis, seperti yang dimuat dalam
pasal 54 UU No. 13 tahun 2003. Hal ini untuk mencegah tindakan sewenang-wenang
dari pihak perusahaan kepada nasib para pekerja, dan jika terjadi kesalahan
maka pekerja tersebut dapat menggugat pihak pengusaha kepada pengadilan dan
perjanjian kerja yang tertulis itu dapat digunakan sebagai bukti pembelaan bagi
pekerja yang bersangkutan.
Perjanjian kerja
yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan perjanjian kerja
kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya adalah pekerja
tidak tetap atau pekerja kontrak. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu
tertentu harus dibuat secara tertulis (pasal 57 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak
kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya
masa percobaan.
Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai
kinerja dan kesungguhan, kerahlian seorang pekerja. Dalam pasal 59 ayat 1
undang-undang nomor 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk
waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali
selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat
musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
5. Kewajiban Para Pihak
dalam Perjanjian Kerja
a. Kewajiban Buruh/Pekerja
Dalam KUH Perdata ketentuan mengenai kewajiban
buruh/pekerja diatur dalam pasal 1603, 1603a, 1603b, dan 1603c KUH Perdata yang
pada intinya adalah sebagai berikut:
1) Buruh/pekerja wajib
melakukan pekerjaan;
2) Buruh/pekerja wajib menaati
aturan dan petunjuk majikan/pengusaha;
3) Kewajiban membayar ganti
rugi dan denda.
b. Kewajiban Pengusaha
1) Kewajiban membayar upah;
2) Kewajiban memberikan
istirahat/cuti;
3) Kewajiban mengurus perawatan
dan pengobatan;
4) Kewajiban memberikan surat
keterangan.
C. Perjanjian Perburuhan/kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/Perjanjian
Kerja Bersama (PKB)
Istilah
perjanjian perburuhan dikenal dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1954 tentang
Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan,
undang-undang ini merupakan salah satu dari undang-undang yang dinyatakan
dicabut dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
1. Pengertian perjanjian
Perburuhan/KKB/PKB
Dalam KUH
Perdata pasal 1601n disebutkan bahwa Perjanjian Perburuhan adalah peraturan
yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang perkumpulan majikan yang berbadan
hukum dan atau beberapa serikat buruh yang berbadan hukum mengenai
syarat-syarat kerja yang harus diindahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.
Selanjutnya dalam UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat
Buruh dengan Majikan disebutkan Perjanjian Perburuhan adalah perjanjian yang
diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang terdaftar pada
Kementerian Perburuhan dengan majikan, majikan-majikan, perkumpulan majikan
yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat
kerja yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja.
Perjanjian Kerja yang di buat sekurang-kurangnya rangkap 2 memiliki
kekuatan hukum yang sama. Secara umum menurut UU Ketenagakerjaan ada 2 macam
Perjanjian Kerja yakni :
1.
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu atau
disebut PKWT
2. Perjanjian
Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu atau disebut PKWTT
2. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Pengertian Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu ada dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004, Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyebutkan bahwa, Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Pihak yang bersangkutan
dalam penandatanganan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah pekerja secara pribadi dan langsung dengan
pengusaha.
Isi dari PKWT bersifat mengatur hubungan
individual antara pekerja dengan perusahaan/pengusaha,
contohnya: kedudukan atau jabatan, gaji/upah pekerja, tunjangan serta fasilitas apa yang
didapat pekerja dan hal-hal lain yang
bersifat mengatur hubungan kerja
secara pribadi. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap namun dapat diperpanjang atau diperbaharui.
PKWT yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang
1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Syarat kerja yang diperjanjikan
dalam PKWT tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan ditetapkan juga apabila pengusaha
bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu paling lama 7 hari
sebelum PKWT berkakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Selain itu diatur pula masa pembaharuan perjanjian kerja yang hanya dapat
diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari dan hanya boleh dilakukan
1 kali dengan jangka waktu paling lama 2 tahun. Pencatatan PKWT wajib
dilaksanakan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak
penandatanganan.
Hubungan Kerja itu sendiri merupakan hubungan (hukum) antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan sebuah Perjanjian Kerja. Dengan demikian,
hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja
adalah sesuatu yang konkrit atau nyata. Maka dengan adanya perjanjian kerja,
akan lahir pula sebuah perikatan.
Dengan kata lain, perikatan yang lahir karena adanya perjanjian kerja
inilah yang merupakan sebuah hubungan kerja. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 15
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, unsur-unsur hubungan kerja
terdiri dari :
1)
Adanya pekerjaan;
2) Adanya
perintah; dan
3) Adanya upah.
Pengertian yang sama juga disebutkan bahwa PKWT adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang
diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek yang jangka
waktunya paling lama 2 (dua) tahun, dan hanya dapat diperpanjang satu kali
untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan
seluruh (masa) perjanjian tidak boleh melebihi 3 (tiga) tahun lamanya.
Ketentuan di atas ada dan sesuai
dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan (2)
Kepmen Nakertrans Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004[1], yang
menyatakan PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya
adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dengan waktu
paling lama 3 (tiga) tahun.
Disebutkan dalam Pasal 13 Kepmen Nakertrans Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004, bahwa PKWT wajib dicatatkan oleh
pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
penandatanganan[2].
Dan PKWT sendiri merupakan perjanjian bersyarat, yakni (antara lain)
dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa Indonesia,
dengan ancaman bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat
dengan bahasa Indonesia, maka akan dinyatakan sebagai Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 57 ayat
(2) UUK.
PKWT sendiri tidak dapat atau tidak boleh dipersyaratkan adanya masa
percobaan (probation), dan apabila dalam perjanjian PKWT terdapat
klausul masa percobaan, maka klausul tersebut dianggap tidak pernah ada atau
batal demi hukum.
Dengan demikian apabila dilakukan
pengakhiran hubungan kerja (pada PKWT) karena alasan masa percobaan, maka
pengusaha dianggap memutuskan hubungan kerja sebelum berakhirnya perjanjian
kerja, oleh karenanya pengusaha dapat dikenakan sanksi untuk membayar ganti
kerugian kepada pekerja/buruh sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Berikut ini adalah jenis dan sifat pekerjaan
yang diperbolehkan menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu:
1.
Pekerjaan
yang selesai sekali atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama
tiga tahun.
·
Apabila pekerjaan
dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjian
maka Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu tersebut putus demi hukum
pada saat selesainya pekerjaan.
·
Dalam Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
harus mencantumkan batasan suatu pekerjaan
dinyatakan selesai.
·
Apabila pekerjaan
tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu.
·
Pembaruan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
dilakukan setelah masa tenggang waktu
30 hari setelah berakhirnya Perjanjian
Kerja. Selama tenggang waktu 30 hari tersebut, tidak ada hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan/pengusaha.
2.
Pekerjaan
Musiman
ü
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
ini hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan
pada musim tertentu.
ü
Pekerjaa-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi
pesanan/target tertentu dapat
dilakukan dengan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu sebagai pekerjaan musiman.
ü
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
untuk pekerjaan musiman tidak dapat
dilakukan pembaruan.
3.
Pekerjaan
yang terkait dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan.
v
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
untuk jenis pekerjaan ini hanya dapat
dilakukan untuk jangka waktu paling
lama 2 tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 tahun.
v
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
untuk pekerjaan ini tidak dapat
dilakukan pembaruan.
v
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
hanya boleh diberlakukan bagi pekerja
yang melakukan pekerjaan di luar
kegiatan atau di luar perkerjaan yang
biasa dilakukan perusahaan.
4.
Pekerjaan
harian/ Pekerja lepas
o
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada
kehadiran.
o
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
untuk pekerja harian lepas dilakukan
dengan ketentuan pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.
o
Apabila pekerja
harian bekerja selama 21 hari atau
lebih selama 3 bulan berturut-turut maka Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu.
o
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja harian/lepas wajib membuat perjanjian kerja secara tertulis.
o
Perjanjian
Kerja tersebut harus memuat
sekurang-kurangnya: Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja, nama/alamat pekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan dan besarnya upah
dan/atau imbalan lainnya.
Kemudian apakah perjanjian kerja waktu tertentu dapat dibuat dalam bahasa
Inggris dan ditandatangani oleh orang asing? Maka jawabannya adalah tidak bisa
sebab dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 pasal 57 ayat 1 menyatakan
bahwa, perjanjian kerja
untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
Meski para pihak adalah orang asing, hukum yang berlaku dalam perjanjian tersebut adalah Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, oleh karena itu PKWT
harus dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan terjemahan ke Bahasa Inggris.
Segala ketentuan yang mengikat secara hukum adalah ketentuan yang ditulis dalam
Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris dalam Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
tersebut hanyalah merupakan terjemahan, agar para pihak mengerti isinya.
BAB III
PENUTUP
-Kesimpulan:
1. Hubungan kerja adalah
hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian
kerja.
2. Unsur-unsur dalam Perjanjian
Kerja adalah Adanya unsur work atau
pekerjaan, adanya unsur perintah, adanya upah.
3. Perjanjian kerja dapat
dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang no.
13 Tahun 2003).
4. Masa percobaan adalah masa
atau waktu untuk menilai kinerja dan kesungguhan, keahlian seorang pekerja.
5. Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
-Saran:
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
-Sumber dari Internet:
1)
oomwil.wordpress.com/2012/perjanjian-kerja-waktu-tertentu-pkwt.
2) Indonesia.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
3) Indonesia.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu
-Sumber dari Buku:
1) Husni, Lalu. 2000. Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar