BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PERATURAN TENTANG BANDING
1. Konsep Banding
Banding adalah
pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap putusan
pengadilan negeri, atas permohonan pihak yang berkepentingan[1].
Pada kenyataannya, pihak yang berkepentingan tersebut selalu berada pada pihak
yang kalah perkara dalam putusan pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat
pertama. Pihak yang kalah itu mungkin pihak penggugat atau mungkin juga pihak
tergugat.
Pemeriksaan ulang
adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap perkara perdata yang sudah diputus oleh
pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama. Pemeriksaan ulang itu
dilakukan sejak awal perkara sampai putusan akhir pengadilan negeri.
Pemeriksaan tersebut meliputi, baik dari segi fakta yang terjadi maupun dari
segi hukumnya. Dasar pemeriksaan ulang oleh pengadilan tinggi adalah
alasan-alasan faktual dan yuridis yang dimohonkan pihak pembanding dalam memori
banding.
Pemeriksaan perkara
banding oleh pengadilan tinggi pada dasarnya dilakukan terhadap berkas
dokumen-dokumen peradilan tingkat pertama (pengadilan negeri). Akan tetapi,
apabila pengadilan tinggi memandang perlu, dia berkuasa memanggil pihak-pihak
yang berperkara untuk didengar alasan-alasannya. Untuk kepentingan praktis,
biasanya dimintakan bantuan dari pengadilan negeri yang memutus perkara untuk
memeriksa hal-hal yang diperintahkan oleh pengadilan tinggi untuk melengkapi
berkas-berkas yang sudah ada.
2. Hukum Acara Banding
Peraturan undang-undang
mana yang menjadi dasar kewenangan pengadilan tinggi melakukan pemeriksaan
tingkat banding perkara perdata yang dimohonkan oleh pihak yang berkepentingan?
Peraturan undang-undang mana yang menjadi hukum acara perdata di tingkat
banding oleh pengadilan tinggi?
Untuk mengetahui dasar
hukum kewenangan pengadilan tinggi melakukan pemeriksaan tingkat banding,
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan:
“Terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan
tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan
lain.[2]”
Ketentuan Undang-Undang
tersebut memberikan pengecualian, “kecuali undang-undang menentukan lain”. Apa
yang dimaksud dengan pengecualiaan itu? Pengecualiaan yang dimaksud ditujukan
pada perkara perdata yang tidak perlu dimintakan banding, tetapi langsung
kasasi ke Mahkamah Agung, misalnya, putusan pengadilan niaga dalam perkara hak
kekayaan intelektual dan perkara kepailitan.
Untuk mengetahui hukum
acara perdata di tingkat banding perlu dibaca ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1951. Menurut ketentuan Undang-Undang tersebut bahwa:
“Peraturan
hukum acara untuk pemeriksaan ulang atau banding pada Pengadilan Tinggi adalah
peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku bagi
Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu”[3].
Peraturan undang-undang
yang mana yang dimaksud dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu
adalah:
a. Untuk
pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di Jawa
dan Madura adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.
b. Untuk
pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di luar
Jawa dan Madura adalah Rechtsreglement
voor de Buitengewesten (RBg.).
Undang-Undang Nomor 20
Tahun1947 sebenarnya mengambil alih ketentuan tentang pemeriksaan ulang atau
banding yang terdapat dalam HIR dengan sekedar perubahan dan tambahan.
Ketentuan dalam HIR pada dasarnya juga tidak berbeda dengan ketentuan tentang
banding dalam RBg. Jadi, walaupun formalnya ada dua jenis peraturan
undang-undang yang berlaku mengenai pemeriksaan ulang atau banding, secara
materiil mempunyai kesamaan dan keseragaman. Singkatnya, hukum acara banding
perkara perdata pada pengadilan tinggi di seluruh wilayah Indonesia mengikuti
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Acara
Banding.
B.
SYARAT DAN PROSEDUR BANDING
1. Syarat Banding
Syarat untuk dapat
dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh pengadilan negeri
adalah apabila besar nilai gugatan perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp
100,00. Dengan demikian, jika nilai gugatan Rp 100,00 atau kurang, putusan
pengadilan negeri tidak dapat dimintakan banding. Pada waktu sekarang, tidak
ada perkara yang nilainya sekecil itu sehingga praktis semua perkara perdata
yang diputus oleh pengadilan negeri dapat diminta banding.
Dalam pembentukan hukum
acara perdata nasional yang akan datang perlu dipikirkan pembatasan nilai
perkara yang diperkenankan banding. Jika semua putusan pengadilan negeri dapat
diminta banding, padahal nilainya tidak sepadan, tentu membuat proses menjadi
lama dan makan biaya lebih mahal, malahan bertentangan dengan asas peradilan
sederhana, cepat, dan murah.
2. Prosedur Banding
Jika putusan pengadilan
negeri diminta banding, permohonan banding disampaikan kepada panitera
pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan, baik secara lisan maupun secara
tulisan dalam tenggang waktu empat belas hari terhitung mulai hari berikutnya dari
pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.
Tenggang waktu tersebut
dijadikan tiga puluh hari jika pemohon banding berdiam diluar daerah hukum
tempat pengadilan itu bersidang, untuk jawa dan madura. Sedangkan untuk luar
jawa dan madura tenggang waktu tersebut dijadikan enam minggu. Perkara banding
harus harus disertai pembayaran persekot ongkos perkara banding yang jumlahnya
ditaksir oleh panitera pengadilan negeri tersebut. Apabila tenggang waktu yang
telah ditentukan itu sudah lampau, demikian juga biaya perkara tidak disetor,
permohonan banding tidak dapat diterima.
Permohonan banding
dapat diterima kemudian dicatat oleh panitera pengadilan negeri dalam daftar
yang disediakan untuk itu. Sesudah itu, panitera menyampaikan pemberitahuan
permohonan banding kepada pihak lawannya. Pada waktu menyampaikan pemberitahuan
permohonan banding dilampirkan juga salinan surat memori banding.
C.
PEMERIKSAAN PADA TINGKAT BANDING
1. Pemeriksaan Berkas Perkara
Pemeriksaan pada
tingkat banding dilakukan dengan memeriksa berkas perkara pemeriksaan
pengadilan negeri dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara
tersebut. Jika dipandang perlu, majelis hakim banding dapat mendengar sendiri
kedua belah pihak yang berperkara dan saksi-saksi guna melengkapi bahan-bahan
yang diperlukan. Dalam praktiknya, majelis hakim dapat memerintahkan kepada
pengadilan negeri yang memutus perkara guna melengkapi bahan-bahan yang
diperlukan dengan memanggil dan mendengarkan keterangan pihak-pihak dan
saksi-saksi.
Prosedurnya sama dengan
prosedur biasa, hanya saja pendaftaranya tidak dilakukan dalam register
pengadilan negeri, tetapi dalam register pengadilan tinggi. Kemudian berkas
perkara hasil pemeriksaan tambahan yang telah ditanda tangani oleh ketua dan
panitera dikirimkan kepada ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan.
Pemeriksaan pada
tingkat banding adalah pemeriksaan ulang terhadap perkara yang telah diperiksa
dan diputus pengadilan negeri. Dalam pemeriksaan banding, majelis hakim banding
mempertimbangkan dalil-dalil yang yang dikemukakan oleh pemohon banding dalam
memori bandingnya, apabila didalamnya tidak terdapat hal-hal yang baru, majelis
hakim banding mengesampingkan memori tersebut dengan alasan tidak ada hal-hal
baru. Dengan pemeriksaan ulang dapat dikoreksi apakah putusan yang diberikan
sudah tepat, kurang tepat, atau ada kesalahan, meliputi semua fakta hukumnya.
Atas dasar ini pemeriksaan ulang atau banding dikatakan pemeriksaan pada
tingkat kedua dan tertinggi.
2. Pemeriksaan Banding oleh Majelis Hakim
Pemeriksaan pada
tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan tiga orang hakim
sebagai majelis hakim, seorang sebagai hakim ketua dan dua orang sebagai
anggota, serta di bantu seorang panitera, bila dikaitkan dengan fungsi
peradilan berarti setiap orang yang datang di hadapan sidang pengadilan adalah
“sama hak dan kedudukannya”, dengan kata lain sama hak dan kedudukannya di
depan hukum[4].
Ketentuan
Undang-undang kekuasaan kehakiman tersebut sudah sesuai dengan kondisi sekarang bahwa semua
pengadilan memutus peradilan tingkat baru. Alasannya di setiap kabupaten/kota
dan provinsi dibentuk pengadilan negeri dan pengadilan tinggi atas perintah
undang-undang.
Latar belakang
dikeluarkanya Undang-undang darurat Nomor 11 tahun 1955 mengenai keharusan
penggadilan banding memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang
hakim akan menimbulkan akibat banyaknya tunggakan perkara pada perkara tingkat
banding karena belum cukupnya tenaga hakim pada pengadilan tinggi.
Oleh karena itu, ketua
pengadilan tinggi hendaknya diberi kuasa dan juga diwajibkan untuk
memisah-misahkan perkara banding dan menentukan perkara-perkara mana yang dapat
diputus oleh seorang hakim saja dan mana pula yang tidak, ketentuan pemeriksaan
perkara oleh seorang hakim saja sebenarnya merupakan tindakan darurat yang
secara berangsur-angsur harus disesuaikan oleh perintah pasal 15 undang-undang
nomor 14 tahun 1970 tentang keharusan memeriksa dan memutus sekurang-kurangnya
dengan tiga orang hakim. Sekarang di setiap provinsi dibentuk pengadilan tinggi
dengan tenaga hakim tinggi yang cukup dan makin bertambah. Jadi, yang mengajukan tuntutan hak banding adalah pihak yang berkepentingan, sedang
hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya[5].
D.PUTUSAN
PENGADILAN BANDING
Setelah pemeriksaan
perkara selesai dilakukan, majelis hakim banding segera menjatuhkan putusannya.
Putusan pada tingkat banding dapat berupa :
1. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri[6]
Putusan menguatkan
artinya apa yang telah di periksa dan diputus oleh pengadilan negeri dianggap
benar dan tepat menurut asas keadilan .
2. Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri
Putusan memperbaiki
artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dipandang
kurang tepat menurut rasa keadilan. Oleh karena itu perlu diperbaiki.
3. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri
Putusan membatalkan
artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dipandang
tidak benar dan tidak adil. Oleh karena itu, harus dibatalkan. Dalam hal ini, pengadilan
tinggi atau banding memberikan putusan sendiri.
Apabila pengadilan
negeri memutuskan tidak berwenang memeriksa perkara, kemudian oleh yang
bersangkutan dimintakan banding dan pengadilan tinggi berpendapat lain, artinya
pengadilan negri berwenang memeriksa perkara, maka pengadilan tinggi
membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan kepada pengadilan
negeri yang bersangkutan untuk memeriksa dan memutuskan perkara. Demikian pula
jika putusan pengadilan negeri kurang memperhatikan keterangan mengenai
peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak dan syarat-syarat yang diharuskan
oleh undang-undang yang berlaku, pengadilan tinggi membatalkan putusan itu dan
memerintahkan supaya pengadilan negeri memeriksa kembali, atau pengadilan
tinggi membatalkan putusan itu dan memrintahkan supaya pengadilan negeri
memeriksa kembali, atau pengadilan tinggi akan memeriksa sendiri perkara itu
dan memberikan putusan sendiri.
Setelah pengadilan
tinggi memberikan putusannya, salinan resmi putusan dan berkas perkaranya
dikirimkan kembali kepada pengadilan negeri yang bersangkutan. Setelah putusan
itu diterima pengadilan negeri, ketua memerintahkan supaya supaya
memberitahukan isi putusan itu diterima pengadilan tinggi kepada dua belah
pihak dengan memperingatkan hak mereka untuk mengajukan permohonan kasasi
kepada mahkamah agung, atas dasar perintah ketua pengadilan negeri, panitera memerintahkan
juru sita untuk memberitahukan isi putusan banding dengan surat pemberitahuan.
Dalam undang-undang
tidak diatur secara tegas batas waktu pemeberitahuan isi putusan banding kepada
pihak-pihak. Hanya ditentukan segera setelah menerima surat putusan pengadilan
tinggi, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan segera memerintahkan agar isi
putusan banding diberitahukan kepada pihak-pihak. Dengan pemberitahuan itu
mungkin pihak-pihak akan menggunakan haknya untuk memohon kasasi atau kalau
tidak memohon kasasi, putusan banding segera dilaksanakan. Bagi pihak yang
menang perkara segera akan mendapatkan haknya yang telah di tetapkan dalm
putusan pengadilan tinggi.
Apabila dalam tenggang waktu
yang telah ditetapkan undang-undang untuk permohonan kasasi, permohonan kasasi
tidak diajukan, maka putusan banding memperoleh kekuatan untuk dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP
-Kesimpulan:
1. Banding
adalah pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap putusan
pengadilan negeri, atas permohonan pihak yang berkepentingan.
2. Pemeriksaan
ulang adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap perkara perdata yang sudah diputus oleh
pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama.
3. Pemeriksaan
perkara banding oleh pengadilan tinggi hanya dapat dilakukan, apabila
berkas-berkas kasus perdata tersebut telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri.
4. Syarat
untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh pengadilan
negeri adalah apabila besar nilai gugatan perkara yang telah diputus itu lebih
dari Rp 100,00.
5. Putusan
Pengadilan Banding ada 3 yaitu, menguatkan putusan Pengadilan Negeri, memperbaiki
putusan Pengadilan Negeri, dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri.
-Saran-saran:
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhammad, Abdulkadir. 2000. Hukum
Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
2. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun1951.
4. Harahap, Yahya. 1993. Kedudukan Kewenangan dan Hukum Acara
Peradilan Agama. Jakarta: PT Garuda
Metro Politan Press.
5. Mertokusumo, Sudikno. 1999. Hukum Acara Perdata.
Yogyakarta: Leberty Yogyakarta.
[1] Abdulkadir Muhammad. Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 165.
[2] Lihat Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[3] Lihat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1951.
[4] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Hukum Acara
Peradilan Agama. Jakarta: PT Garuda Metro Politan Press, 1993. Hlm.
72.
[5] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata.
Yogyakarta: Leberty Yogyakarta, 1999, hlm. 10.
[6] Abdulkadir Muhammad, op cit, 176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar