Sabtu, 12 Mei 2012

makalah HAN


BAB II
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN PERLINDUNGAN HUKUM
         
 Pengertian perlindungan hukum adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
            Sedangkan perlindungan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2002 tentang tata cara perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman gangguan, teroris, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
            Hukum menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto adalah : peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
            Jenis Perlindungan Hukum yang dapat diberikan oleh hukum kepada warga negaranya adalah sebagai berikut, warga negara berhak atas perlindungan hukum terhadap perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan hukum yang melanggar hak warga negara.
Dalam hal perlindungan hukum bidang perdata, penguasa dapat dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum karena melanggar hak subyektif orang bila penguasa tersebut melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata dengan warga negara serta melanggar ketentuan kaidah hukum tersebut.
Dalam hal perlindungan hukum bidang publik, penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hukum publik serta melanggar ketentuan kaidah hukum tersebut. Kemudian melalui konsep yang berdasarkan asumsi dasar, bahwa negara dan alat-alatnya berkewajiban dalam tindak tanduknya untuk memperhatikan tingkah laku manusia yang normal, sehingga setiap kelakuan yang mengubah kelakuan normal dan melahirkan kerugian maka dapat digugat.           Kriteria perbuatan melawan hukum ini sebagai interpretasi dari Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu “tiap perbuatan melanggar Hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sebelum Tahun 1919, hal ini ditafsirkan secara sempit yaitu bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tersebut meliputi beberapa faktor di bawah ini:
1.      adanya perbuatan melawan hukum,
2.      adanya kerugian,
3.      adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian,
4.      dan adanya kesalahan
Lalu setelah Tahun 1919, kriteria perbuatan melawan hukum berkembang menjadi sebagai berikut:
1) mengganggu hak orang lain,
2) bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku,
3) bertentangan dengan kesusilaan,
4) bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.
Sedangkan di dalam Yurisprudensi Indonesia dinyatakan bahwa kriteria Perbuatan Melawan Hukum oleh penguasa itu meliputi Perbuatan penguasa melanggar Undang-Undang dan perturan formal yang berlaku dan Perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi.
Jadi, perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Bagi suatu negara demokrasi, pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar pali utama. Sebab pengakuan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu tujuan Negara Hukum.
Dengan demikian, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis harus memasukkan unsur-unsur pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusinya. UUD 1945 yang telah diamandemen sedikit banyak mengakomodasi substansi HAM Ekosob (ekonomi, social, dan budaya) dalam ketentuan-ketentuannya.
Perubahan kedua UUD 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan penting dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut terus dipertahankan sampai dengan perubahan keempat UUD 1945.
            Perlindungan hukum meliputi beberapa hal di bawah ini, yaitu:
1.      Anak dan wanita
2.      Konsumen
3.      Guru
4.      Hak Kekayaan Intelektual
5.      Hak Milik
6.      Nyawa
7.      Kekerasan
8.      Buruh/pekerja
9.      Pengguna Jalan  
Di dalam menganalisis perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia, seorang sarjana bernama Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa ada dua macam perlindungan rakyat, yaitu perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa dan perlindungan represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya. Perlindungan hukum adalah sesuatu atau hak yang diberikan kepada “tersangka/terdakwa” yang diduga melakukan suatu pelanggaran. Apabila si terdakwa tadi terbukti melakukan suatu pelanggaran maka harus merujuk ke aturan yang berlaku, misalnya Undang-undang atau aturan lainnya. Kalau ternyata pelanggaran tersebut tidak ada dalam UU, maka yang bersangkutan tidak terbukti bersalah.

II. MACAM-MACAM PERLINDUNGAN HUKUM

1. Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak dan Implementasinya di Indonesia pada Era Otonomi Daerah
Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa diberitakan di media masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor formal, maupun informal, eksploitasi hak-hak anak. Pada sisi lain sering dijumpai perilaku anak yang diketegorikan sebagai anak nakal atau melakukan pelanggaran hukum, tapi tidak mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya dalam proses hukum.
Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) th 1989, telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 th 1990. Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil dan politik, ha-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi:
1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights):
Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program (1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2) menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6) mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.



Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa:
(1)   hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7),
(2)   hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8),
(3)   hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19),
(4)   hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20),
(5)   adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21),
(6)   hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23),
(7)   hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).

2. Hak terhadap perlindungan (protection rights)
            Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan terlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Perlindungan dari ekploitasi, meliputi:
·         perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi,
·         perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak,
·         perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi,
·         perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan
·         perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.

3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights)
            Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2) mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan (4) mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.

4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)
Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat.
Implementasi di Indonesia Melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990, Konvensi Hak Anak telah  diratipikasi dan berlaku mengikat menjadi hukum Inodnesia. Melalui ratifikasi tersebut pemerintah Indonesia melakukan reservasi, yakni penundaan pelaksanaan beberapa pasal Konvensi Hak Anak. Sebagai negara yang telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berkewajiban untuk menjamin terlaksananya hak-hak anak dengan menuangkan dalam sebuah produk perundangundangan. Melalui upaya harmonisasi hukum, BPHN merekomendasikan, pertama, mengintroduksir hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak ke dalam perundang-undangan hukum nasional, kedua, peninjauan kembali hukum positif yang tidak sesuai dengan Konvensi Hak anak, dan ketiga, melakukan identifikasi kemungkinan perlunya penyusunan peraturan-perundang-undangan.
Untuk menangani penyelesiaan hukum bagi anak yang terlibat perkara hukum dikeluarkan peradilan yang diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang dimaksud anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah nikah.
Sementara batas umur anak untuk dapat diajukan ke pengadilan ditetapkan antara 8-18 tahun, dan selanjutnya untuk dapat dipidana minimal berumur 12 tahun. Era Otonomi Daerah. Pada era Otonomi Daerah, dalam rangka untuk menanggulangi dan melindungi pekerja anak, telah dikeluarkan Kepmen Dagri dan Otda Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak (PPA). Menurut Pasal 5 program penanggulangan pekerja anak meliputi:
(1)    Melakukan pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
(2)    Melakukan pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan;
(3)    Melakukan perbaikan pendapat keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang anak dengan wajar;
(4)    Melakukan sosilisasi program PPA kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat.
Selanjutnya cara untuk memberikan perlindungan hak anak secara menyeluruh, sedang diupayakan bentuk legitimasi melalui pembuatan UU Perlindungan Anak. Dalam perkembangannya UU Perlindungan anak yang sudah ditandatangani tampaknya masih terdapat masalah, sehingga pengundangannya masih belum ada kejelasan. Beberapa persoalan yang masih menjadi masalah seperti Pasal 37 ayat (3) yakni masalah agama antara orang tua asuh dan anak yang akan diasuh. Di samping itu pada saat bersamaan terdapat ganjalan dari sekelompok masyarakat, seperti Koalisi Perlindungan Anak (KPA) menolak UU Perlindungan Anak, karena dianggap tidak sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan Konvensi Internasional Labour Organisation (ILO) Nomor 182 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 2000.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Pihak yang Lemah dalam Penggabungan Perusahaan (Merger)
A. Pengertian Merger:
            Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah pengganti  Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama) yang merupakan tonggak sejarah tentang hukum merger. Sejarah hukum tentang merger dari perusahaan-perusahaan di Indonesia dibagi dalam dua periode sebagai berikut:


1. Periode Pra UUPT
Dalam tingkat undang-undang, pengaturan tentang merger di Indonesia baru dimulai sejak berlakunya undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama) Tentang Perseroan, namun demikian tidak berarti bahwa sebelum adanya undang-undang tersebut merger tidak dilakukan di Indonesia karena dalam kenyataannya praktek merger di Indonesia sudah dimulai sejak lama.
2. Periode Pasca UUPT
UUPT mengatur tentang merger lebih komprehensif di banding Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama). Salah satu andalan dari undang-undang Perseroan terbatas yang tidak dimiliki oleh pasal-pasal tentang perseroan terbatas dalam KUHD  adalah diaturnya mengenai penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambil alihan perusahaan (akuisisi).

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia memberikan pengertian atau definisi merger dengan rumusan kalimat yang hamper seragam. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menggunakan istilah “Penggabungan” sebagai pengganti terminologi “Merger”.
Pengertian penggabungan tersebut kemudian secara khusus dalam disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tanggal 24 Pebruari 1998 mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, yang bunyi lengkapnya dikutip sebagai berikut: “Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk  menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar”.
Kemudian khusus bagi perseroan terbatas yang bergerak dalam lapangan usaha perbankan, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank, istilah yang digunakan adalah merger, dengan pengertian sebagai berikut: “Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu”.


Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan tentang elemen/unsur dalam merger:
1. Adanya perbuatan hukum;
2. Adanya dua perseroan atau lebih;
3. Adanya tujuan yang sama, yaitu salah satu perseroan akan menggabungkan diri ke dalam perseroan yang menerima penggabungan; dan
4. Adanya keputusan yang sama, yaitu perseroan yang menggabungkan diri akan bubar.

B. Dasar Hukum Merger Yang Utama:
Secara yuridis, yang merupakan dasar hukum bagi tindakan merger tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dasar Hukum Utama (UUPT dan PP);
2. Dasar Hukum Kontraktual;
3. Dasar Hukum Status Perusahaan (Pasar Modal, PMA, BUMN);
4. Dasar Hukum Konsekuensi Merger;
5. Dasar Hukum Pembidangan Usaha.
Yang menjadi dasar hukum utama bagi suatu merger perusahaan adalah UUPT dan Peraturan pelaksanaannya. UUPT tersebut mengatur tentang merger, akuisisi dan konsolidasi mulai dari Pasal 26, 62, 122, 123, 126, 127, 128, 129, 132, 133 dan 152. Sebagaimana diketahui bahwa UUPT menggunakan istilah “Penggabungan” untuk merger, “Pengambil alihan” untuk akuisisi, dan “Peleburan” untuk konsolidasi.
Disamping UUPT, pada tanggal 24 Februari 1998 telah pula diterbitkan PP No. 27 Tahun 1998 yang mengejawantahkan ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama) Tentang Pereseroan (UUPT lama).
Berikut beberapa sarat merger, akuisisi dan konsolodasi dari perusahaan menurut PP no. 27, tersebut terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi:
(1)Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan:
a. kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan
perseroan yang bersangkutan;
b. kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha;
(2)Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga saham yang wajar;
(3)Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan rapat umum pemegang saham mengenai penggabungan, peleburan dan pengambilalihan hanya dapat menggunakan haknya agar saham yang dimiliknya dibeli dengan harga yang wajar sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UUPT.
(4) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak menghentikan proses pelaksanaan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
Sedangkan Menurut Pasal 26 UUPT perubahan anggaran dasar yang dilakukan dalam rangka Penggabungan atau Pengambilalihan berlaku sejak:
1. persetujuan Menteri
2. kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri, atau
3. pemberitahuan perubahan anggaran dasar diterima Menteri, atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan atau akta Pengambilalihan.

C. Perlindungan Secara Struktural:
Dalam hal ini dimaksudkan bahwa kedudukan pihak tersebut dalam struktur pembagian wewenang dari suatu perusahaan sangat lemah dibandingkan dengan kedudukan pihak lainnya. Sebagai contoh menurut sistem hukum positif kita, dari segi Corporate law, kedudukan para pekerja di perusahaan lebih lemah dari kedudukan pihak lain seperti pemegang saham, direktur atau komisaris. Para pekerja dalam perusahaan yang akan merger merupakan salah satu pihak yang mesti sangat diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum merger dilakukan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan para pekerja ini dalam hubungan dengan merger adalah sebagai berikut:
1.      Prinsip-prinsip umum mengenai kebijaksanaan kesejahteraan social yang akan diterapkan setelah merger;
2.      Waktu yang pantas untuk berkonsultasi dengan organisasi pekerja;
3.      Cara dan saat untuk menginformasikan merger kepada pekerja;
4.      Cara-cara untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengelominir kemungkinan meteriil kepada pihak pekerja, termasuk memberikan kompensasi yang bersifat materiil;

5.      Aktifitas khusus dari organisasi pekerja dalam perusahaan’
6.      Suatu garansi terhadap keamanan dan ketersediaan pekerjaan setelah merger.

Dalam kasus merger dan akuisisi, seringkali dengan alasan peningkatan efisiensi dan perampingan usaha, setelah merger dan akuisis sebagian pekerja diputuskan untuk di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Karena itu, alasan PHK tersebut dilaksanakan sesuai denan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka PHK tersebut sudah sah.
Untuk hal tersebut, Pasal 126 UUPT selanjutnya berbunyi:
(1) Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib  memperhatikan kepentingan:
a. perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
(2) Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
(3) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.

D. Perlindungan Secara Finansial:
Perlindungan terhadap pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas sangat penting terhadap hukum merger, disamping perlindungan pihak-pihak lainnya seperti pihak karyawa perusahaan. Sitem pengaturan Undang-Undang No. 4 Tahun 1971, yang mengubah ketentuan Pasal 54 KUHD, memberlakukan prinsip one share one vote, suatu prinsip yang menetapkan pihak pemegang saham minoritas sebagai pihak yang rawan eksploitasi.
Perlindungan pemegang saham minoritas dalam hal ini dilakukan denan memperkenalkan prinsip special vote, yang operasionalisasinya minimal dilakukan dengan dua cara sebagai berikut:




(1) Prinsip Silent Majority
Dalam hal ini pemegang saham mayoritas diwajibkan absatain dalam voting. Salah satu sistem dari prinsip silent majority adalah system pemilihan berlapis, yang diperkenalkan oleh Keputusan Ketuan Bapepam No. Kep-01/PM/1993, tanggal 29 Januari 1993, yang telah diganti dengan Peraturan Bapepam No.04/PM/1994, tanggal 7 Januari 1994.
(2) Prinsip Super Majority
Dalam hal ini voting dilakukan dalam RUPS mensyaratkan lebih dari sekedar simple majority (51%) untuk dapat memenagkan voting. Keputusan dari rapat tidak dapat diambil jika suara yang setuju kurang dari jumlah presentase tersebut. UUPT memberlakukan prinsip super majority, baik terhadap hal-hal yang ditentukan sendiri dalam anggaran dasar perseroan, ataupun terhadap kegiatan-kegiatan yang ditentukan sendiri oleh undang-undnag, misalnya jika perseroan melakukan perubahan anggaran dasar, merger, akuisisi, konsolidasi, kepailitan, likuidasi atau pembelian kembali saham.

E. Perlindungan Secara Lokalisasi:
Ada juga para pihak yang tersangkut dengan perusahaan tetapi mempunyai kedudukan yang lemah secara lokalisasi. Maksudnya, pihak tersebut berada jauh dari perusahaan atau bahkan orang luar perusahaan itu sendiri, tetapi mempunyai hubungan denan perusahaan. Hubungan tersebut dapat berupa:
(1) Hubungan kontraktual, yaitu antara kreditur dengan perusahaan yang bersangkutan;
(2) Hubungan non kontraktual, misalnya dengan si tersaing secara tidak fair.

Jadi kreditur merupakan salah satu dangerous party yang harus selalu diwaspadai jika suatu perusahaan melakukan merger atau akuisisi. Krusialnya kedudukan pihak kreditur, karena dengan merger dan akuisisi antara lain dapat terjadi dua hal sebagai berikut:
(1)   Peralihan Aset
(2)   Non Eksistensi Legal Entity



Dalam hal peralihan asset karena merger dan akuisisi, upaya hukum bagi kreditur hanya terhadap special case saja. Upaya hukum tersebut dapat berupa:
(a) Actio Paulina
Jika debitur melakukan pengalihan asset untuk mengelak pembayaran hutang-hutangnya, maka jika terpenuhi syarat-syarat tertentu seperti tersebut dalam Pasal 1341 KUHPerdata, pengalihan asset tersebut dapat dibatalkan lewat konstruksi hukum yang popular dengan sebutan Actio Paulina, karena dengan merger ada asset perusahaan yang beralih. Sedangkan dengan transaksi akuisisi, saham yang dialihkan tersebut merupakan asetnya pihak pemegang saham, karena itu  action paulina dapat diberlakukan.
(b) Negative Convenant
Jika ada negative covenant dalam perjanjian kredit yang melarang atau harus minta izin kreditur jika aset ingin dialihkan. Jadi tidak sampai batalnya transaksi pengalihan asset, yang kemungkinan telah sah dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga.

F. Penerapan Appraisal Rights:
Apabila ada pihak pemegang saham yang tidak setuju dengan merger, padahal RUPS dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan untuk merger, padahal RUPS dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan untuk merger, maka kepada pihak yang kalah suara ini oleh hukum diberikan suatu hak khusus yang disebut appraisal rights.
Appraisal rights adalah hak dari pemegang saham minoritas yang tidak setuju dengan merger atau tindakan korporat lainnya, untuk menjual saham yang dipegangnya itu kepada perusahaan yang bersangkutan, mana pihak perusahaan yang mengisukan saham tersebut wajib membeli kembali saham-sahamnya itu dengan harga yang pantas. Pelaksanaan appraisal rights ini merupakan salah satu keistimewaan yang dibeikan oleh hukum kepada transaksi merger ini.
UUPT mengakui prinsip appraisal rigahts ini melalui Pasal 102 juncto Pasal 125 UUPT. Oleh UUPT tersebut appraisal rights ini diberikan terhadap tindakan-tindakan korporat sebagai berikut:
(1) Perubahan anggaran dasar
(2) Pejualan, penjaminan, pertukaran sebagian besar atau seluruh kekayaan perseroan;
(3) Merger, akuisisi dan konsolidasi Perseroan.
Pada era sekarang hampir tidak ada lagi sistem hukum yang mengharuskan persetujuan 100% pemegang saham untuk suatu tindakan korporat penting termasuk merger, akan tetapi pranata hukum appraisal rights tetap diperlukan dalam rangka melindungi hak pemegang saham minoritas. Dengan demikian, pranata hukum appraisal rights sudah beralih fungsinya dari kebutuhan pemegang saham mayoritas menjadi pelaksana mitos perlindungan pemegang saham minoritas.

























BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berikut beberapa kesimpulan dari makalah ini:
  1. Perlindungan hukum adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi.
2.     Hal-hal yang terdapat dalam perlindungan hukum ialah Anak dan wanita, Konsumen, Guru, Hak Kekayaan Intelektual, Hak Milik, Nyawa, Kekerasan , Buruh/pekerja, Pengguna Jalan  
  1. Macam Perlindungan hukum terhadap rakyat Indonesia seperti, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak dan Implementasinya di Indonesia pada Era Otonomi Daerah dan Perlindungan Hukum Terhadap Pihak yang Lemah dalam Penggabungan Perusahaan (Merger)

B. Saran-saran
  1. Sebaiknya pemerintah lebih peduli terhadap hak-hak asasi warga Indonesia.
  2. Sebaiknya pemerintah dapat memberikan perlingan hukum terhadap warganya dan menjamin bahwa tidak ada lagi yang melakukan pelanggaran atas hak asasi manusia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar