Kamis, 02 Agustus 2012

OTONOMI DAERAH PADA MASA REFORMASI


BAB. I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dengan semaraknya era Reformasi, terutama setelah pelaksanaan Sidang Istimewa MPR 1998, maka dirasakan penyelenggaraan otonomi daerah dan pembagian sumber daya nasional sangat merangsang aspirasi daerah. Akibatnya timbul tuntunan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sperti di Aceh, Irian jaya bahkan Provinsi Riau yang merasa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Pusat[1].
Dapat dilihat , pada saat itu pemerintahan memiliki kelemahan yang sangat besar mengenai struktur pemerintahan didalam nya. Pengembangan pada setiap wilayah masih jauh dari kata Adil karena pengaturan yang berasal dari pemerintahan pusat atau system sentralilisasi, hal ini membuat wilayah lain berfikir lebih baik membuat Negara sendiri yang bisa mengolah sumber daya daerah yang nanti nya akan digunakan untuk pengembangan daerah sendiri daripada memberikan upeti kepada daerah pusat yang bahkan tidak memberikan hasil dari sumber daya dari daerah kita sendiri maupun dari daerah lain.
Dari perrmasalahan ini , maka timbullah kata-kata “Otonomi Daerah” yang merupakan solusi dari permasalah struktur pemerintahan yang terdahulu. Otonomi daerah sering dikatakan sebagai bagian dari reformasi yang diinginkan oleh masyarakat luas.

B. IDENTIFIKASI MASALAH                        
Dari permasalah diatas, penulis ingin memberikan informasi tentang asal-usul dari “Otonomi Daerah” itu sendiri yang dilihat dari sudut pandang reformasi dan politik, bagaimana otonomi daerah dikatakan sebagai salah satu bentuk reformasi, bagaimana Otonomi Daerah dikatakan sebagai salah satu bentuk politik yang digunakan oleh pemerintahan Indonesia.

C. PEMBATASAN MASALAH.

Untuk memberikan focus dalam permasalahan dalam makalah ini, penulis memberikan pembatasan yaitu, pembahasan hanya menyangkut tentang teori ketatanegaraan, teori otonomi daerah dan penjelasan tentang otonomi daerah dilihat dari segi politik dan bentuk reformasi.

D. PERUMUSAN MASALAH.

Dilihata dari permasahalah diatas, penulis dapat menyimpulkan poin-poin dari permasalahan dalam makalah ini, yaitu :
1. Apa itu Otonomi Daerah ?
2. Bagaiman sejarah Otonomi Daerah itu terjadi ?
3. Bagaimana hubungan Otonomi daerah dengan bentuk atau struktut hokum bila dilihat dari segi politik dan bentuk reformasi
4. Bagaimana perkembangan Otonomi Daerah dalam Era Reformasi di Indoesia sati itu.

 BAB. II TINJAUAN PUSTAKA
1. PENGERTIAN
1.1       Negara
Berikut beberapa defenisi Negara menurut beberapa ahli :
1. Apeldorn
Negara adalah suatu bentuk hidup bersama daripada rakyat dibawah suatu kekuasaan tertinggi dan dibawah suatu kaedah hokum yang bersamaan.
2. Karl Max
Negara adalah suatu alat kekuasaan bagi manusia (penguasa0 untuk menindas kelas manusia yang lainnya.
3. Prof. Krabbe
Negara adalah suatu persekutuan hokum yang timbul karena adanya cita-cita hokum
4. J.J Rousseau
Negara adalah perserikatan dari rakyat bersama-sama yang melindungi dan mempertahankan hak masing-masing dari dan harta benda anggota-anggota yang tetap hidup dengan bebas merdeka[2]


1.2       Negara Kesatuan

Pengertian dari Negara Kesatuan adalah suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, dimana seluruh Negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintahan (pusat) yang mengatur seluruh daerah. Jadi, tidak terdiri atas beberapa daerah yang berstatus negera bagian (deelstaat).
Penyelenggaraan Negara Kesatuan dapat dengan bentuk/System :
a. Negara kesatuan dengan system sentralisasi, dimana segala urusan diatur oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintahan daerah tidak mempunyai hak untuk mengurus sendiri daerah nya, pemda hanya melaksanakan. Contoh : Jerman dibawah Hitler.
b. Negara kesatuan dengan system desentralisasi, dimana kepada daerah-daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (Otonomi Daerah). Contoh, RI dengan daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, Desa/Kelurahan[3].

1.3       Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga dearah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara Federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas daripada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti :
1. Hubungan Luar Negeri;
2. Pengadilan ;
3. Moneter dan keuangan;
4. Pertahanan dan Keamanan.
Apa yang dimaksud diatas disebut otonomi luas. Sedangkan di Negara federal, Negara bagian melaksanakan otonomi yang lebih luas karena Negara bagian dapat mengurus peradilan dan keamanan sendiri[4].

1.4       Jenis Otonomi daerah
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan disetiap negara, terdapat berbagai urusan didaerah. Suatu urusan tetap menjadi urusan pemerintah pusat dan urusan lain menjadi urusan daerah rumah tangga sendiri, sehingga harus ada pembagian yang jelas. Dalam rangka melaksanakan cara pembagian urusan dikenal adanya sistem otonomi yang dikenal sejak dulu, yaitu cara pengisian rumah tangga daerah atau sistem rumah tangga daerah.
Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah[5].
Bila otonomi diartikan sebagai segala tugas yanga ada pada daerah atau dengan kata lain apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah daerah, di dalam nya melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht; bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugas nya. Masalah nya kewenangan mana yang diatur oleh pemerintah pusat dan kewenangan mana yang diatur oleh pemerintah daerah.
Sehubungan dengan itu secara teoritik dan praktik dijumpai lima jenis system otonomi atau system rumah tangga yaitu :
  1. Otonomi organic (rumah tangga organic)
  2. Otonomi formal (rumah tangga formal)
  3. Otonomi material (rumah tangga material/substantive)
  4. Otonomi riil (rumah tangga riil)
  5. Dan otonomi nyata, bertanggung jawab, dan dinamis[6]. 

1.5       Desentralisasi
Secara etimologis[7] istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de”= lepas dan “centerum”=pusat. Jadi, berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Istilah “autonomie” berasalh dari bahasa Yunani (autos=sendiri; nomos=Undang-Undang) dan berarti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving).
Dalam perkembangan di Indonesia otonomi itu selain mengandung arti “penundangan” (regeling), juga mengandung arti pemerintahan (bestuur). Oleh karena itu,dalam membahas desentralisasi berarti secara tidak langsung membahas pula mengenai otonomi. Hal ini disebabkan kedua hal tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan apalagi dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.
Konsep desentralisasi dikenal bermacam-macam jenis yaitu : ada desentralisasi politik, fungsional dan kebudayaan[8]. Ada juga yang membagi desentralisasi ke dalam dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan.Desentralisasi ketatanegaraan dibagi dua yaitu ; desentralisasi territorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial deikenald alam dua bentuk, yaitu : “Otonomi” dan “Medebewind atau zelfbestuur”[9].
Dikalangan sarjana Indonesia, Amrah Muslimin membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi politik, desentralisasi fungsional, dan desentralisasi kebudayaan. Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu.
Desentralisasi fungsional adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, seperti mengurus kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; subak bali). 
BAB. III PEMBAHASAN
1.         HUBUNGAN DESENTRALISASI DENGAN OTONOMI
Penyelenggaraan pemerintah daerah melalui system desentralisasi yang berinti pokok atau bertumupu pada otonomi sangat mutlak didalam demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewenang (spreading van machten) tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan Negara antara pemerintahan pusat dan satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Hal ini disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi[10].
Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Gerald S maryanov. Menurut pakar ini , desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi dari satu mata uang[11]. 
2.         SEJARAH OTONOMI DAERAH
2.1       Otonomi Daerah dalam masa RIS
Sebagai hasil persetujuan Konferensi Meja Bundar, Belanda memaksa Negara federasi sebagai substansi, sambil memberikan pengakuan kemerdekaan. Adapun Negara RI hanya merupakan salah satu Negara bagian RIS.
Dalam rangka system federalism ini, pemerintah daerah diatur oleh masing-masing Negara bagian. Sedangkan daerah swapraja (sebagaimana diatur dalam pasal 64 s/d 67 konstitusi RIS) masih dipertahankan kebradaannya, dan masih mempunyai kedudukan yang istimewa dalam lingkup Negara bagian yang meliputinya.
Bagian Negara RI (sebagai Negara bagian) dalam mengatur perintahan daerahnya tetap mengacu pada undang-undang no. 22 tahun 1948. Dalam periode ini, muncul gerakan-gerakan yang hebat yang menghendaki kembali pada bentuk Negara kesatuan. Negara bagian masyarakat menghendaki untuk dilebur menjadi satu Negara dengan RI, yang diproklamasikan tanggal 17 agustus 1945.
Hal ini ditampung pemerintah RIS dengan mengeluarkan undang-undang darurat no. 11 tahun 1950.

2.2       Undang-U ndang No. 1 tahun 1957
Ketentuan yang mengatur system otonomi terdapat dalam pasal 31 ayat 1, 2 dan 3 sebagai berikut :
Ayat 1 DPRD mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah, kecuali yang menurut Undang-undang ini diserahkan pada penguasa lain.
Ayat 2 tanpa mengurangi ketentuan dalam ayat 1, dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tetapi diatur dan diurus ole DPRD sejak pembentukannya.
Ayat 3 Dengan peraturan pemerintah setiap waktu, dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan daerah atas usul DPRD yang bersangkutan dan sepanjang mengenai Dati II dan III setelah minta pertimbangan Dewan Pemerintah daerah setempat, diantaranya urusan-urusan dalam ayat 2 ditambah dengan urusan-urusan lain.

2.3          Tahun 1965 - 1974   
Dalam periode ini dikeluarkan Undang-undang No.18 Tahun 1965 yang disinyalir oleh beberapa ahli mengikuti system Undang-undang No.1 tahun 1957.
Sebagaimana Undang-undang No.1 tahun 1957, Undang-undang ini menyatakan melaksanakan system otonomi riil dimana hampir seluruhnya menyerap substansi Undang-undang No.1 Tahun 1957.

2.4       tahun 1947 - 1999
Undang-undang ini meperkenalkan dimensi baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Sebagai Undang-undang produk orde baru, orde yang mengutamakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan :
1. Stabilisasi yang makin mantap.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Pemerasan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Maka pelaksanaan otonomid daerah juga diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah. Adapun cirri-ciri stabilitas pemerintahan daerah yaitu :
a. Konsentrasi kekuasaan ada dilenbaga eksekutif (Kepala Daerah)
b.Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya lembaga BPH (badan pemrintahan harian) sebagai perwakilan parpol didalam pemerintahan Daerah (versi UU No.1 tahun 1957).
c.Tidak dilakukannya hak equate 9angket) DPRD yang dapat menggangu keutuhan Kepala Daerah.
d.Kepala Daerah tidak bertnggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden.
e.Kepala Daerah hanya memberikan keterangna kepada DPRD tentan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan satu (1) tahun  sekali[12]. 
3.         OTONOMI DAERAH DI ERA REFORMASI
3.1. Peninjauan kembali Undang-undang Pemerintahan Daerah
Setelah pelaksanaan Undang-undang Pemerintahan di daerah lebih dari 25 tahun dan untuk tindak lanjut tuntunan revisi Undang-undang Bidang Politik, Undang-undang Pemerintahan di Daerah No. 5 Tahun 1974 oleh daerah lebih dirasakan menutup kesempatan bagi otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, dan berdasar aspirasi dan potensi masyarakat. Disamping itu membuat tidak berfungsi secara optimal peran dan tugas DPRD, baik sebagai bdan legeslatif maupun sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Hal diatas mebuat daerah-daerah menuntut dilakukan peninjauan kembali serta pembaharuan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang lebih menekankan pelaksanaan azas desentralisasi.
Kewenangan dalam Undang-undang yang baru meletakkan otonomi daerah secara utuh, kecuali kewenangan-kewenangan yang tetap melekat pada pemerintahan pusat seperti :
-          Hubungan Luar Negeri
-          Fiskal dan Moneter
-          Peradilan
-          Pertahanan dan keamanan

3.2. Pembagian Daerah
 Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam pembahasan Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a. Bahwa system ketetanegaraan Indonesia wajib menjalankan kewenangan berdasa azas dekonsentrasi dan desentralisasi.
b.Penyelenggaraan azas dekonsentrasi sebagai pancaran Negara kesatuan menunjukkan elemen perekat bangsa.
c.Daerah yang dibentuk berdasarkan azas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang diperintahkan berdasar azas desentralisasi adalah kabupaten dari kota yang merupakan daerah otonom yang berwenang menentukan dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dilandasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berperan sebagai badan legeslatif dan pengawas atas penyelenggara pemerintah daerah.
d.Kotamadya/kabupaten dan kota administrative yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.5 tahun 1974 dan telah berkembang dijadikan daearah otonom (yang memenuhi syarat pembentukan daerah otonom).
e.Kecamatan yang menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1974 sebagai wilayah administrative dalam rangka dekonsentrasi menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999, diubah menjadi bagian daerah otonom kabupaten atau kotamadya.

3.3. Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
a. Azas desentralisasi yang dianut dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 mencakup pengertian :
1. Pemberian wewenang yang luas pada daerah otonom , kecuali wewenang dalam bidang :
-          Pertahanan dan Keamanan
-          Politik Luar Negeri
-          Peradilan
-          Moneter, Fiskal serta kewenangan bidang pemerintahan lainnya.
2. Proses pemerintahan daerah otonom yang baru berdasarkan azas desentralisasi atau mengakui adanya daerah otonom yang sudah dibentuk berdasarkan perundang-undangan sebelumnya.
b. Azas dekonsentrasi yang dianut mencakup pengertian :
1. Pelimpahan wewenang pemerintahan dari Pemerintahan Pusat kepada perangkat daerah.
2. Pemerintahan Propinsi sebagai wilayah administrative dan pelimpahan wewenang pusat kepada gubernur.
Asas deknstruksi adalah urusan pemerintah pusat yang diserahkan kepada pemerintah daerah melalui pejabat-pejabatnya dan tetap menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, baik mengenai perencanaan, pelaksanaan mapunpun pembiayaan. Unsur pelaksanaan adalah instansi-instansi vertical yang secara operasional dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukan nya sebagai wakil pemerintah pusat[13]
c. Dalam pemerintahan daerah tidak ada lagi perangkat (Pembantu Gunbernur, Pembantu Bupati)
d. Pemerintahan pusat dapat menugaskan kepada daearah otonom untuk melaksanakan tugas tertentu.
3.4. Kepala Daerah
Kepala daerah sebagai lembaga eksekutif daearah memimpin pemerintah daerah, dan wajib bertanggung jawab kepada DPRD sebagai lembaga legeslatif daerah sebagai pengejawatan demokratisasi pelaksanaan pemerintahan daerah. Kepada daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban jalannya pemerintahan daerah setiap tahun sekali kepada DPRD. Apabila pertanggung jawaban ditolak oleh DPRD, pemerintah daerah dapat memperbaiki pertanggungjawabannya dalam waktu 30 hari. Apabila ditolak lagi oleh DPRD, maka DPRD dapat mengusulkan kepada Presiden agar kepala daerah diberhentikan.
Pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh DPRD setempat dan pengesahannya oleh Presiden atau pejabat yang diberi kuasa oleh Presiden. Dengan system demikian dapat diciptakan system check and balances dalam pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga dapat diciptakan good dovermance.

3.5. Organisasi Daerah
Organisasi daerah otonom meliputi DPRD dan pemerintahan daerah. DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada rakyat. Oleh karena itu hak-hak DPRD cukup luas dan diarahakan untuk meningkatkan penyerapan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan daerah dan melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif.
3.6. Hak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Hak DPRD sama dengan hak DPR. Hak DPRD ini berhubungan dengan berbagai fungsi DPRD sebagai berikut :
a. Lembaga Perwakilan rakyat
b. Pembentukan Peraturan Daerah (legislative)
c. Pengawasan jalannya Pemerintah Daerah.

3.7. Kepegawaian
Kebijakan dibidang kepegawaian diarahkan untuk mendorong pengembangan otonomi daerah, sehingga kebijakan kepegawaian yang dilaksanakan didaerah otono disesuaikan dengan kebutuhannya, baik pengangkatan, pemberhentian maupun pemindahannya, penempatan dan mutasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mutasi antar kabupaten/kota diatur oleh Gubernur (sepanjang dalam satu propinsi) sedang mutasi antar propinsi diatur oleh pemerintah pusat (Departemen Dalam Negeri) sepanjang terdapat kesepakatan antar daerah otonom.

3.8. Keuangan Daerah
Guna menyelenggarakan otonomid daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, diperlukan keuangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang didukung pula oleh pembagian keuangan antara pusat dan daerah yang merupakan persyaratan dalam system pemerintahan dan administrasi Negara.
3.9. Pemerintahan Desa
Undang-undang No.5 tahun 1979, dicabut bersama-sama dengan Undang-undang No.5 Tahun 1974 dengan rincian :
a. Pengaturan pemerintahan desa tidak lagi seragam di seluruh Indonesia, melainkan dikembalikan pada asal-usul dan ketentuan adatnya di daerah.
b. Pengaturan tentang pemerintahan desa diserahkan kepada masing-masing daearah otonom ditingkat kabupaten atau kotamdaya.
c. kepala desa bertanggung jawab kepada Bdang Perwakilan Desa, dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada kepala daerah otonom.
d. Desa dapat melakukan perbuatan hokum baik public maupun perdata.
e. Sebagai penyandang demokrasi di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain sesuai dengan budaya setempat, yang berfungsi sebagai lembaga legeslatif, dan pengawasan pelaksanaan peraturan desa, anggaran desa, dan keputusan kepala desa.
f. Desa memiliki sumber pembiayaan desa berupa pendapatan desa, bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta pendapatan lain yang sah. 


BAB. III PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari ulasan yang diberikan pada BAB II Pembahasan, penulis dapat merik kesimpulan sebagai berikut :
1. Bibit atau cikal bakal tentang otonomi daerah sebenarnya telah ada sejak Negara ini merdeka, atau pada tahun 1945, tetapi kualitas atau jumlah nya tidak terlalu diperhatikan mengingat belum lamanya pemerintahan Negara republik Indonesia.
2. Setelah melalui beberapa tahun dalam pemerintahan , baru terasa adanya kekurangan atau kelemahan dalam system pemerintahan sentralisasi atau system pemerintahan yang bergantung pada pusat, sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Tidak merata nya perkembangan disetiap wilayah
2. Rawan nya penyalahgunaan wewenang jika system pemerintahan sentralisasi masih dilakukan.
3. Untuk membuang kelemahan dalan system dan mewujudkan pemerintahan yang lebih baik.
Puncak dari system pemerintahan daerah adalah pada Era reformasi dimana dipakainya Undang-undang No.22 tentang Pemrintahan Daerah dibarengi dengan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Drs. Winarna Surya Adisubrata,Otonomi Daerah Di Era Reformasi,UPP AMP YKPN.Jakarta.2002
2. Yulia Netta SH. MH,Hukum Ilmu Negara,Lembaga Penelitian Universitas Lampung.Bandarlampung.2009
3. RDH. Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,Binacipta Bandung,1979
4. Amrah muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1982
5.Bagir Manan, Susunan Pemerintahan, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 1989
6. SH. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan pusat ke daerah, kata hasta pustaka,Jakarta,1999
7.Bagir Manan, Menyongsong fajar otonomi daerah, pusat studi hokum (PSH) fakultas hokum UII Yogyakarta,2001
8.Bhenyamin Hoessein, Berbagai factor yang mempengaruhi besarnya  otonomi daerah tingkat II, disertasi, pascasarjana UI,1993
9.RDH. Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,Binacipta Bandung,1979
10. Yulies Tiena Masriani, s.H. M.Hum, Pengantar Hukum Indonesia,Sinar Grafika,Jakarta,2004


[1] Drs. Winarna Surya Adisubrata,Otonomi Daerah Di Era Reformasi,UPP AMP YKPN.Jakarta.2002,Hlm Vii
[2] Yulia Netta SH. MH,Hukum Ilmu Negara,Lembaga Penelitian Universitas Lampung.Bandarlampung.2009,hlm.5
[3] Yulia Netta, Op.Cit.,107
[4] Drs. Winarna Surya Adisubrata, Op.Cit.,1
[5] Bagir Manan, Susunan Pemerintahan, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 1989, hlm.26
[6] SH. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan pusat ke daerah, kata hasta pustaka,Jakarta,1999, hlm.38
[7] RDH. Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,Binacipta Bandung,1979, hlm. 14
[8] Amrah muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1982, hlm.5
[9] Ibid hlm.14-15                                                                          
[10] Bagir Manan, Menyongsong fajar otonomi daerah, pusat studi hokum (PSH) fakultas hokum UII Yogyakarta,2001, hml.174
[11] Bhenyamin Hoessein, Berbagai factor yang mempengaruhi besarnya  otonomi daerah tingkat II, disertasi, pascasarjana UI,1993, hlm.17
[12] Drs. Winarna Surya Adisubrata, Op.Cit.,5-7
[13] Yulies Tiena Masriani, s.H. M.Hum, Pengantar Hukum Indonesia,Sinar Grafika,Jakarta,2004, hlm.46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar