BAB II ISI DAN PEMBAHASAN
A.
Pembatasan
Pengertian HHI
Hukum Humaniter Internasional
(HHI) sebagai salah satu bagian hokum internasional, merupakan salah
satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap Negara, termasuk oleh
negara damai atau negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang
dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Dalam
hal ini, HHI merupakan suatu instrument kebijakan dan sekaligus pedoman teknis
yang dapat digunakan oleh semua actor internasional untuk mengatasi isu
internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang[1].
HHI dalam arti luas adalah sebagian hokum internasional yang
berdasarkan rasa kemanusiaan bertujuan melindungi individu dengan menjamin
penghormatan individu dan mendorong perkembangannya. HHI dalam arti luas ini mencakup
dua cabang yakni hukum perang dan hukum hak asasi manusia (Ham). Hukum perang
yang merupakan bagian dari HHI dalam arti luas itu juga disebut sebagai hokum
perang dalam arti luas. Hukum perang
dalam arti luas yang disebut juga sebagai hokum sengketa bersenjata,
dimaksudkan untuk mengatur permusuhan dan mengurangi kekerasan yang ditimbulkan
sejauh kepentingan militer memungkinkan. Hukum perang dalam arti luas itu juga
dibedakan menjadi dua cabang, yakni Hukum Den Haag, yang disebut sebagai hokum perang
dalam arti sempit atau hokum perang dalam arti sempit yang sebenarnya,
menetapkan hak dan kewajiban dari pelaku perang (belligerents) dalam melakukan perbuatan perang dan membatasi
pemilihan sarana pengrusakan di dalam perang. Sedangkan Hukum Jenewa, atau HHI
dalam arti yang sebenarnya dimaksudkan untuk menyelamatkan anggota tentara yang
telah hors de combat dan orang-orang
yang tidak mengambil bagian dalam permusuhan.
GPH.
Haryomataram membagi hokum humaniter menjadi dua aturan pokok yaitu:
a.
Hokum yang mengatur mengenai cara dan
alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/ the Hague Laws)
b.
Hokum yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum
Jenewa/The Geneva Laws)[2]
Sesuai dengan pembatasan lingkup
pembicaraan di atas HHI yang terkait dlam uraian ini adalah HHI dalam arti
sempit, yakni Hukum Jenewa. Hokum Jenewa itu terdiri dari empat konvensi yakni
Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang:
1.
Perbaikan keadaan anggota Angkatan
Perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat;
2.
Perbaikan keadaan anggota Angkatan
Perang di laut yang luka, sakit dan korban karam;
3.
Perlakuan tawanan perang;
4.
Perlindungan orang-orang sipil di
waktu perang
Keempat konvensi itu menetapkan pasal-pasal yang sama, sebut saja
pasal kembar. Salah satu pasal kembarnya itu adalah pasal 3 yang khusus
mengatur sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional. Ketentuan pasal 3
kembar ini merupakan salah satu focus pembahasan uraian ini.
Konvensi Jenewa tahun 1949 itu pada tahun 1977 dilengkapi dengan
dua Protokol Tambahan. Salah satu Protokol Tambahan itu, yakni Protokol
Tambahan II menetapkan pengaturan tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata non-internasional. Dengan
demikian, berdasarkan pembatasan permasalahan di awal uraian ini, HHI yang
terkait dalam uraian ini adalah :
1.
Pasal 3 kembar pada keempat Konvensi
Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang selanjutnya disebut Konvensi
Jenewa 1949, dan
2.
Protocol Tambahan II tahun 1977 pada
Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Sengketa bersenjata
Non-internasional selanjutnya disebut Protokol Tambahan II tahun 1977.
Perjanjian internasional yang mengatur perang yang mencakup
perlindungan penduduk sipil yang utama ialah:
a.
Konvensi Den Haag (KDH) tahun 1899
yang kemudian disempurnakan oleh KDH tahun 1907. KDH tahun 1907 ini terdiri
dari 13 konvensi besrta satu Peraturan Den Haag (PDH) sebagai lampiran KDH IV
tahun 1907 dan satu deklarasi.
b.
Konvensi Jenewa (KJ)tahun 1949 yang
terdiri dari empat konvensi. KJ IV tahun 1949 itu khusus mengatur perlindungan
penduduk sipil di masa perang.
c.
Protokol Tambahan pada KJ 12 tahun
1949 (PTKJ) yang ditanda tangani pada tahun 1977. PTKJ tahun 1977 terdiri dari
dua protocol yakni PTKJ I yang mengatur perlindungan korban perang
internasional dan PTKJ II yang mengatur perlindungan korban perang
non-internasional[3].
Perlu diutarakan disini bahwa Indonesia terikat pada
ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 karena Indonesia telah menyatakan
turut serta dalam Konvensi itu dengan pernyataannya pada tanggal 10 September
1958 berdasarkan UU no. 59 tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik
Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Namun hingga
kini Indonesia, walaupun ikut serta aktif dalam konperensi yang membicarakan
Protokol Tambahan itu belum meratifikasi Protokol Tambahan 1977, baik Protokol
Tambahan I maupun II. Dengan demikian Indonesia tidak terikat pada ketentuan
Protokol tersebut.
B. Sengketa Bersenjata Non-internasional
Dalam Hukum Humaniter terdapat dua rumus yaitu:
a.
Armed Conflict not of an international
character
(art
3 Konvensi Geneva 1949)
b.
Non-international armed conflict
(Protokol
Tambahan II 1977)
Keinginan untuk merumuskan apa
yang dimaksud dengan armed conflict dibatalkan tetapi kemudian ada beberapa
usul yang berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya Konvensi dapat
diterapkan. Meskipun usul-usul itu secara resmi tidak diterima, tetapi kiranya
bermanfaat untuk dapat memperkirakan dalam keadaan bagaimana Konvensi berlaku.
Syarat yang diusulkan itu adalah sebagai berikut:
a.
Bahwa pihak yang memberontak
pemerintah memiliki kekuatan militer yang terorganisir dibawah komando yang
bertanggung jawab, beraksi dalam wilayah tertentu menjamin penghormatan
konvensi ini.
b.
Bahwa pemerintah yang sah dipaksa
untuk menggerakkan kekuatan militer regular untuk menghadapi pemberontak yang
terorganisir secara militer dan menguasai sebagian wilayah nasional.
1)
Bahwa pemerintah de jure telah mengakui
pemberontak sebagai belligerent, atau
2)
Bahwa pemerintah telah meng-claim bagi dirinya hak sebagai belligerent
3)
Bahwa pemerintah telah mengakui
pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi ini saja
4)
Bahwa perselisihan tersebut telah
dimasukkan dalam agenda Dewan Keaamanan atau Majelis Umum sebagai ancaman
terhadap perdamaian internasioanl, pelanggaran terhadap perdamaian atau
tindakan agresi.
c.
1)
bahwa pemberontak mempunyai organisasi yang mempunyai sifat sebagai
Negara
2)
bahwa penguasa sipil melaksanakan kekuasaannya terhadap orang-orang dalam
wilayah tertentu
3)
bahwa kekuatan tersenjata bertindak dibawah kekuasaan penguasa sipil yang
terorganisir
4)
bahwa penguasa sipil pemberontak setuju terikat pada ketentuan Konvensi.
Perbedaan utama antara
non-international armed conflict (sengketa bersenjata non-internasional) dengan
international armed conflict (sengketa bersenjata internasional) dapat dilihat
dari status hokum pihak-pihak dalam konflik. Dalam international armed conflict
kedua pihak dalam konflik status hukumnya sama , karena kedua belah pihak
adalah Negara. Sedangkan dalam non-international armed conflict status hokum
kedua belah pihak tidak sama, karena pihak yang satu adalah Negara sedangkan
pihak lainnya adalah bukan Negara.
Konvensi Jenewa, c.q. pasal 3
kembarnya tidak menetapkan secara rinci apakah yang dimaksud dengan sengketa
bersenjata non-internasional. Pasal 3 kembar itu hanya menyebutkan salah satu
unsur dari sengketa bersenjata non-internasional tersebut, yakni sengketa
bersenjata yang berlangsung dalam wilayah pihak peserta agung. Ketentuan pasal
kembar itu lebih menekankan pada kewajiban tiap pihak dalam sengketa.
Berbeda dengan Konvensi Jenewa
itu Protokol Tambahan II tahun 1977 pasal 1 ayat 1 menetapkan unsur-unsur
pengertian sengketa bersenjata non-internasional. Sengketa bersenjata
non-internasional adalah sengketa yang memenuhi persyaratan unsure-unsur
positif dan persyaratan unsure-unsur negative. Persyaratan unsure-unsur
positfnya ialah bahwa sengketa bersenjata itu adalah sengketa yang:
·
Bertempat di wilayah pihak peserta
agung.
·
Terjadi antara angkatan bersenjata
pihak peserta agung dengan angkatan bersenjata pembelot atau kelompok
bersenjata terorganisir lain yang berada di bawah komando yang
bertanggungjawab.
·
Menguasai sebagian wilayah Negara
hingga memungkinkan mereka melakukan operasi militer berlanjut dan
terorganisir.
·
Melaksanakan ketentuan protocol ini.
Persyaratan
unsure-unsur negatifnya ialah:
·
Tidak termasuk sengketa bersenjata
tersebut pada Pasal 1 Protokol Tambahan I.
·
Bukan situasi gangguan dan ketegangan
internal seperti misalnya kerusuhan, tindakan kekerasan yang sporadic dan
perbuatan yang semacam, karena perbuatan-perbuatan ini tidak termasuk sengketa
bersenjata.
Pengertian sengketa bersenjata non-internasional diutarakan secara
umum sebagai sengketa dalam mana penguasa pemerintahan suatu Negara ditentang
oleh kelompok dalam Negara itu yang berusaha untuk menggulingkan kekuasaan itu
dengan kekerasan senjata. Pengertian sengketa bersenjata non-internasional yang
umum ini tampak merumuskan inti dari pengertian yang ditetapkan dalam pasal 3
kembar Konvensi Jenewa 1949 dan yang ditetapkan Protokol Tambahan II tahun
1977.
Karena adanya perbedaan
pengertian tentang sengketa bersenjata dalam pasal 3 kembar Konvensi Jenewa
1949 dan pengertian dalam Protokol Tambahan II, pembicaraan tentang bagaimana
HHI mengatur sengketa bersenjata non-internasional harus dibedakan antara
sengketa bersenjata non-internasional berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, c.q.
pasal 3 kembarnya, dan sengketa bersenjata non-internasional berdasarkan
Protokol Tambahan II 1977. Hal itu disebabkan karena pengertian sengketa bersenjata
non-internasional berdasarkan pasal 3 kembar hanya berlaku bagi Konvensi
Jenewa1949, c.q. pasal 3 kembar, yang merupakan Konvensi dalam miniatur. Adapun
pengertian sengketa bersenjata berdasarkan pasal 1 Protokol Tamabahan II 1977
hanya berlaku bagi Protokol Tambahan tersebut.
Dalam menelaah pengaturanHHI
tentang masing-masing sengketa bersenjata non-internasional itu uraian
inibermaksud menelaah beberapa aspek HHI dalam mengatur sengketa bersenjata
non-internasional tersebut. Aspek pengaturan yang dimaksud adalah :
1.
Apakah tujuan HHI mengatur sengketa
bersenjata non-internasional?
2.
Apakah cara dan sarana yang ditetapkan
untuk mencapai tujuan tersebut?
Dalam
perkembangannya khususnya dalam kesepakatan yang termuat dalam statute roma
1998, pemberlakuan aturan HHI untuk sengketa bersenjata noninternasionaltidak
lagi memerlukan syarat bahwa pasukan pemberontak tersebut telah melakukan
kendali atas sebagian wilayah dan berada dibawah komando yang bertanggungjawab.
Asalkan konflik berkelanjutan dan pemberontak yang dihadapi adalah kelompok
terorganisasi, maka Negara dan pihak pemberontak terikat untuk mematuhi HHI
(Hukum Humaniter Internasional)[4].
D. Sengketa bersenjata non-internasional
dalam Konvensi Jenewa 1949
Konperensi diplomatic, yang diselenggarakan atas undangan Dewan
Federal Swiss di Jenewa pada tanggal 21 april sampai 12 agustus 1949 berhasil
menerima empat Rancangan Konvensi yang diajukan oleh Komite Internasional
Palang Merah (international Committee of the Red Cross) menjadi Konvensi.
Keempat konvensi tersebut ialah: KJ untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit
dalam angkatan perang di medan pertempuran darat (KJ I), KJ untuk perbaikan
keadaan angkatan perang di laut yang luka, sakit dan korban karam (KJ II), KJ
mengenai perlakuan tawanan perang (KJ III), dan KJ mengenai perlindungan
penduduk sipil di masa perang (KJ IV)[5].
Konvensi Jenewa 1949, sebagai
HHI dalam arti sempit yang sebenarnya, dalam pasal 3 kembarnya mengatur
sengketa bersenjata non-internasional. Sesuai dengan ucapan salah satu delegasi
dalam Konperensi Jenewa tahun 1949, pasal itu sering juga disebut sebagai suatu
Konvensi Kecil (Convention in Miniature), karena merupakan suatu pasal yang
mengandung semua pokok utama tentang perlakuan terhadap korban perang menurut
KJ tahun 1949[6].
1.
Tujuan
pasal 3 kembar mengatur sengketa bersenjata non –internasional
Adapun
tujuan pasal 3 kembar dalam mengatur sengketa bersenjata itu ialah untuk
menerapkan prinsip konvensi yakni ketentuan kemanusiaan yang diakui sebagai
prinsip hakiki oleh bangsa-bangsa beradab. Tujuan konvensi adalah murni
kemanusiaan. Mochtar Kusumaatmadja mengutarakan bahwa pasal 3 kembar itu
bermaksud memberikan jaminan-jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata
intern berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.
2.
Cara dan sarana untuk mencapai tujuan
pasal 3 kembar
Cara
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan itu pasal 3 kembar itu ialah dengan
menetapkan hubungan hokum antar pihak-pihak yang terkait dalam sengketa
bersenjata non-internasional. Pihak-pihak itu adalah:
a.
Pihak yang bersengketa;
b.
Korban sengketa; dan
c.
Pihak ketiga.
a.
Pihak yang bersengketa adalah:
1)
Pemerintah sah
2)
Pemberontak
Hubungan hokum antar pihak bersengketa yang ditetapkan pasal 3
kembar ialah:
1)
Tiap pihak wajib melaksanakan ketentuan
ketentuan pasal 3 kembar konvensi 1949
2)
Pemerintah sah berhak menumpas
pemberontakan sesuai dengan menggunakan semua sarana termasuk senjata sesuai
dengan ketentuan hukumnya.
3)
Tindakan pemerintah sah tidak
mempengaruhi status hokum pihak lawan sengketa.
Sarana untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan mengadakan
kesepakatan antar bangsa-bangsa. Untuk pertama kalinya kesepakatan antar
bangsa-bangsa itu berhasil dituangkan dalam satu pasal kembar dalam Konvensi
Jenewa 1949.
b.
Korban sengketa
Korban
sengketa bersenjata non-internasional yang ditetapkan pasl 3 kembar untuk
mendapatkan perlindungan adalah:
1)
Orang-orang yang tidak ikut serta
aktif dalam permusuhan
Dalam pengetian itu termasuk:
a.
Anggota angkatan bersenjata yang telah
meletakkan senjata
b. Mereka
yang tidak lagi turut serta dalam pertempuran (hors de combat) karena luka, sakit, ditahan, atau karena sebab
lain apapun.
2)
Mereka yang luka dan sakit.
Adapun
hubungan hokum antar pihak bersengketa
dan korban sengketa yang ditetapkan pasal 3 kembar ialah:
1)
Orang-orang yang tidak ikut serta
aktif dalam permusuhan, dalam keadaan apapun, diperlukan manusiawi tanpa
pembedaan apapun yang merugikan berdasarkan atas : ras, warna kulit, agama atau
kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau criteria lain yang serupa.
Untuk
maksud itu terhadap orang-orang tersebut, kapanpun dan
dimanapun,tindakan-tindakan berikut dilarang:
a)
Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga,
terutama macam-macam pembunuhan, pengundungan, perlakuan kejam dan
penganiayaan.
b)
Penyanderaan
c)
Perkosaan atas kehormatan pribadi,
terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat.
d)
Menghukum dan menjalankan hukuman
tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk
secara teratur, yang memberikan jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan
oleh bangsa-bangsa beradab.
2)
Mereka yang luka dan sakit dikumpulkan
dan dirawat.
c.
Pihak ketiga
Yang dimaksud dengan pihak ketiga dalam uraian
ini adalah mereka yang bukan pihak bersengketa dan bukan pula korban sengketa.
Pihak ketiga yang dimaksud adalah:
1)
Badan kemanusiaan yang tidak berpihak,
dan
2)
Negara lain.
Hubungan hokum yang ditetapkan dalam pasal 3 kembar Konvensi
Jenewa 1949 ialah:
1)
Badan kemanusiaan yang tidak berhak
dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak bersengketa; tindakan demikian
berdasarkan ketentuan pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949 tidak lagi dianggap
sebagai tindakan yang tidak bersahabat.
2)
Suatu Negara dalam sengketa bersenjata
non-internasional yang terjadi di wilayah Negara lain bla member pengakuan
belligerent kepada pasukan anti pemerintah pernyataan itu dapat dianggap sebagai
perbuatan yang tidak bersahabat atau perbautan permusuhan.
Sarana yang dipilih HHI untuk mencapai tujuan yang ditetapkan
dengan caramenetapkan hubungan hokum antar pihak-pihak yang terkait dalam
sengketa bersenjata n0n-internasional itu ialah kesepakatan internasional.
Kesepakatan internasional itu dituangkan dalam bentuk penetapan pasal 3 kembar
Konvensi Jenewa 1949.
Protokol Tambahan II 1977 adalah
protokol tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 dan mengenai perlindungan korban
sengketa bersenjata non-internasional. Protocol Tambahan II 1977 ini adalah
kesepakatan internasional pertama yang menetapkan perlindungan korban sengketa
bersenjata non-internasional. Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur
sengketa bersenjata non-internasional hanya dalam satu pasal, yakni pasal 3
kembarnya, Protokol Tambahan II 1977 yang terdiri dari 28 pasal seluruhnya
mengatur tentang sengketa bersenjata non-internasional.
Sebagai tambahan Konvensi itu,
perlindungan protocol tersebut juga merupakan tambahan perlindungan yang
ditetapkan KJ IV tahun 1949 yang mengatur perlindungan penduduk sipil di masa
perang. Hal itu tampak juga dari adanya beberapa ketentuan protocol tersebut
yang secara eksplisit juga mengatur perlindungan bagi penduduk sipil di masa
perang. Perlindungan itu ditetapakan dalam prinsip umum dan ketentuan lain
protocol tersebut[7].
1.
Tujuan Protokol Tambahan II mengatur
sengketa bersenjata non-internasional
Tujuan
Protokol Tambahan II mengatur sengketa bersenjata non-internasional adalah:
a.
Untuk menjamin perlindungan yang lebih
baik bagi korban sengketa bersenjata non-internasional.
b.
Untuk mengembangkan dan melengkapi
pasal 3 kembar Konvensi jenewa 1949.
2.
Cara dan sarana untuk mencapai tujuan
Cara
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dilakukan dengan menetapkan hubungan
hokum antara mereka yang terkait dalam perlindungan pada sengketa bersenjata
non-internasional tersebut. Mereka yang terkait dalam pelaksanaan perlindungan
pada sengketa bersenjata non-internasional adalah:
a.
Pihak bersengketa
b.
Korban sengketa
c.
Pihak ketiga
a.
Pihak bersengketa
Pihak bersengketa dalam sengketa
bersenjata non-internasional yang diatur dalam Protokol Tambahan II 1977 tidak
ditetapkan secara eksplisit. Namun karena Protokol itu mengatur sengketa
bersenjata non-internasional dapat dipastikan bahwa pihak yang bersengketa
dalam Protokol Tambahan II itu adalah:
1)
Pemerintah yang sah
2)
Pemberontak, apapun namanya, yakni
pihak yabg menentang pemeintah yang sah itu
Kepastian itu diperkuat oleh ketentuan yang menetapkan bahwa
Protokol Tambahan itu mengembangkan dan melengkapi ketentuan pasal 3 kembar
Konvensi Jenewa 1949 tanpa merubah kondisi penerapan yang ada. Yang menetapkan
pihak-pihak bersengketa yang sama.
Pihak bersengketa, terutama Pemerintahyang sah, wajib menaati
ketentuan-ketentuan Protokol Tambahan itu. Kewajiban menaati Protokol itu tidak
tergantungapakah pihak lawan sengketa juga menaati kewajiban serupa atau tidak.
Kewajiban penaatan itu tidak vtergantung pada asas resiprositas. Pihak lawan
sengketa juga wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan Protokol tersebut,
walaupun belum atau tidak menandatangan Protokol tersebut. Adanya kewajiban
penataan itu semata-mata didasarkan pada asas kemanusiaan.
b.
Korban sengketa
Korban sengketa yang dilindungi
Protokol Tambahan II 1977 ini penetapannya lebih rinci. Korban sengketa
bersenjata n0n-internasional yang dlindungi Protokol Tambahan II meliputi:
1)
Semua orang yang dirugikan oleh
sengketa bersenjata tersebut pada pasal 1 (pasal 2 ayat 1)
2)
Semua orang yang tidak ikut mengambil
bagian langsung dalam permusuhan, atau yang berhenti mengambil bagian dalam
permusuhan (pasal 4 ayat 1)
3)
Mereka yang kemerdekaannya dibatasi
(pasal 5)
4)
Tersangka pelanggaran sengketa
bersenjata (pasal 6)
5)
Mereka yang luka, sakit, korban karam
(pasal 8)
6)
Personil medic (pasal 9)
7)
Unit transport medic (pasal 11)
8)
Penduduk dan perorangan sipil (pasal
13)
Dalam perjanjian Internasional teori pembedaan antara penduduk sipil dan
kombatan diterima sebagai prinsip huklum Internasional bahkan diterima sebagai cornerstone hukum perang. Adapun tujuan
diadakan pembedaan itu adalah untuk menjamin perlindungan yang sebesar-besar
nya kepada penduduk sipil. Dalam pertikaian senjata sesudah perang Dunia II
pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan tmpak menjadi kabur dikarenakan
digunakannya senjata yang mengakibatkan bencana luas, berkembangnya perang
total, dan dilakukan nya perang griliya. Terutama pada perang total, karena
kebanyakan perang sipil terbawa arus gerakan perang negara nya, landasan bagi
pembedaan penduduk sipil dan kombatan menjadi goyah. Namun hal itu tidak
berarti bahwa prinsip pembedaan tersebut menjadi hapus. Prinsip pembedaan tersebut
dapat berlaku dalam perang total meskipun penjabarannya memerlukan perubahan[8].
Perlindungan yang diberikan Protokol Tambahan II kepada mereka itu
ialah perlakuan manusiawi tanpa pembedaan. Perlakuan manusiawi itu dibedakan
menjadi dua, yakni perlakuan manusiawi yang merupakan jaminan dasar dan
perlakuan manusiawi yang terinci. Perlakuan manusiawi yang merupakan jaminan
dasar itu dikelompokkan sebagai berikut.
a.
Bagi yang tak ikut serta ambil bagian
dalam permusuhan perlakuan manusiawi dasar itu diwujudkan dalam bentuk larangan
dilakukannya perbuatan-perbuatan berikut:
1)
Kekerasan atas kehidupan, kesehatan
fisik dan mental, khususnya pembunuhan dan perlakuan kejam seperti
penganiayaan, pengudungan, atau bentuk hukuman badan apapun
2)
Penghukuman kolektif
3)
Penyanderaan
4)
Monteror
5)
Pemerkosaan atas kehormatan, khususnya
perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat
6)
Perbudakan dan perdagangan budak dalam
segala bentukmya
7)
Penjarahan
8)
Ancaman akan dilakukannya perbuatan
tersebut diatas
b.
Bagi anak-anak
1)
Pemberian pendidikan
2)
Diambil langkah-langkah memfasilitasi
pengumpulan kembali keluarga yang terpisah sementara
3)
Yang belum berusia 15 tahun tak
diizinkan mengambil bagian dalam permusuhan
4)
Perlakuan ad 3) tetap dilakukan bila
ia mengambil bagiam dalampermusuhan dan tertangkap
5)
Bila perlu, memindahkan sementara
anak-anak dari tempat permusuhan
c.
Bagi yang dibatasi kemerdekaannya
1)
Diberi makan minum seperti penduduk
sipil local dan dijaga kesehatannya
2)
Berhak menerima bantuan
3)
Berhak melakukan ibadah agamanya
4)
Bila dipekerjakan berhak menikmati
kondisi dan keselamatan kerja seperti penduduk sipil setempat
1)
Tiada keputusan yang ditetapkan dan
tiada hukuman yang laksanakan pada seseorang yang terbukti bersalah atas
pelanggaran kecuali berdasarkan keputusan pengadilan yang terjamin kemandirian
dan ketidak berpihakannya
2)
Terhukum diberitahu tentang
penghukuman dan sarana hokum serta jangka waktu penggunaannya
3)
Hukuman mati tidak dijatuhkan kepada
orang dibawah 15 tahun pada saat pelanggaran dilakukan dan kepada wanita yang
sedang hamil atau yang mempunyai anak kecil
4)
Pada akhir permusuhan diberi amnesty
kepada mereka yang ikut serta dalam sengketa bersenjata dan yang ditahan karena
alasan yang berkait dengan sengketa
Sanksi
yang ada dalam pelanggaran hukum perang , dapat dijatuhi hukuman karena
perbuatan yang tidak dilakukan olehnya yaitu :
a.
Pembayaran Kompensasi, bahwa pihak
yang berperang melanggar Hauge Regulations harus membayar kompensasi; bahwa
pihak yang berperang bertanggung jawab
atas semua perbuatan yang dilakukan oleh anggota-anggota angkatan bersenjata.[9]
b.
Reprisal, merupakan tindakan yang
bertentangan dengan hukum dan tindakan tersebut dilakukan dengan maksud agar
pihak yang melanggar hukum perang menghentikan perbuatannya dan juga untuk
memaksa ia agr dikemudian hari mentaati hukum tersebut.[10]
Perlindungan
yang rinci diberikan dalam kelompok sebagai berikut:
a.
Bagi yang terluka dan sakit
1)
Dihormati dan dilindungi
2)
Pelayanan segera dan tanpa pembedaan
3)
Pencarian dan pengumpulan segera tanpa
ditunda-tunda setelah keadaan memungkinkan
b.
Bagi personil medic
1)
Dihormati dan dilindungi
2)
Tak dapat dipaksa mendahulukan orang
tertentu kecuali berdasarkan pertimbangan medic
3)
Perlindungan tugas medic
4)
Perlindungan unit dan transportasi
medic
5)
Penghormatan lambing khusus
c.
Bagi penduduk sipil
1)
Perlindungan penduduk terhadap bahaya
akibat operasi militer
2)
Tidak dijadikan sasaran serangan
3)
Dilindungi pihak lawan sengketa
kecuali dan sejauh mereka ikut serta dalam permusuhan langsung
4)
Perlindungan obyek yang diperlukan
bagi kelanjutan kehidupan penduduk sipil
5)
Perlindungan bangunan dan instalansi
yang mengandung kekuatan berbahaya
6)
Perlindungan obyek budaya dan tempat
ibadat
7)
Larangan pemindahan paksa penduduk
sipil
8)
Perkumpulan dan kegiatan pemberian
bantuan
Sarana
yang dipilih HHI untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dengan cara menetapkan
hubungan hokum antar pihak yang terkait dalam sengketa bersenjata
non-internasional ialah kesepakatan antar bangsa. Kesepakatan itu disusun dalam
serangkaian ketentuan yang dituangkan dalam bentuk satu Protokol Tambahan II
1977 pada Konvensi Jenewa 1949. Adapun yang dimaksud dengan hokum HAM adalah
hokum yang menjamin individu untuk dapat menikmati hak asasi dan kemerdekaannya
dan melindunginya dari kejahatan social.
Cara penyelesaian sengketa ada 2
macam yaitu :
Metode-Metode
Diplomatik, yaitu :
1.
Negosiasi
Negosiasi
adalah cara penyelasaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua
digunakan oleh umat manusia[11]
2.
Jasa-jasa baik
Jasa-jasa
baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak
ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya
dengan negosiasi.[12]
3.
Mediasi dan Konsiliasi
Mediasi
dan Konsiliasi adalah cara penyelesaian dimana para pihak beranggapan bantuan
aktif pihak ketiga sangat membantu dalam menyelesaikan sengketa secara damai.
Mediasi
adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Dia bisa negara,
organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum
atau ilmuwan).
Konsiliasi
adalah suat cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi
konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak.[13]
4.
Inquiry
Metode
ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara
mendirikan sebuah komisi atau badan yang bersifat internasional untuk mencari
dan mendengarkan semua bukti-bukti yang
relevan dengan permasalahan kemudian. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan
yang timbul badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan
penyelesaian.[14]
Upaya
PBB dalam menegakkan Hak Asasi Manusia merupakan suatu bentuk penghormatan akan
Hak Asasi Manusia. Piagam PBB telah disepakati / ditandatangani oleh 50 negara
di San Ftansisco tanggal 26 Juni 1945 merupakan hasil perjuangan yang cukup
panjang. Lewat pengalaman yang lalu, baik oleh para negarawan dunia. Orang
terus menerus melakukan pertemuan/perundingan untuk memperkecil
perbedaan-perbedaan yang ada, juga organisasi non pemerintah (swasta) misalnya
League of Nation (London) dan Commission to Study the Organization of Peace
ikut member kontribusi pemikiran dalam rangka penyusunan Piagam PBB tersebut.[15]
Undang-Undang
Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal
itu berarti bahwa, Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.[16]
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian diatas tampak bahwa:
1.
HHI yang mengatur sengketa bersenjata
non-internasional adalah:
a.
Pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949,
dan
b.
Protokol Tambahan II 1977 pada
Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang
2.
Pengaturan sengketa bersenjata dalam
Protokol Tambahan II 1977 tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 lebih meluas dan
lebih rinci bila dibandingkan dengan ketentuanpasal 3 kembar dalam Konvensi
Jenewa 1949
3.
Pengaturan HHI tentang sengketa
bersenjata non-internasional bertujuan untuk mewujudkan asas kemanusiaan dalam
melindungi korban sengketa bersenjata non-internasional. Perlindungan korban
sengketa bersenjata non-internasinal itu dilakukan dengan cara menetapkan
hubungan hokum antar pihak-pihak yang terkait dalam sengketa bersenjata
tersebut. Hubungan hokum yang ditetapkan itu dituangkan dalam bentuk
kesepakatan internasional
4.
Hubungan hokum antar pihak yang
terkait dalam sengketa bersenjata non-internasional itu dilakukan dengan
menetapkan hak dan kewajiban:
a.
Pihak yang bersengketa
b.
Korban sengketa, dan
c.
Pihak ketiga
5.
Bagi Indonesia HHI yang berlaku adalah
pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949 karena Indonesia telah menyatakan menerima
berlakunya Konvensi Jenewa 1949 itu dengan UU no.59 tahun 1958. Indonesia belum
meratifikasi Protokol Tambahan 1977 pada Konvensi Jenewa, karenanya Protokol
itu tidak berlaku bagi Indonesia.
1.
Green, L.C.1988, The Contemporary of
Law of Armed Conflict
2.
Kusumaatmadja, Mochtar -,1986,
Konvensi-konvensi Palang Merah 1949
3.
Pictet, Jean s. -, 1952, Commentary, I
Geneva Convention
4.
---, 1975, Humanitarian Law and The
Protection of War Victims
5.
Brigadir Jendral TNI (Purn), Prof GPH
Haryo Mataram, SH, Uraian Singkat Tentang “Armed Conflict” (Konflik
Bersenjata).
6.
Ambarwati dkk.2009, Hukum Humaniter
Internasional dalam Studi Hubungan Internasional
7.
Adolf, Huala,Hukum Ekonomi
Internasional
8.
Prof. H. A. Effendi, Masyhur,
S.H. M.S. Hak Asasi Manusia
9.
Prof. KGPH. Haryomataram, S.H.
Pengantar Hukum Humaniter
10.
Mengenai inquiry dilihat dalam
Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D. Pranoto Iskandar,
11.
Baharuddin Naim, Ahmad,
S.H.,M.H. Hukum Humaniter Internasional
Istanto, F Sugeng, Perlindungan Penduduk Sipil
[1] Ambarwati dkk, “Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan
Internasional” hal 27
[2] Ahmad Baharuddin Naim, S.H.,M.H.”Hukum Humaniter Internasional” hal
14
[3] F. Sugeng Istanto,”Perlindungan Penduduk Sipil” hal 2
[4] Ambarwati dkk, “Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan
Internasional” hal 61
[5] F. Sugeng Istanto,”Perlindungan Penduduk Sipil” hal 37
[6] Ibid hal 46
[7] F. Sugeng Istanto,”Perlindungan Penduduk Sipil” hal 98-99
[8] F. Sugeng Istanto,”Perlindungan Penduduk Sipil” hal 7-8
[9] Prof. KGPH. Haryomataram, S.H. “Pengantar Hukum Humaniter” . hal
100
[10] Ibid. hal 102
[11] Huala Adolf. “Hukum Ekonomi Internasional” hal 250
[12] Ibid hal 258
[13] Huala Adolf. “Hukum Ekonomi Internasional”. Hal 259-260
[14] Mengenai inquiry dilihat dalam Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D.
Pranoto Iskandar, S.H. hal 228
[15] Prof. H. A. Masyhur Effendi, S.H. M.S. “Hak Asasi Manusia”. Hal 59
[16] Ibid. hal 130