Jumat, 25 Mei 2012

makalah hukum dan HAM di berbagai benua


BAB II
PEMBAHASAN

1) Eropa
            Sebagai sebuah organisasi Eropa dengan 48 negara anggota, Dewan Eropa memegang peranan penting dalam kegiatan memastikan penghormatan dan penegakkan hak asasi manusia untuk delapan ratus juta penduduk di  Eropa. Tugas utama Dewan Eropa adalah perlindungan hak asasi manusia, demokrasi dan berkuasanya hukum. Berdasarkan standar bersama mengenai hukum internasional publik, hak dan kepentingan setiap orang adalah fokus utama kerja organisasi tersebut. Dewan Eropa telah mengalami peningkatan terus-menerus dalam jumlah negara anggota dan bidang kegiatan sejak didirikan pada 1949 oleh sebelas negara Eropa Barat.
Meskipun hak asasi manusia hanya salah satu dari banyak fungsi Dewan Eropa. Program aksi politik 1997 menggambarkan fakta ini. Di sini, Dewan mengajukan keseluruhannya sembilan belas tindakan dalam lima bidang untuk memperkuat stabilitas demokratis di negara-negara anggotanya. Lima bidang tersebut adalah demokrasi dan hak asasi manusia, solidaritas, keamanan individu, nilai demokratis dan keragaman dan struktur budaya serta cara kerja bagi dewan.
Disamping itu dalam rangka pengembangan lebih lanjut pelaksanaan HAM telah dibentuk pula “committee of experts of human rights” yang bertugas antara lain[1]:
1.      Mendata pelaksanaan sistem supervisi dan konvensi dan mempercepat tata kerja demi terciptanya perlindungan individu lebih nyata.
2.      Membawa konvensi HAM Eropa sejalan dengan konvensi hah-hak sipil dan politik PBB.
3.      Promosi terciptanya kesadaran HAM yang lebih tinggi dilingkungan Univesitas Nasional, Internasional juga dikalangan masyarakat umum.
Di bawah ini kita akan melihat lebih dekat pada pengaturan politik menurut Dewan eropa dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. Karena keterbatasan halaman, mekanisme pelaksanaan lainnya menurut Dewan tidak dimasukkan, seperti Komite Penyiksaan dan Komite Sosial.

(a) Kerja Sama Politik
            Kerja sama politik dalam Dewan Eropa terutama berlangsung dalam Komite Menteri-Menteri. Komite perwakilan tetap ini adalah badan pembuat keputusan dari Dewan, tetapi Majelis Parlemen Dewan juga memainkan peran politik sendiri.
            Komite Menteri-Menteri telah membuat mekanisme sendiri untuk mengawasi penegakan kewajiban oleh negara-negara anggota dalam bidang inti demokrasi, hak asasi manusia, dan berkuasanya hukum. Fungsi Komite itu adalah melakukan pemeriksaan secara konfidensial dan non diskriminatif tiap negara anggota setiap tahun dalam beberapa bidang yang dipilih dalam bentuk laporan dari Sekretaris Jenderal Dewan. Topik-topik yang dipilih menurut mekanisme tersebut setiap tahun diputuskan pada musim gugur tahun sebelumnya. Sejak pembentukan mekanisme tersebut pada 1996 topik-topik berikut telah dibicarakan secara khas dalam Komite Perwakilan Tetap; kebebasan menyatakan pendapat, institusi demokrasi, demokrasi lokal, hukuman mati, dan petugas polisi dan keamanan.
            Dengan demikian, Majelis Eropa memiliki 2 badan besar yaitu:
1.      Parliamentary Assembly (dewan parlemen).
2.      Committee of Ministers(panitia para menteri) yang anggotanya para Menteri Luaar Negeri negara-negara anggota. Tugas/wewenang Majelis Eropa meliputi bidang hukum, pendidikan, keluarga, perencanaan ,lingkungan, perburuhan, olahraga, kesehatan dan lain-lain[2].
Khusus untuk melindungi hak asasi manusia, majelis Eropa telah membentuk:
1.      Komisi hak asasi manusia eropa (European Commission of Human Rights),
2.      Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights),
3.      Panitia Para Menteri (Committee of Ministers).[3]

Mekanisme pengawasan ini sekarang telah menjadi bagian tetap dari kegiatan Komite Menteri-Menteri, dan menyumbang pada penegakkan kewajiban-kewajiban oleh negara-negara anggota Dewan Eropa. Majelis Parlemen juga telah membentuk mekanisme pemantauan sendiri. Berlainan dengan Komite, Majelis membicarakan pemenuhan negara anggota yang diseleksi pada kewajiban keanggotaan negara-negara itu.
Mekanisme tersebut di atas didasarkan pada Statuta Dewan Eropa. Mekanisme ini memiliki kesamaan dengan mekanisme pelaksanaan yang didasarkan pada Piagam PBB. Di samping itu pada mekanisme berdasar Statuta Dewan Eropa yang secara langsung dihubungkan pada perjanjian internasional menurut sistem Eropa, yang paling terkenal dan penting adalah Pengadilan Hak Asasi Manusia menurut Konvensi Eropa bagi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar. Selain itu mekanisme pelaksanaan yang didasarkan pada perjanjian internasional juga terdapat dalam Piagam Sosial Eropa, Konvensi Eropa bagi Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat dan Konvensi Kerangka bagi perlindungan minoritas kebangsaan. Hanya yang pertama dari empat mekanisme pelaksanaan berdasar perjanjian internasional yang akan dibahas di bawah ini.

 (b) Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa-Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa
                Mekanisme pelaksanaan menurut Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (European Convention on Human Rights/EHCR) terdiri atas pembahasan pengaduan antar negara, pengajuan perseorangan dan pendapat yang bersifat nasihat menurut Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa Bagian II, Aturan Pengadilan dan Laporan Penjelasan pada Protokol No. 11.
Materi dasar/pengertian dasar HAM negara negar Eropa tidak berbeda dengan ketentuan yang telah ada didalam deklarasi HAM PBB, karena itu, pencetus HAM negara negara Eropa, antara lain bertujuan memperkuat HAM PBB yang sangat tepat.
Majelis Eropa telah mempunyai seperangkat instrumen hukum (aturan hukum) yaitu:
1.      Conventional for the protection of human rights dan fundamental   freedoms (1950), berisi garis garis besar perlindungan hukum bagi seluruh warga negara dari negara anggota. Beberapa hak yang tercantum dalam konvensi, antara lain hak hidup, kemerdekaan dan keamanan, peradilan, bebas, penghormatan pribadi/keluarga, ketentraman rumah tangga/surat menyurat, kebebasan berfikir, mencipta dan beragama, menyatakan pendapat/opini,       berserikat/berorganisasi, mendapat pendidikan dan lain-lain. Disamping hak-hak dan kebebasan tersebut, setiap subjek hukum mendapat batasan tertentu atas dasar “public order,public safety,and the protection of the rights and freedom of others are prescriped by law and neccessary in a democration society: (Council of Europe. 1968 :10)[4].
2.      First protocol to the convention, berisi penegasan dan penjelasan dari setiap hak yang telah dimiliki oleh subjek hukum, sehingga setiap warga negara tidak sekedar tahu pokok-pokoknya, juga mengetahui sampai perinciannya.
3.      Second Protocol: berisi hak mahkamah HAM Eropa (The Eruropan Court of Human Rights) untuk memberi nasihat/pendapat hukum terhadapa suatu kasus yang diajukan.
4.      Third Protocol , berisi/berkaitan dengan tata cara dan mekanisme     komisi HAM Eropa(the european commision of human rights).
5.      Fourth Protocol, antara lain berisi hak dan kebebasan manusia tertentu,selain telah dimuat dalam konvensi dan dalam first protocol.
6.      Fifth Protocol, penjelasan lebih lanjut berkaitan dengan kantor komisi HAM Eropa dan Mahkamah Eropa tentang HAM.

Mekanisme Konvensi direformasi sepenuhnya oleh Protokol No.11, yang dimulai berlaku pada 1 November 1998. Di antara perubahan-perubahan yang penting adalah pembubaran Komisi Hak Asasi Manusia Eropa, sebuah subkomisi di bawah Pengadilan yang memutuskan masalah-masalah yang dapat diterimanya (admissibility) tiap kasus. Sebagai gantinya, Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa dibuat permanen dan diberi wewenang untuk menangani kasus-kasus dalam Komite, Kamar-Kamar (chambers), dan Kamar-Kamar Besar (grand Chambers).
Pengadilan dibentuk menurut Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa Pasal 19. Fungsi Pengadilan adalah memastikan pemtuhan oleh negara atas kewajiban yang timbul dari Konvensi dan protokol-protokolnya. Yurisdiksi Pengadilan meliputi “semua permasalahan mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi dan protokol-protokolnya yang dirujuk padanya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37[5].
Putusan Pengadilan mengikat secara hukum bagi negara yang terlibat, ciri ini membedakan Pengadilan tersebut dari mekanisme pelaksanaan yang didasarkan pada perjanjian internasional PBB. Pengadilan terdiri dari sejumlah hakim yang sesuai dengan jumlah negara yang telah menjadi pihak pada Konvensi[6].

Hakim adalah orang yang memiliki karakter moral yang tinggi dan harus memiliki kualifikasi yang harus diperlukan bagi pengangkatan untuk jabatan Yudisial yang tinggi atau ahli hukum yang diakui kompetensinya, menurut Pasal 21 ayat (1). Pengadilan bertindak dalam empat posisi: Paripurna, Komite, Kamar (chambers), dan Kamar Besar (grand Chambers).
Wewenang Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dibatasi oleh beberapa kriteria dapat diterima atau tidaknya perkara. Beberapa dasar untuk menyatakan sebuah kasus tidak dapat diterima adalah sama bagi permohonan antar negara dan perseorangan. Dasar tidak dapat diterimanya perkara berasal dari Pasal 35, tetapi beberapa juga terdapat dalam Pasal 33 dan Pasal 34. Siapa yang berhak mengadu kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa juga terdapat dalam Pasal 33 bersifat langsung dalam hal ini dengan menyatakan bahwa pihak yang berhak menyampaikan pengaduan antarnegara adalah negara. Namun lebih sulit untuk menentukan siapa yang dapat menyampaikan pengaduan perseorangan. Pengujian di sini akan berkaitan dengan pengadu yakni penderitaan yang diakui dideritanya, siapa yang melakukan dugaan pelanggaran serta di mana dan kapan pelanggaran tersebut terjadi.
Syarat mutlak untuk memeriksa suatu perkara di Pengadilan adalah bahwa semua remedi dalam negeri yang relevan di negara yang bersangkutan harus telah dicoba. Hampir setengah permohonan tidak memenuhi persyaratan ini. Maksud ketentuan ini adalah untuk memberi kesempatan kepada negara untuk kemungkinan memperbaiki semua masalah sebelum fungsi pengawasan Pengadilan berlaku dan menggaris bawahi sifat Pengadilan sebagai tambahan. Aturan yang berlaku dalam hal ini berkaitan jelas dengan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa, Pasal 13 yang mensyratkan negara memberikan kepada individu hak atas remedi yang efektif untuk dugaan pelanggaran HAM. Sangat banyak pengaduan yang ditolak atas alasan “nyata-nyata tidak berdasar”[7].
Kriteria penerimaan ini berhubungan erat dengan pemeriksaan substansial perkara yang bersangkutan.
(c) Masa Depan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa
            Pengadilan HAM Eropa adalah unik dalam pengertian bahwa pengadilan tersebut mengeluarkan keputusan-keputusan yang tepat dan tidak mengikat secara hukum dalam kasus individual, dan selain itu keputusan-keputusan itu sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh negara-negara pihak. Pengadilan tersebut di antara cendikiawan hukum dianggap sangat berhasil dan keberhasilannya itu dicerminkan juga dalam angka-angka.
            Peradilan telah menjadi terkenal dan digunakan dengan baik di negara-negara anggota dan di samping itu pengadilan secara de facto mengambil peran sebagai pengadilan tingkat keempat untuk banyak negara. Sisi lain bahwa sistem Pengadilan berada dalam tekanan yang kuat. Tumpukan perkara meningkat terus-menerus dan perkara yang diajukan pada 2007 mungkin baru dapat diputuskan 2012.
Selain itu negara-negara anggota dilihat secara keseluruhan, tidak berkemauan untuk memberi kepada Pengadilan sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia yang dibutuhkan olehnya untuk menjadi seefisien yang dituntut oleh beban perkara.
Selain itu pula juga terdapat tanda-tanda bahwa negara anggota tidak menghormati putusan-putusan pengadilan itu sepenuhnya. Sebaliknya terlihat dari besarnya jumlah perkara ulangan dari Italia dan pelanggaran berat hak asasi manusia di beberapa negara dengan terjadinya konflik dengan kekerasan seperti di Rusia dan Turki.
Kemudian Dewan Eropa mencoba memenuhi kebutuhan untuk perubahan dengan memformalkan lagi Pengadilan tersebut[8]. Reformasi hukum ini seharusnya didukung oleh sarana-sarana yang lebih praktis dan lebih politis, seperti pembentukan titik-titik kontak nasional bagi pemberian nasihat terhadap individu yang ingin menggunakan mekanisme pengaduan.

2) Afrika
            Mekanisme pelaksanaan menurut Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat (Piagam Afrika, kadang kala disebut Piagam Banjul) bermacam-maacam dan terkait dengan Komisi Afrika tentang Hak Manusia dan Rakyat[9]. Pengadilan Afrika tentang Hak Manusia dan Rakyat telah dibentuk dan mulai berlaku baru-baru ini[10]. Karena baru saja dibentuk, Pengadilan belum akan dibahas berikut ini.
            Komisi Afrika tentang Hak Manusia  dan Rakyat terdiri dari sebelas orang independen yang dipilih Uni Afrika, bersidang dua kali setahun. Menurut pasal 45 tiga fungsi dari Komisi adalah (1) memajukan penghormatan hak asasi manusia di Afrika, (2) memastikan perlindungan hak-hak tersebut, (3) menafsirkan ketentuan-ketentuan Piagam Uni Afrika. Di samping itu komisi tersebut harus melaksanakan tugas lain yang diminta oleh Uni Afrika.
            Pemajuan hak asasi manusia di Afrika melibatkan berbagai tanggung jawab yang banyak jumlahnya[11]. Pasal ini misalnya menyebut berbagai kegiatan, seperti dilakukannya penelitian, penyelenggaraan konferensi, penyebarluasan informasi, analisis, legislasi dan praktik nasional serta kerja sama dengan organisasi lain.
            Tugas-tugas yang berkaitan dengan penafsiran ketentuan Piagam Afrika lebih merupakan bersifat hukum dan akan menyumbang pada perkembangan piagam itu sendiri. Barangkali tanggung jawab Komisi yang paling penting adalah “memastikan perlindungan” hak asasi manusia yang berasal dari piagam. Perlindungan tersebut diberikan melalui pemeriksaan laporan negara serta komunikasi antar negara dan individual. Negara-negara harus menyampaikan laporan tiap dua tahun tentang tindakan yang diambil untuk menegakkan ketentuan-ketentuan piagam. Tetapi Piagam tidak memuat ketentuan tentang pembahasan laporan tersebut.
Meskipun sistem pengaduan antar negara mempunyai kesamaan dengan Komisi Hak Asasi Manusia, mekanisme tersebut bahkan lebih rinci[12]. Sistem komunikasi individual mengikuti Pasal 55-Pasal 59. Model pengaduan individual telah mirip dengan prosedur 1503 yang didasarkan pada Piagam PBB daripada pengaturan menurut KIHSP, Konvensi Antar-Amerika dan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa. Komunikasi menurut model Afrika harus melewati banyak rintangan sebelum “perlindungan” diberikan. Rintangan pertama adalah persyaratan formal sebagaimana ditetapkan Pasal 56 Piagam. Beberapa dari persyaratan ini terlihat tidak begitu perlu, seperti persyaratan bahwa komunikasi harus tidak ditulis dalam “bahasa yang meremehkan atau menghina”.
Halangan berikutnya menunjukkan sifat distingtif yang paling penting yang menetapkan bahwa komunikasi individual hanya dapat dibahas jika komunikasi itu menunjukkan adanya sistem pelanggaran hak asasi manusia serius atau besar[13]. Jadi individu itu bukanlah individu itu sendiri melainkan individu sebagai kurir untuk pelanggaran yang lebih besar yang merupakan urusan komisi. Berikut ini Negara-negara Afrika yang telah merdeka menyelenggarakan konferensi I pada tanggal 15-22 april 1958 di Akra (Ghana). Pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi yang berisi :
  1. Menghormati hak asasi manusia sebagaimana ditentukan dalam piagam PBB. Penghormatan wilayahnya masing-masing serta persamaan derajat antar bangsa.
  2. Segera memberi kemerdekaan bagi bangsa-bangsa Afrika yang masih dijajah.
  3. Mengutuk rasialisme di Afrika Selatan.

Konferensi kedua diadakan di Addis Abeda tanggal 15-24 juni 1960 yang menegaskan kembali tentang penghapusan kolonialisme, mencegah munculnya kolonialisme baru di Afrika serta mengajak semua negara untuk melawan politik apartheid di Afrika Selatan.
Konferensi ketiga diadakan di Lagos/Nigeria pada tahun 1961, dihadiri oleh para sarjana hukum Afrika, membahas the rules of law dalam rangka menegakan hak asasi manusia yang berkaitan antara lain dengan ketatanegara, kepidanaan serta kepengacaraan.
            Dalam konferensi tersebut dibentuk 3 komisi yaitu:
1.      Komisi hak asasi manusia dan keamanan pemerintah (legislatif, eksekutif dan yudikatif).
2.      Komisi hak asasi manusia dalam aspek hukum pidana dan hukum administrasi.
3.      Tanggung jawab pengadilan dan kepengacaraan dalam rangka melindungi hak-hak perseorangan dan masyarakat.

Akan tetapi dalam penegakan HAM di Afrika masih terdapat hambatan ketiga yaitu, bahwa menurut Pasal 58 Komisi membutuhkan persetujuan politik dari Uni Afrika sebelum dapat menginvestigasi laporan faktual tentang keadaan kasus tersebut sepanjang hal ini disetujui secara politik oleh Majelis Kepala Negara dan Pemerintahan[14].
            Selanjutnya Piagam Afrika tentang HAM dan Bangsa Afrika dibuat oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organisation of African Unity/OAU) pada tahun 1981 dan berlaku pada tahun 1986. OAU merupakan oragnisasi regional antar pemerintah yang dibentuk dalam tahun 1963 dan memiliki 53 negara anggota. OAU berfungsi melalui sebuah Sekretariat Tetap, berbagai Konferensi Kementrian, Dewan Menteri dan Majelis Kepala-Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Majelis bersidang dalam setahun dan merupakan badan pembuat kebijakan tertinggi dari OAU. Piagam Afrika memiliki beberapa kekhasan yang membuatnya agak berbeda dengan, misalnya Konvensi Eropa tentang HAM; Piagam tidak hanya menyatakan hak tetapi juga kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat, kewajiban untuk menghormati dan tidak hanya menghimpun hak-hak perorangan tetapi juga hak-hak bangsa (seperti persamaan, hak eksistensi, hak penentuan nasib sendiri, dan sebagainya).
            Sebagai tambahan pada hak-hak sipil dan politik, Piagam Afrika juga memuat hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Cara merancangnya dibiarkan terbuka bagi kemungkinan negara-negara peserta untuk menempatkan pembatasan (luas) dan/atau pembatasan atas hak-hak yang dilindungi[15].
            Piagam Afrika menentukan sekaligus, pengaduan antar negara dan komunikasi perorangan. Kedua prosedur ini bersifat wajib bagi para negara peserta. Kompetensi untuk mempertimbangkan pengaduan antar negara terletak di tangan Komisi Hak Asasi Manusia dan Bangsa Afrika yang ditetapkan berdasarkan Pasal 30 Piagam, berkaitan dengan “komunikasi-komunikasi lainnya”[16], Komisi dengan suara mayoritas 11 anggota dapat memutuskan mana dari komunikasi-komunikasi tersebut yang akan dibahas. Untuk kategori “komunikasi lain” ukuran penerimaan dengan jelas mencakup komunikasi-komunikasi yang ditegaskan di dalam instrumen-instrumen internasional yang disebutkan di atas.

3) Kawasan Amerika
            Sistem Hak Asasi Manusia Antar-Amerika mempunyai dua mekanisme pelaksanaan, yakni Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Amerika dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika. Dalam beberapa hal kedua institusi ini memiliki fungsi yang sejajar.
            Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Amerika dibentuk oleh Negara-Negara Amerika pada 1960. Komisi tersebut diberi mandat yang luas yaitu menyiapkan laporan, membuat rekomendasi, dan menjalankan penelitian mengenai negara-negara tertentu. Beberapa tahun kemudian Komisi it diberi kuasa untuk menerima dan bertindak terhadap petisi perorangan, tetapi mandatnya terbatas pada hak-hak tertentu yang diproklamasikan dalam Deklarasi Amerika.


Diterimanya Konvensi HAM Amerika pada 20 November 1969 memperkuat Yurisdiksi Komisi. Dengan berlakunya pada 18 Juli 1978, Konvensi memberi Komisi dua tugas terpisah yang pertama sebagai badan yang didasarkan pada piagam dan yang kedua sebagai badan yang didasarkan pada perjanjian internasional. Mana yang dipakai Komisi bergantung pada apakah negara yang bersangkutan telah atau belum meratifikasi Konvensi. Kebanyakan, negara kawasan Amerika, kecuali Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara Karibia yang lebih kecil telah meratifikasi Konvensi tersebut.
Komisi HAM Antar-Amerika berkedudukan di Washington, D.C. di Amerika Serikat dan terdiri dari tujuh ahli independen yang dipilih Organisasi Negara-Negara Amerika. Konvensi menetapkan mandat dan fungsi Komisi, yang peran utamanya adalah pemajuan dan perlindungan HAM[17].
Negara Amerika sejak tahun 1948 telah membentuk suatu Organisasi Negara-negara Amerika (Organization of American States) lewat kesepakatan "Charter. Bogota 1948". Dalam Deklarasi Santiago, Chili 1959 ditegaskan kembali negara-negara Amerika akan mengaitkan/ memasukkan HAM ke dalam konstitusinya. Pada tahun 1948, scat diselenggarakan Konferensi Negara-negara Amerika ke-9 telah disetujui pula "American Declaration the Rights and Duties of Man". Pada tahun 1959, pertemuan konsultatif Menlu Amerika ke-5  menghasilkan satu resolusi pembentukan Inter-American Commission of Human Rights. Selanjutnya pada pertemuan di San Jose, Costa Rica pada tahun 1969, khusus pertemuan tentang Hak Asasi Manusia, disepakati pula American Declaration the rights [18].
Mandat Komisi yang luas itu membuka pendirian Institusi Hak Asasi Manusia Antar-Amerika pada tahun 1980 di Kosta Rika, suatu institusi mandiri yang bertugas memajukan penghormatan hak asasi manusia melalui penelitian, pengkajian, dan pendokumentasian.

Konvensi menguasakan Komisi untuk bertindak terhadap petisi individual dan petisi negara. Persyaratan bagi pembahasan komunikasi antar negara adalah bahwa kedua negara telah mengakui wewenang Komisi (pengaturan fakultatif)[19]. Menyadari bervariasinya kondisi politik, ekonomi maupun kultural antara negara-negara anggota, lewat pengakuan atas hak asasi manusia diharapkan akan tercipta perdamaian. Dalam Pembukuan Perdamaian Organisasi Negara-Negara Amerika ditegaskan antara lain:  
"... Confident that the true significance of American Solidarity and good neighborness can only mean the consolidation of this continent, within the framework of a system of individual liberty and a social justice based on respect for the essential rigths, of man". Organisasi Negara-negara Amerika telah memiliki beberapa konvensi/ deklarasi, antara lain:
  1. American Declaration of the Rights and Duties of man, 1948.
  2. Inter-American Charter of Social Guarantees, 1948.
  3. The Declaration of Santiago, 1959.
  4. Inter-American Convention on Human Rights, 1954.
  5. Inter-American Commission on Human Rights, berpusat di Washington.
  6. Inter-American Court of Human Rights, berpusat di San Jose, Costa Rica.

Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut, peranan General Assembly of the OAS sangat besar, terutama dalam menunjuk komposisi anggota Komisi dan Mahkamah Hak Asasi Manusia. Tugas komisi Hak Asasi Manusia Antar Negara-negara Amerika dalam Hak Asasi Manusia antara lain: mendorong bangsa  Amerika akan kesadaran Hak Asasi Manusia, memberi rekomendasi kepada negara­negara anggota, mempersiapkan laporan Hak Asasi Manusia, meminta informasi kepada anggota tentang Hak Asasi Manusia, melakukan pencarian fakta dan penyelesaian secara kekeluargaan (friendly settlement) atas kasus-kasus yang terkait dengan Hak Asasi Manusia.
Sedangkan tugas Mahkamah Hak Asasi Manusia Amerika, antara lain memberikan informasi pelaksanaan konvensi Hak Asasi Manusia, mengawasi pelaksanaan konvensi Hak Asasi Manusia, memberikan kompensasi atas pelanggaran Hak Asasi Manusia antar negara anggota.
Tertanda pada Mukadimah Piagam Organisasi Negara-negara Amerika (ONA) yang berbunyi "the historic mission of America is to offer to man a land of liberty ... " memberi petunjuk kepada kita bahwa faktor kebebasan merupakan salah satu tujuan pembentukan ONA tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa anggota-anggota ONA lebih heterogen dalam pandangan politik, perbedaan kondisi ekonominya, sehingga pandangan tentang hak asasi manusia berbeda pula, terbukti dari banyaknya resolusi yang dihasilkan oleh ONA dalam menghadapi hal-hal tersebut. Melihat kenyataan ini, sebagian besar negara-negara Amerika masih tetap berusaha melaksanakan hak asasi manusia sesuai dengan petisi Bangsa Amerika yang diyakini, dan termuat dalam Mukadimah Piagam. Pembentukannya, bukti lain menunjukkan bahwa persoalan hak asasi manusia di belahan bumi barat tetap aktual, hal ini dapat dilihat dari lanyaknya permohonan pengajuan adanya pelanggaran hak asasi manusia melalui komisi interen Amerika dari tahun 1960 sampai dengan 1977 lebih berkurang berjumlah 2.049 buah[20].
            Oleh sebab itu, dengan meratifikasi Konvensi, suatu negara dengan sendirinya mengakui wewenang Komisi untuk membahas petisi-petisi individual[21]. Meskipun hal untuk mengajukan petisi individual telah banyak digunakan, petisi antar negara sampai saat ini belum digunakan. Sebelum suatu kasus dapat diperiksa mengenai kemanfaatannya, kasus itu harus dinilai mengenai persyaratan dapat diterimanya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 46. Persyaratan ini terutama sama dengan persyaratan menurut Komite Hak Asasi Manusia PBB dan Pengadilan HAM Eropa.
 Menurut Pasal 47 Komisi diperbolehkan menolak kasus yang secara jelas-jelas tidak berdasar. Jika kasus tersebut dianggap dapat diterima, Komisi akan memeriksa informasi yang diberikan oleh para pihak dan Pasal 48 menentukan bahwa Komisi dapat melakukan investigasi sendiri dan mendengar pernyataan lisan untuk mencapai “penyelesaian bersahabat” kasus tersebut.
            Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika berkedudukan di San Jose, Kosta Rika dan terdiri dari tujuh ahli independen yang dipilih oleh organisasi Negara-Negara Amerika. Pasal 62 memberi wewenang kepada Pengadilan untuk hanya berurusan dengan negara-negara yang telah mengakui Yurisdiksinya. Agar pengadilan dapat memeriksa suatu perkara, Pasal 61 menyatakan bahwa Komisi telah membahasnya. Apabila Pengadilan memeriksa perkara, Pengadilan perlu juga mempertimbangkan kriteria yang sama bagi diterimanya pengaduan seperti halnya Komisi Pengadilan tidak hanya menentukan, apakah terdapat pelanggaran atau tidak melainkan juga karena konsekuensi apakah yang harus ditanggung para pihak pelanggaran itu. Kebanyakan hukuman akan berbentuk kompensasi ekonomi pada korban[22]. Pasal 67 dan Pasal 68 ayat (1) Konvensi menetapkan bahwa putusan Pengadilan bersifat mengikat. Jika negara tidak menunjukkan kemampuan atau kemauan untuk menidaklanjuti putusan Pengadilan, satu-satunya cara yang dapat dilakukan oleh Pengadilan adalah memberitahukan Majelis Umum Organisasi Negara-Negara Amerika[23].
            Meskipun dalam arti sempit, putusan hanya mengikat secara hukum para pihak yang terlibat, putusan Pengadilan mempunyai arti sangat penting bagi penafsiran ketentuan-ketentuan dalam Konvensi. Di samping itu, putusan-putusan dipelajari dalam hubungannya dengan rezim hak asasi manusia yang lain, terutama putusan-putusan tentang tanggung jawab negara pada hilangnya orang. Tidak seperti beberapa mekanisme pelaksanaan lain, Pemgadilan Antar-Amerika diberi wewenang untuk mengambil tindakan sementara[24].
            Tindakan demikian dapat diambil dalam kasus-kasus yang diperiksa oleh Pengadilan atau dalam kasus-kasus yang dibahasn oleh Komisi, atas permintaan badan ini. Tindakan sementara diperlukan untuk mencegah kerugian yang tidak bisa diperbaiki pada orang dan mengenai kasus-kasus yang sangat gawat dan mendesak.
            Pengadilan dikuasakan untuk membuat pendapat yang bersifat nasihat (advisory opinion) bukan hanya yang berkenaan dengan penafsiran Konvensi, melainkan mengenai perjanjian internasional lainnya yang relevan yang telah diratifkasi oleh para pihak tersebut[25], cukup banyak pernyataan demikian telah dibuat. Meskipun pendapat yang bersifat nasihat ini tidak mengikat secara hukum, pendapat Pengadilan tersebut mempunyai arti yang sangat penting bagi negara-negara yang bersangkutan dan bagi perlindungan yang diberikan oleh Konvensi secara keseluruhan.

4) Asia
(a) Pendahuluan
            Deklarasi dan program Aksi Wina, yang ditetapkan oleh Konferensi Dunia tentang HAM yang dilaksanakan di Wina pada 14 hingga 35 Juni 1993, menyatakan, Inter Alia, bahwa ia “menyatakan kembali kebutuhan untuk mempertimbangkan kemungkinan membentuk pengaturan regional dan sub-regional bagi promosi dan perlindungan hak asasi manusia dimana pengaturan-pengaturan itu belum ada”.
            Dalam kerangka Deklarasi dan Program Aksi Wina yang dirujuk di atas, pada tingkat sub-regional, yakni di sub wilayah Asia Tenggara, Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN), yang didirikan pada 1967, menyatakan dalam Komunikasi Bersama Pertemuan Menteri-Menteri ASEAN yang ke-26 di Singapura pada 23-24 Juli 1993 bahwa menteri-menteri luar negeri mereka “sepakat bahwa ASEAN sebaiknya mempertimbangkan juga pembentukan sebuah mekanisme regional yang sesuai tentang hak asasi manusia”.
Pada waktu itu, ASEAN terdiri dari enam negara anggota, yakni Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Bagi ASEAN ini adalah sebuah keputusan yang penting secara politik, karena untuk pertama kali sejak pendiriannya pada 1967 negara-negara anggota ASEAN menekankan pentingnya sebuah kerja sama sub regional bagimpromosi dan perlindungan hak asasi manusia, dan bahkan lebih penting lagi, paling tidak secara prinsip, kemungkinan pembentukan sebuah mekanisme hak asasi manusia yang sesuai pada tingkat sub regional dengan melibatkan negara-negara ASEAN[26].  

(b) Tindak Lanjut
Unsur-unsur masyarakat sipil di negara-negara anggota ASEAN yang concern dengan kebutuhan akan kerja sama sub regional dalam promosi dan perlindungan hak asasi manusia di wilayah Asia Tenggara menyambut keputusan yang diambil pemerintah-pemerintah negara anggota ASEAN dalam pertemuan mereka di Singapura pada 1993. Tujuan pembentukannya ASEAN hampir sama dengan PBB yang pada tahun 1948 telah mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)[27].
Lalu individu-individu yang concern di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand kemudian membentuk sebuah kelompok yang disebut dengan “Kelompok Kerja untuk Mekanisme Hak Asasi Manusia ASEAN” dengan tujuan untuk mendukung pemerintah-pemerintah negara anggota ASEAN dalam merealisasikan keputusan yang diambil di Singapura untuk membentuk sebuah mekanisme sub regional yang sesuai bagi promosi dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, kelompok kerja mengadakan konsultasi reguler dengan pemerintah-pemerintah negara-negara ASEAN, khususnya sebelum pelaksanaan Pertemuan Tahunan Menteri-Menteri ASEAN.

Komisi HAM ASEAN yang akan didirikan berdasarkan Draft Kesepakatan yang diajukan itu akan diberi mandat yang mencakup kewenangan untuk memberi rekomendasi kepada pemerintah-pemerintah negara-negara ASEAN untuk mengambil langkah-langkah lagi bagi kemajuan hak asasi manusia, mengivestigasi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan mereka dan mengajukan petisi dan komunikasi menyangkut pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Draft kesepakatan yang diajukan itu ditolak ole pemerintah-pemerintah negara-negara anggota ASEAN. Perlu dicatat bahwa sebelum penyerahan Draft Kesepakatan ini kepada para pejabat yang kompeten negara-negara anggota ASEAN, keanggotaan ASEAN sudah bertambah dari enam pada 1883, pada saat pengambilan keputusan untuk membentuk sebuah Mekanisme Hak Asasi Manusia ASEAN, menjadi sepuluh dengan bergabungnya empat negara baru di Asia Tenggara yaitu Vietnam (1995), Myanmar (1997), dan Kamboja (1999).[28]
Untuk melanjutkan upaya-upaya dalam mendorong ASEAN untuk membentuk Mekanisme HAM ASEAN, Kelompok Kerja, sejak 2001 telah mengadakan, bersama Menteri Luar Negeri negara yang menjadi tuan rumah, workshop tahunan yang disebut “Workshop tentang Mekanisme Hak Asasi Manusia ASEAN” (Jakarta, Indonesia, 2001; Manila, Phillipines, 2002; Bangkok, Thailand, 2003; Jakarta, Indonesia, 2004; dan Kuala Lumpur, Malaysia, 2006).
 Negara-negara asia belum mempunyai Piagam Hak Asasi Manusia, sebagaimana dimiliki negara-negara Eropa , Amerika maupun Afrika. Hal ini disebabkan karena , kuat dan mendalamnya tradisi dan agama-agama besar dikebanyakan negara-negara asia. Pengaruh tradisi dan agama pada sebagian besar negara-negara asia mewarnai pola pikir/pola tindak dan sikap sebagian besar negara-negara di asia.


Pada tahun 2005, Negara-Negara Anggota ASEAN menyepakati dirumuskannya sebuah instrumen yang mengikat secara hukum sebagai instrumen kontitutif ASEAN, untuk menggantikan Deklarasi 1967 yang bukan instrumen mengikat secara  hukum.
Untuk maksud tersebut ASEAN, membentuk kelompok orang-orang terkemuka yang ditugasi menyusun cetak biru instrumen kontitutif tersebut yang dinamakan “Piagam ASEAN”[29]. Sebaliknya dalam tradisi hindu dan Budha, dikenal pula aspek hak asasi manusia. Pertama, cara berpikir merupakan etos  masyarakat dan kedua, dikenalnya buku-buku hukum agama yang memberikan bingkaian pola hukum yang ada.
Di dalam negara-negara beradab terdapat lima hak yang harus ada dan diakui di dalam suatu negara. Negara asia yang juga pusat awal tumbuhnya agama, pengaruh agama sangat kuat dalam proses bermasyarakat dan bernegara dalam beberapa negara.
Sebagaimana diketahui, sebagian besar negara Asia adalah negara bekas jajahan yang memperoleh kemerdekaan setelah perang dunia ke- II. Walaupun sebagian besar anggota PBB dari negara Asia Afrika tersebut tidak ikut merumuskan deklarasi hak asasi manusia tahun 1948, tetapi dengan masuknya negara-negara Asia Afrika menjadi anggota PBB setelah tahun 1950, secara formal menerima pula deklarasi hak asasi manusia PBB 1948.
Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa dimasa datang semua anggota PBB akan menghormati deklarasi PBB tersebut.
1.      Hubungan hak asasi manusia dengan kemiskinan, antara lain ditegaskan tentang:
a.       Peranan negara dan lembaga sosial dalam mengawasi pelanggaran hak asasi manusia,
b.      Hubungan antara gerakan kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri dalam menegakkan hak asasi manusia,
c.       Pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat tidak mampu dalam dimensi regional dan internasional,
2.      Hubungan hak asasi manusia, kebudayaan dan tradisi keagamaan,
a.       Bagaimana cita-cita/ide agama, tradisi, budaya dalam konsep yang terkait dengan hak asasi manusia
b.      Relevansi kesatuan sistem hukum dalam mengembangkan kelompok budaya/agama dalam rangka menghormati hak-haknya.
3.      Hak asasi manusia dalam rangka sistem keamanan Asia,
a.       Bagaimana peranan IPTEK dalam menjawab HAM agar dapat terjamin dengan baik,
b.      Mempelajari proses militarisasi dan otokrasi di Asia
c.       Mengembangkan hubungan hukum hak asasi manusia dengan hukum humaniter dalam rangka mengalahkan hak asasi manusia
d.      Diisamping itu juga disusun beberapa rekomendasi, baik ditujukan kepada UNESCO dan UNO.

Dalam Piagam ASEAN tersebut diharapkan terdapatnya rujukan mengenai hak asasi manusia, khususnya ketentuan yang menyatakan bahwa penghormatan hak asasi manusia merupakan salah satu asas Piagam ASEAN[30].
Menurut Fan Gouxiang ada problema yang dihadapi pembentukan mekanisme regional:
1.      Mekanisme HAM regional itu harus memenuhi syarat-syarat United Charter dan keinginan umum rakyat di dalam regional tertentu
2.      Tidak ada model yang pasti mengenai mekanisme HAM regional
3.      Setiap mekanisme HAM regional harus berhungan dengan tingkat pembangunan politik, ekonomi, dan sosiologi dari regional itu dan latar belakang sejarahnya seperti budaya, tradisi, agama, dan sebagainya
4.      Asia adalah kontinen paling luas di dunia, dalam arti baik ukuran maupun penduduknya

Lembaga-lembaga hak asasi manusia nasional, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Thailand sudah dibentuk, sesuai dengan Prinsip-prinsip Paris 1991, masing-masing pada 1987, 1993, 1999, 2001. Namun demikian, perhatian yang cukup terhadap peran lembaga-lembaga nasional ini dalam upaya-upaya sub-regional dalam membentuk Mekanisme Hak Asasi Manusia ASEAN diberikan oleh pemerintah-pemerintah negara-negara anggota ASEAN baru sejak 2004[31].
Ini adalah hasil dari pernyataan yang dibuat oleh delegasi lembaga-lembaga nasional hak asasi manusia Indonesia selama Workshop keempat tentang Mekanisme Hak Asasi Manusia ASEAN yang dilaksanakan di Jakarta, Indonesia pada Juni 2004 yang menyatakan, pada dasarnya, bahwa karena mekanisme sub regional pasti akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk direalisasikan, lembaga-lembaga nasional hak asasi manusia yang ada di empat negara anggota ASEAN akan mengintensifkan kerja sama mereka dalam menangani isu-isu hak asasi manusia yang dianggap sebagai concern bersama lembaga-lembaga nasional ini.



BAB III
KESIMPULAN

1.      Perintis HAM di Eropa diawali pada tahun 1949 lewat bergabungnya beberapa negara eropa kedalam Majelis Eropa (the council of Europe)
2.      Majelis Eropa telah mempunyai seperangkat instrumen hukum(aturan hukum) yaitu:
a.       Conventional for the protection of human rights dan fundamental freedoms(1950),
b.      First protocol to the convention
c.       Second protocol
d.      Third protocol
e.       Fourth protocol
f.        Fifth protocol
3.      Majelis Eropa memiliki 2 badan besar yaitu:
                                                              i.      Parliamentary assembly (dewan parlemen).
                                                            ii.      Committee of ministers (panitia para menteri)
4.      Negara Amerika sejak tahun 1948 telah membentuk suatu Organisasi Negara-negara Amerika (Organization pf American States) es) lewat kesepakatan "Charter. Bogota 1948". Dalam Deklarasi Santiago, Chili 1959 ditegaskan kembali negara-negara Amerika akan mengaitkan/ memasukkan HAM ke dalam konstitusinya
5.      Organisasi Negara-negara Amerika telah memiliki beberapa konvensi/   deklarasi, antara lain:
·         American Declaration of the Rights and Duties of man, 1948.
·         Inter-American Charter of Social Guarantees, 1948.
·         The Declaration of Santiago, 1959.
·         Inter-American Convention on Human Rights, 1954.
·         Inter-American Commission on Human Rights, berpusat di Washington.
6.      Negara-negara asia belum mempunyai Piagam Hak Asasi Manusia, sebagaimana dimiliki negara-negara Eropa , Amerika maupun Afrika. Hal ini disebabkan karena, kuat dan mendalamnya tradisi dan agama-agama besar dikebanyakan negara-negara asia. Pengaruh tradisi dan agama pada sebagian besar negara-negara asia mewarnai pola pikir/pola tindak dan sikap sebagian besar negara-negara di asia.
7.      Negara-negara Afrika yang telah merdeka menyelenggarakan konferensi I pada tanggal 15-22 april 1958 di Akra (Ghana). Pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi yang berisi :
·         menghormati hak asasi manusia sebagaimana ditentukan dalam piagam PBB. Penghormatan wilayahnya masing-masing serta persamaan derajat antar bangsa.
·         segera memberi kemerdekaan bagi bangsa-bangsa Afrika yang masih dijajah.
·         mengutuk rasialisme di Afrika Selatan.
  1. Sebagaimana diketahui, sebagian besar negara Asia adalah negara bekas jajahan yang memperoleh kemerdekaan setelah perang dunia ke- II. Walaupun sebagian besar anggota PBB dari negara Asia Afrika tersebut tidak ikut merumuskan deklarasi hak asasi manusia tahun 1948, tetapi dengan masuk nya negara-negara Asia Afrika menjadi anggota PBB setelah tahun 1950, secara formal menerima pula deklarasi hak asasi manusia PBB 1948. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa dimasa datang semua anggota PBB akan menghormati deklarasi PBB tersebut.

Saran-Saran:





BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

  1. Cassesse, Antonio. 1994. Hak Asasi Manusia di dunia yg berubah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. de rover, C. 2000. To Serve and To Protect. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  3. Effendi, Masyhur. 1994. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  4. Prof. Dr. H. Muladi, S.H. 2005. Hak Asasi Manusia. Bandung: PT. Refika Aditama.
  5. Prinst, Darwan. 2001. Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan HAM. Bandung: PT. Citra Aditya.
  6. Alston, Philip dan Franz Magnis-Suseno. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.



[1] A.masyhur Effendi.SH.,tempat hak asasi manusia dalam hukum nasional.,1980/Bandung. Hlm 46.
[2] A.masyhur Effendi.SH.,tempat hak asasi manusia dalam hukum nasional.,1980/Bandung. Hlm 47.

[3] HI Rebbeca m. M.wallace., London 1986 sweet &maxwell., hlm 209
[4] Rhona.k.M. Smith., hukum hak asasi manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, Yogyakarta., hlm 83
[5] Lihat Pasal 32 ayat (1).
[6] Lihat Pasal 20.
[7] Lihat Pasal 35 Ayat (1).
[8] Lihat Protokol No.14.
[9] Lihat Piagam Afrika Pasal 30.
[10] Lihat Protokol pada Piagam Afrika tentang Hak Manusia dan Rakyat tentang pembentukan Pengadilan Afrik a tentang Hak Manusia dan Rakyat, 1998 tertanggal 10 Juni 1998.
[11] Lihat pasal 45 ayat (1).
[12] Lihat Pasal 45-Pasal 47.
[13] Sesuai dengan Pasal 58.
[14] Lihat Pasal 59.
[15] Lihat misalnya Pasal 6 sampai 12.
[16] Lihat Pasal 55.
[17] Lihat Pasal 41.
[18] Liha Konvensi Amerika.
[19] Lihat Pasal 45.
[20] Thomas E. Mc.Carthey, 1978.
[21] Lihat Pasal 44.
[22] Lihat Pasal 63 ayat (1) dan Pasal 68 ayat (2).
[23] Sesuai dengan Pasal 65.
[24] Lihat Pasal 63 ayat (2)
[25] Lihat Pasal 64.
[26] Lihat Buku Hukum Hak Asasi Manusia UII press yogyakarta hlm. 268.
[27] Lihat lampiran G1.
[28] Lihat pada Buku Hukum Hak Asasi Manusia UII press yogyakarta hlm. 269.
[29] Lihat pada Buku Hukum Hak Asasi Manusia UII press yogyakarta hlm. 271.
[30] Lihat pada Buku Hukum Hak Asasi Manusia UII press yogyakarta hlm. 272.
[31] Lihat pada Buku Hukum Hak Asasi Manusia UII press yogyakarta hlm.272.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar