Jumat, 11 Januari 2013

Alasan penghapus pidana


I. ALASAN-ALASAN ATAU DASAR PENGHAPUS PIDANA
(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)
Pada hukum pidana terdapat materi tentang alasan-alasan yang mengandung pengecualian dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, UU pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut Utrecht, UU pidana mengatur hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka UU pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana.                            Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena :
1)    Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
2)    Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Di dalam Bab I dan Bab II KUHP memuat : “Alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana”. Menurut M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan menghapus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”.                                                                                                        M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :
  • Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig), yakni :
    1. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44 KUHP)
    2. Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan alasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
  • Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu, yaitu sebagai berikut:
a.    Daya paksa atau overmacht (pasal 48);
b.    Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal 249);
c.    Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);
d.    Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);

Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukum Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah :
  1. Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;
  2. Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal :
v  Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri, kemudian pada pasal 164 dan 165 memuat ketentuan: bila seseorang mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan Negara dan Kepala Negara, maka orang tersebut harus melaporkan.
v  Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya”. Disini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntut dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :
  1. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).
  2. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggung jawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.




II. ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP
Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.
1. Tidak Mampu Bertanggung Jawab (Pasal 44):
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan sebagai tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak didalam si pembuat sendiri.                                                                                                                                                    Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab mengahpuskan kesalahan meskipun perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan suatu alasan penghapus kesalahan. Untuk membuktikan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana ternyata tidak dapat dihukum dengan alasan pasal 44 KUHP, maka kita memerlukan ilmu pengetahuan lain yang dapat membantu yaitu psikiatri forensic. Pelaku akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan menyampaikan catatan medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan di muka persidangan.
2. Daya Paksa-Overmacht (Pasal 48 KUHP):
Pasal 48 KUHP menentukan :“tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat.                                                                Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan” menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam dua hal :                                                                                                                                                    1. vis absoluta (paksaan yang absolut).                                                                                                  2. vis compulsive (paksaan yang relatif).
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda (pasal 406 KUHP).                               Maka yang dimaksud dengan daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relatif (vis complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan.

Contoh lainnya ialah: Andi mengancam Budi, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada Budi, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh Budi, Budi dapat menolak, Budi dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi Budi untuk mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada Andi atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus ada keseimbangan.                                                                                                                    Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.                                                           Berikutnya adalah Paksaan Dario dalam : contohnya adalah  dari kasus Arrest H.R tgl 26 Juni 1916 (Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam Arrest ini, orang yang tak mau masuk dinas tentara karena suara hati atau hati nuraninya keberatan tetap dihukum. Mereka tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti pandanganya sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal ini tidak bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima puluhan ada perubahan pandangan,yaitu:                        1. Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa kemungkinannya masuk kedalam alasan penghapusan pidana yang umum.                                       2. Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat sampai di mana si pembuat dapat di cela atas perbuatannya.
3. Keadaan Darurat-Noodtoestand (Pasal 48 KUHP):
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Hal ini telah diatur dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi: ”barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.           Lalu Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand dan keadaan darurat disebut notstand, yang diatur dalam pasal 54 SGB.                                                                               Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :                                                          I. Pertentangan antara dua kepentingan hukum :                                                                          Contoh klasik adalah: “papan dari carneades”. Berkisah ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut. Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat dipahami bahwa merupakan naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
II. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, misalnya:                                1. Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya.                                                                 
2. Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang kehilangan kacamatanya. Padahal pada saat itu menurut peraturan penutupan toko sudah jam tutup toko, sehingga pemilik toko dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam keadaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesama (Arrest ini disebut Arrest optician).
III. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum :                                          a) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut) diperintahkan atasannya untuk melaporkan apakah ada para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya. Pada kasus ini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :1. Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara)                                                          2. Memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.
Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan mahkamah tentara tinggi membebaskannya karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 November 1916).
b) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua tempat, VAN HATTUM dalam hal 351 membandingkan daya memaksa dengan noodtoestand sebagai berikut :                                                                                                                  Pada daya memaksa dalam arti sempit si pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap undang-undang.




4. Bela Paksa-Pembelaan Darurat-Noodweer (Pasal 49 ayat (1)):
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”. Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya.                                                         Padahal Negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi kepentingan hukum dari orang yang diserang itu : maka pembelaan diri ini bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP  sehingga untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para ahli hukum pidana .  Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok :                                                                       a. adanya serangan: Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :                                                                             -melawan hukum                                                                                                                                   -seketika dan langsung                                                                                                            -ditujukan pada diri sendiri / orang lain                                                                                              -terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda                                                      b. adanya pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Sarat-sarat pembelaan adalah :                                   -seketika dan langsung                                                                                                            -memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak ada cara lain selain membela diri dan proporsionalitas artinya seimbang antara serangan dan pembelaan.  
Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi hal ini tidak perlu asal saja memenuhi syarat-syarat seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk dimiliki sendiri.                                                           Maka perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat ialah sebagai berikut:
  1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan darurat situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak.
  2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.
  3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitatif (pasal 49 ayat (1)).
  4. Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada sebagai alasan pembenar, sedang dalam pembelaan darurat para penulis memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan hukum.
Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu perbuatan orang yang disebut putatief noodweer, disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira bahwa dia berada dalam keadaan di mana harus mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka harus diterangkan dalam proses verbal.
5. Bela Paksa Lampau-Noodweer Exces (Pasal 49 Ayat 2 KUHP):                                      (pelampauan batas pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas)                                         
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut bunyinya : “tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”.                                                                                        Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai berikut:  1. Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas seperti yang diisyaratkan dalam pasal 49 ayat (1) KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu mempunyai hubungan yang erat, maka sarat pembelaan yang tersebut dalam pasal 49 ayat (1) disebut sebagai sarat dalam pasal 49 ayat (2). Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.                                                                                                                                   
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini adalah rasa takut, bingung, dan mata gelap.   
3. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat mudah tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat  kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya.                                               Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi sabagai alasan pemaaf sementara perbuatannya tetap bersifat melawan hukum.
6. Menjalankan Perintah Undang-Undang (Pasal 50 KUHP):
Bunyi pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Mula-mula Hoge Raad (HR) menafsirkan secara sempit, yang dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti formil, hasil perundang-undangan dari DPR dan/atau raja. Tetapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban. Dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat dijumpai adanya kewajiban dan tugas-tugas/wewenang yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum.                                                                                             
Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya memaksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya.                                                                                                                Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar. Dalam hal ini dipakai pedoman : “lex specialis derogate legi generaki” atau “lex posterior derogate legi priori”. Namun yang diperbolehkan adalah tindakan eksekutor yang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.
7. Melaksanakan Perintah Jabatan (Pasal 51 Ayat (1) dan (2)):
Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya. Maka jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.                                                                                                    Misalnya pada berikut: seorang Letnan Polisi diperintah oleh Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana. Kolonel polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah. Oleh karena itu, perintah yang sah adalah apabila perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan.                                                                                                             Maka antar orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan), meskipun sifatnya sementara, misalnya seperti permintaan bantuan oleh pamong praja kepada angkatan bersenjata (sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51 inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan wajar, pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.                                                                                                                                   Sarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi sarat :    1.Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.                                                          2.Perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.                      Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya. Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan).                                                                                                        

Contoh lainnya : Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan. Andai kata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi berhubung dengan keadaan pribadinya maka ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan pemaaf.

III. ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.
Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan pembenar dan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun ada alasan penghapus pidana, misalnya :
  1. hak dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);
  2. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie);
  3. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);
  4. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
  5. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan);
  6. tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada arrest susu dan air).

IV. ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF  DAN AVAS.
Kemungkinan bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief.                           Seorang ahli hukum berpendapat mengenai masalah tersebut, yaitu MJ van Bemmelen. MJ van Bemmelen mengatakan bahwa orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada “taksi” (avas).    Sedangkan menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari afwezigheid van alle schuld, jika ada kasus-kasus di mana kita dapat membuktikan bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi faktual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf.

V. Akibat Hukum Alasan Penghapus Pidana

Akibat hukum yang dimaksudkan disini adalah akibat adanya alasan penghapus pidana ini terhadap pelaku dalam putusan pengadilan (hakim). Dalam KUHAP adanya alasan penghapus pidana ini, akan menimbulkan, mengakibatkan dua bentuk putusan. Pertama yang mengakibatkan putusan bebas (vrijspraak), dan kedua mengakibatkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum
1. Alasan penghapus pidana yang mengakibatkan putusan bebas:
Alasan penghapus pidana yang menghilangkan/menghapuskan kesalahan pelaku akan mengakibatkan ia diputus bebas. Oleh karena sebagaimana diketahi bahwa, pengadilan menjatuhkan putusan bebas, apabila kesalahan (sebagai unsur subjektif) terdakwa yaitu pelaku yang diajukan ke pengadilan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Dengan demikian putusan bebas ini menyangkut tentang unsur kesalahan yang tidak terbukti. Tidak terbuktinya kesalahan terdakwa inilah yang diyakini hakim, bukan sebaliknya.
Dengan demikian putusan bebas ini didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim:
1. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
2. Secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Misalnya alat bukti yang diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja (unus testis nullus testis).
3. Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian,kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinanhakim. Penilaian yang demikian ini sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP.
                                                                 
Pasal 183 KUHAP berbunyi:
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Maka jika dihubungkan dengan alasan penghapus pidana, maka hal ini berkaitan dengan alasan yang dapat menghilangkan kesalahan dari pelaku. Perbuatan itu tidak pantas dicelakan pada diri pelaku. Dengan demikian hal ini termasuk dalam alasan penghapus pidana sebagai alasan pemaaf.

2. Alasan penghapus pidana yang mengakibatkan putusan lepas:
Alasan penghapus pidana yang menghilangkan/menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan pelaku akan mengakibatkan ia dilepas dari segala tuntutan hukum atas perbuatannya itu. Oleh karena sebagaimana diketahi bahwa, putusan pengadilan yang menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan, apabila perbuatan terdakwa/pelaku (sebagai unsur objektif) bukan merupakan perbuatan pidana/tindak pidana (meskipun perbuatan itu telah terbukti dilakukan terdakwa). Dengan demikian putusan lepas ini menyangkut tentang perbuatan sebagai unsur objektif dari suatu tindak pidana.


Jadi jika ditinjau dari sudut pembuktian, maka putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini terjadi, dalam hal apa yang didakwakan kepada terdakwa memang cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang terbukti itu tidak merupakan tindak pidana.
Jika dihubungkan dengan alasan penghapus pidana, maka putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini berkaitan dengan alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Jadi hal ini termasuk dalam alasan penghapus pidana sebagai alasan pembenar. Penilaian dan pendapat hakim tersebut dalam memberikan putusan bebas ataupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana tersebut di atas, harus dicantumkan dengan jelas dalam pertimbangan hukum putusannya. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka membawa akibat kepada putusan hakim batal demi hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 199 yo. Pasal 197 KUHAP.

Pasal 199 KUHAP berbunyi:
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat:
a.Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;
b.Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan       menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c.Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.

(2)”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini”.
Menurut Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, g, i, j, k dan huruf l (kecuali huruf e, f dan huruf h), ayat (2) dan ayat (3), ada beberapa hal yang harus dimuat dalam suatu putusan hakim. Apabila hal itu tidak dipenuhi, tidak dimuat dalam putusan hakim maka putusan itu batal demi hukum.

Suatu hal yang harus diperhatikan dalam putusan bebas dan putusan lepas ini, sebagaimana bunyi Pasal 199 ayat (1) huruf c KUHAP tersebut di atas hakim dalam putusannya harus memerintahkan supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia berada dalam tahanan. Adapun tata cara pelaksanaan pembebasan itu dapat dilihat aturannya dalam Pasal 192 KUHAP.
Pasal 192 KUHAP berbunyi:
  1. Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3) segera dilaksanakan oleh Jaksa sesudah putusan diucapkan.
  2. Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat pelepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam”.








Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alasan penghapus pidana ini akan membawa akibat kepada terdakwa melalui dua bentuk putusan pengadilan (hakim).
  1. Terdakwa dibebaskan, apabila atau dalam hal kesalahannya yang dihapuskan (sebagai alasan pemaaf). Atau dari sudut pembuktian (hukum acara), kesalahannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
  2. Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum, apabila sifat melawan hukum dari perbuatannya hapus (sebagai alasan pembenar). Atau dari sudut pembuktian (hukum acara), perbuatannya terbukti secara sah dan meyakinkan, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, dan
  3. Dari kedua bentuk putusan tersebut, jika selama (proses peradilan-nya) ini, pelaku berada dalam tahanan maka putusan hakim harus memerintahkan bahwa terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan tersebut.
















Sumber: http://www.hukumhindu.com/2011/02/alasan-dasar-penghapus-pidana/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar