BAB II
PEMBAHASAN
1. Ciri Khas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Kemungkinan Implikasi yang Timbul di Masa Mendatang
Otonomi daerah merupakan tema lama yang tampaknya selalu
menemukan aktualitas dan relevansinya. Dikatakan tema lama, karena undang-undang
dasar 1945 telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi
otonomi daerah. Letak aktualitas dari tema lama tersebut, bahwa walaupun
otonomi daerah mempunyai landasan yuridis yang kuat, tetapi pelaksanaannya
senantiasa menjadi perdebatan berbagai pihak[1].
Sistem pemerintahan daerah yang dibentuk dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini pun juga menjadi perdebatan publik.
Pihak-pihak yang menganut prinsip negara kesatuan menganggap Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 terlalu memberikan keleluasan kepada daerah, sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan disintegrasi karena (1) terkotak-kotaknya antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain, dan (2) tidak terkendalinya daerah
oleh pemerintah pusat.
Dilihat dari isi undang-undang ini secara keseluruhan,
ada beberapa ciri yang menonjol, yaitu:
1.
Demokrasi dan Demokratisasi[2]
Ciri ini menyangkut
dua hal utama, yaitu pertama mengenai rekrutmen Pejabat Politik di Daerah, dan
yang kedua adalah menyangkut proses legislasi di daerah.
2.
Mendekatkan Pemerintah dengan Rakyat
Pada sistem
pemerintahan daerah yang baru, pelaksanaan otonomi daerah secara luas
diletakkan di Daerah Kabupaten dan Daerha Kota, bukan kepada Daerah Provinsi. Dengan
demikian, diharapkan pemerintah daerah dapat melaksanakan fungsi pemerintahan
umum itu kepada rakyat secara cepat dan tepat.
3.
Sistem Otonomi Luas dan Nyata
Dengan sistem ini
Pemerintah Daerah berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan
pemerintahan, kecuali di bidang politik luar negeri, moneter dan fiskal,
pertahanan dan keamanan, peradilan dan agama, serta bidang-bidang lain yang
memang kewenangan pemerintah pusat.
4.
Tidak Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat
Hal lain yang perlu
dicatat dari keberadaan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang baru ini
adalah tidak diberlakukannya sistem otonomi yang bersifat bertingkat dan
residual seperti yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974.
5.
No Mandate Without
Funding
Penyelenggaraan
tugas “pemerintah” di “Daerah” harus dibiayai dari dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (pasal 78 ayat 2), dan “Penyerahan atau Pelimpahan kewenangan
Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan
Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya (pasal 2
ayat 4) UU No. 25 Tahun 1999 tentang PKPD.
6.
Penguatan Posisi Rakyat melalui DPRD
Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 membuka peluang yang sangat besar bagi penguatan masyarakat di
daerah dengan diperkuatnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kemungkinan Implikasi ke
Depan
1.
Implikasi Terhadap Hubungan Eksekutif-Legislatif
Dimensi positif dari
penguatan atau pemberdayaan terhadap lembaga legislatif Daerah adalah DPRD akan
lebih aktif di dalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat,
kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah
bersama-sama Kepala Daerah. Jika implikasi negatif ini ternyata yang berkembang
dan konflikpun berlarut-larut, maka yang terjadi adalah instabilitas jalannya
pemerintahan, dan kinerja kedua lembaga itu praktis menurun.
2.
Implikasi Terhadap Keuangan Daerah
Kemampuan keuangan
jelas sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan, baik
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat ataupun guna memberikan
perlindungan.
3.
Implikasi Terhadap Pengembangan dan Pembinaan Birokrasi Lokal
Dengan diserahkannya
kewenangan yang luas kepada daerah, maka implikasi berdimensi positif terhadap
pengembangan dan pembinaan birokrasi lokal adalah menyangkut pengembangan
organisasi dan karier aparatur Pemerintah Daerah.
4.
Implikasi Terhadap Dinamika Politik Lokal
Pada masa mendatang
kita harus dapat mengantisipasi terhadap kemungkinan tumbuhnya dinamika politik
lokal yang sangat tinggi. Hal itu sejalan dengan berkembangnya proses
demokratisasi di semua tingkatan masyarakat.
2. Pemerintahan Daerah Menurut UU. No. 32 Tahun 2004
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya. Hubungan wewenang, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan
hubungan administrasi[3]
dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
Dalam rangka penyelenggaraan hubungan kewenangan antara
pemerintah dan daerah, UU No. 32 Tahun 2004 pasal 10 menegaskan, pemerintah
daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan
pemerintah. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah meliputi: (a) politik
luar negeri, (b) pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal
nasional, (f) agama[4].
Dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut di atas, pemerintah
menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah dapat menugaskan
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 11
ayat 1 penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar
susunan pemerintahan.
Kriteria eksternalitas adalah
pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan
dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional
menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan
Pemerintah.
Kriteria akuntabilitas
adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa
tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat
pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang
ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Kriteria efisiensi
adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan
tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan
ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam
penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan
oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila
ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah
Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004
pasal 11 ayat 3 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Dalam pasal 11 ayat 4
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada
standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh
Pemerintah.
Urusan wajib adalah adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar (Pasal 7
Ayat (1) PP No. 38 Tahun 2007). Dalam UU N0 32 tahun 2004 Pasal 14 ayat 1
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota
merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota, meliputi[5]:
a.
perencanaan dan
pengendalian pembangunan;
b.
perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.
penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.
penyediaan sarana dan
prasarana umum;
e.
penanganan bidang
kesehatan;
f.
penyelenggaraan
pendidikan;
g.
penanggulangan masalah
sosial;
h.
pelayanan bidang
ketenagakerjaan;
i.
fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.
pengendalian
lingkungan hidup;
k.
pelayanan pertanahan;
l.
pelayanan
kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum
pemerintahan;
n.
pelayanan administrasi
penanaman modal;
o.
penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya; dan
p.
urusan wajib lainnya
yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pilihan adalah urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan (Pasal 7 ayat (3) PP No. 38 Tahun 2007). Dalam UU No
32 tahun 2004 pasal 14 ayat 2, Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat
pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
3. Jenis–jenis ajaran rumah tangga
dan sistem rumah tangga yang dianut oleh Indonesia berdasarkan Undang –
undang Nomor 32 tahun 2004
a. Ajaran
rumah tangga formal
Sistem rumah tangga formal,
pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak ditetapkan secara
rinci. Dalam ajaran rumah tangga formil tidak terdapat
perbedaan sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat
dan oleh pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat
pada prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah demikian pula
sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas pertimbangan
rasional dan praktis[6].
Artinya pembagian tugas itu
tidaklah disebabkan karena materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan
semata-mata karena keyakinan bahwa kepentingan daerah itu lebih baik dan
berhasil jika diselenggarakan sendiri daripada diselenggarakan oleh pemerintah
pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah yang menentukan pembagian tugas itu bukan
disebabkan oleh perbedaan sifat dari urusan yang menjadi tanggung jawab
masing-masing.
Sistem rumah tangga formal
merupakan sarana yang baik untuk mendukung kecederungan sentralisasi.
Ketidakpastian urusan rumah tangga daerah, tidak ada tradisi otonomi, rendahnya
inisiatif daerah akan menjelmakan daerah yang serbah menunggu dan tergantung
kepada pusat. Terlebih lagi apabila keuangan daerah tidak mampu menopang
kegiatannya dan tergantung pula pada bantuan keuangan dari pusat.
Terdapat hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian
tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci dengan jelas dan
diperiinci dengan tegas dalam Undang –Undang tentang pembentukan suatu daerah.
Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan
satu persatu dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam
perincian tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada
ditangan pemerintah pusat. Jadi ada perbedaan sifat materi antara tugas
pemerintah pusat dam pemerintah daerah.
c.
Ajaran rumah tangga secara riil
Ajaran rumah tangga secara riil
maksudnya ialah, sistem rumah tangga ini berdasarkan pada kenyataan dan faktor
– faktor senyatanya yang dimiliki oleh daerah, sehinnga terdapat harmoni antara
tugas dengan kemampuan dan kekuatan, baik dalam daerah itu sendiri maupun
dengan pemerintah pusat. Keadaan nyata tersebut tercermin dari kemampuan atau
kekuatan daerah baik menyangkut kemampuan keuangan, sumber daya manusianya
maupun kemampuan lainnya. Ajaran ini merupakan jalan tengah antara ajarann
rumah tangga materiil dan ajaran rumah tangga formal. Sistem rumah tangga riil
pertama kali dipergunakan oleh Undang – undang Nomor 1 tahun 1957.
4.
Ajaran rumah tangga yang dianut oleh Indonesia berdasarkan Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004
Mengenai ajaran rumah tangga yang dianut di Indonesia, telah
dijelaskan dalam UU No.32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 2 Pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 1 ayat 5 UU No. 32 Tahun 2004[8] berbunyi: Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya (ada pada UU No. 32 Tahun 2004) dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran
serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Undang-undang
No 32 tahun 2004 menganut sistem rumah tangga materil yaitu yang terdapat
dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No 32 Tahun 2004 “Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”.
Undang-undang ini menganut juga sistem
formal dalam pasal 10 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 “Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. Dimana dalam hal ini Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk memberi pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertuujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Selain
menganut sistem materiil dan formal,
undang-undang ini juga menganut sistem
riil (dalam Pasal 13 ayat 2 dan Pasal 14 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004).
Dimana untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan
berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi daerah[9].
BAB III
PENUTUP
-Kesimpulan:
1.
Ada beberapa ciri yang menonjol pada Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 yaitu: Demokrasi dan Demokratisasi, Mendekatkan Pemerintah dengan
Rakyat, Sistem Otonomi Luas dan Nyata, Tidak Menggunakan Sistem Otonomi
Bertingkat, No Mandate Without Funding, Penguatan
Posisi Rakyat melalui DPRD.
2.
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya.
3.
Berdasarkan
UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 11 ayat 1 penyelenggaraan urusan pemerintahan
dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi.
4.
Jenis-jenis ajaran rumah tangga yang dianut oleh Indonesia
adalah ajaran rumah tangga materiil, ajaran rumah tangga formal, dan ajaran
rumah tangga riil.
-saran-saran:
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
-sumber dari internet:
- http://happytoyoukiky.blogspot.com
(akses 24 April 2012 pukul 20.52)
- www.samalovernosasa.blogspot.com (akses 24 april 2012 pukul 21.02)
3.
www.llulalu.wordpress.com
(akses 25 April 2012 pukul 12.00).
- sumber dari buku:
- Yudoyono, Bambang. 2001. Otonomi Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
- Huda, Ni’Matul. 2010. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
[1] Bambang Yudoyono, Otonomi
Daerah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, 2001, hlm. 1.
[2] Bambang Yudoyono, Otonomi
Daerah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, 2001, hlm. 8.
[3] Hubungan administrasi adalah hubungan yang terjadi sebagai konsekuensi
kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan satu kesatuan
dalam penyelenggaraan sistem administrasi negara.
[4] Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara
Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2010, hlm. 345.
[6] Dikutip dari www.samalovernosasa.blogspot.com
(akses 24 april 2012 pukul 21.02)
[7] Dikutip dari www.samalovernosasa.blogspot.com (akses 24 april 2012 pukul 22.00)
[8] Dikutip dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[9] Dikutip dari www.llulalu.wordpress.com (akses 25 April 2012 pukul 12.00).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar