Berfikir secara Mendalam
Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berfikir
secara mendalam", seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak
tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari
keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap
"berfikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan dan
menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk
kalangan "filosof".
Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam
pendahuluan, Allah mewajibkan manusia untuk berfikir secara mendalam
atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia
untuk dipikirkan atau direnungkan: Ini adalah
sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha
secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman
berfikir.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk
berfikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat.
Kata kelalaian mengandung arti "ketidakpedulian (tetapi bukan
melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam
kecerobohan". Kelalaian manusia yang tidak berfikir adalah akibat
melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri
mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat
berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan
hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam
golongan orang-orang yang lalai:
Dan
sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al-A’raaf, 7:
205)
Dan berilah mereka peringatan tentang
hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka
dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman." (QS. Maryam, 19: 39)
Dalam
Al-Qur'an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berfikir secara sadar,
kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran yang
menjadikan mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah juga menyatakan
bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu mereka secara taklid
buta tanpa berfikir, ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan yang ada,
berada dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para pengekor yang tidak mau
berfikir tersebut akan menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang
menjalankan agama dan beriman kepada Allah. Tetapi karena tidak
berfikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan aktifitas hidup tanpa
disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan ini sebagaimana
digambarkan dalam Al-Qur'an:
Katakanlah:
"Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui?"
Mereka akan menjawab:
"Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?"
Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang
tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?"
Mereka
akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak
bertakwa?"
Katakanlah: "Siapakah yang di
tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi,
tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu
mengetahui?"
Mereka akan menjawab:
"Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan
manakah kamu ditipu (disihir)?"
Sebenarnya
Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka
benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS. Al-Mu’minuun, 23: 84-90)
Berfikir dapat membebaskan
seseorang Dari belenggu "sihir"
Dalam ayat di atas, Allah bertanya
kepada manusia, "…maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?. Kata
disihir atau tersihir di sini mempunyai makna kelumpuhan mental atau
akal yang menguasai manusia secara menyeluruh. Akal yang tidak digunakan
untuk berfikir berarti bahwa akal tersebut telah lumpuh, penglihatan
menjadi kabur, berperilaku sebagaimana seseorang yang tidak melihat
kenyataan di depan matanya, sarana yang dimiliki untuk membedakan yang
benar dari yang salah menjadi lemah. Ia tidak mampu memahami sebuah
kebenaran yang sederhana sekalipun. Ia tidak dapat membangkitkan
kesadarannya untuk memahami peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi
di sekitarnya. Ia tidak mampu melihat bagian-bagian rumit dari
peristiwa-peristiwa yang ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara
keseluruhan tenggelam dalam kehidupan yang melalaikan selama ribuan
tahun serta menjauhkan diri dari berfikir sehingga seolah-olah telah
menjadi sebuah tradisi adalah kelumpuhan akal ini.
Pengaruh sihir
yang bersifat kolektif tersebut dapat dikiaskan sebagaimana berikut:
Dibawah
permukaan bumi terdapat sebuah lapisan mendidih yang dinamakan magma,
padahal kerak bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan kerak bumi
dibandingkan keseluruhan bumi adalah sebagaimana tebal kulit apel
dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti bahwa magma yang membara
tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak kaki kita!
Setiap
orang mengetahui bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan yang
mendidih dengan suhu yang sangat panas, tetapi manusia tidak terlalu
memikirkannya. Hal ini dikarenakan para orang tua, sanak saudara,
kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran yang mereka baca,
produser acara-acara TV dan professor mereka di universitas tidak juga
memikirkannya.
Ijinkanlah kami mengajak anda berfikir sebentar
tentang masalah ini. Anggaplah seseorang yang telah kehilangan ingatan
berusaha untuk mengenal sekelilingnya dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada setiap orang di sekitarnya. Pertama-tama ia
menanyakan tempat dimana ia berada. Apakah kira-kira yang akan muncul
di benaknya apabila diberitahukan bahwa di bawah tempat dia berdiri
terdapat sebuah bola api mendidih yang dapat memancar dan berhamburan
dari permukaan bumi pada saat terjadi gempa yang hebat atau gunung
meletus? Mari kita berbicara lebih jauh dan anggaplah orang ini telah
diberitahu bahwa bumi tempat ia berada hanyalah sebuah planet kecil yang
mengapung dalam ruang yang sangat luas, gelap dan hampa yang disebut
ruang angkasa. Ruang angkasa ini memiliki potensi bahaya yang lebih
besar dibandingkan materi bumi tersebut, misalnya: meteor-meteor dengan
berat berton-ton yang bergerak dengan leluasa di dalamnya. Bukan tidak
mungkin meteor-meteor tersebut bergerak ke arah bumi dan kemudian
menabraknya.
Mustahil orang ini mampu untuk tidak berfikir
sedetikpun ketika berada di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap
saat mengancam jiwanya. Ia pun akan berfikir pula bagaimana mungkin
manusia dapat hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa
berada di ujung tanduk, sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu
sadar bahwa kondisi ini hanya terjadi karena adanya sebuah sistim yang
sempurna tanpa cacat sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal,
memiliki bahaya yang luar biasa besarnya, namun padanya terdapat sistim
keseimbangan yang sangat akurat yang mampu mencegah bahaya tersebut agar
tidak menimpa manusia. Seseorang yang menyadari hal ini, memahami bahwa
bumi dan segala makhluk di atasnya dapat melangsungkan kehidupan dengan
selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan oleh adanya
keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat yang diciptakan-Nya.
Contoh
di atas hanyalah satu diantara jutaan, atau bahkan trilyunan
contoh-contoh yang hendaknya direnungkan oleh manusia. Di bawah ini satu
lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami bagaimana
"kondisi lalai" dapat mempengaruhi sarana berfikir manusia dan
melumpuhkan kemampuan akalnya.
Manusia mengetahui bahwa kehidupan
di dunia berlalu dan berakhir sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka
bertingkah laku seolah-olah mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia.
Mereka melakukan pekerjaan seakan-akan di dunia tidak ada kematian.
Sungguh, ini adalah sebuah bentuk sihir atau mantra yang terwariskan
secara turun-temurun. Keadaan ini berpengaruh sedemikian besarnya
sehingga ketika ada yang berbicara tentang kematian, orang-orang dengan
segera menghentikan topik tersebut karena takut kehilangan sihir yang
selama ini membelenggu mereka dan tidak berani menghadapi kenyataan
tersebut. Orang yang mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah
yang bagus, penginapan musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan
anak-anak mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berfikir bahwa pada
suatu hari mereka akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah,
ataupun anak-anak beserta mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu
untuk kehidupan yang hakiki setelah mati, mereka memilih untuk tidak
berfikir tentang kematian.
Namun, cepat atau lambat setiap manusia
pasti akan menemui ajalnya. Setelah itu, percaya atau tidak, setiap
orang akan memulai sebuah kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang
abadi tersebut berlangsung di surga atau di neraka, tergantung dari
amal perbuatan selama hidupnya yang singkat di dunia. Karena hal ini
adalah sebuah kebenaran yang pasti akan terjadi, maka satu-satunya
alasan mengapa manusia bertingkah laku seolah-olah mati itu tidak ada
adalah sihir yang telah menutup atau membelenggu mereka akibat tidak
berfikir dan merenung.
Orang-orang yang tidak dapat membebaskan
diri mereka dari sihir dengan cara berfikir, yang mengakibatkan mereka
berada dalam kelalaian, akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka
sendiri setelah mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada
kita dalam Al-Qur'an :
Sesungguhnya kamu
berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan
daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari
itu amat tajam." (QS. Qaaf, 50: 22)
Dalam ayat di atas penglihatan
seseorang menjadi kabur akibat tidak mau berfikir, akan tetapi
penglihatannya menjadi tajam setelah ia dibangkitkan dari alam kubur dan
ketika mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di akhirat.
Perlu
digaris bawahi bahwa manusia mungkin saja membiarkan dirinya secara
sengaja untuk dibelenggu oleh sihir tersebut. Mereka beranggapan bahwa
dengan melakukan hal ini mereka akan hidup dengan tentram. Syukurlah
bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk merubah kondisi yang
demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental atau akalnya, sehingga ia
dapat hidup dalam kesadaran untuk mengetahui kenyataan. Allah telah
memberikan jalan keluar kepada manusia; manusia yang merenung dan
berfikir akan mampu melepaskan diri dari belenggu sihir pada saat mereka
masih di dunia. Selanjutnya, ia akan memahami tujuan dan makna yang
hakiki dari segala peristiwa yang ada. Ia pun akan mampu memahami
kebijaksanaan dari apapun yang Allah ciptakan setiap saat.
Seseorang dapat berfikir kapanpun dan di manapun
Kerumunan manusia ini mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan Allah yang agung. Sejak dunia ini ada, Allah telah menciptakan milyaran wajah manusia yang berbeda satu sama lain. |
Berfikir tidaklah
memerlukan waktu, tempat ataupun kondisi khusus. Seseorang dapat
berfikir sambil berjalan di jalan raya, ketika pergi ke kantor,
mengemudi mobil, bekerja di depan komputer, menghadiri pertemuan dengan
rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika sedang makan siang.
Misalnya:
di saat sedang mengemudi mobil, seseorang melihat ratusan orang berada
di luar. Ketika menyaksikan mereka, ia terdorong untuk berpikir tentang
berbagai macam hal. Dalam benaknya tergambar penampilan fisik dari
ratusan orang yang sedang disaksikannya yang sama sekali berbeda satu
sama lain. Tak satupun diantara mereka yang mirip dengan yang lain.
Sungguh menakjubkan: kendatipun orang-orang ini memiliki anggota tubuh
yang sama, misalnya sama-sama mempunyai mata, alis, bulu mata, tangan,
lengan, kaki, mulut dan hidung; tetapi mereka terlihat sangat berbeda
satu sama lain. Ketika berfikir sedikit mendalam, ia akan teringat
bahwa:
Allah telah menciptakan bilyunan manusia selama ribuan
tahun, semuanya berbeda satu dengan yang lain. Ini adalah bukti nyata
tentang ke Maha Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.
Menyaksikan
manusia yang sedang lalu lalang dan bergegas menuju tempat tujuan mereka
masing-masing, dapat memunculkan beragam pikiran di benak seseorang.
Ketika pertama kali memandang, muncul di pikirannya: manusia yang
jumlahnya banyak ini terdiri atas individu-individu yang khas dan unik.
Tiap individu memiliki dunia, keinginan, rencana, cara hidup, hal-hal
yang membuatnya bahagia atau sedih, serta perasaannya sendiri. Secara
umum, setiap manusia dilahirkan, tumbuh besar dan dewasa, mendapatkan
pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja, menikah, mempunyai anak,
menyekolahkan dan menikahkan anak-anaknya, menjadi tua, menjadi nenek
atau kakek dan pada akhirnya meninggal dunia. Dilihat dari sudut pandang
ini, ternyata perjalanan hidup semua manusia tidaklah jauh berbeda;
tidak terlalu penting apakah ia hidup di perkampungan di kota Istanbul
atau di kota besar seperti Mexico, tidak ada bedanya sedikitpun. Semua
orang suatu saat pasti akan mati, seratus tahun lagi mungkin tak satupun
dari orang-orang tersebut yang akan masih hidup. Menyadari kenyataan
ini, seseorang akan berfikir dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika
kita semua suatu hari akan mati, lalu apakah gerangan yang menyebabkan
manusia bertingkah laku seakan-akan mereka tak akan pernah meninggalkan
dunia ini? Seseorang yang akan mati sudah sepatutnya beramal secara
sungguh-sungguh untuk kehidupannya setelah mati; tetapi mengapa hampir
semua manusia berkelakuan seolah-olah hidup mereka di dunia tak akan
pernah berakhir?"
Orang yang memikirkan hal-hal semacam ini lah
yang dinamakan orang yang berfikir dan mencapai kesimpulan yang sangat
bermakna dari apa yang ia pikirkan.
Sebagian besar manusia tidak
berfikir tentang masalah kematian dan apa yang terjadi setelahnya.
Ketika mendadak ditanya,"Apakah yang sedang anda pikirkan saat ini?",
maka akan terlihat bahwa mereka sedang memikirkan segala sesuatu yang
sebenarnya tidak perlu untuk dipikirkan, sehingga tidak akan banyak
manfaatnya bagi mereka. Namun, seseorang bisa juga "berpikir" hal-hal
yang "bermakna", "penuh hikmah" dan "penting" setiap saat semenjak
bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur, dan mengambil pelajaran
ataupun kesimpulan dari apa yang dipikirkannya.
Dalam Al-Qur'an,
Allah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman memikirkan dan
merenungkan secara mendalam segala kejadian yang ada dan mengambil
pelajaran yang berguna dari apa yang mereka pikirkan.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Aali ‘Imraan, 3: 190-191).
Ayat
di atas menyatakan bahwa oleh karena orang-orang yang beriman adalah
mereka yang berfikir, maka mereka mampu melihat hal-hal yang menakjubkan
dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu serta Kebijaksanaan
Allah.
Berpikir dengan ikhlas
sambil menghadapkan diri kepada Allah
Agar sebuah perenungan
menghasilkan manfaat dan seterusnya menghantarkan kepada sebuah
kesimpulan yang benar, maka seseorang harus berfikir positif. Misalnya:
seseorang melihat orang lain dengan penampilan fisik yang lebih baik
dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya rendah karena kekurangan yang ada
pada fisiknya dibandingkan dengan orang tersebut yang tampak lebih
rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang tersebut. Ini adalah pikiran
yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah yang dicari, maka
seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk rupa orang yang ia lihat
sebagai wujud dari ciptaan Allah yang sempurna. Dengan melihat orang
yang rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah ciptakan akan
memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah agar menambah keindahan
orang tersebut di akhirat. Sedang untuk dirinya sendiri, ia juga meminta
kepada Allah agar dikaruniai keindahan yang hakiki dan abadi di akhirat
kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh seorang hamba yang sedang
diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah dalam ujian tersebut ia
menunjukkan perilaku serta pola pikir yang baik yang diridhai Allah atau
sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh ujian tersebut, yakni
dalam melakukan perenungan ataupun proses berfikir yang mendatangkan
kebahagiaan di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam mengambil
pelajaran atau peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu,
sangatlah ditekankan disini bahwa seseorang hendaknya selalu berfikir
secara ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah. Allah berfirman
dalam Al-Qur'an :
Dia lah yang
memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan
untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali
orang-orang yang kembali (kepada Allah)." (QS. Ghaafir, 40: 13).
Tentang Apakah Manusia Biasanya
Berfikir?
Dalam bab terdahulu telah disebutkan bahwa
kebanyakan manusia tidak berpikir sebagaimana seharusnya mereka berpikir
dan tidak mengembangkan sarana dan potensi berpikir mereka. Namun ada
satu hal lagi yang penting untuk dijelaskan di sini. Tidak dapat
dipungkiri bahwa hal-hal tertentu selalu terlintas dalam benak manusia
setiap saat sepanjang hidupnya. Hampir tidak ada masa, kecuali ketika
tidur, dimana pikiran manusia benar-benar kosong. Sayangnya, sebagian
besar dari pikiran-pikiran ini tidak berguna, "sia-sia" dan "tidak
perlu", sehingga tidak akan bermanfaat di akherat kelak, tidak menuntun
ke arah yang benar dan tidak mendatangkan kebaikan kepadanya.
Andaikata
seseorang berusaha untuk mengingat apa-apa yang telah dipikirkannya
pada suatu hari, lalu mencatat dan memeriksanya dengan seksama di
penghujung hari tersebut, ia akan melihat betapa sia-sianya kebanyakan
dari apa yang telah ia pikirkan. Andaikata ia menemukan sebagian dari
padanya bermanfaat, maka boleh jadi ia tertipu. Sebab secara
keseluruhan, pikiran-pikiran yang menurutnya benar adakalanya ternyata
tidak akan mendatangkan keuntungan sedikitpun di akhirat.
Seperti
halnya membuang waktu dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia dalam
kehidupan sehari-hari, manusia adakalanya pula menghabiskan waktunya
secara sia-sia dengan terbawa oleh pikiran-pikiran yang tidak
bermanfaat. Dalam ayat: "Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman…yaitu…(dan) orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna" (QS. Al-Mukminun, 23
:1&3) Allah mengajak manusia agar bersungguh-sungguh dalam
masalah ini. Sudah pasti bahwa perintah Allah di ayat tersebut juga
berlaku dalam hal berpikir. Sebab pikiran-pikiran yang tidak terkendali
akan terus-menerus mengalir dalam benak seseorang. Seseorang dengan
sadar mengalihkan pikirannya dari satu hal ke hal lain. Ketika sedang
dalam perjalanan pulang ke rumah, seseorang memikirkan rencana untuk
berbelanja. Mendadak kemudian ia berpikir tentang hal lain, yakni
apa-apa yang pernah dikatakan temannya satu atau dua tahun yang lalu.
Pikiran yang tidak terkontrol dan tidak berguna ini dapat berlangsung
terus-menerus sepanjang hari. Padahal, yang kuasa mengontrol
pikiran-pikiran tersebut adalah dirinya sendiri. Setiap orang memiliki
kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang dapat memperbaiki keadaan
dirinya; meningkatkan keimanan, kemampuan berpikir, perilaku; serta
memperbaiki keadaan sekelilingnya.
Dalam bab ini akan diuraikan
beberapa hal yang pada umumnya cenderung dipikirkan oleh mereka yang
berada dalam kelalaian. Alasan mengapa masalah tersebut dijelaskan
secara panjang lebar adalah agar orang-orang yang lalai, dan yang
membaca buku ini, segera menyadari bahwa ketika di kemudian hari
peristiwa yang sebagaimana disebutkan di buku ini terlintas dalam benak
mereka ketika dalam perjalanan ke tempat kerja atau ke sekolah; atau
ketika sedang melakukan pekerjaan yang rutin, mereka tidak lagi berpikir
tentang hal-hal yang sia-sia. Sebaliknya mereka akan mampu
mengendalikan pikiran-pikiran mereka dan berpikir segala sesuatu yang
benar-benar berguna bagi diri mereka.
Khayalan
yang tidak bermanfaat.
Ketidakmampuan dalam mengendalikan pikiran
ke arah yang baik akan mengakibatkan seseorang seringkali merasa
khawatir atau mengalami peristiwa-peristiwa yang sebenarnya belum
terjadi seolah-olah telah terjadi dalam benaknya, dan terseret dalam
kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan.
Misalnya, orang tua yang
mempunyai anak yang tengah belajar untuk menghadapi ujian kadangkala
membuat sebuah skenario sebelum ujian tersebut berlangsung dalam
benaknya: "Apa yang akan terjadi jika anaknya tidak lulus ujian? Jika
anak laki-lakinya tidak memperoleh pekerjaan yang layak di masa depan,
mendapatkan penghasilan yang cukup, maka ia tidak dapat menikah.
Kalaulah ia menikah, bagaimana ia dapat membiayai pernikahannya? Jika ia
tidak lulus ujian, semua uang yang dikeluarkan untuk persiapan ujian
tersebut akan terbuang percuma. Tambahan lagi, ia akan terhina di mata
orang-orang. Apalagi jika anak laki-laki teman dekatnya ternyata lulus
sedang anaknya sendiri gagal…"
Khayalan-khayalan tersebut terus
berkembang, padahal anaknya belum melaksanakan ujian. Seseorang yang
jauh dari agama akan mudah terbawa oleh khayalan sia-sia yang serupa
sepanjang hidupnya. Hal ini tentu ada sebabnya. Al-Qur'an menyebutkan
bahwa yang menyebabkan manusia terbelenggu oleh khayalan atau
angan-angan kosong adalah dikarenakan mereka membiarkan telinga mereka
dibisiki oleh syaitan:
"Dan aku (syaitan)
benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan
kosong pada mereka ..." (QS. An-Nisaa’, 4: 119)
Sebagaimana
termaktub dalam ayat di atas, mereka yang terbawa oleh khayalan kosong,
akan melupakan Allah, tidak berpikir, dan senantiasa menerima
bisikan-bisikan syaitan. Dengan kata lain, jika seseorang yang tertipu
oleh kehidupan dunia tidak menggunakan kekuatan tekad mereka, tidak
bertindak secara sadar dan berusaha meninggalkan kondisi yang demikian,
ia akan berada dalam kendali syaitan secara penuh. Satu diantara
pekerjaan syaitan yang patut diketahui adalah senantiasa menimbulkan
keragu-raguan dan khayalan-khayalan kosong dalam diri manusia. Oleh
karena itu, segala khayalan, perasaan putus asa dan kekhawatiran
seperti: "apa yang akan saya perbuat jika akan terjadi yang demikian"
terbentuk dalam benak seseorang akibat bisikan-bisikan syaitan.
Allah
telah memberikan jalan keluar dari keadaan yang buruk ini. Dalam
Al-Qur'an, ketika niatan-niatan jahat syaitan melingkupi manusia, mereka
dianjurkan untuk minta perlindungan kepada Allah dan mengingat-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila
mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka
ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan teman-teman
mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam
menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan)" (QS.
Al-A’raaf, 7: 201-202)
Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut,
mereka yang berpikir akan dapat mengetahui mana yang benar, sebaliknya
mereka yang tidak berpikir akan menuju ke arah mana saja syaitan
menyeret mereka.
Yang terpenting adalah mengetahui bahwa
khayalan-khayalan semacam ini tidak akan mendatangkan manfaat kepada
manusia. Bahkan sebaliknya, menghambat mereka dari memikirkan tentang
kebenaran, hal-hal yang penting; dan mencegah kebersihan akal dari
segala hal yang sia-sia. Manusia mampu berpikir secara benar jika
akalnya telah bebas dari pikiran yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
Dengan demikian, mereka "menghindarkan diri dari apapun yang tidak
bermanfaat" sebagaiman Allah perintahkan dalam Al-Qur'an.
Faktor-faktor Apakah yang Menyebabkan Manusia Tidak
Mau Berpikir?
Ada banyak sebab yang menghalangi manusia untuk
berpikir. Satu, atau beberapa, atau semua sebab ini dapat mencegah
seseorang untuk berpikir dan memahami kebenaran. Oleh karena itu, perlu
kiranya setiap orang mencari faktor-faktor yang menyebabkan mereka
berada dalam kondisi yang kurang baik tersebut, dan berusaha melepaskan
diri darinya. Jika tidak dilakukan, ia tidak akan mampu mengetahui
realitas yang sebenarnya dari kehidupan dunia yang pada akhirnya
menghantarkannya kepada kerugian besar di akhirat.
Dalam Al-Qur'an
Allah memberitakan keadaan orang-orang yang terbiasa berpikir dangkal:
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?
Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan.
Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan
pertemuan dengan Tuhannya". (QS. Ar-Ruum, 30: 7-8)
Kelumpuhan mental akibat
mengikuti kebanyakan orang
Satu sebab yang membuat kebanyakan
orang tersesat adalah keyakinannya bahwa apa yang dilakukan "sebagian
besar" manusia adalah benar. Manusia biasanya lebih cenderung menerima
apa yang diajarkan oleh orang-orang disekitarnya, daripada berpikir
untuk mencari sendiri kebenaran dari apa yang diajarkan tersebut. Ia
melihat bahwa hal-hal yang pada mulanya kelihatannya janggal seringkali
dianggap biasa oleh kebanyakan orang, atau bahkan tidak terlalu
dipedulikan. Maka setelah beberapa lama, ia kemudian menjadi terbiasa
juga dengan hal-hal tersebut.
Sebagai contoh: sebagian besar dari
teman-teman di sekitarnya tidak berpikir bahwa suatu hari mereka akan
mati. Mereka bahkan tidak membiarkan satu orang pun berbicara mengenai
masalah ini untuk mengingatkan tentang kematian. Seseorang yang berada
dalam lingkungan yang demikian akan berkata,"Karena semua orang seperti
itu, maka tidak ada salahnya jika saya berperilaku sama seperti mereka."
Lalu orang tersebut menjalani hidupnya tanpa mengingat kematian sama
sekali. Sebaliknya, jika orang-orang di sekitarnya bertingkah laku
sebagai orang yang takut kepada Allah dan beramal secara sungguh-sungguh
untuk hari akhir, sangat mungkin orang ini akan juga berubah sikap.
Sebagai
contoh tambahan: ratusan berita tentang bencana alam, ketidakadilan,
ketidakjujuran, kedzaliman, bunuh diri, pembunuhan, pencurian,
penggelapan uang diberitakan di TV dan majalah-majalah. Ribuan orang
yang membutuhkan bantuan disebutkan setiap hari. Tetapi banyak dari
mereka yang membaca berita-berita tersebut, membolak-balik halaman surat
kabar atau menekan tombol TV dengan tenangnya. Pada umumnya, manusia
tidak memikirkan mengapa berita-berita semacam ini demikian banyak; apa
yang harus dilakukan dan persiapan-persiapan apa yang harus dilakukan
untuk mencegah terjadinya peristiwa yang sedemikian mengenaskan; serta
apa yang dapat mereka lakukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Kebanyakan manusia menuding orang atau pihak lain bertanggung jawab atas
kejadian-kejadian tersebut. Dengan seenaknya mereka melontarkan
kata-kata seperti "apakah menjadi tanggung jawab saya untuk
menyelamatkan dunia ini?"
Kemalasan
mental
Kemalasan adalah sebuah faktor yang menghalangi kebanyakan
manusia dari berpikir.
Akibat kemalasan mental, manusia melakukan
segala sesuatu sebagaimana yang pernah mereka saksikan dan terbiasa
mereka lakukan. Untuk memberikan sebuah contoh dari kehidupan
sehari-hari: cara yang digunakan para ibu rumah tangga dalam
membersihkan rumah adalah sebagaimana yang telah mereka lihat dari
ibu-ibu mereka dahulu. Pada umumnya tidak ada yang berpikir, "Bagaimana
membersihkan rumah dengan cara yang lebih praktis dan hasil yang lebih
bersih" dengan kata lain, berusaha menemukan cara baru. Demikian juga,
ketika ada yang perlu diperbaiki, manusia biasanya menggunakan cara yang
telah diajarkan ketika mereka masih kanak-kanak. Umumnya mereka enggan
berusaha menemukan cara baru yang mungkin lebih praktis dan berdaya
guna. Cara berbicara orang-orang ini juga sama. Cara bagaimana seorang
akuntan berbicara, misalnya, sama seperti akuntan-akuntan yang lain yang
pernah ia lihat selama hidupnya. Para dokter, banker, penjual…..dan
orang-orang dari latar belakang apapun mempunyai cara bicara yang khas.
Mereka tidak berusaha mencari yang paling tepat, paling baik dan paling
menguntungkan dengan berpikir. Mereka sekedar meniru dari apa yang telah
mereka lihat.
Cara pemecahan masalah yang dipakai juga
menunjukkan kemalasan dalam berpikir. Sebagai contoh: dalam menangani
masalah sampah, seorang manajer sebuah gedung menerapkan metode yang
sama sebagaimana yang telah dipakai oleh manajer sebelumnya. Atau
seorang walikota berusaha mencari jalan keluar tentang masalah jalan
raya dengan meniru cara yang digunakan oleh walikota-walikota
sebelumnya. Dalam banyak hal, ia tidak dapat mencari pemecahan yang baru
dikarenakan tidak mau berpikir.
Sudah pasti, contoh-contoh di
atas dapat berakibat fatal bagi kehidupan manusia jika tidak ditangani
secara benar. Padahal masih banyak masalah yang lebih penting dari itu
semua. Bahkan jika tidak dipikirkan, akan mendatangkan kerugian yang
besar dan kekal bagi manusia. Penyebab kerugian tersebut adalah
kegagalan seseorang dalam berpikir tentang tujuan keberadaannya di
dunia; ketidakpedulian akan kematian sebagai suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari; dan kepastian akan hari penghisaban setelah mati. Dalam
Al-Qur'an, Allah mengajak manusia untuk merenungkan fakta yang sangat
penting ini:
"Mereka itulah orang-orang yang
merugikan dirinya sendiri, dan lenyaplah dari mereka apa yang selalu
mereka ada-adakan. Pasti mereka itu di akhirat menjadi orang-orang yang
paling merugi. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu
adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Perbandingan
kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti
orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar.
Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu
mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?" (QS. Huud, 11: 21-24)
"Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama
dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ? Maka mengapa kamu tidak
mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl, 16: 17)
Anggapan bahwa berpikir secara mendalam
tidaklah baik
Ada sebuah kepercayaan yang kuat dalam masyarakat
bahwa berpikir secara mendalam tidaklah baik. Mereka saling mengingatkan
satu sama lain dengan mengatakan "jangan terlalu banyak berpikir, anda
akan kehilangan akal". Sungguh ini tidak lain hanyalah omong kosong yang
didengung-dengungkan oleh mereka yang jauh dari agama. Yang seharusnya
dihindari bukanlah tidak berpikir, akan tetapi memikirkan keburukan;
atau terjerumus dalam keragu-raguan, khayalan-khayalan atau angan-angan
kosong.
Mereka yang tidak memiliki keimanan yang kuat kepada Allah
dan hari akhir, tidak berpikir mengenai hal-hal yang baik dan
bermanfaat, akan tetapi hal-hal yang negatif. Sehingga hasil yang tidak
bermanfaatlah yang pada akhirnya muncul dari perenungan mereka. Mereka
berpikir, misalnya, bahwa hidup di dunia adalah sementara, dan bahwa
mereka suatu hari akan mati, akan tetapi hal ini menjadikan mereka putus
harapan. Sebab secara sadar mereka tahu bahwa menjalani kehidupan tanpa
mengikuti perintah Allah hanya akan menyengsarakan mereka di akhirat.
Sebagian dari mereka bersikap pesimistik karena berkeyakinan bahwa
mereka akan lenyap sama sekali setelah mati.
Orang yang bijak,
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian memiliki pola pikir yang
sama sekali berbeda ketika mengetahui bahwa hidup di dunia hanyalah
sementara. Pertama-tama, kesadarannya akan kehidupan dunia yang
sementara mendorongnya untuk memulai sebuah perjuangan atau kerja keras
yang sungguh-sungguh untuk kehidupannya yang hakiki dan abadi di
akhirat. Karena tahu bahwa hidup ini cepat atau lambat akan berakhir, ia
tidak terlenakan oleh ambisi syahwat dan kepentingan dunia. Ia terlihat
sangat tenang. Tak satupun peristiwa yang menimpanya dalam kehidupan
yang sementara ini membuatnya marah. Dengan ceria ia selalu berpikir
tentang harapan untuk meraih kehidupan yang abadi dan menyenangkan di
akhirat. Ia juga sangat menikmati keberkahan dan keindahan dunia. Allah
telah menciptakan kehidupan dunia dengan tidak sempurna dan penuh
kekurangan sebagai ujian bagi manusia. Ia berpikir bahwa jika dalam
kehidupan di dunia yang tidak sempurna dan cacat ini terdapat demikian
banyak kenikmatan untuk manusia, maka sudah pasti kehidupan surga amat
tak terbayangkan lagi keindahannya. Ia mendambakan untuk melihat
keindahan yang hakiki di akhirat. Dan ia memahami semua hal tersebut
setelah berpikir secara mendalam.
Berlepas diri dari tanggung jawab melaksanakan apa yang
diperoleh dari berpikir
Kebanyakan manusia beranggapan bahwa
mereka dapat mengelak dari berbagai macam tanggung jawab dengan
menghindarkan diri dari berpikir, dan mengalihkan akalnya untuk
memikirkan hal-hal yang lain. Dengan melakukan yang demikian di dunia,
mereka berhasil melepaskan diri mereka sendiri dari beragam masalah.
Satu diantara banyak hal yang sangat menipu manusia adalah anggapan
bahwa mereka akan dapat membebaskan diri dari kewajiban mereka kepada
Allah dengan cara tidak berpikir. Inilah sebab utama yang membuat mereka
tidak berpikir tentang kematian dan kehidupan setelahnya. Jika
seseorang berpikir bahwa ia suatu hari akan mati dan selalu ingat bahwa
ada kehidupan abadi setelah mati, maka ia wajib bekerja keras untuk
kehidupannya setelah mati. Tetapi ia telah menipu dirinya sendiri ketika
berkeyakinan bahwa kewajiban tersebut akan lepas dengan sendirinya
ketika ia tidak berpikir tentang keberadaan akhirat. Ini adalah
kekeliruan yang sangat besar, dan jika seseorang tidak mendapatkan
kebenaran di dunia dengan berpikir, maka setelah kematiannya ia baru
akan menyadari bahwa tidak ada jalan keluar baginya untuk meloloskan
diri.
"Dan datanglah sakaratul maut dengan
sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. Dan
ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman." (QS. Qaaf, 50:
19-20)
Tidak
berpikir akibat terlenakan oleh kehidupan sehari-hari
Kebanyakan
manusia menghabiskan keseluruhan hidup mereka dalam "ketergesa-gesaan".
Ketika mencapai umur tertentu, mereka harus bekerja dan menanggung hidup
diri mereka dan keluarga mereka. Mereka menganggap hal ini sebagai
sebuah "perjuangan hidup". Dan, karena harus bekerja keras, jungkir
balik dalam pekerjaan, mereka mengatakan tidak mempunyai waktu lagi
untuk hal-hal yang lain, termasuk berpikir. Akhirnya mereka pun terbawa
larut oleh arus ke arah mana saja kehidupan mereka ini membawa mereka.
Dengan demikian, mereka menjadi tidak peka lagi dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar.
Namun, tidak
sepatutnya manusia memiliki tujuan hidup hanya sekedar menghabiskan
waktu; bergegas pergi dari satu tempat ke tempat yang lain. Yang
terpenting di sini adalah kemampuan melihat kenyataan sesungguhnya dari
kehidupan dunia ini untuk kemudian menempuh jalan hidup yang sebenarnya.
Tidak ada satu orang pun yang mempunyai tujuan akhir mendapatkan uang,
bekerja, belajar di universitas atau membeli rumah. Sudah barang tentu
manusia perlu melakukan ini semua dalam hidupnya, namun yang mesti
senantiasa ada dalam benaknya ketika melakukan segala hal tersebut yaitu
kesadaran akan keberadaan manusia di dunia sebagai hamba Allah, untuk
bekerja demi mencari ridha, kasih sayang dan surga Allah. Segala
perbuatan dan pekerjaan selain untuk tujuan tersebut hanyalah berfungsi
sebagai "sarana" untuk membantu manusia dalam meraih tujuan yang
sebenarnya. Menempatkan sarana sebagai tujuan utama adalah sebuah
kekeliruan yang amat besar yang didengung-dengungkan syaitan kepada
manusia.
Seseorang yang hidup tanpa berpikir akan mudah sekali
menjadikan sarana tersebut sebagai tujuan. Kita dapat menyebutkan
contoh-contoh lain yang serupa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya:
tidak dapat diragukan bahwa bekerja dan menghasilkan berbagai hal yang
bermanfaat untuk masyarakat adalah perbuatan baik. Seseorang yang
beriman kepada Allah akan melakukan pekerjaan tersebut dengan
bersemangat sambil mengharapkan balasan Allah di dunia dan di akhirat.
Sebaliknya jika seseorang melakukan hal yang sama tanpa mengingat Allah
dan hanya mengharapkan imbalan dunia, seperti mendapatkan jabatan tinggi
agar dihormati oleh masyarakat, maka ia telah melakukan kekeliruan. Ia
telah melakukan sesuatu yang sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana
untuk mencapai tujuannya, yakni mencari ridha Allah. Ketika menemukan
realitas yang sebenarnya di akhirat, ia merasa sangat menyesal karena
telah melakukan hal yang demikian. Dalam sebuah ayat, Allah merujuk ke
mereka yang terpedaya oleh kehidupan dunia sebagaimana berikut:
"(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan
musyrikin) adalah seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih
kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu.
Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati
bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya,
dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka
mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di
akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS. At-Taubah, 9:
69).
Melihat segala
sesuatu dengan "penglihatan yang biasa", sekedar melihat tanpa
perenungan
Ketika melihat beberapa hal yang baru untuk pertama
kalinya, manusia mungkin menemukan berbagai hal yang luar biasa yang
mendorong mereka berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh apa yang
sedang mereka lihat tersebut. Namun setelah sekian lama, mereka mulai
terbiasa dengan hal-hal ini dan tidak lagi merasa takjub. Terutama
sebuah benda ataupun kejadian yang mereka temui setiap hari sudah
menjadi sesuatu yang "biasa" saja bagi mereka.
Sebagai contoh,
beberapa orang calon dokter merasakan adanya pengaruh terhadap dirinya
ketika pertama kali melihat jenazah. Saat pertama kali satu di antara
para pasien mereka meninggal dapat membuat mereka termenung lama.
Padahal beberapa menit yang lalu jasad tak bernyawa ini masih hidup,
tertawa, memikirkan rencana-rencana, berbicara, menikmati hidup dengan
wajah yang ceria. Orang yang tadinya hidup serta melihat dengan mata
yang ceria, berbicara tentang rencana masa depan, menikmati sarapan di
pagi hari mendadak terbaring tanpa ruh. Ketika pertama kali mayat
tersebut diletakkan di depan para dokter tersebut untuk diautopsi,
mereka berpikir segala hal yang mereka lihat padanya. Tubuhnya membusuk
demikian cepat, bau yang menusuk hidung pun tercium, rambut yang tadinya
terlihat indah menjadi demikian kusut hingga tak seorang pun sudi
menyentuhnya. Kesemua ini termasuk apa yang ada di benak mereka. Lalu
mereka pun berpikir: bahan pembentuk semua manusia adalah sama dan jasad
mereka akan mengalami akhir yang serupa, yakni mereka pun akan menjadi
seperti mayat yang mereka saksikan.
Namun, setelah berulang-ulang
melihat beberapa mayat dan mendapati beberapa pasiennya meninggal dunia,
orang-orang ini pada akhirnya menjadi terbiasa. Mereka lalu
memperlakukan mayat-mayat, atau bahkan para pasien mereka sebagaimana
barang atau benda.
Sungguh, ini tidak berlaku terhadap dokter
saja. Terhadap kebanyakan manusia, hal yang sama dapat terjadi dalam
kehidupan mereka. Sebagai contoh, ketika seseorang yang biasa hidup
dalam kesusahan dikaruniai kehidupan yang serba berkecukupan, ia akan
sadar bahwa semua yang ia miliki adalah sebuah kenikmatan untuknya.
Tempat tidurnya menjadi lebih nyaman, tempat tinggalnya menghadap ke
arah pemandangan yang indah, ia dapat membeli apapun yang diinginkannya,
menghangatkan rumahnya di musim dingin sekehendaknya, dengan mudahnya
pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dengan kendaraan, dan banyak
hal lain yang kesemuanya adalah kenikmatan baginya. Ketika membandingkan
dengan keadaan yang sebelumnya, ia akan merasa bersyukur dan bahagia.
Akan tetapi, bagi orang yang telah memiliki kesemua ini sejak lahir
mungkin tak pernah terlalu memikirkan tentang nilai dari semua
kenikmatan tersebut. Jadi, penilaian terhadap segala kenikmatan ini
tidak mungkin dilakukannya tanpa ia mau berpikir secara mendalam.
Lain
halnya bagi seseorang yang mau merenung, tidaklah menjadi persoalan
apakah ia mendapatkan segala kenikmatan tersebut sejak lahir atau di
kemudian hari. Sebab ia tidak pernah melihat apa yang dimilikinya
sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Ia paham bahwa segala yang ia
punyai adalah ciptaan Allah. Sekehendak-Nya, Allah berkuasa mengambil
semua kenikmatan yang ada darinya. Sebagai contoh, orang-orang mukmin
ketika menaiki hewan tunggangan, yakni kendaraan, mereka akan berdoa:
"Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian
kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan
supaya kamu mengatakan:"Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini
bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan
sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami." (QS. Az-Zukhruf, 43:
13-14)
Di ayat lain, dikisahkan bahwa ketika orang-orang yang
beriman memasuki kebun-kebun atau taman-taman mereka, mereka mengingat
Allah seraya berkata, "Atas kehendak Allah semua
ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah" (QS.
Al-Kahfi, 18: 39). Ini adalah sebuah isyarat bahwa setiap saat
ketika memasuki taman-taman mereka, muncul dalam benak mereka: Allah lah
yang menciptakan dan memelihara taman ini. Sebaliknya, seseorang yang
tidak berpikir mungkin takjub ketika pertama kali melihat sebuah taman
yang indah, tetapi kemudian taman tersebut menjadi sebuah tempat yang
biasa-biasa saja baginya. Kekagumannya atas keindahan tersebut telah
sirna. Sebagian orang sama sekali tidak menyadari nikmat tersebut
dikarenakan tidak berpikir. Mereka menganggap segala kenikmatan yang ada
sebagai hal yang "biasa" atau "lumrah" dan sebagai "sesuatu yang memang
seharusnya sudah demikian". Inilah yang menjadikan mereka tidak dapat
merasakan kenikmatan dari keindahan taman tersebut.
Kesimpulan: wajib atas manusia untuk menghilangkan
segala penyebab yang menghalangi mereka dari berpikir.
Sebagaimana
telah dikatakan sebelumnya, fakta bahwa kebanyakan manusia tidak
berpikir dan hidup dalam keadaan lalai dari kebenaran tidak menjadi
alasan bagi seseorang untuk tidak berpikir. Setiap manusia mempunyai
kebebasan terhadap dirinya sendiri, dan ia akan bertanggung jawab atas
dirinya sendiri di hadapan Allah. Mesti senantiasa diingat bahwa Allah
menguji manusia dalam hidupnya di dunia. Sikap orang-orang selain
dirinya yang sering kali acuh, tidak mau berpikir, bernalar ataupun
memahami kebenaran adalah bagian dari ujian untuknya. Seseorang yang
berpikir dengan ikhlas tidak akan berkata,"Kebanyakan manusia tidak
berpikir, dan tidak menyadari akan hal ini, lalu mengapa saya sendirian
yang mesti berpikir?" Tetapi, ia akan menerima dan menjalani ujian
tersebut dengan memikirkan tentang kelalaian orang-orang terebut, dan
memohon perlindungan Allah agar tidak menjadikannya termasuk dalam
golongan mereka. Sudah jelas bahwa keadaan mereka bukanlah alasan
baginya untuk tidak berpikir. Dalam Al-Qur'an, Allah memberitakan di
banyak ayat bahwa kebanyakan manusia berada dalam kelalaian dan tidak
beriman:
"Dan sebahagian besar manusia tidak
akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya." (QS. Yuusuf, 12:
103)
"Alif laam miim raa. Ini adalah
ayat-ayat Al Kitab (Al Qur’an). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu
daripada Tuhanmu itu adalah benar: akan tetapi kebanyakan manusia tidak
beriman (kepadanya)." (QS. Ar-Ra’d, 13: 1)
"Mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh:
"Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak demikian),
bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar
dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui," (QS.
An-Nahl, 16: 38)
"Dan sesungguhnya Kami
telah mempergilirkan hujan itu diantara manusia supaya mereka mengambil
pelajaran (dari padanya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali
mengingkari (ni'mat)." (QS. Al-Furqaan, 25: 50)
Di lain ayat,
Allah menceritakan kesudahan dari mereka yang tersesat akibat mengikuti
kebanyakan manusia; dan tidak mematuhi perintah Allah akibat melalaikan
tujuan penciptaan mereka:
"Dan mereka
berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya
kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami
kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang
cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak)
datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (adzab Kami) dan
tidak ada bagi orang-orang yang dzalim seorang penolongpun." (QS.
Faathir, 35:37)
Berdasarkan dalil di atas, setiap manusia
hendaknya membuang segala sesuatu yang mencegah mereka dari berpikir
untuk kemudian secara ikhlas dan jujur memikirkan dengan seksama setiap
ciptaan ataupun kejadian yang Allah ciptakan, serta mengambil pelajaran
dan peringatan dari apa yang ia pikirkan.
Dalam bab berikutnya,
kami akan menguraikan tentang berbagai hal yang dapat dipikirkan dan
direnungkan oleh manusia, yakni beberapa peristiwa dan ciptaan Allah
yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan kami adalah untuk
memberikan petunjuk tentang masalah ini kepada para pembaca agar mereka
mampu menjalani sisa hidupnya sebagai manusia yang "berpikir dan
mengambil peringatan dari apa yang mereka pikirkan".
(dikutip dari: Harun Yahya Seruan kepada Kebenaran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar