I. ALASAN-ALASAN
ATAU DASAR PENGHAPUS PIDANA
(Strafuitsluitingsgrond,
Grounds Of Impunity)
Pada hukum
pidana terdapat materi tentang alasan-alasan yang mengandung pengecualian
dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht ,
UU pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum dan yang akan terjadi
(mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut Utrecht , UU pidana mengatur hal-hal yang
bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka UU pidana
mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang
tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan
suatu tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Alasan atau Dasar
Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan
seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena :
1)
Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
2)
Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Di dalam Bab I dan Bab II KUHP memuat : “Alasan-alasan yang menghapuskan,
mengurangkan dan memberatkan pidana”. Menurut M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam
penjelasannya mengenai alasan menghapus pidana ini, mengemukakan apa yang
disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau
alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”. M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :
- Alasan
tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri
orang itu (inwendig), yakni :
- Pertumbuhan jiwa yang tidak
sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44 KUHP)
- Umur yang masih muda (mengenai
umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak
tahun 1905 tidak lagi merupakan alasan penghapus pidana melainkan menjadi
dasar untuk memperingan hukuman).
- Alasan
tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang
itu, yaitu sebagai berikut:
a.
Daya paksa atau overmacht (pasal 48);
b.
Pembelaan
terpaksa atau noodweer (pasal 249);
c. Melaksanakan
Undang-undang (pasal 50);
d. Melaksanakan
perintah jabatan (pasal 51);
Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukum
Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah :
- Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden
yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut
dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;
- Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden
yang khusus), yaitu yang hanya berlaku unutk delik-delik tertentu
saja, misal :
v Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165
KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya
untuk dituntut sendiri, kemudian pada pasal 164 dan 165 memuat ketentuan: bila
seseorang mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan
Negara dan Kepala Negara, maka orang tersebut harus melaporkan.
v Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang melakukan
kejahatan dan sebagainya”. Disini ia tidak dituntut jika ia hendak
menghindarkan penuntut dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih
ada hubungan darah).
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan
dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya
pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka
dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :
- Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait
justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang. Kalau
perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan
pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan darurat), pasal
49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-undangan)
dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).
- Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait
d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam
arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan
lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang
menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.
Alasan pemaaf yang
terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggung jawab), pasal 49
ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik
melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai pasal 48 (daya
paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula
merupakan alasan pemaaf.
II. ALASAN
PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP
Uraian berikut
membahas tentang dasar penghapus pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49,
50 dan 51 KUHP.
1. Tidak Mampu Bertanggung Jawab (Pasal 44):
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena
kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti diketahui M.v.T
menyebutkan sebagai tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak
didalam si pembuat sendiri. Tidak adanya kemampuan bertanggung
jawab mengahpuskan kesalahan meskipun perbuatannya tetap melawan hukum,
sehingga dalam hal ini dapat dikatakan suatu alasan penghapus kesalahan. Untuk
membuktikan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana ternyata tidak dapat
dihukum dengan alasan pasal 44 KUHP, maka kita memerlukan ilmu pengetahuan lain
yang dapat membantu yaitu psikiatri
forensic. Pelaku akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan menyampaikan
catatan medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan di muka
persidangan.
2. Daya Paksa-Overmacht (Pasal 48 KUHP):
Pasal 48 KUHP menentukan :“tidak
dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini
dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan
yang diberikan oleh pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat. Dalam
M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap
kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, yang tak dapat
ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan
daya paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada
si pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan” menunjukkan,
bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan
perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam dua
hal : 1. vis absoluta (paksaan yang
absolut). 2. vis compulsive (paksaan yang
relatif).
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan
manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain
dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan
benda (pasal 406 KUHP). Maka
yang dimaksud dengan daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relatif (vis
complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa
paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan.
Contoh lainnya ialah: Andi mengancam Budi, kasir bank, dengan meletakkan
pistol di dada Budi, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh Budi, Budi dapat
menolak, Budi dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan
absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi Budi untuk
mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat
berharga itu dan menyerahkannya kepada Andi atau sebaliknya, ia tidak
menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh
disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya,
melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan
sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan
hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus ada keseimbangan. Pada
overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi
terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama
buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa
ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya.
Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang
dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada. Berikutnya
adalah Paksaan Dario dalam : contohnya adalah dari kasus Arrest H.R tgl 26 Juni 1916
(Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam Arrest ini, orang yang tak mau
masuk dinas tentara karena suara hati atau hati nuraninya keberatan tetap
dihukum. Mereka tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti pandanganya
sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan yang menyimpang dari ketenatuan
undang-undang. Hal ini tidak bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima
puluhan ada perubahan pandangan,yaitu: 1. Hakim tidak boleh begitu saja
mengabaikan alasan keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa kemungkinannya
masuk kedalam alasan penghapusan pidana yang umum. 2. Keberatan hati nurani (terhadap
masuk dinas tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat sampai di mana si
pembuat dapat di cela atas perbuatannya.
3. Keadaan Darurat-Noodtoestand (Pasal 48 KUHP):
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita dibedakan daya paksa
dalam arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Hal ini telah diatur
dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi: ”barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Lalu Daya paksa dalam arti
sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang
dari hal di luar perbuatan orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut.
Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand dan keadaan darurat
disebut notstand, yang diatur dalam pasal 54 SGB. Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari
keadaan darurat : I. Pertentangan antara dua
kepentingan hukum : Contoh klasik adalah: “papan dari carneades”. Berkisah ada dua orang yang karena kapalnya
karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal
papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap
berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk
menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di
dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut. Orang yang
mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat.
Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma
kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat dipahami bahwa
merupakan naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
II. Pertentangan
antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, misalnya:
1. Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk
atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya.
2. Seorang pemilik
toko kacamata kepada seorang yang kehilangan kacamatanya. Padahal pada saat itu
menurut peraturan penutupan toko sudah jam tutup toko, sehingga pemilik toko
dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa
kacamata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat
memerlukan pertolongan, maka penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam
keadaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh
jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa, terdakwa (opticien)
tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat
diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan
darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong
sesama (Arrest ini disebut Arrest optician).
III. Pertentangan
antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum : a) Seorang perwira kesehatan (dokter
angkatan laut) diperintahkan atasannya untuk melaporkan apakah ada para
perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan)
terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan,
sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan
sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya. Pada
kasus ini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :1. Melaksanakan perintah dari
atasannya (sebagai tentara) 2. Memegang teguh rahasia
jabatan sebagai dokter.
Ia memberatkan
salah satu. Di sini ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia
tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh pengadilan tentara ia dikenakan
hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan mahkamah tentara
tinggi membebaskannya karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26
November 1916).
b) Seorang yang
dalam satu hari (pada waktu yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua
tempat, VAN HATTUM dalam hal 351 membandingkan daya memaksa dengan noodtoestand
sebagai berikut : Pada daya memaksa dalam arti sempit si
pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang
lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia
didorong oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia
melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat
si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong
dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap undang-undang.
4. Bela
Paksa-Pembelaan Darurat-Noodweer (Pasal 49 ayat (1)):
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak
dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk
membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan sendiri atau
orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang mengancam langsung atau
seketika itu juga”. Perbuatan orang
yang membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat
diharapkan dari seorang warga Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan
hukum yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara dengan alat-alat
perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi kepentingan hukum
dari orang yang diserang itu : maka pembelaan diri ini bersifat menghilangkan sifat
melawan hukum. Istilah noodmeer atau pembelaan darurat tidak ada dalam
KUHP sehingga untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para ahli
hukum pidana . Dalam pembelaan darurat
ada dua hal yang pokok : a. adanya serangan: Tidak terhadap
semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi
syarat sebagai berikut : -melawan hukum -seketika dan langsung -ditujukan pada diri
sendiri / orang lain -terhadap badan / tubuh,
nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda b. adanya pembelaan yang perlu
diadakan terhadap serangan itu. Sarat-sarat pembelaan adalah : -seketika dan langsung -memenuhi asas
subsidiaritas & proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak ada cara
lain selain membela diri dan proporsionalitas artinya seimbang antara serangan
dan pembelaan.
Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi hal ini tidak perlu asal
saja memenuhi syarat-syarat seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak
merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju menyerbu seseorang, mengambil
catatan untuk di fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk dimiliki
sendiri. Maka perbedaan antara keadaan darurat dan
pembelaan darurat ialah sebagai berikut:
- Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya
perbenturan antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban
hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan darurat
situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang
bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak
berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan
dengan bukan hak.
- dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan,
sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.
- Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak
berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan
darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitatif
(pasal 49 ayat (1)).
- Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat
dari pada penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pemaaf dan
ada sebagai alasan pembenar, sedang dalam pembelaan darurat para penulis
memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan
hukum.
Dalam hubungan
pembelaan darurat ini ada satu perbuatan orang yang disebut putatief
noodweer, disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira bahwa dia
berada dalam keadaan di mana harus mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini
harus di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka harus diterangkan
dalam proses verbal.
5. Bela Paksa Lampau-Noodweer Exces (Pasal 49
Ayat 2 KUHP): (pelampauan batas pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas)
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat kita jumpai dalam pasal
49 ayat (2). Pasal tersebut bunyinya : “tidak
dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika
perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat
yang disebabkan oleh serangan itu”. Untuk adanya kelampauan batas pembelaan
darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai berikut: 1. Kelampauan batas pembelaan yang
diperlukan, melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas seperti yang
diisyaratkan dalam pasal 49 ayat (1) KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu
mempunyai hubungan yang erat, maka sarat pembelaan yang tersebut dalam pasal 49
ayat (1) disebut sebagai sarat dalam pasal 49 ayat (2). Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain
untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.
2. Pembelaan
dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu
perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini adalah rasa takut, bingung,
dan mata gelap.
3. Kegoncangan jiwa
yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara
kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Yang
menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus penyerangan itu dan bukan
misalnya karena sifat mudah tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat apakah
serangan itu dapat menimbulkan akibat kegoncangan
jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya. Sifat dari noodweer exces adalah
menghapuskan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi sabagai alasan pemaaf
sementara perbuatannya tetap bersifat melawan hukum.
6. Menjalankan Perintah Undang-Undang (Pasal 50 KUHP):
Bunyi pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak
dipidana seseorang yang melakukan perbuatan
untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Mula-mula Hoge Raad (HR)
menafsirkan secara sempit, yang dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam
arti formil, hasil perundang-undangan dari DPR dan/atau raja. Tetapi kemudian
pendapat HR berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan
yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam hubungan ini
persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu
menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam
hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban
tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban. Dalam hukum acara pidana dan hukum acara
perdata dapat dijumpai adanya kewajiban dan tugas-tugas/wewenang yang diberikan
pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan
hukum.
Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan
secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya
memaksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang
hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya. Misalnya :
Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar
peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat
berlindung dibawah pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat
membenarkan tindakannya. Perbuatan orang yang menjalankan peraturan
undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut
merupakan alasan pembenar. Dalam hal ini dipakai pedoman : “lex specialis
derogate legi generaki” atau “lex posterior derogate legi priori”. Namun yang diperbolehkan adalah
tindakan eksekutor yang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.
7. Melaksanakan Perintah Jabatan (Pasal 51 Ayat (1) dan (2)):
Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang
yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka
orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh
orang lain untuk melaksankannya. Maka jika seorang melakukan perintah yangsah
ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Misalnya pada berikut: seorang
Letnan Polisi diperintah oleh Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak
pidana. Kolonel polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam
hal ini letnan polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah. Oleh
karena itu, perintah yang sah adalah apabila perintah itu berdasarkan tugas,
wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan. Maka
antar orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan
jabatan dan harus ada hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan),
meskipun sifatnya sementara, misalnya seperti permintaan bantuan oleh pamong
praja kepada angkatan bersenjata (sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51 inipun
cara melaksanakan perintah harus patut dan wajar, pula harus seimbang dan tidak
boleh melampaui batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar. Sarat
pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah
menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini
tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila
memenuhi sarat : 1.Jika ia mengira
dengan itikad baik bahwa perintah itu sah. 2.Perintah itu berada dalam
lingkungan wewenang dari orang yang diperintah. Sebagai
contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk
menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang
dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan
atau tidak sah. Disini agen polisi tidak dapat dipidana karena : ia
patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam
batas wewenangnya. Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya
Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert”
(tidak patut di pidananya perbuatan).
Contoh lainnya :
Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan
yang menjengkelkan. Andai kata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka
ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang
dari seorang anggota polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan
perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap
perbuatan yang melawan hukum, tetapi berhubung dengan keadaan pribadinya maka
ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan pemaaf.
III. ALASAN
PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.
Pada penjelasan
sebelumnya telah dijelaskan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan
pembenar dan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP,
diluar undang-undang pun ada alasan penghapus pidana, misalnya :
- hak
dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);
- hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht)
seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie);
- ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan
kepada orang lain mengenai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila
dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);
- mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
- tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil
(arrest dikter hewan);
- tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada
arrest susu dan air).
IV. ALASAN
PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DAN AVAS.
Kemungkinan
bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam
keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam
melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada
alasan penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang
putatief. Seorang
ahli hukum berpendapat mengenai masalah tersebut, yaitu MJ van Bemmelen. MJ van
Bemmelen mengatakan bahwa orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila
dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung
pada “taksi” (avas). Sedangkan menurut
Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari afwezigheid van alle schuld,
jika ada kasus-kasus di mana kita dapat membuktikan bahwa tiada kesalahan sama
sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi
eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi faktual) atau eror yuridis
(kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana
putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf.
V. Akibat Hukum Alasan Penghapus Pidana
Akibat
hukum yang dimaksudkan disini adalah akibat adanya alasan penghapus pidana ini
terhadap pelaku dalam putusan pengadilan (hakim). Dalam KUHAP adanya alasan
penghapus pidana ini, akan menimbulkan, mengakibatkan dua bentuk putusan. Pertama
yang mengakibatkan putusan bebas (vrijspraak), dan kedua mengakibatkan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum
1. Alasan penghapus pidana yang mengakibatkan putusan
bebas:
Alasan penghapus pidana yang menghilangkan/menghapuskan
kesalahan pelaku akan mengakibatkan ia diputus bebas. Oleh karena sebagaimana
diketahi bahwa, pengadilan menjatuhkan putusan bebas, apabila kesalahan
(sebagai unsur subjektif) terdakwa yaitu pelaku yang diajukan ke pengadilan
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Dengan demikian putusan bebas ini
menyangkut tentang unsur kesalahan yang tidak terbukti. Tidak terbuktinya
kesalahan terdakwa inilah yang diyakini hakim, bukan sebaliknya.
Dengan demikian putusan bebas ini didasarkan pada
penilaian dan pendapat hakim:
1. Kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan
saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa, tidak
dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
2. Secara nyata
hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas
minimum pembuktian. Misalnya alat bukti yang diajukan di persidangan hanya
terdiri dari seorang saksi saja (unus testis nullus testis).
3. Putusan bebas
tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian,kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh
keyakinanhakim. Penilaian yang demikian ini sesuai dengan sistem pembuktian
yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP.
Pasal 183 KUHAP berbunyi:
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Maka jika dihubungkan dengan alasan penghapus pidana,
maka hal ini berkaitan dengan alasan yang dapat menghilangkan kesalahan dari
pelaku. Perbuatan itu tidak pantas dicelakan pada diri pelaku. Dengan
demikian hal ini termasuk dalam alasan penghapus pidana sebagai alasan pemaaf.
2. Alasan penghapus pidana yang mengakibatkan putusan
lepas:
Alasan penghapus pidana yang menghilangkan/menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan pelaku akan mengakibatkan ia dilepas dari segala
tuntutan hukum atas perbuatannya itu. Oleh karena sebagaimana diketahi bahwa,
putusan pengadilan yang menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan, apabila
perbuatan terdakwa/pelaku (sebagai unsur objektif) bukan merupakan perbuatan
pidana/tindak pidana (meskipun perbuatan itu telah terbukti dilakukan
terdakwa). Dengan demikian putusan lepas ini menyangkut tentang perbuatan
sebagai unsur objektif dari suatu tindak pidana.
Jadi jika ditinjau dari sudut pembuktian, maka putusan
lepas dari segala tuntutan hukum ini terjadi, dalam hal apa yang didakwakan
kepada terdakwa memang cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi
pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang
dianut dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang terbukti itu tidak
merupakan tindak pidana.
Jika dihubungkan dengan alasan penghapus pidana, maka
putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini berkaitan dengan alasan yang dapat
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Jadi hal ini termasuk dalam alasan
penghapus pidana sebagai alasan pembenar. Penilaian dan pendapat hakim tersebut
dalam memberikan putusan bebas ataupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum
sebagaimana tersebut di atas, harus dicantumkan dengan jelas dalam pertimbangan
hukum putusannya. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka membawa akibat kepada
putusan hakim batal demi hukum. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 199 yo. Pasal 197 KUHAP.
Pasal 199 KUHAP berbunyi:
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat:
a.Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1)
kecuali huruf e, f dan h;
b.Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan
alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c.Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.
(2)”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat
(2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini”.
Menurut Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, g, i, j, k
dan huruf l (kecuali huruf e, f dan huruf h), ayat (2) dan ayat (3), ada beberapa
hal yang harus dimuat dalam suatu putusan hakim. Apabila hal itu tidak
dipenuhi, tidak dimuat dalam putusan hakim maka putusan itu batal demi hukum.
Suatu hal yang harus diperhatikan dalam putusan bebas dan
putusan lepas ini, sebagaimana bunyi Pasal 199 ayat (1) huruf c KUHAP tersebut
di atas hakim dalam putusannya harus memerintahkan supaya terdakwa segera
dibebaskan jika ia berada dalam tahanan. Adapun tata cara pelaksanaan pembebasan
itu dapat dilihat aturannya dalam Pasal 192 KUHAP.
Pasal 192 KUHAP berbunyi:
- Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
191 ayat (3) segera dilaksanakan oleh Jaksa sesudah putusan diucapkan.
- Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri
surat pelepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan
selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam”.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa alasan penghapus pidana ini akan membawa akibat kepada terdakwa melalui
dua bentuk putusan pengadilan (hakim).
- Terdakwa dibebaskan, apabila atau dalam hal kesalahannya yang
dihapuskan (sebagai alasan pemaaf). Atau dari sudut pembuktian (hukum
acara), kesalahannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
- Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum, apabila sifat melawan
hukum dari perbuatannya hapus (sebagai alasan pembenar). Atau dari sudut
pembuktian (hukum acara), perbuatannya terbukti secara sah dan meyakinkan,
akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, dan
- Dari kedua bentuk putusan tersebut, jika selama (proses peradilan-nya)
ini, pelaku berada dalam tahanan maka putusan hakim harus memerintahkan
bahwa terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan tersebut.
Sumber:
http://www.hukumhindu.com/2011/02/alasan-dasar-penghapus-pidana/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar