BAB II
PEMBAHASAN
I. EKSISTENSI KELEMBAGAAN DPD RI DALAM STRUKTUR
KETATANEGARAAN
a. Urgensi representasi daerah dalam pembentukan
undang-undang:
Wewenang atas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) harus
dimulai dari pertanyaan mengapa ketatanegaraan Republik Indonesia perlu
memiliki DPD RI, dan dimana kedudukan DPD RI dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NKRI 1945) untuk memahami perdebatan dalam pembentukan
konstitusi negara, bentuk negara kesatuan yang dipilih sama sekali tidak pernah
bermaksud menjadikan negara yang sentralistik, namun adalah negara kesatuan
yang menerapkan politik desentralistik dengan berakar kedaerahan. Berakar
kedaerahan memiliki makna bahwa desentralisasi tidak sekedar adanya penyerahan
kewenangan dari pemerintah kepada daerah, namun ada alasan yang lebih
substansial yaitu untuk menjaga, melindungi, dan menghormati pluralistik atau
keanekaragaman daerah.
Menyuarakan aspirasi daerah memiliki makna menyuarakan keanekaragaman
daerah-daerah. Daerah akan memiliki makna hidup berindonesia apabila dalam
keputusan nasional terakomodasi kepentingan daerah-daerah. Dalam wadah negara
Indonesia yang sangat luas, multikultural, dan kompleks, sangat mustahil dan
akan melawan akal sehat bila keputusan nasional bisa adil, dan mensejahterakan
rakyat keseluruhan tanpa memerankan representasi daerah secara kuat. Dan makna
ini baru bisa diwujudkan kalau sistem ketatanegaraan memiliki mekanisme
konstitusional bahwa representasi daerah memiliki kekuatan seimbang (balance)
dengan representasi politik.
Kebutuhan representasi daerah bukan saja kebutuhan setelah Undang-Undang
Dasar di rubah. Kebutuhan representasi daerah sudah dirasakan penting dan tidak
bisa diabaikan sejak kesepakatan membentuk negara Indonesia. Oleh karena itu
pada saat kita menjalankan sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) sebagai lembaga negara tertinggi, dominan dan pelaksana
kedaulatan rakyat sepenuhnya, representasi daerah diwadahi melalui utusan
daerah. Dimana MPR RI berkeinginan menjadi penjelmaan rakyat yang didalamnya
terdapat representasi politik, utusan golongan dan utusan daerah. Namun dalam
praktek ketatanegaraan utusan daerah ini diciptakan lemah, tidak bermakna, dan
hanya menjadi simbul keanekaragaman saja. Kini dengan perubahan Undang-Undang
Dasar, paradigma bernegara telah berubah kepada pemisahan kekuasaan dengan
fungsi check’s & balances antar lembaga negara. Tidak ada lagi
lembaga negara yang lebih dominan seperti sistem MPR RI sebelumnya. Kebutuhan
representasi daerah diwujudkan dalam DPD RI yang dipilih secara langsung.
Seharusnya DPD RI ini melaksanakan fungsi balance’s dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai representasi politik dalam
pembentukan undang-undang (bikameral). Meskipun Parlemen bikameral
biasanya dihubungkan dengan bentuk negara federal yang memerlukan dua kamar
untuk maksud melindungi formula federasi itu sendiri.
b. Memperkuat struktur pemerintahan presidensiil
sekaligus bikameralisme:
Dalam sistem UUD NKRI 1945, manifestasi independensi eksekutif dari
legislatif diwujudkan melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara
langsung dan terpisah antara eksekutif (Presiden RI) dan anggota legislatif (DPR
RI dan DPD). Karena ciri ini,
Undang-Undang Dasar harus diselaraskan kembali untuk memisahkan fungsi
eksekutif menjalankan pemerintahan dan fungsi legislatif sebagai pembentuk
undang-undang. Sedangkan fungsi legislatif diselenggarakan secara berimbang dua
kamar DPR RI
dan DPD RI
yang anggotanya telah dipilih secara langsung. Adanya DPD RI akan meningkatkan
posisi tawar daerah dalam memperjuangkan aspirasi daerah secara langsung di
tingkat pusat. Ini artinya DPD RI
disebut sebagai salah satu chamber legislatif, maka secara implisit
diakui bahwa parlemen di Indonesia
memiliki dua chambers, yaitu DPR RI dan DPD
RI .
Sistem parlemen yang memiliki dua chambers adalah sistem parlemen
bikameral. Sistem pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD NKRI 1945 menempatkan
seorang Presiden memiliki legitimasi yang kuat untuk menyusun kabinet, para
menteri (anggota kabinet) tidak perlu direkrut dari anggota legislatif atau
parpol dan tidak lagi kabinet merupakan gambaran perimbangan kekuatan partai di
parlemen. Dengan demikian urgensi dari menyempumakan sistem presidensiil di
Indonesia pada dasarnya adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. Ide
dasar pembentukan DPD RI adalah terakomodasinya kepentingan daerah dalam
pembentukan undang-undang. Anggota DPD RI adalah mewakili kepentingan daerah.
Namun muncul persoalan DPD RI mewakili daerah secara keseluruhan ataukah setiap
anggota DPD RI mewakili daerah tertentu. Karena daerah menurut UUD NRI 1945 itu
adalah propinsi, kabupaten, dan kota yang masing-masing berhak mengatur rumah
tangga sendiri, maka yang dimaksud mewakili daerah bisa ditafsir setiap daerah
baik propinsi, kabupaten, dan kota mempunyai wakil yang sama, misalnya 1 orang.
Dengan ketentuan seperti ini setiap anggota DPD RI baru jelas ia mewakili
daerah yang mana. Manfaat lain dengan komposisi keanggotaan seperti ini, akan
terdapat perimbangan kursi di MPR RI antara anggota DPR RI dan anggota DPD RI.
Perimbangan ini sangat penting karena MPR RI memiliki kewenangan strategis
utamanya berupa perubahan Undang-Undang Dasar, dan pemberhentian Presiden.
Sebaliknya bila DPD RI dikonstruksi mewakili daerah secara keseluruhan, maka
tidak harus setiap daerah memiliki seorang wakil. Bisa saja ditentukan jumlah
anggota DPD RI paling banyak 1/3 dari jumlah DPR RI seperti sekarang dengan
basis propinsi, namun resiko konstruksi seperti ini jika terjadi perubahan
Undang-Undang Dasar atau pemberhentian Presiden akan menjadi dominasi partai
yang lebih mengutamakan pertimbangan politik.
Oleh Karena itu DPD RI harus diperkuat perannya dibidang legislasi,
anggaran, dan pengawasan yang sederajat dengan DPR RI.
1)
Fungsi legislasi, bahwa setiap undang-undang dibahas dan disetujui bersama
DPR RI dan DPD RI. Tidak ada lagi undang-undang tertentu yang pembahasannya
melibatkan DPD RI sedangkan undang-undang yang lain tidak melibatkan DPD RI.
Pasal 22D ayat (2) UUD NKRI 1945 kalau mau dicermati bahwa DPD ikut membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah memiliki arti yang
luas.
2)
Fungsi anggaran, Peran DPD RI dalam fungsi anggaran selain sebagaimana
tersebut di atas, adalah juga berfungsi melalukan kontrol keadilan keuangan
negara antara kepentingan pusat dan kepentingan daerah. Ini nanti akan
berimplikasi kepada pemerataan pembangunan disemua daerah, dan mencegah ketimpangan
pusat dengan daerah.
3)
Fungsi pengawasan, DPD RI sederajat dengan DPR RI sebagai konsekuensi DPD
RI ikut membahas dan menyetujui setiap rancangan undang-undang.
Untuk memenuhi fungsi DPD RI seperti di atas, melakukan perubahan kembali terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus terus digagas,
dengan mengusulkan:
a.Pasal
22D UUD RI 1945 secara keseluruhan dihapuskan, kecuali ayat (4) nya.
b.Setelah
Pasal 19 ditambahkan BAB baru “KEKUASAAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG”, pasal-pasalnya
berbunyi:
Pasal 20:
(1)
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
(2)
Setiap rancangan undang-undang dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk
mendapatkan persetujuan bersama.
(3)
Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu.
(4)
Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia untuk menjadi undang-undang selama-lamanya 30 hari sejak rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia itu
disampaikan kepada Presiden.
(5)
Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Daerah republik Indonesia secara sendiri-sendiri segera mengadakan
pemungutan suara. Rancangan undang-undang yang tidak disahkan Presiden menjadi
sah sebagai undang-undang hanya bila Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia masing-masing sedikitnya 2/3
anggota menyetujui untuk disahkan sebagai undang-undang.
Pasal 20A:
(1) Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia
dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
mempunyai hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang
diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat serta hak imunitas.
(4) Ketentuan lebih
lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan hak Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia serta hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
diatur dalam undang-undang.
Pasal 21:
“Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berhak mengajukan
rancangan undang-undang”.
-Konsekwensi
dari sistem pemisahan kekuasaan yang dianut, maka Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945
dihapuskan.
-Fungsi
Anggaran.
Pasal 23:
(1)
tetap
(2)
Rencana anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas
bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia.
(3)
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan
Daerah
Republik Indonesia tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja
negara yang diajukan Presiden, maka terhadap mata anggaran belanja atau
pendapatan yang tidak mendapat persetujuan bersama itu, Pemerintah menjalankan
mata anggaran belanja atau pendapatan tahun sebelumnya.
c. Menata peran ideal DPD RI sebelum perubahan UUD:
Sebelum dilakukan perubahan UUD NKRI 1945, masih ada peluang memperbaiki
peran DPD melalui revisi undang-undang Susunan dan kedudukan MPR RI, DPR RI dan
DPD RI ( Undang-Undang Susduk), meskipun upaya ini tidak signifikan dalam
memperkuat kedudukannya. Oleh sebab itu dengan mengkritisi dan melakukan revisi
terhadap Undang-Undang Susduk yang ada paling tidak bisa dimaksimalkan peran
dan fungsinya:
- Pasal 22D (2) UUD NRI 1945
menghendaki bahwa DPD RI ikut membahas rancangan undang-undang tertentu.
Pengertian ikut membahas tidak bisa dibatasi hanya pada tahap pertama
sebelum DPR RI membahas dengan pemerintah seperti diatur dalam Undang-Undang
Susduk sekarang. Mestinya DPD RI ikut membahas sampai tahap akhir pembahasan
dan hal seperti ini yang dikehendaki Undang-Undang Dasar. Menurut UUD NKRI
1945, DPD RI hanya tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi
seluruh tahap pembahasan tidak ada pengecualian.
- Pasal 22D (2) UUD NRI 1945
menghendaki DPD RI memberi pertimbangan kepada DPR RI atas rancangan
undang-undang tertentu. Terhadap pertimbangan yang diberikan DPD RI, DPR
RI harus memberikan status apakah pertimbangan itu diakomodasi atau
ditolak baik sebagian atau seluruhnya. Status tersebut harus dipublikasikan
secara terbuka. Dengan demikian masyarakat bisa melakukan kontrol terhadap
kedua lembaga perwakilan ini.
- Pasal 23F (2) UUD NRI 1945
menghendaki DPD RI memberi pertimbangan kepada DPR RI saat pemilihan
anggota BPK RI. Ditolak atau diakomodasinya usulan DPD RI ini harus
dipublikasikan secara luas karena DPD RI melaksanakan fungsi konstitusionalnya.
- Pasal 22D (3) UUD NRI 1945
menghendaki DPD memberi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu
dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR RI sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindak lanjuti. Ketentuan semacam ini berujung DPD RI
menjadi komplemen DPR RI. Namun implementasi dari ketentuan ini mestinya
secara tegas diatur DPR RI wajib mempertimbangkan dan menindak lanjuti hasil
pengawasan DPD RI dan mengumumkan hasilnya secara terbuka. Dengan demikian
masyarkat bisa melakukan kontrol terhadap kedua lembaga ini.
II. REVITALISASI MEKANISME PELAKSANAAN FUNGSI, TUGAS DAN WEWENANG
DPD RI.
DPD RI memiliki kekuasaan yang diatur terutama dalam Pasal 22 D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Kekuasaan DPD RI lainnya diatur dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 23 F ayat
(1). Pasal 22 D ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI 1945 menyatakan sebagai berikut :
- Dewan Perwakilan Daerah dapat
mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan
keuangan pusat dan daerah;
- Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang rancangan
anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
- Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pelaksanaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendiidikan,
dan agama serta menyampaikan hasil dari pengawasannya itu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.
Berdasarkan fungsi dan wewenang DPD RI tersebut, maka fungsi-fungsi DPD RI
dapat disebutkan sebagai berikut :
a.
Fungsi Legislasi.
1)
Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR RI yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2)
ikut membahas pada tingkat I atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
3)
Memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama.
b.
Fungsi Pengawasan
Pengawasan
pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanjaan negara, pajak, pendidikan, dan agama, berdasarkan
laporan yang diterima BPK, aspirasi dan pengaduan masyarakat, keterangan
tertulis pemerintah, dan temuan monitoring di lapangan. Hasil pengawasan
tersebut disampaikan kepada dewan perwakilan rakyat sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindak lanjuti.
c.
Fungsi Nominasi
Anggota
DPD RI sekaligus merupakan anggota MPR RI. maka anggota DPD RI sebagai anggota
MPR RI ikut memiliki fungsi dan kewenangan yang dimiliki oleh MPR RI. Tugas dan
kewenangan MPR RI adalah:
- Mengubah dan menetapkan UUD NRI 1945.
- Memberhentikan presiden dan / dan
wakil presiden menurut ketentuan UUD NRI 1945.
- Melantik presiden dan wakil presiden.
- Memilih wakil presiden dari dua calon
yang diajukan presiden apabila ada kekosongan jabatan wakil presiden.
- Memilih presiden dan wakil presiden
yang diajukan oleh partai poitik atau gabungan partai politik yang paket
presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama kedua pada
pemilu kedua, apabila terdapat kekosongan jabatan presiden dan wakil
presiden.
a. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam
Proses Pembentukan Undang-Undang&Keterbatasan Fungsi Legislasi Dewan
Perwakilan Daerah (DPD):
Lembaga perwakilan dikatakan sistem dua kamar apabila kedua kamar itu
mempunyai kedudukan, fungsi dan hak yang sama untuk membentuk undang-undang
sebagai lembaga legislatif. Akan tetapi sistem bikameral yang dianut Indonesia saat ini justru berbeda
dengan artian sebenarnya. Seperti yang dikatan pada pasal 22D ayat (1) UUD NKRI
1945, secara implisit, kedudukan DPD RI di bawah DPR RI dan presiden. DPD RI
dapat mengajukan RUU kepada DPR RI yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan pengolahan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Lalu pada pasal 22D ayat (2) juga dinyatakan bahwa DPD RI ikut membahas
sejumlah RUU yang diajukan, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Selain itu, dalam pasal 43
UU No 22 tahun 2003 dijelaskan bahwa fungsi legislasi DPD RI hanyalah sebatas
turut serta melakukan pembahasan dengan fokus wewenangnya hanya terdapat RUU
otonomi daerah, RUU pengolahan sumber daya alam dan ekonomi daerah, RUU
pemekaran/pengabungan wilayah, RUU hubungan pusat dan daerah, RUU perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Padahal, sebetulnya semua RUU yang sangat strategis
bagi kepentingan daerah hanya DPD RI lah yang seharusnya yang memiliki
kewenangan lebih untuk melahirkan undang-undang tersebut.
Keterbatasan fungsi legislasi DPD RI juga nampak dalam pasal 44 dan 45 UU
no 22 tahun 2003, di mana kewenangan DPD RI dalam memberikan masukan dalam pertimbangan
yang berkaitan dengan RUU, APBN, pajak, pendidikan dan agama, selain hanya
memberikan masukan saja, juga bentuk masukan itu tidak dibahas dalam satu forum
sidang, tapi cukup memberikan masukan kepada DPR RI dalam bentuk tertulis saja. Dari kajian fungsi legislatif
tersebut, dapat disimpulkan bahwa DPD RI mempunyai keterbatasan fungsi
legislasi karena tidak mempunyai kekuasaan untuk membentuk undang-undang dan
keberadaannya hanya sebagai “pembantu khusus” DPR RI dan pemerintah, atau
dengan kata lain DPD RI hanyalah “weak chamber” di bawah DPR RI dan presiden
dalam fungsi legislasi. Aspirasi yang ada pada para anggota DPD RI yang dijaring
dari penyerapaan aspirasi rakyat/daerah hanya dijadikan bahan pertimbangan DPR
RI dan pemerintahan dalam tugasnya melahirkan undang-undang.
Apabila dalam UUD 1945 sebelum amandemen hanya ada dua badan perwakilan
tingkat pusat yang terpisah, sekarang malahan menjadi tiga badan perwakilan. Pertama,
walaupun ada perubahan, MPR RI tetap mempunyai anggota dan wewenangan sendiri,
di luar wewenag DPR RI dan DPD RI. Kedua, DPD RI merupakan lingkungan
jabatan yang mandiri, dan memiliki lingkungan wewenang sendiri. Tetapi
memperhatikan beberapa ketentuan, DPD RI
adalah badan komplementer DPR RI. Ketiga, DPD RI bukan merupakan badan legislatif
penuh. DPD RI hanya berwenang mengajukan dan membahas undang-undang di bidang
tertentu saja yang disebutkan secara anumeratif dalam UUD NRI 1945. Dengan
demikian, rumusan baru UUD NKRI 1945 tersebut tidak mencerminkan gagasan
mengikutsertakan derah dalam menyelangarakan seluruh praktek dalam pengolahan
negara.
Dalam sistem bikameral murni (pure becameralis atau strong bicameralism),
DPR RI dan DPD RI sama-sama mempunyai fungsi setara dan setingkat di bidang
legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dengan sistem perwakilan bikameral,
sebagian atau seluruh rancangan perundangan-undangan (RUU) memerlukan
pembahasan dan persetujuan kedua lembaga perwakilan tersebut. Walaupun sistem
bikameral sendiri bervariasi dalam negara federal dan negara kesatuan, tetapi
prinsip-prinsip yang dianut relatif sama, yaitu DPR atau lower house bekerja
sama konstituen nasional atau federal, sedangkan DPD atau upper house bekerja
untuk konstituen daerah atau perwakilan daerah. Dalam sistem bikameral murni,
DPD atau upper house bisa memveto atau menolak setiap undang-undang yang
dihasilkan oleh DPR (lower house) walaupun veto atau penolakan itu bisa gugur
apabila upper house bisa mencapai mayoritas minimum atau maksimum untuk diajukan
kembali.
Melihat ketentuan-ketentuan tentang DPD RI tersebut di atas, jelas bahwa dalam
sistem bikameral Indonesia susunan dan kedudukan antara DPR RI dan DPD RI tidak
setara. Dimana untuk menentukan susunan dan kedudukan, DPD RI tidak mempunyai kekuasaan.
Pasal 20 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap rancangan undang-undang (RUU)
dibahas oleh DPR RI dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ini
jelas bahwa tugas dan kewenangan dewan perwakilan daerah tidak setara.
b. Revitalisasi Mekanisme Pelaksanaan Aspirasi
Masyarakat Di Bidang Legislasi:
Pada pasal 22D ayat (1) UUD 1945 memberikan hak kepada DPD RI untuk
mengajukan rancangan undang-undang khusus yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah kepada DPR RI. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mekanisme
atau prosedur artikulasi aspirasi masyarakat dapat ditampung dan ditindak
lanjuti di dalam kekuasaan legislasi DPD RI. RUU yang diusulkan oleh DPD RI
juga disusun berdasarkan prolegnas yang telah dibuat sebelumnya oleh DPR RI dan
pemerintah. Usul tersebut dapat diajukan oleh Panitia Perancang Undang-Undang
(PPUU) maupun Panitia Ad Hoc yang merupakan alat kelengkapan DPD RI. Selain
kedua alat kelengkapan tersebut, usul pembentukan RUU dapat diajukan ¼ dari
jumlah annggota DPD RI kepada Panitia Perancang Undang-Undang. Salah satu tugas
Panitia Perancang Undang-Undang adalah merencanakan dan menyusun program serta
urutan prioritas pembahasan usul RUU dan usul pembentukan RUU untuk satu masa
keanggotaan DPD RI dan setiap tahun anggaran yang dimulai dengan
menginventarisir masukan dari anggota, Panitia Ad Hoc, masyarakat dan daerah
untuk ditetapkan menjadi keputusan Panitia Perancang Undang-Undang. Masukan
dari masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu anggota DPD RI mendatangi
masyarakat basis pemilihnya dalam hal ini di provinsi yang diwakilinya dan
menerima masukan dari masyarakat umum yang datang ke DPD RI. Selanjutnya
keputusan tersebut disampaikan kepada alat kelengkapan DPR RI yang khusus
menangani bidang legislasi atau pemerintah melalui menteri yang tugas dan
tanggungjawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa cara Panitia Perancang Undang-Undang melaksanakan tugasnya:
1.
Mengadakan rapat kerja dengan DPR RI, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
propinsi/ kabupaten/ kota, DPRD propinsi/Kabupaten/Kota;
2.
Mengadakan rapat dengar pendapat umum, baik atas prakarsa sendiri maupun atas
permintaan pihak lain;
3.
Mengadakan kunjungan kerja pada masa sidang yang hasilnya dilaporkan dalam
rapat Panitia Perancang UU yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat
kelengkapan DPD RI.
4.
Mengusulkan kepada pimpinan DPD RI mengenai hal yang dipandang perlu untuk
dimasukkan dalam acara DPD RI. Yang sering dilakukan DPD RI dari ke empat item
tersebut biasanya hanya melakukan dua item saja yaitu item pertama, mengadakan
rapat kerja dengan DPR RI dan pemerintah baik pusat maupun daerah dan item ke
empat yang berupa pengusulan kepada pimpinan DPR RI, sedangkan dua item yang lainnya
jarang dilakukan yaitu mengadakan rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat.
Namun secara umum, masyarakat di tiga Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan
Timur dan Maluku Utara, merasa bahwa DPD RI tidak atau jarang bersosialisasi
langsung kepada masyarakat sehingga masyarakat merasa DPD tidak pernah ada di
hati masyarakat. Disamping masyarakat menuntut DPD mengadakan rapat dengar pendapat umum
dengan masyarakat dan mengadakan kunjungan kerja ke daerah- daerah, hal yang
dituntut oleh masyarakat adalah diumumkannya atau dibuatkannya laporan tahunan
kepada masyarakat tentang apa yanag sudah dilakukan oleh DPD RI dalam melakukan
rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat dan bagaimana hasil perjuangan DPD
RI di dalam memperjuangkan apa yang menjadi keinginan masyarakat tersebut.
Sedangkan dalam Tata Tertib DPR RI Pasal 128 ayat (9) dan Pasal 132 ayat
(8) tersirat bahwa DPR RI lah yang berhak menyatakan suatu RUU itu terkait dengan
DPD RI atau tidak, sehingga akibatnya aspirasi masyarakat yang telah ditangkap
oleh DPD RI dapat terabaikan apabila tidak dikehendaki oleh DPR RI dalam wujud
pengajuan RUU. Selain itu, akan muncul lagi permasalahan jika suatu RUU yang
berasal dari Presiden RI diajukan oleh DPR RI, sedangkan menurut DPD RI, RUU tersebut
merupakan bagian dari kewenangannya untuk ikut membahas. Oleh karena itu agar
aspirasi masyarakat yang sudah diserap oleh DPD RI melalui mekanisme dengar
pendapat umum (hearing) ini dapat diteruskan menjadi RUU yang nantinya akan
menjadi UU yang mencerminkan keinginan masyarakat, seharusnya pembuatan tata
tertib DPRRI yang berkaitan dengan DPD RI harus mendapat persetujuan dulu dari
DPD RI, hal ini sesuai dengan Pasal 102 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2003 yang
menyebutkan bahwa “ peraturan tata tertib
yang mempunyai keterkaitan dengan pihak lain/suatu lembaga diluar DPR harus mendapat
persetujuan dari pihak lain/lembaga yang terkait”
Kemudian dalam Pasal 22D (2) UUD NRI 1945 menghendaki bahwa DPD RI ikut
membahas rancangan undang-undang tertentu. Pengertian ikut membahas tidak bisa dibatasi
hanya pada tahap pertama sebelum DPR RI membahas dengan pemerintah seperti
diatur dalam Undang-Undang Susduk sekarang. Mestinya DPD RI ikut membahas sampai
tahap akhir pembahasan dan hal seperti ini yang dikehendaki Undang-Undang Dasar.
Menurut UUD NRI 1945, DPD RI hanya tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan.
Tetapi seluruh
tahap pembahasan tidak ada pengecualian.
c. Revitalisasi Mekanisme Pelaksanaan Aspirasi
Masyarakat Di Bidang Pengawasan:
Berdasar Pasal 22 D ayat (3) DPD RI melakukan pengawasan atas pelaksanaan
UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama. Pengawasan yang dilakukan DPD RI dalam hal ini
adalah:
- Menerima dan membahas hasil-hasil
pemeriksaan keuangan Negara yang dilakukan oleh BPK sebagai bahan untuk
melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu;
- Meminta secara tertulis kepada
pemerintah tentang pelaksanaan UU tertentu;
- Menampung dan menindaklanjuti
aspirasi dan pengaduan masyarakat
berkaitan dengan pelaksanaan UU
tertentu;
- Mengadakan kunjungan kerja ke daerah
untuk melakukan monitoring/pemantauan atas pelaksanaan UU tertentu.
Dalam
bidang pengawasan ini DPD RI dapat sewaktu-waktu menyerap aspirasi masyarakat
dari daerah sebanyak-banyaknya untuk memfasilitasi daerah mengimplementasikan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD RI dalam persoalan ini akan
signifikan jika mampu bersinergi dengan masyarakat di daerah. Banyak persoalan
yang bergejolak di daerah membutuhkan pendampingan DPD RI dan ini masyarakat
umum mengaku jarang mendengar apalagi melihat kiprah yang dilakukan oleh
anggota DPD RI. Untuk itu DPD RI perlu memperkuat basis pengetahuan dan
ketrampilan baik dalam komunitas politik maupun legislasi, serta memperluas
jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya perguruan tinggi, LSM, tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain.
Tetapi mekanisme artikulasi aspirasi masyarakat yang telah ditampung
melalui kunjungan-kunjungan ke daerah maupun laporan masyarakat yang dimasukkan
ke DPD ini, ketika diangkat menjadi bahan pengawasan DPD untuk melakukan
pengawasan pelaksanaan UU menjadi tidak berarti manakala aturan main yang
mengatur tentang tata tertib pengawasan kurang jelas dan kurang tegas. Dalam
Pasal 150 ayat (1) Peraturan tata Tertib DPD RI dikatakan bahwa “ Dalam hal DPR RI tidak menindaklanjuti
hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD RI, DPD RI meminta penjelasan kepada
DPR”.
Penjelasan dimaksud kemudian diberikan secara tertulis oleh Pimpinan DPR RI
sesuai ayat (2) Pasal 150 Peraturan Tata Tertib DPD RI, namun tidak dijelaskan
lebih lanjut bagaimana kriteria hasil pengawasan DPD RI tersebut sudah ditindak
lanjuti atau belum. Maka fungsi pengawasan DPD RI ini perlu adanya ketegasan dalam
aturan pengawasan tersebut, agar tidak menimbulkan seolah-olah DPR RI adalah
lembaga pengawas DPR RI, yang mengawasi setiap pekerjaan DPR RI yang diterima
dari DPD RI, seharusnya implementasi dari ketentuan ini secara tegas diatur
”bahwa DPR RI wajib mempertimbangkan dan meindaklanjuti hasil pengawasan DPD RI
dan mengumumkan hasilnya secara terbuka. Dengan demikian masyarakat bisa
melakukan pengawasan terhadap kedua lembaga perwakilan ini.
d. Revitalisasi Mekanisme Pelaksanaan Aspirasi
Masyarakat Di Bidang Nominasi:
Fungsi nominasi DPD RI adalah memberikan Pertimbangan kepada DPR RI dalam
pemilihan anggota BPK yang dilakukan oleh DPR. Menurut Pasal 22 UUD NRI 1945
Jis Pasal 45 UU No. 22 Tahun 2003 dan Pasal 140 Peraturan Tata Tertib DPD RI,
diterangkan bahwa DPD RI dapat memberikan pertimbangan pemilihan anggota BPK RI
secara tertulis kepada Pimpinan DPR RI selambat-lambatnya dalam lima hari. Kata
lima hari yang dimaksud dalam pasal itu adalah setelah Pimpinan DPD RI menerima
surat dari Pimpinan DPR RI mengenai pencalonan anggota BPK RI. Pada Tata tertib
DPD RI disebutkan bahwa DPD RI akan mengadakan sidang paripurna untuk
menyampaikan mengenai calon anggota BPK RI tersebut, kemudian sidang paripurna
DPD RI akan menugaskan panitia ad hoc guna menyusun pertimbangan DPD RI,
pertimbangan tersebut meliputi pengajuan nama calon, penelitian administrasi, penyampaian
visi, misi dan penentuan urutan calon.
Karena waktu yang dimiliki DPD RI untuk memberikan pertimbangan kepada DPR
RI mengenai calon anggota BPK RI terlalu sempit, yaitu lima hari setelah Pimpinan
DPD RI mendapatkan surat dari Pimpinan DPR RI, untuk dijadikan bahan
pertimbangan bagi anggota/panitia ad hoc DPD RI. Waktu lima hari yang diberikan oleh
DPR RI kepada DPD RI untuk memberikan tanggapan tentang calon anggota BPK ini
terasa terlalu singkat dan tidak efektif. Sebaiknya waktu yang efektif dan
tepat untuk memberikan pertimbangan calon anggota BPK adalah selama 14 (empat belas
hari) atau dua minggu, yaitu satu minggu dipergunakan untuk menjaring masukan dari
masyarakat dan satu minggu berikutnya dipergunakan untuk membahas dan memberikan
pertimbangan calon anggota BPK.
e. Koordinasi Hubungan Eksternal DPD RI dengan
Lembaga Negara:
a. Hubungan DPD RI dengan Presiden.
Dalam
membangun komunikasi politik bagi DPD RI adalah sesuatu yang penting bagi suatu
lembaga negara yang masih baru sebagai upaya politik untuk mengefektifkan kinerja
lembaga dan mengembangkan eksistensinya. Langkah komunikasi politik ini harus
terus dipelihara intensitasnya terutama komunikasi dengan eksekutif (Presiden) mengenai
kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya. Agar komunikasi politik dengan
eksekutif ini menjadi baik, maka perlu disepakati adanya koonsultasi secara
periodik, misalkan setiap dua atau tiga bulan sekali atau dapat dipercepat
sesuai kebutuhan membahas masalah masalah yang mejadi problem pengembangan
otonomi daerah, baik ini dilakukan dengan Presiden ,maupun dengan menteri-menteri
yang terkait dengan bidangnya. Apabila komunikasi politik dengan eksekutif ini
berjalan dengan baik, maka akan terbangun bargaining position yang baik dalam
mengembangkan eksistensi lembaga DPD RI.
b. Hubungan DPD RI Dengan DPR RI.
Keberadaan
DPD RI sebagai lembaga yang menyalurkan keanekaragaman aspirasi daerah dan
memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia
antara lain untuk membangun sebuah mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks
and balance) antar cabang kekuasaan negara dan dalam lembaga legislatif itu
sendiri. Dengan adanya DPD RI ini, maka keterwakilan rakyat yang dianut dalam
sistem politik kita menjadi lengkap, dimana disatu sisi ada DPR RI yang merupakan
perwakilan seluruh rakyat melalui partai politik, posisinya akan lebih ddiperkuat
oleh DPD RI yang merupakan keterwakilan daerah (territorial) Di negara yang
mengadopsi sistem parlemen dua kamar, pertemuan antar kamar biasanya dilakukan
setahun sekali, dan dilakukan di awal masa sidang. Sedangkan di Indonesia,menurut
UU No. 22 Tahun 2003 tenatang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,DPD dan DPRD, tidak
memberikan pengaturan mengenai kewajiban pertemuan antara DPD RI dan DPR RI,
namun demikian dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, kedua lembaga ini akan
saling bertemu apabila DPD RI mengajukan RUU tertentu. Walaupun Indonesia tidak
menganut sistem parlemen dua kamar (bikameral) secara murni, namun bagaimanapun
tidak bisa dipungkiri dan sudah menjadi implikasi yang logis bahwa keberadaan
DPD RI ini bermitra dengan DPR RI dalam fungsi legislasi, sehingga kedua
lembaga negara ini akan selalu berhubungan erat sebagai lembaga perwakilan.
c. Hubungan DPR RI dengan Pemerintah Daerah dan
DPRD.
Sebagai
lembaga perwakilan daerah yang mewakili Provinsi, DPD RI mempunyai tugas dan
peran yang sangat penting dalam rangka menjembatani berbagai kepentingan yang
ada di masyarakat daerah ke tingkat nasional, untuk itu DPD RI dalam melaksanakan
fungsinya sebagai wakil daerah sangat memerlukan informasi, data serta masukan
rutin tentang isu dan perkembangan masalah-masalah sosial politik dan pembangunan
yang aktual di daerah, karena DPD RI tentunya juga perlu mengetahui tentang bagaimana
kebijakan-kebijakan nasional berimplikasi terhadap daerah yang diwakilinya. Banyak
sekali masalah-masalah daerah yang sangat penting untuk dikomunikasikan melalui
DPD RI sebagai wakil dari daerah, karena memang DPD RI mempunyai tugas untuk
menjembatani berbagai kepentingan yang ada di masyarakat daerah. Walaupun dari
sisi lain, karena basis pemilih DPD RI berbeda dengan DPRD dan pemerintah
daerah, maka tentunya akan muncul kepentingan yang berbeda-beda diantara ketiga
lembaga tersebut. Dalam konteks ini DPD RI tentunya harus bisa menempatkan diri
sebagai sebuah lembaga yang memoderasi kepentingan-kepentingan tersebut dan atau
menjadi fasilitator lembaga-lembaga politik di daerah.
III. REVITALISASI PERAN DPD RI DALAM MENYERAP DAN
MENGELOLA ATAU MENGARTIKULASIKAN ASPIRASI MASYARAKAT.
a. Aspirasi dan Peranserta Masyarakat:
Ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam konstitusi Indonesia yaitu,
aspirasi masyarakat dan peran serta masyarakat. Dimana segala bentuk peranserta
masyarakat pada hakekatnya adalah aspirasi masyarakat. Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia pengertian peran serta atau partisipasi adalah hal turut serta
(pengikutsertaan dalam suatu kegiatan) baik langsung maupun tidak langsung”. Canter
sebagaimana dikutip Santosa mendefinisikan peranserta masyarakat sebagai proses
komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat
atas suatu masalah-masalah dan kebutuhan. Bentuk kegiatannya meliputi feed
forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang
suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke
pemerintah atas suatu kebijakan).
Dengan demikian peran
serta tersebut bukanlah sebuah tujuan akhir (participation is an end
itself). Hal ini tentunya bertolak belakang dengan asumsi yang berkembang
selama ini yang memandang peran serta masyarakat semata-mata sebagai
penyampaian informasi (public information), penyuluhan, bahkan hanya
sekedar alat public relation agar proyek-proyek yang dilakukan
pemerintah dapat berjalan lancar dan mendapat legitimasi dari masyarakat.
Cormick
membedakan peran serta masyarakat ke dalam dua pola, antara lain:
- Peran serta masyarakat yang bersifat konsultatif Peran erta
masyarakat yang bersifat konsultatif ini berarti dalam hubungan antara
pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan,
masyarakat mempunyai hak untuk di dengar pendapatnya dan untuk diberitahu.
Keputusan akhir masih
tetap berada pada pembuat keputusan.
- Peran serta masyarakat yang bersifat
kemitraan. Dalam pola ini, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota
masyarakat merupakan mitra yang realtif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah,
mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan.
Berdasarkan
sudut kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, Arnstein
merumuskan Delapan Tangga Peranserta Masyarakat (Eight Rangs on the Ladder of Citizen
Participation). Kedelapan tangga tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
8.Pengawasan Masyarakat Tingkat Kekuasaan Masyarakat
7.Pendelegasian Kekuasaan
6.Kemitraan
5.Peredaman Kemarahan Tingkat Tokenisme
4.Konsultasi
3.Menyampaikan Informasi Non Peranserta
2.Terapi
1.Manipulasi
Tangga
(1) Manipulasi dan tangga (2) Terapi mempunyai sasaran untuk mendidik dan
“mengobati” masyarakat yang berperanserta. Dalam tingkatan ini peranserta tidak
ada atau non peranserta. Tangga ketiga, keempat dan kelima menandakan bahwa
suatu tingkat peranserta itu berarti
mendengarkan dan dipernolehkannya masyarakat untuk berpendapat.
Namun
demikian pendapat mereka itu tidak mendapatkan jaminan untuk dipertimbangkan
oleh pengambil kebijakan sehingga tahap ini disebut tingkat Tokenisme.
Ada tahapan tertinggi yaitu tingkat “Kekuasaan Masyarakat”. Dalam tahap ini
masyarakat memperoleh pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan
kemitraan yang mempunyai kemampuan tawar menawar dengan penguasa dalam
tingkatan yang lebih tinggi melalui pendelegasian kekuasaan/wewenang dan
pengawasan. Pada tingkatan ketujuh dan kedelapan, masyarakat (non elit)
memiliki masyoritas suara dalam proses pengambilan keputusan, bahkan sangat
mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu.
Di dalam the Oxford English Dictionary, peranserta
disebut sebagai “the action or fact of partaking, having or forming a part
of”.
Dalam pengertian ini, peranserta bisa bersifat transitif atau intransitif,
bisa pula bermoral atau tak bermoral. Peranserta transitif apabila ia berorientasi pada tujuan tertentu. Sebaliknya, peranserta
bersifat intransitif apabila subyek tertentu berperanserta dengan tanpa tujuan yang
jelas. Peranserta memenuhi sisi moral apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai
dengan etika. Dalam pengertian ini peranserta mengandung konotasi positif.
Begitu pula sebaliknya, jika kegiatan berperanserta ditujukan pada tujuan yang
tidak sesuai dengan etika maka ia disebut sebagai tak bermoral. Dalam
perspektif yang lain, peranserta juga berkonotasi positif apabila ia dipersepsi
sebagai tindakan bebas yang oleh subyek, bukannya terpaksa dilakukannya atas
nama peranserta. Akhirnya peranserta juga bisa dibedakan apakah ia bersifat
manipulatif atau spontan.
Berikutnya adalah arti dari partisipasi yang dimanipulasi yaitu mengandung
pengertian bahwa partisipan tidak merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu namun
sesungguhnya ia diarahkan untuk berperan serta oleh kekuatan diluar kendalinya.
Oleh karena itu, peranserta bentuk ini juga sering disebut sebagai teleguided
participation. Sementara itu,
Midgley menjelaskan peranserta spontan sebagai “a voluntary and autonomous
action on the part of the people to organize and deal with their problems
unaided by government or other external agents”. Pengertian yang diacu oleh
Rahnema di atas tentu masih bersifat terlalu umum, sehingga diperlukan definisi
yang lebih jelas dan khusus bagi studi administrasi negara. Bryant & White
telah menggambarkan pengertian peranserta yang lebih mendalam pada bidang
administrasi pembangunan sebagai peran serta oleh masyarakat atau oleh penerima
manfaat proyek dalam pembuatan rancangan dan pelaksanaan proyek. Menurut Bryant
& White, semula peran serta hanya didefinisikan secara politis sepenuhnya
sebagaimana yang berkembang pada tahun 1950an dan 1960an. Dalam pengertian ini
peran serta diartikan sebagai pemungutan suara, keanggotaan dalam partai,
kegiatan dalam perkumpulan sukarela, gerakan protes, dan lain sebagainya.
Pada tahun
1970an, peran serta mulai dihubungkan dengan proses administratif dengan
menambahkan kegiatan peran serta dalam proses implementasi sehingga individu
dan kelompok dapat mengejar kepentingan yang bertentangan dan bersaing memperebutkan
sumber daya yang langka. Bryant & White mengingatkan pula agar konsep peran
serta tidak dipersempit hanya pada aspek penerimaan manfaat belaka karena akan
mengubah pengertian umum peran serta. Aspek penerimaan manfaat merupakan pelengkap dari cakupan
pada proses perencanaan dan pelaksanaan sehingga membawa manfaat yang lebih
besar bagi masyarakat. Selain peran
serta dalam perencanaan, implementasi, dan penerimaan manfaat, Griesgraber
& Gunter menambahkan aspek yang lain yakni evaluasi dengan mengartikan
peranserta sebagai “mechanism for enabling affected people to share in the
creation of a project or program, beginning with identification all the way
through to implementation and evaluation”. Dengan demikian, maka konsep peran serta
menjadi sedemikian luas mulai dari aspek perencanaan, implementasi, evaluasi,
sampai penerimaan manfaat. Pengertian peran serta di atas tentu sudah lebih
mendalam dibandingkan definisi yang diuraikan pertama kali, akan tetapi dari
hal tersebut masih belum menunjukkan sentuhan dimensi spasial dari pemahaman
terhadap istilah peranserta.
Seorang ahli tata negara bernama Midgley kemudian memperjelas lagi
pengertian tentang peran serta masyarakat ini dengan mengacu pada salah satu
definisi yang termuat dalam resolusi PBB pada awal tahun 1970an. Definisi tersebut adalah: “the creation of
opportunities to enable all members of a community and the larger society to
activley contribute to and influence the development process and to share
equitably in the fruits of development”. Mengenai batasan apa yang tercakup
dalam peran serta masyarakat, Midgley mengungkapkan adanya dua pandangan. Yang
pertama berdasar pada United Nations Economic and Social Council resolution
1929. Resolusi ini menyatakan bahwa peran serta membutuhkan keterlibatan
orang-orang secara suka rela dan demokratis dalam hal:
(a) sumbangsihnya
terhadap usaha pembangunan,
(b) penerimaan
manfaat secara merata,
(c) pengambilan
keputusan yang menyangkut penentuan tujuan, perumusan kebijakan dan perencanaan
dan penerapan program pembangunan sosial dan ekonomi.
Jadi, peran serta
yang ideal adalah peran serta otentik. Namun jenis peran serta ini dianggap
terlalu ambisius karena memerlukan perubahan struktur sosial yang nyata dan
redistribusi kekuasaan besar-besaran yang tentunya sulit dipenuhi oleh banyak negara
berkembang. Oleh karena itu, PBB pada tahun 1981 mengajukan pandangan yang
berbeda tentang definisi peran serta masyarakat dengan menekankan pada “autonomy
and self-reliance in participation”.
Midgley kemudian
menegaskan bahwa peran serta masyarakat disebut tercapai apabila program yang
diinginkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara efektif terpelihara oleh
mereka setelah semua dukungan eksternal berakhir. Pandangan ini secara praktek
dianggap lebih relevan karena mempertimbangkan kapasitas masyarakat dan
mengakui adanya kebutuhan akan bantuan eksternal dalam pengembangan peranserta
masyarakat.
Kemudian seorang ahli tata negara lagi bernama Antoft dan Novack juga mengungkapkan berbagai bentuk peran serta
(dalam pengertian lebih sempit) yang bisa dilakukan oleh komunitas untuk
memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa berlangsung secara
simultan untuk memberikan kesempatan bagi penduduk menikmati akses peran serta
yang lebih besar karena tidak semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di
tempat yang sama, dengan kepentingan yang sama dapat berperan serta secara
langsung dan bersama-sama.
b. Fungsi Penyerapan Aspirasi Masyarakat oleh DPD RI:
Dalam operasionalisasi pelaksanaannya, penyerapan aspirasi masyarakat ini
dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu secara langsung maupun tak langsung.
1. Penyerapan Aspirasi secara Langsung:
Penyerapan
aspirasi secara langsung dilakukan dalam berbagai kegiatan di daerah melalui
dialog tatap muka, seminar, atau lokakarya. Aspirasi masyarakat daerah yang
diserap kemudian dipilah ke dalam tingkat prioritas persoalan, mulai dari
persoalan yang paling urgen, yang harus segera ditindakianjuti melalui
mekanisme konstitusional sampai hal-hal yang kurang urgen. Persoalan-persoalan
tersebut juga dikategorikan berdasarkan tugas dan wewenang apakah di tingkatan
legislatif ataukah eksekutif. Aspirasi masyarakat pada setiap daerah sangat
beragam. Dari keberagaman inilah para wakil rakyat bisa melihat
kebutuhan-kebutuhan yang sinergis. Sinergisitas ini bukan saja antar daerah,
tetapi juga provinsi, dan pusat. Oleh sebab itu keberagaman inilah yang
dijadikan pokok penentu sebuah kebijakan. Bagaimanapun, pemerintah pusat tidak
boleh menentukan kebijakan-kebijakan yang sama terhadap daerah/provinsi tanpa melihat
kebutuhan masyarakat (social needs), kondisi masyarakat (social condition),
dan nilai masyarakat (social value).
2. Penyeraan Aspirasi secara Tidak Langsung:
Penyerapan
aspirasi secara tidak langsung dilakukan melalui konsultasi dengan lembaga
pemerintahan lokal (DPRD/Pemda). Dalam hal ini, DPD RI menampung
aspirasi-aspirasi yang sudah disalurkan ke DPRD/ Pemda. Model penyerapan tak langsung
ini di samping bisa, lebih efisien juga bisa menguatkan kemitraan di daerah. Dalam
kaitannya dengan penyerapan aspirasi ini peran seorang wakil daerah dapat
dianalogikan ke dalam tiga bentuk, yaitu sebagai ujung tombak, pembuka kran, dan
sebagai jembatan penghubung.
Pertama, sebagai ujung tombak, anggota DPD RI dituntut selalu terdepan dalam
memperjuangkan kepentingan daerah di Pusat. Akses yang lebih dekat dengan pemerintahan
pusat telah mengkondisikan mereka, untuk menjadi ujung-ujung tombak dengan kata
lain DPD RI dapat diibaratkan panglima atau komandan perang yang posisinya
selalu berada pada garda terdepan pasukan. Kedua, sebagai pembuka kran,
anggota DPD RI harus membuka sumbatan-sumbatan aspirasi daerah. Meskipun tindak
lanjut atas aspirasi ini mungkin berjalan lambat, tetapi sekurang-kurangnya
aspirasi itu tidak mengendap sehingga dapat berpotensi menimbulkan erupsi atau
ledakan yang berbahaya di daerah. Ketiga, anggota DPD RI adalah jembatan
penghubung antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintahan provinsi,
serta masyarakat lokal. Jika aspirasi terhadang birokrasi atau ada jurang
komunikasi memisahkan antar lembaga-lembaga tersebut maka DPD RI adalah
jembatan yang menghubungkan satu sama lain.
Kegiatan dialog, seminar, atau lokakarya yang dilakukan oleh DPD RI di
samping untuk menyerap aspirasi juga dimaksudkan) untuk menyosialisasikan
berbagai kegiatan yang telah dilakukan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh
DPD RI serta untuk mendapatkan masukan dari berbagai kalangan masyarakat
mengenai efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenang DPD RI sekarang dan peran
ideal DPD RI di masa yang akan datang; masyarakat dapat memahami peran dan
posisi DPD RI dalam peraturan perundang-undangan; dan peningkatan peran DPD RI
dalam menjembatani hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang konstruktif
dan sinergis. Diperlukan penguatan peran, tugas, dan kewenangannya terutama
untuk memperjuangkan kepentingan daerah dalam rangka perumusan kebijakan
nasional.
c. Proses Penyaluran Aspirasi:
Setelah wakil daerah melakukan proses penyerapan aspirasi, tentunya
realisasi konkrit atau tindaklanjutnya menjadi hal yang penting.
Aspirasi-aspirasi yang masuk harus diperhatikan dan diproses pada jalur
semestinya. Dalam hal ini ada tahapan-tahapan yang mesti dilakukan oleh seorang
wakil daerah, yaitu antara lain:
- menyusun laporan hasil kunjungan
kerja dalam bentuk resume aspirasi masyarakat yang telah dipisahkan
berdasarkan persoalan masing-masing;
- melakukan identifikasi
persoalan-persoalan di masyarakat sehingga menjadi jelas dan spesifik;
- melakukan pemilahan atau kategorisasi
berdasarkan tugas, kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif, seperti:
- Persoalan yang menjadi kewenangan DPD
RI;
- Persoalan yang menjadi kewenangan
DPRD dan Pemda Provinsi;
- Persoalan yang menjadi kewenangan
DPRD kabupaten/ kota, atau Pemda kabupaten/kota;
- Persoalan yang di luar kewenangan DPD
RI selanjutnya disampaikan melalui mekanisme rapat kerja di daerah yang
didasarkan atas Skala prioritas persoalan;
Persoalan
yang menjadi kewenangan DPD RI kemudian dibawa ke Pusat untuk disusun
bersama-sama anggota DPD RI provinsi masing-masing dan dipilah berdasarkan wilayah
kerja alat kelengkapan DPD untuk diparipurnakan. Laporan yang disampaikan pada paripurna
kemudian disalurkan kepada alat kelengkapan berdasarkan wilayah kerja masing-masing
untuk dibahas bersama dengan pemerintah, dalam hal ini menteri terkait.
IV. PERBANDINGAN
HUBUNGAN DASAR NEGARA DAN KONSTITUSI DI INDONESIA DENGAN AMERIKA SERIKAT
1. Hubungan antara Dasar Negara dan Konstitusi di Indonesia:
Di Indonesia antara dasar negara Pancasila dengan Konstitusi dapat dilihat
dari hubungan antara sila-sila Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945,
dengan pasal-pasal yang termuat dalam Batang Tubuh UUD 1945.
Sebagai pengaturan lebih lanjut
prinsip Ketuhanan yang Maha Esa, misalnya, pasal 29 UUD 1945 menentukan: (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Lalu pada sila kedua yaitu
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab terdapat pasal-pasal yang menjamin hak-hak
asasi manusia. Seperti pasal 27 ayat 1,2; pasal 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34.
Sebagai penjabaran sila Persatuan Indonesia, di dalam UUD 1945 dimuat
pasal-pasal yang mengatur: (a)bentuk negara kesatuan (pasal 1 ayat 1); (b)
pemerintah daerah (pasal 18,18 A, dan 18 B). Di samping itu, dimuat pula
pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menopang upaya memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa. Ketentuan-ketentuan itu menyangkut:
- Bendera Nasional (pasal 35)
- Bahasa Nasional (pasal 36)
- Lambang Negara (pasal 36 A)
- Lagu Kebangsaan (pasal 36 B)
Sesuai dengan prinsip demokrasi yang digariskan oleh sila Kerakyatan Yang
Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratn/Perwakilan., pasal 1
ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Melalui pembagian kekuasaan itu kekuasaan legislatif pusat di Indonesia
diberikan kepada MPR, DPR, dan DPD. Kekuasaan eksekutif diberikan kepada Presiden dengan
dibantu Wakil Presiden dan para Menteri. Sedangkan kekuasaan yudikatif
diberikan kepada MA dan MK. Kemudian sejalan dengan prinsip yang telah
digariskan oleh sila kelima Pancasila UUD 1945 juga terdapat pasal-pasal yang
mengatur masalah kesejahteraan sosial. Secara khusus hal itu diatur dalam bab
XIV yang berjudul ”Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”.
a. Fungsi dan Peran MK
Fungsi dan peran utama MK adalah adalah
menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. MK dibentuk
dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari
koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi
itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah
dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK
mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers)
dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan
itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
a). Melakukan
Pengujian Undang-undang
terhadap UUD1945
Mengenai
pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal
50 sampai dengan Pasal 60.
b). Memutus
Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara
Sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang
disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga negara tersebut.
c). Melakukan Pembubaran Partai
Politik
Partai politik dapat dibubarkan oleh MK
jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan
dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
d). Memutus Perselisihan
Hasil
Pemilu
Perselisihan hasil Pemilu adalah
perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan
suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi
apabila penetapan KPU mempengaruhi
1. Terpilihnya anggota DPD,
2. Penetapan pasangan calon yang
masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta
terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden,
3.
Perolehan
kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah
ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
b. Putusan Final dan Mengikat
Kemudian putusan MK bersifat
final dan mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
menyatakan bahwa putusan MK bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh
upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa
yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).
Kewenangan
ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85
2. Hubungan Antara Dasar Negara dan Konstitusi di Negara Liberal (Amerika
Serikat):
Berikut beberapa fungsi-fungsi dasar
yang harus dijalankan oleh Pemerintah Amerika Serikat, yaitu:
- Menegakkan keadilan
- Menjamin keamanan dalam negeri
- Menyediakan pertahanan umum
- Memajukan kesejahteraan umum
- Mengamankan kemerdekaan rakyat
Amerika yang dianggap sebagai Anugerah dari Sang Pencipta
Pernyataan itu menegaskan bahwa bagi bangsa Amerika Serikat, semua manusia
itu diciptakan sama, dan dianugerahi oleh Sang Pencipta dengan hak-hak yang tak
dapat dihapuskan seperti hak hidup, hak kebebasan, dan hak memperoleh
kebahagiaan.
Pernyataan iru juga menegaskan kepercayaan bangsa Amerika kepada sistem
pemerintahan demokrasi yang dilukiskan sebagai ”pemerintahan atas persetujuan
yang diperintah.
Secara garis besar pengaturan kedua
hal itu adalah sebagai berikut:
a.
Pembagian kekuasaan negara dalam konstitusi AS
Sejalan dengan teori Trias Politika, kekuasaan
negara AS dibagi menjadi tiga cabang, yaitu: legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres AS, sebuah lembaga
bikameral (bi=dua, cameral=badan) karena terdiri dari atas Senat dan House Of
Representatives(DPR). Senat adalah lembaga perwakilan negara bagian, sedangkan
DPR adalah lembaga perwakilan rakyat.
Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh
Presiden bersama Wakil Presiden dan para Menteri dalam sebuah sistem
Presidensial. Selain sebagai kepala pemerintahan, Presiden AS juga memegang
kekuasaan untuk (a) mengadakan hubungan luar negeri, (b) menjadi pemimpin
tertinggi militer, (c) memilih pejabat-pejabat eksekutif dan para hakim, (d)
memberi atau menolak grasi, (e) memveto rancangan undang-undang yang telah
disetujui badan legislatif.
Sementara itu kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Supreme Court (Mahkamah
Agung) dan lembaga peradilan dibawahnya. Lembaga peradilan di bawah MA meliputi
Pengadilan Distrik yang merupakan peradilan terendah di AS. Pengadilan Distrik
ada ”Hakim Keliling” yang tugas utamanya adalah mendengarkan keluhan yang
muncul dari Pengadilan Distrik. Di samping itu, disetiap negara bagian terdapat Peradilan Negara Bagian.
Jadi yang dimaksud dengan Konstitusi
Amerika Serikat adalah yang membentuk sistem federal pemerintah. Konstitusi
memberikan kekuasaan-kekuasaan tertentu kepada pemerintah federal (nasional).
Semua kekuasaan lain yang tidak didelegasikan kepada pemerintah federal akan
tetap dijalankan oleh negara-negara bagian.
Konstitusi Amerika Serikat juga
membentuk cabang yudisial dari pemerintah federal dan merinci kekuasaan dari
pengadilan federal. Pengadilan-pengadilan federal memiliki kekuasaan peradilan
yang eksklusif atas kasus-kasus jenis tertentu, misalnya kasus yang menyangkut
undang-undang federal, persengketaan antara negara-negara bagian, dan kasus-kasus
yang menyangkut pemerintah asing.
b.
Sistem Check And Balances dalam Konstitusi AS
Untuk mencegah agar tidak terjadi
penonjolan kekuasaan salah satu cabang kekuasaan, Konstitusi AS menetapkan
sistem check and balances. Dengan sistem ini, ketiga cabang kekuasaan di atas
dapat saling mengontrol dan saling melindungi.
Hubungan timbal balik antara lembaga
eksekutif dan lembaga yudikatif, dan antara lembaga legislatif dan lembaga
yudikatif dapat digambarkan di bawah ini:
Berikut
penjelasannya:
SISTEM CHECKS AND BALANCES
MENURUT KONSTITUSI AMERIKA SERIKAT
LAGISLATIF
|
EKSEKUTIF
|
YUDIKATIF
|
-Kongres dapat membatalkan
veto Presiden
-Kongres dapat mengadili dan
memecat Presiden.
-Senat dapat menolak/menyetujui perjanjian
internasional.
-Senat dapat
menolak/menyetujui pejabat yang ditunjuk Presiden.
Kongres dapat:
-Mengajukan amandemen konstitusional
untuk melawan pandangan Mahkamah Agung.
-Membentuk badan peradilan di bawah MA dan menentukan
gaji para hakim.
-Menolak/menyetujui hasil
pemilihan para hakim.
-Meng-Impach dan memecat
hakim.
|
-Presiden dapat memveto RUU
yang telah disetujui senat dan DPR.
-Presiden dapat meminta sidang istimewa kongres.
-Presiden memilih dan mengangkat Hakim Agung.
-Presiden berhak memberikan
pengampunan hukum.
-Presiden dapat mengajukan
rekomendasi hukum.
|
-Mahkamah Agung dapat
menyatakan tindakan eksekutif tidak konstitusional.
-Mahkamah Agung berhak
menyatakan aturan buatan Kongres tak konstitusional.
|
c. Struktur Sistem Pengadilan di
Negara Amerika Serikat
Adalah
Konstitusi Amerika Serikat yang membentuk Mahkamah Agung Amerika Serikat dan
memberi Kongres kekuasaan untuk membentuk pengadilan-pengadilan rendah federal.
Kongres telah membentuk dua peringkat pengadilan-pengadilan federal yang berada
dibawah Mahkamah Agung yaitu: Pengadilan-pengadilan Distrik Amerika Serikat dan
Rangkaian Pengadilan-pengadilan Banding Amerika Serikat. Pengadilan-pengadilan
Distrik Amerika Serikat adalah pengadilan tingkat pertama di dalam sistim
federal. Selain hakim-hakim distrik, juga terdapat
hakim kepailitan (yang hanya mendengar kasus-kasus kebangkrutan) dan hakim
magistrat (yang menjalankan berbagai tugas peradilan dibawah pengawasan umum
para hakim distrik) yang berlokasi di dalam pengadilan-pengadilan distrik.
Puncak dari sistim pengadilan federal adalah Mahkamah Agung Amerika Serikat,
yang dibentuk dari 9 hakim agung yang duduk bersama-sama dalam mendengarkan
kasus-kasus.
Berikut pembagian struktur sistem
pengadilan di Amerika Serikat:
1. Struktur dari Sistem Pengadilan Negeri
Struktur dari
sistim-sistim pengadilan negeri berbeda-beda antara satu negara bagian dengan
negara bagian lainnya. Semua negara-negara bagian di AS
memiliki satu pengadilan tertinggi, yang biasanya disebut mahkamah agung negeri
yang fungsinya sama seperti pengadilan tinggi.
2. Administrasi Pengadilan
Lalu cabang-cabang
yudikatif dari pemerintah federal dan pemerintah negara bagian adalah terpisah
fungsinya dari cabang-cabang legislatif dan eksekutif.
Di dalam sistim pengadilan federal, Muktamar Yudisial Amerika Serikat, dibentuk
dari 27 anggota (Kepala Hakim Amerika Serikat dan 26 hakim-hakim dari setiap
wilayah geografis di AS), mengemban segenap tanggung jawab administrasi dari
seluruh pengadilan dan memiliki kekuasaan utama dalam membuat kebijakan yang
berhubungan dengan pelaksanaan cabang yudikatif dari pemerintah. Pusat
Kehakiman Federal adalah yang melaksanakan program-program pendidikan dan
pelatihan bagi para hakim dan para karyawan pengadilan, selain juga melakukan
penelitian-penelitian di bidang-bidang pelaksanaan pengadilan dan administrasi.
Komisi Penghukuman Amerika Serikat berfungsi mengembangkan garis-garis besar
petunjuk berupa peringatan/nasihat bagi hakim-hakim federal dalam tugasnya
membebankan hukuman-hukuman pidana.
3. Hakim
4. Jaksa Penuntut Umum
Jaksa-jaksa
penuntut di dalam sistim federal adalah merupakan bagian dari Departemen
Kehakiman AS di dalam cabang eksekutif. Jaksa Agung Amerika Serikat, yang
mengepalai Departemen Kehakiman, ditunjuk oleh Presiden dengan mendapat konfirmasi
dari Senat. Setiap negara bagian juga mempunyai seorang
jaksa agung di dalam cabang eksekutif negeri yang biasanya dipilih oleh
penduduk setempat.
5. Pembela Hukum
Sistem hukum di
Amerika Serikat menggunakan proses pertentangan. Peran pembela-pembela hukum
sangatlah penting dalam proses ini. Setiap individu
bebas untuk mewakili dirinya sendiri di pengadilan-pengadilan Amerika, namun
pembela hukum sering dibutuhkan keberadaannya untuk menghadapkan kasus-kasus
secara lebih efektif. Para pembela hukum
Amerika mendapat lisensi/izin dari masing-masing negara bagian dimana mereka
menjalankan profesi hukumnya. Walaupun tidak ada perbedaan yang resmi diantara
jenis-jenis praktek hukum, ternyata ada banyak spesialisasi yang tak resmi.
BAB III
A. Kesimpulan
- DPD adalah lembaga negara yang baru
dibentuk pada tahun 2004 yang memiliki tugas, wewenang, dan kekuasaan yang
setingkat dengan DPR atau MPR.
- DPD memiliki peran yang sangat
penting, terutama bagi daerahnya masing-masing.
- DPD harus lebih peduli terhadap
aspirasi masyarakat, dan dapat menyampaikannya kepada pemerintah agar
dapat diwujudkan.
- Di Amerika Serikat terdapat tiga
kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
- Dalam menjalankan tugasnya ketiga
kekuasaan tersebut saling memisahkan diri, namun tetap ada keseimbangan di
antara ketiganya, atau dengan istilah ”check and balances”.
B.
Saran-Saran
Seharusnya
DPD RI diberikan fungsi dan kewenangan sebagaimana fungsi dan kewenangan yang
dimiliki oleh DPR RI, baik dalam bidang legislasi, anggaran maupun pengawasan,
dengan cara mengamandemen terhadap Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 19 sampai 23 dan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat daerah;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar