Alkisah
ada seorang nabi yang bersahabat dengan malaikat maut. Pada suatu hari Nabi
Allah ini berkata kepada malaikat maut, "Wahai malaikat maut, bila tiba
waktunya engkau mencabut nyawaku, maukah engkau memberitahu aku jauh-jauh hari
sebelumnya ?".
"Karena engkau nabi Allah, aku akan
turuti permintaanmu itu!" jawab malaikat maut singkat.
Singkat
cerita, setelah beberapa lama kemudian datanglah malaikat maut menjumpai sang
nabi yang saat itu sedang lesehan melepaskan lelah, "Wahai nabi Allah,
sekaranglah saatnya aku ditugaskan Allah untuk menjemputmu!"
"Hai malaikat maut, lupakah engkau
akan kesepakatan kita ? lupakah engkau akan janjimu ? Bukankah engkau telah
berjanji akan memberitahu aku terlebih dahulu sebelum saat ini tiba, mengapa
engkau ingkar janji?" tanya Nabi dengan penuh keheranan "Sebenarnya
aku tidak pernah ingkar janji, aku juga tidak lupa akan kesepakatan kita, hanya
engkau saja yang tidak menyadari."
"Maksudmu engkau telah memberitahu aku
sebelumnya ?"
"Benar wahai Nabi Allah, bahkan aku
berkali-kali memberitahu dan memperingatkanmu."
"Kapan itu kau lakukan ?" tanya
Nabi penuh keheranan
"Wahai
Nabi Allah, bukankah sebulan yang lalu kau ikut memikul jenazah si fulan ?
tidak sadarkah engkau bahwa saat itu akulah yang datang ? bukankah seminggu
yang lalu kau ikut memandikan mayat si Polan ? tidak tahukah engkau bahwa saat
itu akulah yang mengunjungi ? bukankah kemarin engkau ikut menshalatkan jenazah
si anu ? lupakah engkau bahwa saat itu akulah yang bertamu ? bukankah tadi pagi
engkau ikut menguburkan si Polin ? masih belum tahu dan belum sadarkah engkau
bahwa saat itu akulah yang menjemputnya? Kalau semua itu belum cukup lalu
dengan cara bagaimana lagi aku harus memberitahumu ?" jawab malaikat tidak
kalah herannya.
Banding adalah
pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap putusan
pengadilan negeri, atas permohonan pihak yang berkepentingan. Pada
kenyataannya, pihak yang berkepentingan tersebut selalu berada pada pihak yang
kalah perkara dalam putusan pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat
pertama. Pihak yang kalah itu mungkin pihak penggugat atau mungkin juga pihak
tergugat.
Pemeriksaan ulang
adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadapperkara perdata yang sudah diputus oleh
pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama. Pemeriksaan ulang itu
dilakukan sejak awal perkara sampai putusan akhir pengadilan negeri.
Pemeriksaan tersebut meliputi, baik dari segi fakta yang terjadi maupun dari
segi hukumnya. Dasar pemeriksaan ulang oleh pengadilan tinggi adalah
alasan-alasan faktual dan yuridis yang dimohonkan pihak pembanding dalam memori
banding.
Pemeriksaan perkara
banding oleh pengadilan tinggi pada dasarnya dilakukan terhadap berkas
dokumen-dokumen peradilan tingkat pertama (pengadilan negeri). Akan tetapi,
apabila pengadilan tinggi memandang perlu, dia berkuasa memanggil pihak-pihak
yang berperkara untuk didengar alasan-alasannya. Untuk kepentingan praktis,
biasanya dimintakan bantuan dari pengadilan negeri yang memutus perkara untuk
memeriksa hal-hal yang diperintahkan oleh pengadilan tinggi untuk melengkapi
berkas-berkas yang sudah ada.
2. Hukum Acara Banding
Peraturan undang-undang
mana yang menjadi dasar kewenangan pengadilan tinggi melakukan pemeriksaan
tingkat banding perkara perdata yang dimohonkan oleh pihak yang berkepentingan?
Peraturan undang-undang mana yang menjadi hukum acara perdata di tingkat
banding oleh pengadilan tinggi?
Untuk mengetahui dasar
hukum kewenangan pengadilan tinggi melakukan pemeriksaan tingkat banding,
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan:
“Terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan
tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan
lain.” (Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Ketentuan Undang-Undang
tersebut memberikan pengecualian, “kecuali undang-undang menentukan lain”. Apa
yang dimaksud dengan pengecualiaan itu? Pengecualiaan yang dimaksud ditujukan
pada perkara perdata yang tidak perlu dimintakan banding, tetapi langsung
kasasi ke Mahkamah Agung, misalnya, putusan pengadilan niaga dalam perkara hak
kekayaan intelektual dan perkara kepailitan.
Untuk mengetahui hukum
acara perdata di tingkat banding perlu dibaca ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1951. Menurut ketentuan Undang-Undang tersebut bahwa:
“Peraturan
hukum acara untuk pemeriksaan ulang atau banding pada Pengadilan Tinggi adalah
peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku bagi
Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu”. (Pasal 3
Undang-Undang Nomor1 Tahun1951).
Peraturan undang-undang
yang mana yang dimaksud dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu
adalah:
a.Untuk
pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di Jawa
dan Madura adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.
b.Untuk
pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di luar
Jawa dan Madura adalah Rechtsreglement
voorde Buitengewesten (RBg.).
Undang-Undang Nomor 20
Tahun1947 sebenernya mengambil alih ketentuan tentangpemeriksaanulang atau
banding yang terdapat dalam HIR dengan sekedar perubahan dan tambahan.
Ketentuan dalam HIR pada dasarnya juga tidak berbeda dengan ketentuan tentang
banding dalam RBg. Jadi, walaupun formalnya ada dua jenis peraturan
undang-undang yang berlaku mengenai pemeriksaan ulang atau banding, secara
materiil mempunyai kesamaan dan keseragaman. Singkatnya, hukum acara banding
perkara perdata pada pengadilan tinggi di seluruh wilayah Indonesia mengikuti
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Acara
Banding.
B.
SYARAT DAN PROSEDUR BANDING
1. Syarat Banding
Syarat untuk dapat
dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh pengadilan negeri
adalah apabila besar nilai gugatan perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp
100,00. Dengan demikian, jika nilai gugatan Rp 100,00 atau kurang, putusan
pengadilan negeri tidak dapat dimintakan banding. Pada waktu sekarang, tidak
ada perkara yang nilainya sekecil itu sehingga praktis semua perkara perdata
yang diputus oleh pengadilan negeri dapat diminta banding.
Dalam pembentukan hukum
acara perdata nasional yang akan datang perlu dipikirkan pembatasan nilai
perkara yang diperkenankan banding. Jika semua putusan pengadilan negeri dapat
diminta banding, padahal nilainya tidak sepadan, tentu membuat proses menjadi
lama dan makan biaya lebih mahal, malahan bertentangan dengan asas peradilan
sederhana, cepat, dan murah.
2. Prosedur Banding
Jika putusan pengadilan
negeri diminta banding, permohonan banding disampaikan kepada panitera
pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan, baik secara lisan maupun secara
tulisan dalam tenggang waktu empat belas hari terhitung mulai hari berikutnya dari
pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.
Tenggang waktu tersebut
dijadikan tiga puluh hari jika pemohon banding berdiam diluar daerah hukum
tempat pengadilan itu bersidang, untuk jawa dan madura. Sedangkan untuk luar
jawa dan madura tenggang waktu tersebut dijadikan enam minggu. Perkara banding
harus harus disertai pembayaran persekot ongkos perkara banding yang jumlahnya
ditaksir oleh panitera pengadilan negeri tersebut. Apabila tenggang waktu yang
telah ditentukan itu sudah lampau, demikian juga biaya perkara tidak disetor,
permohonan banding tidak dapat diterima.
Permohonan banding
dapat diterima kemudian dicatat oleh panitera pengadilan negeri dalam daftar
yang disediakan untuk itu. Sesudah itu, panitera menyampaikan pemberitahuan
permohonan banding kepada pihak lawannya. Pada waktu menyampaikan pemberitahuan
permohonan banding dilampirkan juga salinan surat memori banding.
C.
PEMERIKSAAN PADA TINGKAT BANDING
1. Pemeriksaan Berkas Perkara
Pemeriksaan pada
tingkat banding dilakukan dengan memeriksa berkas perkara pemeriksaan
pengadilan negeri dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara
tersebut. Jika dipandang perlu, majelis hakim banding dapat mendengar sendiri
kedua belah pihak yang berperkara dan saksi-saksi guna melengkapi bahan-bahan
yang diperlukan. Dalam praktiknya, majelis hakim dapat memerintahkan kepada
pengadilan negeri yang memutus perkara guna melengkapi bahan-bahan yang
diperlukan dengan memanggil dan mendengarkan keterangan pihak-pihak dan
saksi-saksi.
Prosedurnya sama dengan
prosedur biasa, hanya saja pendaftaranya tidak dilakukan dalam register
pengadilan negeri, tetapi dalam register pengadilan tinggi. Kemudian berkas
perkara hasil pemeriksaan tambahan yang telah ditanda tangani oleh ketua dan
panitera dikirimkan kepada ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan.
Pemeriksaan pada
tingkat banding adalah pemeriksaan ulang terhadap perkara yang telah diperiksa
dan diputus pengadilan negeri. Dalam pemeriksaan banding, majelis hakim banding
mempertimbangkan dalil-dalil yang yang dikemukakan oleh pemohon banding dalam
memori bandingnya, apabila didalamnya tidak terdapat hal-hal yang baru, majelis
hakim banding mengesampingkan memori tersebut dengan alasan tidak ada hal-hal
baru. Dengan pemeriksaan ulang dapat dikoreksi apakah putusan yang diberikan
sudah tepat, kurang tepat, atau ada kesalahan, meliputi semua fakta hukumnya.
Atas dasar ini pemeriksaan ulang atau banding dikatakan pemeriksaan pada
tingkat kedua dan tertinggi.
2. Pemeriksaan Banding oleh Majelis Hakim
Pemeriksaan pada
tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan tiga orang hakim
sebagai majelis hakim, seorang sebagai hakim ketua dan dua orang sebagai
anggota, serta di bantu seorang panitera. Ketentuan Undang-undang kekuasaan
kehakiman tersebut sudah sesuai dengan
kondisi sekarang bahwa semua pengadilan memutus peradilan tingkat baru. Alasannya
di setiap kabupaten/kota dan provinsi dibentuk pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi atas perintah undang-undang.
Latar belakang
dikeluarkanya Undang-undang darurat Nomor 11 tahun 1955 mengenai keharusan
penggadilan banding memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang
hakim akan menimbulkan akibat banyaknya tunggakan perkara pada perkara tingkat
banding karena belum cukupnya tenaga hakim pada pengadilan tinggi.
Oleh karena itu, ketua
pengadilan tinggi hendaknya diberi kuasa dan juga diwajibkan untuk
memisah-misahkan perkara banding dan menentukan perkara-perkara mana yang dapat
diputus oleh seorang hakim saja dan mana pula yang tidak, ketentuan pemeriksaan
perkara oleh seorang hakim saja sebenarnya merupakan tindakan darurat yang
secara berangsur-angsur harus disesuaikan oleh perintah pasal 15 undang-undang
nomor 14 tahun 1970 tentang keharusan memeriksa dan memutus sekurang-kurangnya
dengan tiga orang hakim. Sekarang di setiap provinsi dibentuk pengadilan tinggi
dengan tenaga hakim tinggi yang cukup dan makin bertambah.
D.PUTUSAN
PENGADILAN BANDING
Setelah pemeriksaan
perkara selesai dilakukan, majelis hakim banding segera menjatuhkan putusannya.
Putusan pada tingkat banding dapat berupa :
1.Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
Putusan menguatkan
artinya apa yang telah di periksa dan diputus oleh pengadilan negeri dianggap
benar dan tepat menurut asas keadilan .
2. Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri
Putusan memperbaiki
artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dipandang
kurang tepat menurut rasa keadilan. Oleh karena itu perlu diperbaiki.
3. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri
Putusan membatalkan
artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dipandang
tidak benar dan tidak adil. Oleh karena itu, harus dibatalkan. Dalam hal ini, pengadilan
tinggi atau banding memberikan putusan sendiri.
Apabila pengadilan
negeri memutuskan tidak berwenang memeriksa perkara, kemudian oleh yang
bersangkutan dimintakan banding dan pengadilan tinggi berpendapat lain, artinya
pengadilan negri berwenang memeriksa perkara, maka pengadilan tinggi
membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan kepada pengadilan negeri
yang bersangkutan untuk memeriksa dan memutuskan perkara. Demikian pula jika
putusan pengadilan negeri kurang memperhatikan keterangan mengenai peristiwa yang
dikemukakan oleh pihak-pihak dan syarat-syarat yang diharuskan oleh
undang-undang yang berlaku, pengadilan tinggi membatalkan putusan itu dan
memerintahkan supaya pengadilan negeri memeriksa kembali, atau pengadilan
tinggi membatalkan putusan itu dan memrintahkan supaya pengadilan negeri
memeriksa kembali, atau pengadilan tinggi akan memeriksa sendiri perkara itu
dan memberikan putusan sendiri.
Setelah pengadilan
tinggi memberikan putusannya, salinan resmi putusan dan berkas perkaranya
dikirimkan kembali kepada pengadilan negeri yang bersangkutan. Setelah putusan
itu diterima pengadilan negeri, ketua memerintahkan supaya supaya
memberitahukan isi putusan itu diterima pengadilan tinggi kepada dua belah
pihak dengan memperingatkan hak mereka untuk mengajukan permohonan kasasi
kepada mahkamah agung, atas dasar perintah ketua pengadilan negeri, panitera memerintahkan
juru sita untuk memberitahukan isi putusan banding dengan surat pemberitahuan.
Dalam undang-undang
tidak diatur secara tegas batas waktu pemeberitahuan isi putusan banding kepada
pihak-pihak. Hanya ditentukan segera setelah menerima surat putusan pengadilan
tinggi, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan segera memerintahkan agar isi
putusan banding diberitahukan kepada pihak-pihak. Dengan pemberitahuan itu
mungkin pihak-pihak akan menggunakan haknya untuk memohon kasasi atau kalau
tidak memohon kasasi, putusan banding segera dilaksanakan. Bagi pihak yang
menang perkara segera akan mendapatkan haknya yang telah di tetapkan dalm
putusan pengadilan tinggi.
Apabila dalam tenggang waktu
yang telah ditetapkan undang-undang untuk permohonan kasasi, permohonan kasasi
tidak diajukan, maka putusan banding memperoleh kekuatan untuk dilaksanakan.
Pemerintahan Daerah Dalam Negara Kesatuan Beserta Contohnya
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi
Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan
aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, dengan
adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan
sumber-sumber daya (dana, manusia, dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan
untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang
merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan
oleh pemerintah.
Otonomi daerah di dalam negara kesatuan sering
menggunakan sistem desentralisasi, dimana dalam
sistem ini daerah-daerah
diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri
(Otonomi Daerah). Contoh, RI dengan daerah Provinsi, Kabupaten/Kota,
Desa/Kelurahan[1].Otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga dearah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada negara federasi.
Di negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas daripada di negara yang
berbentuk federasi.
Kewenangan mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan
kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti :
1. Hubungan Luar Negeri;
2. Pengadilan ;
3. Moneter dan keuangan;
4. Pertahanan dan Keamanan.
2. Masalah-masalah yang Timbul
dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah
adalah satu kebijakan yang dibuat untuk mengurangi tugas-tugas dari pemerintah
pusat, agar semua daerah dapat merasakan dan mencoba menyelesaikan persoalan
dalam rumah tangganya sendiri. Akan tetapi, di dalam pelaksanaan otonomi daerah
dalam negara kesatuan (Indonesia) masih terdapat banyak masalah-masalah
lainnya. Masalah-masalah tersebut adalah[2]:
a.Adanya eksploitasi pendapatan daerah;
Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap;
Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai;
Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan
otonomi daerah;
Korupsi di Daerah;
Adanya potensi munculnya konflik antar
daerah.
3. Penerapan Sistem Pemerintahan
Daerah di negara kesatuan (Indonesia)
Di Indonesia sistem rumah tangga daerahnya adalah tatanan yang
bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan
pembagian tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan
pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang dibiarkan
sebagai urusan rumah tangga daerah[3].
Apabila otonomi daerah diartikan sebagai segala
tugas yanga ada pada daerah, maka di dalamnya melekat kewenangan yang
meliputi kekuasaan (macht;
bevoegdheiden), hak (recht) atau
kewajiban (plicht) yang diberikan
kepada daerah dalam menjalankan tugasnya.
Masalahnya
kewenangan mana yang diatur oleh pemerintah pusat dan kewenangan mana yang
diatur oleh pemerintah daerah.Sehubungan dengan itu
secara teoritik dan praktik dijumpai lima
jenis sistem
otonomi atau sistem rumah tangga yaitu :
Otonomi organik (rumah tangga organik);
Otonomi formal (rumah tangga
formal);
Otonomi material (rumah
tangga material/substantif);
Sebenarnya
tujuan otonomi daerah itu sendiri adalah membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga
pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami dan merespon berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya[5]. Pemerintah
hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat
strategis.Desentralisasi diperlukan dalam
rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagai wahana pendidikan politik di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara
kesatuan atau integrasi nasional. Untuk mewujudkan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah.
Secara etimologis[6]
istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de”= lepas dan “centerum”=pusat. Jadi, berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah
melepaskan dari pusat. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos=sendiri;
nomos=Undang-Undang) dan berarti
“perundangan sendiri” (zelfwetgeving).
Desentralisasi dikenal memiliki
konsep yang bermacam-macam, yaitu desentralisasi politik, fungsional dan kebudayaan[7]. Lalu ada juga yang membagi desentralisasi ke dalam dekonsentrasi dan
desentralisasi ketatanegaraan.Desentralisasi ketatanegaraan dibagi dua menjadi desentralisasi territorial
dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial dikenal dalam dua bentuk, yaitu: “Otonomi” dan “Medebewind
atau zelfbestuur”[8].
Desentralisasi
dalam pelaksanaanya mempunyai beberapa elemen utama. Elemen-elemen ini sangat
mendukung berlangsungnya desentralisasi yang benar, sekaligus menjadi dasar
hukum terlaksananya otonomi daerah. Elemen utama dari desentralisasi tersebut
adalah[9]:
1.Undang-undang
No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta tanggung jawab politik dan
administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur
yang terdesentralisasi.
2.Undang-undang
No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
dasar hukum bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang
pembagian sumber-sumber pendapatan dan transfer antar pemerintah.
Ada beberapa hal
yang menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menjadi tidak optimal,
yaitu sebagai berikut:
1.Lemahnya pengawasan maupun check and balances. Kondisi inilah kemudian menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan dan ketidak seimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah
2.Masih banyak pemahaman yang keliru terhadap
otonomi daerah, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan
pelaksanaan otonomi daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang
aman, damai dan sejahtera.
3.Sumber daya yang terbatas, ditambah lagi dengan
tuntutan kebutuhan dana pembangunan yang cukup besar. Sehingga pemda menempuh
pilihan yang membebani masyarakat daerah yang dipimpinnya. Contohnya, dengan
meningkatkan objek pajak dan retribusi[10].
4.Adanya kesempatan seluas-luasnya yang diberikan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, malah disalah
artikan. Bahkan masyarakat mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara yang
tidak benar, sehingga menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan.
5.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya
berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi
Daerah tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya.
6.Kurangnya
pembangunan sumber daya manusia/Sumber Daya Manusia (moral, spiritual
intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan. Sumber Daya
Manusia berkualitas ini merupakan kunci penentu dalam keberhasilan pelaksanaan
Otonomi Daerah.
4. Contoh Penerapan Sistem Pemerintahan Daerah
Daerah yang dapat menjadi contoh dari sistem pemerintahan
daerah di negara Kesatuan (Indonesia) adalah Kota Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung merupakan ibukota dari provinsi
Lampung, Indonesia. Kota ini memiliki luas 207,50 km² dengan populasi penduduk
sebanyak 912.087 jiwa (2008); kepadatan penduduk 4.597 jiwa/km² dan tingkat pertumbuhan
penduduk 3,79 % per tahun[11].Kota Bandar Lampung merupakan
ibukota Provinsi Lampung.
Oleh karena itu Kota Bandar
Lampung merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan
kebudayaan, serta merupakan pusat kegiatan perekonomian dari Provinsi Lampung. Provinsi
Lampung merupakan sebuah daerah keresidenan (sebelum tanggal 18 Maret 1964), dengan
ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1964 yang kemudian menjadi Undang-undang
Nomor 14 tahun 1964, Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Provinsi Lampung
dengan ibukotanya Tanjung Karang-Teluk Betung. Selanjutnya berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1983 Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjung Karang-Teluk
Betung diganti menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung terhitung
sejak tanggal 17 Juni 1983, dan tahun 1999 berubah menjadi Kota Bandar Lampung.
Berdasarkan Undang-undang No.
5 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1982[12] tentang perubahan wilayah,
maka Kota Bandar Lampung diperluas dengan pemekaran dari 4 kecamatan 30
kelurahan menjadi 9 kecamatan 58 kelurahan. Kemudian berdasarkan SK. Gubernur
No. G/185.B.111/Hk/1988 tanggal 6 Juli 1988 serta surat persetujuan MENDAGRI
nomor 140/1799/PUOD tanggal 19 Mei 1987 tentang pemekaran kelurahan di Wilayah
Kota Bandar Lampung, maka Kota Bandar Lampung terdiri dari 9 kecamatan dan 84
kelrahan. Pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No.
04[13], Kota Bandar Lampung menjadi
13 kecamatan dengan 98 kelurahan.Sejak berdirinya Kota Bandar Lampung upaya peningkatan
potensi-potensi yang ada terus dilakukan dengan upaya peningkatan pembangunan
daerah yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
pembangunan yang lebih terpadu dan terarah agar sumber daya yang ada dapat
dimanfaatkan secara efektif dan efisien.
Perkembangan kota Bandar
Lampung semakin meningkat, hal ini ditunjukkan daari banyaknya perusahaan dan
kawasan industri yang terus bertambah. Pembangunan ini tentunya digerakkan oleh
pemerintah, swasta dan masyarakat, sebagian dilakukan dalam rangka deregulasi dan debirokratisasi sebagai terobosan terhadap tatanan yang ada untuk
mempercepat tercapainya pertumbuhan dan pemerataan pembangunan serta persiapan
menghadapi era globalisasi.
-Sumber-sumber dari Internet:
1.ampundeh.wordpress.com (akses 22 Juli pukul 08.30 WIB).