Kamis, 24 Mei 2012

hukum humaniter ttg Statuta Roma


BAB I.
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Sebabnya bisa karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang lain. Karenanya manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan orang. Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendaki. Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang
Sudah menjadi lazimnya manusia-manusia di dunia ini, perang antara manusia mendatangkan malapetaka hebat di mana perikemanusiaan sudah dinjak-injak, nyawa manusia tidak ada harganya, nafsu membunuh, merusak, menyiksa dan kebencian meluap-luap.
                             
I.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.   Apakah yang dimaksud dengan Humaniter?
2.   Sejauh manakah Humaniter mengatur mengenai Perang?
3. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perang dalam lingkup Hukum Humaniter?

I.3.Tujuan
Makalah ini di tulis dengan tujuan agar kita lebih memahami lebih dalam mengenai Hukum Humaniter Internasional.

I.4.Metoda Penulisan
Penelitian yang dilakukan untuk penulisan makalah ini dilakukan melalui
tahapan sebagai berikut:
·         Penentuan Topik
Topik ini ditentukan oleh tim dosen yang membimbing matakuliah Hukum Humaniter Internasional.
·         Studi Literatur
Studi literatur dilakukan dengan mencari literatur untuk kemudian digunakan menjadi acuan dalam penulisan makalah ini. Daftar literatur yang digunakan dapat dilihat pada daftar pustaka.

I.5.Sistematika Penulisan
Makalah ini ditulis dalam 3 bab, yaitu:
·         BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang masalah, tujuan pembuatan
makalah, perumusan masalah, dan metoda penelitian.

·         BAB II: HUKUM HUMANITER DAN STATUTA ROMA
Pada bab ini dibahas mengenai pengertian hukum humaniter, ruang lingkup            serta mekanisme penyelesaian sengketa perang.

·         BAB III: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan yang diambil dari beberapa literatur sehingga dapat menambah pengetahuan kita tentang Hukum Humaniter Internasional.
BAB.II
HUKUM HUMANITER DAN STATUTA ROMA

A.    Hukum Humaniter
1)      Pengantar
Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum internasional publik,[1] yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-masalah lintas batas antar Negara. Cabang hukum internasional publik lainnya antara lain hukum diplomatik,hukum laut, hukum perjanjian internasional dan hukum angkasa.
Dibandingkan dengan cabang hukum internasional publik lainnya, hukum humaniter mempunyai suatu keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional, namun substansinya banyak mangatur hal-hal yang menyangkut individu, atau dengan kata lainnya subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hal ini cukup unik, karena pada umumnya subjek hukum internasional publik adalah negara atau organisasi internasional. Hukum humaniter banyak mengatur tentang perlindungan bagi orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat dalam suatu peperangan.[2]
Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa bersenjata,[3] yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977 yang juga memasukkan perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan pendudukan asing dan perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk lain sengketa bersenjata internasional.
Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi didalam suatu wilayah Negara. Dalam situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata yang tadinya bersifat internal (non-internasional) bisa berubah sifat menjadi sengketa bersenjata yang bersifat internasional. Hal yang terakhir ini disebut dengan internasionalisasi konflik internal (internationalized internal conflict). Namun demikian tidak semua sengketa bersenjata internal bisa menjadi bersifat internasional apabila ada campur tangan dari negara lain. Dalam hal ini perlu dilihat dahulu sejauh mana keterlibatan atas turut campurnya negara lain tersebut.[4]  
2)      Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Humaniter
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan. Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil).
            Disamping prinsip pembedaan, dalam hukum humaniter dikenal pula prinsip-prinsip lain, yaitu :
a.       Prinsip kepentingan militer. Berdasarkan prinsip ini pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut :
1.      Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu “prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diharapkan.”[5]
2.      Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang membatasi penggunaan alat-alat dan cara-cara yang dapat menimbulkan akibat yang luar biasa terhadap musuh.
b.      Prinsip Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan prin sip ini maka pihak yang bersengketa harus memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c.       Prinsip \Kesatriaan (chivalry). Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan.
d.      Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi perang/konflik bersenjata harus dilakuykan pembedaan antara penduduk sipil di satu pihak dengan pihak ”combatant” serta antara objek sipil disatu pihak dengan objek militer di lain pihak.

3)      Tujuan Hukum Humaniter
      Menurut Mohammed Bedjaoui, hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, tetapi ditujukan untuk memanusiawikan perang.[6]
      Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut :
a.       Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu.
b.      Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka  yang jatuh ke tanagn musuh.
c.       Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.

4)      Sumber-Sumber Hukum Humaniter
            Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional (International Court of Justice) sumber-sumber hukum ineternational terdiri dari :
a.       Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang membentuk aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat internasional;
Perjanjian internasional yang berlaku tentang hukum humaniter dapat diklasifikasikan dalam Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa yang mengatur tentang perlindungan korban perang dan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang.
b.      Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang diterima sebagai hukum;
Kebiasaan-kebiasaan Internasional berkembang dengan terbentuknya Konvensi Jenewa tahun 1864 yaitu kebiasaan untuk menandai rumah sakit dengan bendera khusus yang melambangkan bendera masing-masing pihak.
c.       Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab;
Menurut Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional diartikan sebagai prinsip-prinsip yang terdapat dalam semua system hukum.
d.      Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk menentukan supremasi hukum.
            Oleh karena hukum humaniter adalah cabang dari hukum internasional publik, maka sumber-sumbernya adalah juga sama seperti yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta ICJ tersebut 
B.     Jenis-jenis Sengketa Bersenjata dan Implikasinya sera Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional.
            Pada dasarnya, jenis-jenis perang atau sengketa bersenjata nenurut HHI, dibedakan antara sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Pembedaan tersebut berdampak pada penentuan norma-norma HHI yang mana yang berlaku pada masing-masing jenis perang tersebut. Perbedaan antara norma HHI pada waktu perang internasional dan perang noninternasional tidak terlalu berarti pada nilai perlindungan korban perang, tetapi cukup berarti berkenaan dengan hak dan kewajiban para pihak yang berperang, khususnya berkenaan adanya status kombatan dan status tawanan perang pada perang internasional bagi pihak angkatan bersenjata negara yang resmi.
      Secara terperinci, HHI juga menyebutkan beberapa jenis perang yang termasuk dalam dua macam jenis sengketa bersenjata serta sekaligus menjelaskan perbedaan antara situasi sengketa bersenjata dengan situasi yang tidak termasuk sengketa bersenjata. Adapun situasi yang termasuk dalam dua jenis sengketa bersenjata, yaitu sebagai berikut
1.      Yang termasuk dalam jenis perang atau sengketa bersenjata internasional adalah :
a)      Peristiwa perang antara dua negara atau lebih; termasuk:
·         Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang diumumkan
·         Peristiwa perang antara dua negara atau lebih yang keadaan perangnya tidak diakui oleh salah satu antara mereka;
b)      Peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah suatu negara, sekalipun pendudukan tersbut tidak menemui perlawanan senjata;
c)      Sengketa bersenjata yang situasinya disamakan dengan situasi sengketa bersenjata internasional dan sering disebut dengan istilah perang pembebasan nasional, yaitu sengketa-sengketa bersenjata yang didalamnya suku bangsa sedang berperang melawan dominasi colonial dan pendudukan asing dan melawan system pemerintahan rasialis dalam rangka menentukan sendiri nasib mereka sebagaimana disebut dalam Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Baik dan Kerja Sama antarnegara sesuai dengan Piagam PBB
2.      Yang termasuk dalam jenis perang yang tidak bersifat internasional
a)      Sengketa bersenjata yang bukan antara dua negara;
b)      Sengketa bersenjata noninternasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan-aturan HHI.
      Kewajiban para pihak yang berperang untuk mematuhi dan menerapkan HHI pada tiap sengketa bersenjata internasional maupun sengketa bersenjata non internasional tidak tergantung pada pernyataan negara. Kewajiban tersebut juga tidak harus menunggu pernyataan suatu organisasi internasional.
      Alasan dan tujuan dilakukannya perang oleh pihak pihak yang berperan tidak ikut menentukan jenis perang menurut HHI. Oleh karena itu, terhadap suatu perang yang dianggap sebagai tindakan agresi maupun use of force dalam rangka self defence, HHI harus diberlakukan hanya apabila tindakan tersebut telah memenuhi kriteria sebagai sengketa bersenjata internasional atau sengketa bersenjata noninternasional.
      Berbagai operasi perang atau use of force yang terjadi pada masa dua dasawarsa ini dan dibungkus dengan istilah-istilah baru seperti humanitarian intervention, perang melawan terorisme dapat dimasukkan ke dalam kelompok jenis perang internasional maupun perang noninternasional asal memenuhi masing-masing kriteria yang disebut dalam HHI. Dengan demikian, setiap operasi yang dapat dikelompokkan dalam salah satu jenis perang tersebut harus mengikuti aturan-aturan HHI, termasuk aturan tentang larangan perbuatan terror, larangan menggunakan senjata dan cara yang dapat menyebabkan penderitaan yang berlebihan.
      Bagi operasi-operasi militer yang dilakukan bukan sebagai operasi perang dan dilakukan untuk mengatasi gangguan keamanan atau ketegangan dalam negeri, penerapan HHI bukanlah suatu kewajiban. Namun demikian, aturan-aturan HHI dapat digunakan secara analogi untuk menerapkan hukum nasional dan HAM yang harus diberlakukan setiap waktu. Bagi korban, penggunaan HHI secara demikian dapat bermanfaat untuk mengurangi Koran dan penderitaan akibat penggunaan tindakan keras yang mungkin terjadi. Bagi aparat, penerapan HHI demikian juga dapat bermanfaat untuk menghindari aparat dari penggunaan tindakan keras yang berlebihan dan mencegah tuduhan pelanggaran hukum, termasuk sekiranya operasi tersebut ternyata kemudian hari dinilai sebagai operasi perang.
      Dari pembagian jenis situasi sengketa bersenjata dan aturan norma HHI yang berlaku bagi maing-masing jenis konflik tersebut, semakin memperjelas bahwa even war has limits(dalam situasi perang pun ada batasan). Dengan kata lain, situasi perang bukanlah alasan pembenar untuk menggunakan tindakan keras yang berlebihan, tetapi ada aturan yang berlaku pada waktu perang, yaitu HHI. Bahkan, dalam situasi mirip situasi perang yang tidak termasuk dalam kategori perang pun masih ada hukum yang harus dipatuhi, yaitu hukum nasional dan hak asasi manusia. Tambahannya lagi, dalam situasi mirip perang tersebut, HHI dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk menjelaskan dan menerapkan hukum nasional dan hak asasi manusia.
C.    Antara Hukum Hak Asasi Manusia, Hukum Humaniter dan Hukum Pidana Internasional
Berbeda dengan hak asasi manusia yang penekanan penerapannya lebih kepada situasi damai atau bukan situasi perang, hukum humaniter berlaku dan diterapkan hanya dalam situasi perang. Dalam konteks ini perang diartikan sama dengan sengketa bersenjata di mana ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi saling bertentangan atau konfrontatif, dan masing-masing pihak telah menggunakan kekuatan angkatan bersenjatanya. Sekalipun berbeda dalam hal waktu penerapannya, hukum humaniter dan hak asasi manusia pada hakekatnya memiliki tujuan yang sam, yaitu memberikan perlindungan kemanusian kepada mereka yang berada dalam situasi lemah. Dalam konteks hak asasi manusia, misalnya yang berada dalam situasi lemah adalah warga negara yang dihadapkan dengan pihak penguasa, sedangkan dalam konteks hukum humaniter yang berada dalam situasi lemah adalah penduduk sipil serta “combatant” yang menjadi korban perang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum humaniter merupakan kelanjutan hukum hak asasi manusia yang diterapkan pada waktu perang.
Aspek pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter serta prosedur dan mekanisme penegakannya erat terkait dengan hukum pidana internasional. Tentu saja tidak semua pelanggaran hak sasi manusia dapat dimasukkan dalam lingkup hukum pidana internasional. Sebaliknya semua pelanggaran hukum humaniter [7] termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional. Hanya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tertentu saja yang termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusian yang keduanya dikategorikan sebagai “gross violation of human rights” atau pelanggaran berat hak asasi manusia.
Ruang lingkup hukum pidana internasional mencakup tindak-tindak pidana yang dapat dikatakan sebagai kejahatan internasional serta proses penegakannya melalui mekanisme nasional dan internasional berikut instrument-instrumen hukum yang berlaku untuk setiap kejahatan internasional yang dimaksud. Sekalipun bersifat internasional, dalam kenyataaannya hukum pidana internasional tidak dapat dilepaskan sama sekali dari hukum pidana nasional. Dalam hal ini Bassiouni, seorang pakar ternama hukum pidana internasional, mengatakan bahwa “…criminal law aspects of international law and international aspects of national criminal law…” (hukum pidana internasional adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan aspek-aspek hukum internasional dari hukum pidana nasional)
Lingkup pembahasan hukum pidana internasional meliputi tiga objek studi sebagai berikut :
1.      Tindak pidana internasional sejarah perkembangan, konsepsi, dan konvensi-konvensi internasional yang berkaitan erat dengan tindak pidana internasional;
2.      Masalah yurisdiksi criminal atas tindak pidana internasional;
3.      Prosedur penegakan hukum pidana internasional termasuk masalah pekembangan kerjasama bilateral dan multilateral di dalam mencegah dan memberantas tindak pidana internasional;
4.      Instrumen penegakan hukum pidana internasional perkembangan masalah pembentukan Mahkamah Pidana Internasional.  
Beberapa kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional dan masuk dalam ruang lingkup hukum pidana internasional antara lain : perbudakan, pembajakan laut dan udara, terorisme, dan kejahatan narkoba. Untuk kejahatan-kejahatan internasional tersebut umumnya berlaku yurisdiksi universal di mana setiap Negara boleh melukakan tindakan hukum atau mengadili pelaku dari kejahatan-kejahatan dimaksud sekalipn misalnya kejahatan tersebut dilakukan oleh bukan warga negaranya serta tidak menimbulkan kerugian langsung terhadap negaranya.

D.    Peradilan Internasional Atas Pelanggaran Berat Hukum Humaniter Internasional
Pelanggaran berat Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah bagian dari kejahatan perang dalam artian yang luas.[8] Kejahatan perang adalah pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hukum perang, baik yang berasal dari konvensi-konvensi internasional ataupun dari kebiasaan, yang dilakukan dalam situasi pertikaian bersenjata dimana pertanggungjawaban pidana berlaku sesuai dengan yang ditentukan dalam aturan-aturan tersebut [9].
            Kecendrungan dinamis ini disebabkan karena HHI sedang menghadapi dua fenomena yaitu, pertama, kemajuan teknologi yang berimbas kepada kemajuan sarana perang yang menyebabkan ketentuan-ketentuan normative tentang perang dan perlindungan korban perang dalam konvensi Jenewa 1949 dan peraturan tambahannya menjadi kurang atau tidak relevan dalam pelaksanaanya[10]. Kedua, munculnya masalah internal yang memiliki dimensi internasional yaitu hak penentuan nasib sendiri, yang pada gilirinnya meningkatkan perang sipil di dalam  negeri suatu negara, perang gerilya dan timbulnya pergerakan-pergerakan perlawanan terhadap suatu negara.
1)      Jenis dan Pengaturan Pelanggaran Berat HHI
            Pada kenyataannya pengertian pelanggaran berat HHI sudah memperoleh pengakuan dan dikuatkan oleh praktek baik oleh institusi internasional dan praktek negara-negara hamper diseluruh dunia. Pengakuan internasional terhadap arti dan makna kejahatan perang dalam konteks ini diberikan oleh Komisi Hukum Internasional tahun 1950 [11]. Komisi tersebut ditugaskan oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi Nomor 177 (II) tahun 1950 untuk memformulasikan dan mengkodifikasikan prinsip-prinsip dari Mahmakah Nuremberg bagi perkembangan hukum internasional.
            Pengakuan yang kedua adalah diterimanya the Convention on the Non-applicability of Statutory Limitations to War Crimes against Humanity tahun 1968[12]. Konvensi tersebut mengakui adanya tiada batasan interpretasi bagi penegakan hukum terhadap kejahtan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lebih lanjut, negara-negara peserta wajib membuat dan melaksanakan semua langkah-langkah berdasarkan hukum nasionalnya, untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
            Kejahatan perang merupakan pelanggaran berat yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa menentukan pelanggran berat pada Pasal 50 Konvensi I dan Pasal 51 Konvensi II, yaitu : pelanggran berat yang ditujukan kepada orang atau barang (benda) yang dilindungi oleh Konvensi; pembunuhan yang disengaja, penganiayaan atau perbuatan yang tidak berperikemanusiaan termasuk percobaan biologis, perbuatan dengan sengaja menyebabkan pernderitaaan yang besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, pembinasaan yang luas dan tindakan pemilikan atas harta benda yang dibenarkan oleh kepentingan militer yang dilakukan dengan melanggar ketentuan hukum dan bersifat sewenang-wenang.
            Kejahatan perang juga diformulasikan oleh Komisi Hukum Internasional pada draft Kodifikasi tentang Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia 1991.Dalam Draft tersebut terdapat definisi tentang kejahatan perang yangb bersifat khusus yaitu pelanggaran khusus terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional yang berlaku pada saat konflik bersenjata berupa perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
a)      Perbuatan yang tidak manusiawi, kekejaman atau perbuatan barbar yang ditujukan pada kehidupan seseorang, hak dasar,hak dasar atau keutuhan menatal dan fisik orang.
b)      Pendirian tempat pemukiman pada daerah yang diduduki dan mengubah komposisi demografi dari wilayah yang diduduki;
c)      Penggunaan senjata yang tidak sah atau illegal;
d)     Mempergunakan cara-cara dan metode perang yang ditujukan atau diharapkan menyebabkan kerusakan yang luar biasa, luas dan berjangka panjang terhadap lingkungan hidup;
e)      Pengrusakan dalam skala luas terhadap hak milik penduduk sipil;
f)       Serangan yang disengaja terhadap hal-hal yang berhungan dengan agama tertentu, dan benda-benda cagar budayaa.
            Sedangkan kejahatan perang dalam Statuta Roma yang bertentangan dengan Pasal 8 Statuta Roma, yaitu suatu kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijaksanaan atau sebagai salah satu pelaksanaan dari kebijaksanaan atau rencana yang dilaksanakan secara besar-besaran terhadap kejahatn tersebut. Formulasi dari Pasal 8 ini mengambil dan menjabarkan ketentuan-ketentuan dari Draft Kodifikasi tahun 1996 yang pada intinya mengakui bentuk-bentuk kejahatan perang sebagai berikut ;
1.      Pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949 dengan elemen kejahatan yang sama, disertai dengan daftar kejahatan berat menurut ketentuan Konvensi;
2.      Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan perang yang dapat diberlakukan dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional yang sudah berlaku, disertai dengan daftar kejahatan yang termasuk dalam kategori ini;
3.      Dalam suatu sengketa bersenjata yang bukan merupakan sengketa bersenjata internasional, dan tidak terjadi pada keadaan kekacauan serta keteganngan dalam negeri seperti hura-hura, tindakan kekerasan  dan sporadis secara terpisah atau perbuatan-perbuatan lain yang bersifat sama dalam suatu negara;
4.      Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional berdasarkan hukum internasional yang sudah berlaku , disertai daftra kejahtan yang masuk dalam kategori ini;  

E.     Mekanisme Penegak Hukum Humaniter
            Suatu perangkat hukum akan dapat efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu ditegakkan.
            Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan  hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahmakah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi seperti dikenal dalam system hukum internasional umumnya.[13]
            Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrument hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.

1)      Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
            Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Konvensi Jenewa maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
            Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelakuk akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
            Dilingkungan TNI, apabila ada seorang prajuit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter maka Komandan atau atasan yang berwenang untuk menghukum berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, disamping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter.
2)      Mekanisme Internasional
            Disamping mekasinme nasional penegakan hukum humaniter juga dapat dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mahkamah bersifat ad-hoc dan mahkamah bersifat tetap.
a)      Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua Mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersiafat ad-hoc atau sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja
b)      Mahkamah Nuremberg
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg atau biasa disebut Piagam London. Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada 24 tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Nuremberg yaitu ; kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
c)      Mahkamah Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk melalui Treaty yang disusun ileh beberapa negara, mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan pernyataan atau proklamasi dari Jenderal Douglas MacArthur sebagai Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh.Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahmakah Nuremberg.
d)     International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
Pembentukan dua tribunal ini juga bersifat ad hoc, artinya tribunal ini berlaku untuk mengadili kejahatan tertentu pada jangka waktu tertentu dan untuk daerah tertentu saja. Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc tersebut yang dibentuk setelah Perang Dunia II [14]disatu sisi dengan ICTY dan ICTR di sisi lain yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg dibentuk oleh pihak yang menang perang[15], sedangkan mahkamah Yugoslavia dan Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Pasal 1 samapai Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi mahkamah, yaitu :
1.      Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional[16]
2.      Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949[17]
3.      Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang[18]
4.      Genosida[19]
5.      Kejahatan terhadap kemanusiaan[20]
            Sedangkan Mahkamah Ad Hoc Rwanda dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahahatn genosida dan pelaggaran serupa lainnya yang terjadi di wilayah negara tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994. Mahkamah keduanya menetapkan tanggung jawab individu terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan pelanggaran sebagaimana disebut dalam masing-masing Statuta. Adapun untuk hukum acaranya Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia menggunakan sistem Common Law, sedangkan Mahkamah Rwanda mengggunakan campuran anatara system Civil Law dan Common Law.
3)      Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional

            Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).Statu Roma merupakan sebuah perjanjian multilateral untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), yang dihasilkan dalam sebuah Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa di Roma (Italia) pada 17 Juli 1998. Disetujuinya Statuta Roma merupakan suatu langkah penting bagi penegakan hak asasi manusia di dunia. Dari 148 negara peserta konferensi, 120 mendukung, 7 menentang dan 21 abstain.
            Tindak pelanggaran serius hak asasi manusia yang diadopsi di dalam statuta ini adalah genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (aggression).
            Sebelum munculnya Statuta Roma, PBB telah memiliki International Court of Justice (ICJ) yang bermarkas di Den Haag, Belanda. Tetapi ICJ hanya mengadili sengketa antara negara-negara, bukan mengadili tindak pidana. ICJ tidak memadai untuk mengadili kejahatan internasional, seperti kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
            Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, suatu pengadilan pidana yang permanen merupakan langkah untuk mengisi kekosongan lembaga pidana di tingkat internasional pelanggaran berat hak asasi manusia. Ini jelas merupakan langkah maju untuk memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum) yang terjadi di banyak negara yang penegakan hukumnya masih sangat rendah. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak asasi manusia dan memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).


            Hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa ICC bersifat complementarity atau pelengkap terhadap  sistem hukum nasional. Oleh karena itu yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan apabila telah diakui suatu mekanisme nasional. Dalam hal ini yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan apabila ternyata suatu negara tidak mau dan tidak mampu untuk mengadili kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi ICC.
            Berkaitan dengan mekanisme penegakan hukum humaniter ini maka hal yang mendesak dan penting dilakukan Indonesia adalah menyusun suatu hukum nasional yang mengatur tentang penghukuman bagi pelaku kejahtan perang. Dalam hal ini diperlukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidan (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) belum mengatur tentang kejahatan perang. Artinya Indonesia belum melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi Jenewa 1949  [21].


                        










BAB.III KESIMPULAN

1.      Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata.
2.      Hukum humaniter mempunyai suatu keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional, namun substansinya banyak mangatur hal-hal yang menyangkut individu, atau dengan kata lainnya subjek hukumnya juga menyangkut individu.
3.       Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Humaniter adalah Prinsip proporsionalitas, Prinsip kepentingan militer, Prinsip Perikemanusiaan, Prinsip Kesatriaan, Prinsip pembedaan.
4.      Sumber-Sumber Hukum Humaniter yaitu Perjanjian internasional, Kebiasaan internasional, Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab.
5.      Mekanisme Internasional dalam penegakan hukum humaniter mencakup melalui Mahkamah Internasional Ad Hoc tentang Kejahatan Perang, Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional.






DAFTAR PUSTAKA

Syahmin,1985,Hukum Intenasional Humaniter 1 Bagian Umum, CV Armico, Bandung.
Smith, Rhona K.M.dkk, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Atmasasmita, Romli Prof.DR.SH.,LLM., 2006, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung.
Baharuddin, Ahmad S.H.,M.H., 2010, Hukum Humaniter Internasional, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Ambarwati, dkk., 2009, Hukum Humaniter Internasion dalam Studi Hubungan Internasional, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
















LAMPIRAN



[1]  Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.

[2]  Rohana K.M.Smith dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta. Hal 375

[3]  ibid
4 Mengenai hal ini lebih jauh bisa dilihat perbandingan antara putusan yang dibuat oleh ICJ dalam kasus keterlibatan dan dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontak Kontras di Nikaragua dengan putusan yang dibuat dalam kasus-kasus ICTY.

[5]  Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict, International Committee of the Red Cross, Geneva, 1992 hlm.90
[6]  Mohammed Bedjaoui, Modern Wars: Humanitarian Challenge. A Report  for the Independent Commission on International Humanitarian Issues, Zed Books Ltd., London, 1986, hlm 2
7 Atau yang disebut juga dengan kejahatan perang
[8]  Artian ini mencakup kejahatan perang dalam arti sempit, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.

[9]  Lihat seluruhnya dalam Theodore Meron, The Humanization of Humanitarian Law.94 American Journal of International Law 239

[10] TO Ellias, New Horizon in internasional Law hal 15

[11]  Lihat Year Book of the International Law Commission hal 374-378
[12] Dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2391 pada tanggal 26 November 1968.
[13]  Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
[14]  Yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo

[15] Dalam hal ini adalah Amerika Serikat dan sekutunya

[16] Pasal 1 Statuta Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia

[17] Pasal 2 Statuta Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia

[18] Pasal 3 Statuta Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia

[19] Pasal 4 Satuta Mahkamah unutk negara bekas Yugoslavia

[20]  Pasal 5 Statuta Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia
[21]  Yaitu menyusun suatu hukum  nasional yang memberikan sanksi pidanaefektif bagi pelaku kejahatan perang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar