BAB I.
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Perang terjadi semenjak ribuan tahun
yang lalu sampai sekarang. Sebabnya bisa karena manusia tidak pernah mau
mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang
lain. Karenanya manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan,
dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan
tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan
didengung-dengungkan orang. Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya yang
dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena
masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendaki. Pertentangan inilah yang
menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing
yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya
terjadilah perang
Sudah menjadi lazimnya
manusia-manusia di dunia ini, perang antara manusia mendatangkan malapetaka
hebat di mana perikemanusiaan sudah dinjak-injak, nyawa manusia tidak ada
harganya, nafsu membunuh, merusak, menyiksa dan kebencian meluap-luap.
I.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah
yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud dengan Humaniter?
2. Sejauh
manakah Humaniter mengatur mengenai Perang?
3. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perang dalam
lingkup Hukum Humaniter?
I.3.Tujuan
Makalah ini di tulis dengan tujuan agar kita lebih
memahami lebih dalam mengenai Hukum Humaniter Internasional.
I.4.Metoda
Penulisan
Penelitian yang dilakukan untuk penulisan makalah
ini dilakukan melalui
tahapan
sebagai berikut:
·
Penentuan Topik
Topik ini ditentukan
oleh tim dosen yang membimbing matakuliah Hukum Humaniter Internasional.
·
Studi Literatur
Studi literatur
dilakukan dengan mencari literatur untuk kemudian digunakan menjadi acuan dalam
penulisan makalah ini. Daftar literatur yang digunakan dapat dilihat pada
daftar pustaka.
I.5.Sistematika
Penulisan
Makalah ini ditulis dalam 3 bab, yaitu:
·
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini dibahas
mengenai latar belakang masalah, tujuan pembuatan
makalah, perumusan masalah, dan metoda penelitian.
·
BAB II: HUKUM HUMANITER DAN STATUTA ROMA
Pada bab ini dibahas mengenai pengertian hukum
humaniter, ruang lingkup serta mekanisme penyelesaian sengketa
perang.
·
BAB III: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi
kesimpulan dari pembahasan yang diambil dari beberapa literatur sehingga dapat
menambah pengetahuan kita tentang Hukum Humaniter Internasional.
BAB.II
HUKUM HUMANITER DAN STATUTA ROMA
A.
Hukum
Humaniter
1) Pengantar
Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter
adalah nama lain dari apa yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum
sengketa bersenjata. Hukum humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum
internasional publik,[1]
yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-masalah lintas batas antar Negara.
Cabang hukum internasional publik lainnya antara lain hukum diplomatik,hukum
laut, hukum perjanjian internasional dan hukum angkasa.
Dibandingkan dengan cabang hukum internasional
publik lainnya, hukum humaniter mempunyai suatu keunikan yaitu bahwa sekalipun
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian
multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional, namun substansinya
banyak mangatur hal-hal yang menyangkut individu, atau dengan kata lainnya
subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hal ini cukup unik, karena pada
umumnya subjek hukum internasional publik adalah negara atau organisasi
internasional. Hukum humaniter banyak mengatur tentang perlindungan bagi
orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat dalam suatu peperangan.[2]
Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau
sengketa bersenjata,[3]
yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat
non-internasional. Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata
internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977 yang juga memasukkan
perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan pendudukan asing dan
perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk lain sengketa
bersenjata internasional.
Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata
yang bersifat non-internasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi didalam
suatu wilayah Negara. Dalam situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata yang
tadinya bersifat internal (non-internasional) bisa berubah sifat menjadi
sengketa bersenjata yang bersifat internasional. Hal yang terakhir ini disebut
dengan internasionalisasi konflik internal (internationalized
internal conflict). Namun demikian tidak semua sengketa bersenjata internal
bisa menjadi bersifat internasional apabila ada campur tangan dari negara lain.
Dalam hal ini perlu dilihat dahulu sejauh mana keterlibatan atas turut
campurnya negara lain tersebut.[4]
2) Prinsip-Prinsip
Dasar Hukum Humaniter
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter
adalah prinsip pembedaan. Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan
antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok
yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil).
Disamping prinsip pembedaan, dalam
hukum humaniter dikenal pula prinsip-prinsip lain, yaitu :
a.
Prinsip kepentingan militer. Berdasarkan
prinsip ini pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
Dalam
prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam rangka penggunaan
kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus memperhatikan
prinsip-prinsip berikut :
1.
Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu
“prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi
militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda berperang yang
digunakan tidak boleh tidak proporsional dengan keuntungan militer yang
diharapkan.”[5]
2.
Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang membatasi penggunaan
alat-alat dan cara-cara yang dapat menimbulkan akibat yang luar biasa terhadap
musuh.
b.
Prinsip Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan prin sip ini
maka pihak yang bersengketa harus memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c.
Prinsip \Kesatriaan (chivalry). Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam perang,
kejujuran harus diutamakan.
d.
Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip
ini pada waktu terjadi perang/konflik bersenjata harus dilakuykan pembedaan
antara penduduk sipil di satu pihak dengan pihak ”combatant” serta antara objek
sipil disatu pihak dengan objek militer di lain pihak.
3) Tujuan
Hukum Humaniter
Menurut
Mohammed Bedjaoui, hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang,
tetapi ditujukan untuk memanusiawikan perang.[6]
Ada
beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan,
antara lain sebagai berikut :
a.
Memberikan perlindungan terhadap
kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu.
b.
Menjamin hak asasi manusia yang sangat
fundamental bagi mereka yang jatuh ke
tanagn musuh.
c.
Mencegah dilakukannya perang secara
kejam tanpa mengenal batas.
4) Sumber-Sumber
Hukum Humaniter
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Pengadilan Internasional (International
Court of Justice) sumber-sumber hukum ineternational terdiri dari :
a.
Perjanjian internasional, baik yang
bersifat umum maupun khusus, yang membentuk aturan-aturan yang secara tegas
diakui oleh masyarakat internasional;
Perjanjian
internasional yang berlaku tentang hukum humaniter dapat diklasifikasikan dalam
Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa yang mengatur tentang
perlindungan korban perang dan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat
berperang.
b.
Kebiasaan internasional, sebagai bukti
dari suatu praktek umum yang diterima sebagai hukum;
Kebiasaan-kebiasaan
Internasional berkembang dengan terbentuknya Konvensi Jenewa tahun 1864 yaitu
kebiasaan untuk menandai rumah sakit dengan bendera khusus yang melambangkan
bendera masing-masing pihak.
c.
Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh bangsa beradab;
Menurut
Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional diartikan sebagai prinsip-prinsip
yang terdapat dalam semua system hukum.
d.
Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran
dari para ahli yang sangat kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hukum
tambahan untuk menentukan supremasi hukum.
Oleh karena hukum humaniter adalah
cabang dari hukum internasional publik, maka sumber-sumbernya adalah juga sama
seperti yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta ICJ tersebut
B.
Jenis-jenis
Sengketa Bersenjata dan Implikasinya sera Pemberlakuan Hukum Humaniter
Internasional.
Pada dasarnya, jenis-jenis perang
atau sengketa bersenjata nenurut HHI, dibedakan antara sengketa bersenjata
internasional dan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional.
Pembedaan tersebut berdampak pada penentuan norma-norma HHI yang mana yang
berlaku pada masing-masing jenis perang tersebut. Perbedaan antara norma HHI
pada waktu perang internasional dan perang noninternasional tidak terlalu
berarti pada nilai perlindungan korban perang, tetapi cukup berarti berkenaan
dengan hak dan kewajiban para pihak yang berperang, khususnya berkenaan adanya
status kombatan dan status tawanan perang pada perang internasional bagi pihak
angkatan bersenjata negara yang resmi.
Secara terperinci, HHI juga menyebutkan
beberapa jenis perang yang termasuk dalam dua macam jenis sengketa bersenjata
serta sekaligus menjelaskan perbedaan antara situasi sengketa bersenjata dengan
situasi yang tidak termasuk sengketa bersenjata. Adapun situasi yang termasuk
dalam dua jenis sengketa bersenjata, yaitu sebagai berikut
1. Yang
termasuk dalam jenis perang atau sengketa bersenjata internasional adalah :
a) Peristiwa
perang antara dua negara atau lebih; termasuk:
·
Peristiwa perang antara dua negara atau
lebih yang diumumkan
·
Peristiwa perang antara dua negara atau
lebih yang keadaan perangnya tidak diakui oleh salah satu antara mereka;
b) Peristiwa
pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah suatu negara, sekalipun
pendudukan tersbut tidak menemui perlawanan senjata;
c) Sengketa
bersenjata yang situasinya disamakan dengan situasi sengketa bersenjata
internasional dan sering disebut dengan istilah perang pembebasan nasional,
yaitu sengketa-sengketa bersenjata yang didalamnya suku bangsa sedang berperang
melawan dominasi colonial dan pendudukan asing dan melawan system pemerintahan
rasialis dalam rangka menentukan sendiri nasib mereka sebagaimana disebut dalam
Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan
Baik dan Kerja Sama antarnegara sesuai dengan Piagam PBB
2. Yang
termasuk dalam jenis perang yang tidak bersifat internasional
a) Sengketa
bersenjata yang bukan antara dua negara;
b) Sengketa
bersenjata noninternasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi dalam
wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan
bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya
yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali
sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok
tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta
menerapkan aturan-aturan HHI.
Kewajiban para pihak yang berperang untuk
mematuhi dan menerapkan HHI pada tiap sengketa bersenjata internasional maupun
sengketa bersenjata non internasional tidak tergantung pada pernyataan negara.
Kewajiban tersebut juga tidak harus menunggu pernyataan suatu organisasi
internasional.
Alasan dan tujuan dilakukannya perang oleh
pihak pihak yang berperan tidak ikut menentukan jenis perang menurut HHI. Oleh
karena itu, terhadap suatu perang yang dianggap sebagai tindakan agresi maupun use of force dalam rangka self defence, HHI harus diberlakukan
hanya apabila tindakan tersebut telah memenuhi kriteria sebagai sengketa
bersenjata internasional atau sengketa bersenjata noninternasional.
Berbagai operasi perang atau use of force yang terjadi pada masa dua
dasawarsa ini dan dibungkus dengan istilah-istilah baru seperti humanitarian intervention, perang
melawan terorisme dapat dimasukkan ke dalam kelompok jenis perang internasional
maupun perang noninternasional asal memenuhi masing-masing kriteria yang
disebut dalam HHI. Dengan demikian, setiap operasi yang dapat dikelompokkan
dalam salah satu jenis perang tersebut harus mengikuti aturan-aturan HHI,
termasuk aturan tentang larangan perbuatan terror, larangan menggunakan senjata
dan cara yang dapat menyebabkan penderitaan yang berlebihan.
Bagi operasi-operasi militer yang
dilakukan bukan sebagai operasi perang dan dilakukan untuk mengatasi gangguan
keamanan atau ketegangan dalam negeri, penerapan HHI bukanlah suatu kewajiban.
Namun demikian, aturan-aturan HHI dapat digunakan secara analogi untuk
menerapkan hukum nasional dan HAM yang harus diberlakukan setiap waktu. Bagi
korban, penggunaan HHI secara demikian dapat bermanfaat untuk mengurangi Koran
dan penderitaan akibat penggunaan tindakan keras yang mungkin terjadi. Bagi
aparat, penerapan HHI demikian juga dapat bermanfaat untuk menghindari aparat
dari penggunaan tindakan keras yang berlebihan dan mencegah tuduhan pelanggaran
hukum, termasuk sekiranya operasi tersebut ternyata kemudian hari dinilai
sebagai operasi perang.
Dari pembagian jenis situasi sengketa
bersenjata dan aturan norma HHI yang berlaku bagi maing-masing jenis konflik
tersebut, semakin memperjelas bahwa even
war has limits(dalam situasi perang pun ada batasan). Dengan kata lain,
situasi perang bukanlah alasan pembenar untuk menggunakan tindakan keras yang
berlebihan, tetapi ada aturan yang berlaku pada waktu perang, yaitu HHI.
Bahkan, dalam situasi mirip situasi perang yang tidak termasuk dalam kategori
perang pun masih ada hukum yang harus dipatuhi, yaitu hukum nasional dan hak
asasi manusia. Tambahannya lagi, dalam situasi mirip perang tersebut, HHI dapat
dipergunakan sebagai pedoman untuk menjelaskan dan menerapkan hukum nasional
dan hak asasi manusia.
C.
Antara
Hukum Hak Asasi Manusia, Hukum Humaniter dan Hukum Pidana Internasional
Berbeda
dengan hak asasi manusia yang penekanan penerapannya lebih kepada situasi damai
atau bukan situasi perang, hukum humaniter berlaku dan diterapkan hanya dalam
situasi perang. Dalam konteks ini perang diartikan sama dengan sengketa
bersenjata di mana ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi
saling bertentangan atau konfrontatif, dan masing-masing pihak telah
menggunakan kekuatan angkatan bersenjatanya. Sekalipun berbeda dalam hal waktu
penerapannya, hukum humaniter dan hak asasi manusia pada hakekatnya memiliki
tujuan yang sam, yaitu memberikan perlindungan kemanusian kepada mereka yang
berada dalam situasi lemah. Dalam konteks hak asasi manusia, misalnya yang
berada dalam situasi lemah adalah warga negara yang dihadapkan dengan pihak
penguasa, sedangkan dalam konteks hukum humaniter yang berada dalam situasi
lemah adalah penduduk sipil serta “combatant”
yang menjadi korban perang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum
humaniter merupakan kelanjutan hukum hak asasi manusia yang diterapkan pada
waktu perang.
Aspek
pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter serta prosedur
dan mekanisme penegakannya erat terkait dengan hukum pidana internasional.
Tentu saja tidak semua pelanggaran hak sasi manusia dapat dimasukkan dalam
lingkup hukum pidana internasional. Sebaliknya semua pelanggaran hukum
humaniter [7]
termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional. Hanya
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tertentu saja yang termasuk dalam
lingkup hukum pidana internasional, yaitu genosida dan kejahatan terhadap
kemanusian yang keduanya dikategorikan sebagai “gross violation of human rights” atau pelanggaran berat hak asasi
manusia.
Ruang
lingkup hukum pidana internasional mencakup tindak-tindak pidana yang dapat
dikatakan sebagai kejahatan internasional serta proses penegakannya melalui
mekanisme nasional dan internasional berikut instrument-instrumen hukum yang
berlaku untuk setiap kejahatan internasional yang dimaksud. Sekalipun bersifat
internasional, dalam kenyataaannya hukum pidana internasional tidak dapat
dilepaskan sama sekali dari hukum pidana nasional. Dalam hal ini Bassiouni,
seorang pakar ternama hukum pidana internasional, mengatakan bahwa “…criminal law aspects of international law
and international aspects of national criminal law…” (hukum pidana
internasional adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan
aspek-aspek hukum internasional dari hukum pidana nasional)
Lingkup
pembahasan hukum pidana internasional meliputi tiga objek studi sebagai berikut
:
1. Tindak
pidana internasional sejarah perkembangan, konsepsi, dan konvensi-konvensi
internasional yang berkaitan erat dengan tindak pidana internasional;
2. Masalah
yurisdiksi criminal atas tindak pidana internasional;
3. Prosedur
penegakan hukum pidana internasional termasuk masalah pekembangan kerjasama
bilateral dan multilateral di dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
internasional;
4. Instrumen
penegakan hukum pidana internasional perkembangan masalah pembentukan Mahkamah
Pidana Internasional.
Beberapa
kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional dan masuk
dalam ruang lingkup hukum pidana internasional antara lain : perbudakan,
pembajakan laut dan udara, terorisme, dan kejahatan narkoba. Untuk
kejahatan-kejahatan internasional tersebut umumnya berlaku yurisdiksi universal
di mana setiap Negara boleh melukakan tindakan hukum atau mengadili pelaku dari
kejahatan-kejahatan dimaksud sekalipn misalnya kejahatan tersebut dilakukan
oleh bukan warga negaranya serta tidak menimbulkan kerugian langsung terhadap
negaranya.
D.
Peradilan
Internasional Atas Pelanggaran Berat Hukum Humaniter Internasional
Pelanggaran
berat Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah bagian dari kejahatan perang
dalam artian yang luas.[8]
Kejahatan perang adalah pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hukum perang,
baik yang berasal dari konvensi-konvensi internasional ataupun dari kebiasaan,
yang dilakukan dalam situasi pertikaian bersenjata dimana pertanggungjawaban
pidana berlaku sesuai dengan yang ditentukan dalam aturan-aturan tersebut [9].
Kecendrungan dinamis ini disebabkan
karena HHI sedang menghadapi dua fenomena yaitu, pertama, kemajuan teknologi
yang berimbas kepada kemajuan sarana perang yang menyebabkan
ketentuan-ketentuan normative tentang perang dan perlindungan korban perang
dalam konvensi Jenewa 1949 dan peraturan tambahannya menjadi kurang atau tidak
relevan dalam pelaksanaanya[10].
Kedua, munculnya masalah internal yang memiliki dimensi internasional yaitu hak
penentuan nasib sendiri, yang pada gilirinnya meningkatkan perang sipil di
dalam negeri suatu negara, perang
gerilya dan timbulnya pergerakan-pergerakan perlawanan terhadap suatu negara.
1) Jenis
dan Pengaturan Pelanggaran Berat HHI
Pada kenyataannya pengertian
pelanggaran berat HHI sudah memperoleh pengakuan dan dikuatkan oleh praktek
baik oleh institusi internasional dan praktek negara-negara hamper diseluruh
dunia. Pengakuan internasional terhadap arti dan makna kejahatan perang dalam
konteks ini diberikan oleh Komisi Hukum Internasional tahun 1950 [11].
Komisi tersebut ditugaskan oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi Nomor 177
(II) tahun 1950 untuk memformulasikan dan mengkodifikasikan prinsip-prinsip
dari Mahmakah Nuremberg bagi perkembangan hukum internasional.
Pengakuan yang kedua adalah
diterimanya the Convention on the
Non-applicability of Statutory Limitations to War Crimes against Humanity tahun
1968[12].
Konvensi tersebut mengakui adanya tiada batasan interpretasi bagi penegakan
hukum terhadap kejahtan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lebih
lanjut, negara-negara peserta wajib membuat dan melaksanakan semua
langkah-langkah berdasarkan hukum nasionalnya, untuk melaksanakan penegakan
hukum terhadap kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan perang merupakan
pelanggaran berat yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977. Konvensi Jenewa menentukan pelanggran berat pada Pasal 50
Konvensi I dan Pasal 51 Konvensi II, yaitu : pelanggran berat yang ditujukan
kepada orang atau barang (benda) yang dilindungi oleh Konvensi; pembunuhan yang
disengaja, penganiayaan atau perbuatan yang tidak berperikemanusiaan termasuk
percobaan biologis, perbuatan dengan sengaja menyebabkan pernderitaaan yang
besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, pembinasaan yang luas dan
tindakan pemilikan atas harta benda yang dibenarkan oleh kepentingan militer
yang dilakukan dengan melanggar ketentuan hukum dan bersifat sewenang-wenang.
Kejahatan perang juga diformulasikan
oleh Komisi Hukum Internasional pada draft Kodifikasi tentang Kejahatan
Terhadap Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia 1991.Dalam Draft tersebut
terdapat definisi tentang kejahatan perang yangb bersifat khusus yaitu
pelanggaran khusus terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum
internasional yang berlaku pada saat konflik bersenjata berupa
perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
a) Perbuatan
yang tidak manusiawi, kekejaman atau perbuatan barbar yang ditujukan pada
kehidupan seseorang, hak dasar,hak dasar atau keutuhan menatal dan fisik orang.
b) Pendirian
tempat pemukiman pada daerah yang diduduki dan mengubah komposisi demografi
dari wilayah yang diduduki;
c) Penggunaan
senjata yang tidak sah atau illegal;
d) Mempergunakan
cara-cara dan metode perang yang ditujukan atau diharapkan menyebabkan
kerusakan yang luar biasa, luas dan berjangka panjang terhadap lingkungan
hidup;
e) Pengrusakan
dalam skala luas terhadap hak milik penduduk sipil;
f) Serangan
yang disengaja terhadap hal-hal yang berhungan dengan agama tertentu, dan
benda-benda cagar budayaa.
Sedangkan kejahatan perang dalam
Statuta Roma yang bertentangan dengan Pasal 8 Statuta Roma, yaitu suatu
kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijaksanaan
atau sebagai salah satu pelaksanaan dari kebijaksanaan atau rencana yang
dilaksanakan secara besar-besaran terhadap kejahatn tersebut. Formulasi dari
Pasal 8 ini mengambil dan menjabarkan ketentuan-ketentuan dari Draft Kodifikasi
tahun 1996 yang pada intinya mengakui bentuk-bentuk kejahatan perang sebagai
berikut ;
1. Pelanggaran
berat Konvensi Jenewa 1949 dengan elemen kejahatan yang sama, disertai dengan
daftar kejahatan berat menurut ketentuan Konvensi;
2. Pelanggaran
serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan perang yang dapat diberlakukan
dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional yang
sudah berlaku, disertai dengan daftar kejahatan yang termasuk dalam kategori
ini;
3. Dalam
suatu sengketa bersenjata yang bukan merupakan sengketa bersenjata internasional,
dan tidak terjadi pada keadaan kekacauan serta keteganngan dalam negeri seperti
hura-hura, tindakan kekerasan dan
sporadis secara terpisah atau perbuatan-perbuatan lain yang bersifat sama dalam
suatu negara;
4. Pelanggaran
serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa
bersenjata yang tidak bersifat internasional berdasarkan hukum internasional
yang sudah berlaku , disertai daftra kejahtan yang masuk dalam kategori
ini;
E.
Mekanisme
Penegak Hukum Humaniter
Suatu
perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan
sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan
maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan
menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan.
Mekanisme
penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut
ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang
bersifat ad-hoc maupun yang permanen.
Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan
hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan
bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi
seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya.[13]
Dalam
salah satu common articles dari
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung
untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran
hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa
1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter
dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum
nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat
memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
1) Mekanisme
Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal
dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa
diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan
sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan
untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan
ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan
berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus
pelanggaran hukum humaniter maka si pelakuk akan dituntut dan dihukum
berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme
peradilan nasional yang bersangkutan.
Dilingkungan TNI, apabila ada
seorang prajuit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter maka
Komandan atau atasan yang berwenang untuk menghukum berkewajiban untuk
mengambil tindakan-tindakan. Apabila Komandan atau atasan langsung dari
prajurit yang bersalah tidak mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya
berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai
kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, disamping menggunakan
sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau
sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap
ketentuan-ketentuan hukum humaniter.
2) Mekanisme
Internasional
Disamping mekasinme nasional
penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme
internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat
ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap.
a) Mahkamah
Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang
Dalam
sejarah dikenal ada dua Mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II, yaitu
Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk
untuk mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersiafat ad-hoc atau sementara yang berarti bahwa
mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja
b) Mahkamah
Nuremberg
Mahkamah
Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg atau biasa disebut Piagam
London. Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada 24
tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau yang menjadi yurisdiksi Mahkamah
Nuremberg yaitu ; kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
c) Mahkamah
Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg
yang dibentuk melalui Treaty yang
disusun ileh beberapa negara, mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan pernyataan
atau proklamasi dari Jenderal Douglas MacArthur sebagai Komandan Tertinggi
Pasukan Sekutu di Timur Jauh.Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk
Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahmakah Nuremberg.
d) International
Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal
Tribunal for Rwanda (ICTR)
Pembentukan
dua tribunal ini juga bersifat ad hoc, artinya tribunal ini berlaku untuk
mengadili kejahatan tertentu pada jangka waktu tertentu dan untuk daerah
tertentu saja. Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc tersebut yang dibentuk
setelah Perang Dunia II [14]disatu
sisi dengan ICTY dan ICTR di sisi lain yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah
Nuremberg dibentuk oleh pihak yang menang perang[15],
sedangkan mahkamah Yugoslavia dan Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan
Keamanan PBB.
Pasal
1 samapai Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia mengatur
mengenai kompetensi atau yurisdiksi mahkamah, yaitu :
1. Pelanggaran
serius terhadap hukum humaniter internasional[16]
2. Pelanggaran
berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949[17]
3. Pelanggaran
terhadap hukum dan kebiasaan perang[18]
4. Genosida[19]
5. Kejahatan
terhadap kemanusiaan[20]
Sedangkan Mahkamah Ad Hoc Rwanda
dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahahatn genosida dan
pelaggaran serupa lainnya yang terjadi di wilayah negara tetangga dan di Rwanda
yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994.
Mahkamah keduanya menetapkan tanggung jawab individu terhadap mereka yang
melakukan kejahatan dan pelanggaran sebagaimana disebut dalam masing-masing
Statuta. Adapun untuk hukum acaranya Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia menggunakan
sistem Common Law, sedangkan Mahkamah
Rwanda mengggunakan campuran anatara system Civil
Law dan Common Law.
3) Statuta
Roma : Mahkamah Pidana Internasional
Pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak
asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).Statu
Roma merupakan sebuah perjanjian multilateral untuk membentuk Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court), yang dihasilkan dalam sebuah
Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa di Roma (Italia) pada 17 Juli
1998. Disetujuinya Statuta Roma merupakan suatu langkah penting bagi penegakan hak
asasi manusia di dunia. Dari 148 negara peserta konferensi, 120 mendukung, 7
menentang dan 21 abstain.
Tindak pelanggaran serius hak asasi
manusia yang diadopsi di dalam statuta ini adalah genosida (genocide),
kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), kejahatan perang (war
crimes) dan kejahatan agresi (aggression).
Sebelum munculnya Statuta Roma, PBB
telah memiliki International Court of Justice (ICJ) yang bermarkas di Den Haag,
Belanda. Tetapi ICJ hanya mengadili sengketa antara negara-negara, bukan
mengadili tindak pidana. ICJ tidak memadai untuk mengadili kejahatan
internasional, seperti kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional, suatu pengadilan pidana yang permanen merupakan
langkah untuk mengisi kekosongan lembaga pidana di tingkat internasional
pelanggaran berat hak asasi manusia. Ini jelas merupakan langkah maju untuk
memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum) yang terjadi di banyak negara
yang penegakan hukumnya masih sangat rendah. Pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak
asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).
Hal
yang perlu digaris bawahi adalah bahwa ICC bersifat complementarity atau pelengkap terhadap sistem hukum nasional. Oleh karena itu
yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan apabila telah diakui suatu mekanisme
nasional. Dalam hal ini yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan apabila ternyata
suatu negara tidak mau dan tidak mampu untuk mengadili kejahatan yang termasuk
dalam ruang lingkup kompetensi ICC.
Berkaitan
dengan mekanisme penegakan hukum humaniter ini maka hal yang mendesak dan
penting dilakukan Indonesia adalah menyusun suatu hukum nasional yang mengatur
tentang penghukuman bagi pelaku kejahtan perang. Dalam hal ini diperlukan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidan (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
(KUHPM) belum mengatur tentang kejahatan perang. Artinya Indonesia belum
melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 [21].
BAB.III
KESIMPULAN
1. Hukum
humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang
dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata.
2. Hukum
humaniter mempunyai suatu keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan
yang mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian multilateral atau melalui
hukum kebiasaan internasional, namun substansinya banyak mangatur hal-hal yang
menyangkut individu, atau dengan kata lainnya subjek hukumnya juga menyangkut
individu.
3. Prinsip-Prinsip
Dasar Hukum Humaniter adalah Prinsip proporsionalitas, Prinsip kepentingan
militer, Prinsip Perikemanusiaan, Prinsip Kesatriaan, Prinsip pembedaan.
4. Sumber-Sumber
Hukum Humaniter yaitu Perjanjian internasional, Kebiasaan internasional, Keputusan-keputusan
Mahkamah dan ajaran dari para ahli Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
bangsa beradab.
5. Mekanisme
Internasional dalam penegakan hukum humaniter mencakup melalui Mahkamah
Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang, Mahkamah Nuremberg, Mahkamah
Tokyo, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Statuta Roma : Mahkamah
Pidana Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Syahmin,1985,Hukum Intenasional Humaniter 1 Bagian Umum, CV
Armico, Bandung.
Smith,
Rhona K.M.dkk, 2008, Hukum Hak Asasi
Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.
Atmasasmita,
Romli Prof.DR.SH.,LLM., 2006, Pengantar
Hukum Pidana Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung.
Baharuddin,
Ahmad S.H.,M.H., 2010, Hukum Humaniter
Internasional, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Ambarwati,
dkk., 2009, Hukum Humaniter Internasion
dalam Studi Hubungan Internasional, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
LAMPIRAN
[1]
Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
[2]
Rohana K.M.Smith dkk, Hukum Hak
Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia,Yogyakarta. Hal 375
[3]
ibid
4 Mengenai hal ini lebih jauh bisa
dilihat perbandingan antara putusan yang dibuat oleh ICJ dalam kasus
keterlibatan dan dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontak Kontras di
Nikaragua dengan putusan yang dibuat dalam kasus-kasus ICTY.
[5]
Pietro Verri, Dictionary of
International Law of Armed Conflict, International Committee of the Red
Cross, Geneva, 1992 hlm.90
[6]
Mohammed Bedjaoui, Modern Wars:
Humanitarian Challenge. A Report for the
Independent Commission on International Humanitarian Issues, Zed Books
Ltd., London, 1986, hlm 2
[8]
Artian ini mencakup kejahatan perang dalam arti sempit, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida.
[9]
Lihat seluruhnya dalam Theodore Meron, The Humanization of Humanitarian Law.94 American Journal of
International Law 239
[10] TO Ellias, New Horizon in
internasional Law hal 15
[11]
Lihat Year Book of the
International Law Commission hal 374-378
[12] Dibentuk berdasarkan Resolusi
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2391 pada tanggal 26 November
1968.
[13]
Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan
Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
[14]
Yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo
[15] Dalam hal ini adalah Amerika
Serikat dan sekutunya
[16] Pasal 1 Statuta Mahkamah untuk
negara bekas Yugoslavia
[17] Pasal 2 Statuta Mahkamah untuk
negara bekas Yugoslavia
[18] Pasal 3 Statuta Mahkamah untuk
negara bekas Yugoslavia
[19] Pasal 4 Satuta Mahkamah unutk
negara bekas Yugoslavia
[20] Pasal 5 Statuta Mahkamah untuk negara bekas
Yugoslavia
[21]
Yaitu menyusun suatu hukum
nasional yang memberikan sanksi pidanaefektif bagi pelaku kejahatan
perang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar