BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Perbankan
merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi di Indonesia yang mempunyai fungsi
utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yangdiatur dalam Pasal 3
Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
Di dalam sistem hukum Indonesia, segala bentuk praktek perbankan berdasar
kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam ideologi negara Indonesia yakni
Pancasila dan Tujuan Negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pengakuan
yuridis formal mengenai eksistensi perbankan dimulai sejak lahirnya Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan dan selanjutnya dengan
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan. Sebagai badan usaha, kehadiran bank di masyarakat
memiliki peran yang sangat strategis dalam proses pembangunan nasional. Arti
dan peran perbankan terlihat dari pengertian bank itu sendiri yakni badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Lembaga perbankan merupakan inti
dari sistem keuangan setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi
tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta dan negara. Melalui
kegiatan perkreditan dan berbagai jasa lainnya, bank berperan serta dalam
mekanisme pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Prasarana perbankan
Indonesia setelah reformasi mengalami perkembangan yang sangat cepat. Untuk
mengatasi sengketa atau permasalah hukum yang terjadi dalam perbankan maka terdapat
upaya penyelsaian yang sering dikenallitigas dan non litigasi. Upaya hukum
litigasi merupakan penyelsaian melalui pengadilan, sedangkan non litigasi
merupakan upaya penyelsaian sengketa diluar pengadilan yang terdiri dari mediasi,
konsolidasi dan arbitrase. Oleh karena itu, diatur mengenai alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya adalah arbitrase dan
mediasi seperti yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan Mediasi di
pengadilan diatur dalam PERMA No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi Perbankan diatur
dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Bertitik tolak pada pemaparan diatas penulis
terdorong menggkaji lebihdalam tentang “PERANAN
BI DALAM UPAYA MENJALANKAN FUNGSI MEDIASI PERBANKAN“
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimanakah peranan BI dalam
menjalankan fungsi mediasi perbankan ?
2.
Bagaimankah faktor penghambat dalam
upaya mediasi perbankan?
C.
Tujuan
dan Manfaat
1.
Untuk mengetahui peranan BI dalam
menjalankan fungsi mediasi perbankan.
2.
Untuk mengetahui faktor penghambat
dalam upaya mediasi perbankan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep dan pengertian mediasi.
Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah
(sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan
para pihak yang besengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu
kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.[1]
“Mediation
is a process in which two or more people involved in a dispute come together,
to try to work out a solution to their problem with the help of a neutral third
person, called the “Mediator”. [2]
“Mediasi”
adalah proses penyelesaian sengketa yang
melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna
mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau
seluruh permasalahan yang disengketakan. [3]
Pengertian mediasi dalam
pengintegrasiannya dalam sistem peradilan sebagaimana yang digariskan dalam
pasal 1 butir 6 adalah:[4]
a. Proses
penyelesaian sengketa di pengadilan melalui perundingan antara pihak yang
berperkara,
b. Perundingan
yang dilakukan para pihak, dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan
berfungsi:
c. Sebagai
pihak ketiga yang netral dan tidak memihak
(imparsial), dan
d. Berfungsi
sebagai pembantu dan penolong (helper)
mencari berbagai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik
dan saling meguntungkan kepada para pihak.
Dari perumusan-perumusan diatas dapat disimpulkan bahwa, mediasi merupakan proses
penyelsaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah sengketa yang
kewenangannya berbeda dengan kewenangan hakim untuk memutus sengketa perkara. Tugas
dan kewenangan mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak-pihak yang
bersengketa dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat mengadakan kesepakatan
tentang hal-hal yang disengketakan.
“The assumption…….is that third party will be able to alter the
power and social dynamics of the conflict relationship by influencing the
beliefs and behaviors of individual parties, by providing knowledge and
information , or by using a more effective negotiation process and thereby
helping the participants to settle contested issues” [5]
Tujuan
upaya mediasi :
a)
Membantu
mencarikan jalan keluar/alternative penyelesaian atas sengketa yang diantara para pihak yang disepakati dan dapat
diterima oleh para pihak yang bersengketa.
b)
Dengan
demikian proses negosiasi adalah proses yang forward looking dan bukan backward
looking. Yang hendak dicapai bukanlah mencari kebenaran dan/atau dasar
hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian masalah. “The goal is not
truth finding or law imposing, but problem solving” [6]
c)
Melalui
proses mediasi diharapkan dapat dicapai terjalinnya komunikasi yang lebih baik
diantara para pihak yang bersengketa.
d)
Menjadikan
para pihak yang bersengketa dapat mendengar, memahami alasan/ penjelasan/
aurgumentasi yang menjadi dasar/pertimbangan pihak yang lain.
e)
Dengan
adanya pertemuan tatap muka, diharapkan dapat mengurangi rasa marah/bermusuhan
antara pihak yang satu dengan yang lain.
f)
Memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan
masing-masing, dan hal ini diharapkan dapat mendekatkan cara pandangdari
pihak-pihak yang bersengketa, menuju suatu kompromi yang dapat diterima para
pihak.
a.
Latar belakang dan tujuan dari mediasi
Ada beberapa macam bentuk penyelesaian
perkara melalui perdamaian yakni salah satu diantaranya ialah mediasi. Mediasi
merupakan salah satu bagian proses penyelesaian perkara melalui perdamaian yang
bersifat pendekatan nurani dan moral, bukan berdasarkan hukum. Sebenarnya sejak
semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBG mengenal dan menghendaki penyesaian
sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:
Jika pada hari
yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan
pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.[7]
Selanjutnya, ayat (2) mengatakan:
Jika perdamaian
yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah
surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati
perjanjan yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan
sebagai putusan yang biasa.[8]
Bertitik tolak dari ketentuan pasal ini, sistem yang
diatur hukum acara dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepada Pengadilan
Negeri, hampir sama dengan court conected
arbitration system:
1. Pertama-tama,
hakim membantu atau menolong para pihak yag berperkara untuk menyelesaikan
sengketa dengan perdamaian,
2. selanjutnya,
apabila tercapaai kesepakatan diantara penggugat dan tergugat:
a) kesepakatan
itu dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian yang ditanda tangani oleh
para pihak;
b) terhadap
perjanjian perdamaian, dibuat akta berupa putusan yang dijatuhkan pengadilan
yang mencantumkan amar, menghukum para pihak menepati perjanjian perdamaian.
Jadi,
hampir tidak ada bedanya dengan court
connected arbitration system. Seolah-olah perjanjian perdamaian itu
merupakan putusan hakim dalam kedudukannya sebagai arbiter. Berarti, suatu hal
yang tidak dapat dipungkiri, Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBG lebih menghendaki
penyelesaian perkara dengan perdamaian daripada proses putusan biasa. Lebih
menghendaki penerapan proses win-win
solution yaitu sama-sama menang daripada penerapan winning or losing, yaitu menang atau kalah.
Dapat
diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya bertitik tolak dari eksistensi Pasal 130
HIR dalam hukum acara dalam perdata menunjukkan sejak jauh hari sebelum sistem
ADR dikenal pada era sekarang, telah dipancangkan landasan yang menuntut dan
mengarahkan penyelesaian sengketa melalui jalan perdamaian. Mediasi dianggap
lebih efektif dikarenakan :[9]
a. Proses
mediasi lebih cepat atau expited
procedure, dalam arti prosedurnya cepat, tidak formalistis, dan tidak
teknikal,
b. Biaya
murah atau minimal cost, pada
dasarnya tidak memerlukan biaya dibanding proses litigasi atau arbitrase yang
biayanya relatif lebih mahal atau sangat mahal, dan
c. Dapat
memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau
dapat memberi penyelesaian yang lebih memuaskan atas penyelesaian sengketa,
karena penyelesaian lebih mengutamakan pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan
berdasarkan perundingan dan kesepakatan daripada pendekatan hukum.
c. Ruang Lingkup Tahap mediasi
Tahap
mediasi substansinya meliputi penyampaian fotokopi dokumen yang diperlukan,
penentuan jadwal pertemuan, fungsi mediator, proses mediasi, mengundang ahli,
dan sebagainya.[10]
a) Para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen
Berdasarkan
Pasal 8 PERMA No. 2 Tahun 2003, tahap mediasi dimulai dari tanggal terpilihnya
mediator oleh para pihak atau dari tanggal ditunjuknya mediator oleh ketua
majelis. Terhitung dari tanggal itu, timbullah kewajiban hukum para pihak
melaksanakan dan menyerahkan:
3.
Fotokopi dokumen yang memuat duduk
perkara dan fotokopi surat-surat yang
diperlukan sebagai surat-surat bukti
Dalam
sistem mediasi yang berlaku secara umum, dalam formulir permohonan mediasi,
tercantum secara lengkap minimal hal-hal berikut:
(1)
Masalah yang disengketakan,
(2)
Penyelesaian yang diinginkan,
(3)
Ganti rugi atau pemulihan yang diminta
b). Kewajiban dan peran mediator
1) Mediator
wajib menentukan jadwal pertemuan
2) Proses
mediasi mesti dihadiri oleh para pihak
3) Berwenang
melakukan pertemuan antara mediator
4) Mediator
berfungsi dan berperan sebagai pembantu yang bersifat netral dan tidak memihak
5) Dapat mengundang para ahli yang
kompeten dalam bidang tertentu
d. Sistem
Proses Mediasi
Mengenai sistem atau tata cara
pertemuan perundingan (negosiasi) proses mediasi diatur dalam pasal 1 butir 11
dan Pasal 14 PERMA No.2 Tahun 2003. Bertitik tolak dari ketentuan pasal-pasal
tersebut, terdapat 3 (tiga) sistem pertemuan.
a)
Tertutup untuk umum, Sistem ini merupakan
prinsip dasar. Hal ini ditegaskan dalam pasal 14 ayat
b)
PERMA No.2 Tahun 2003 yang berbunyi:
Proses mediasi
pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak yang
menghendaki lain.
c)
Terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak
Dalam
peradilan disebut open court, yaitu
sidang pengadilan dinyatakan terbuka untuk umum. Kebolehan melakukan proses
proses pertemuan mediasi terbuka untuk umum menurut pasal 14 ayat (1) PERMA
No.2 Tahun 2003:
a)
Apabila para pihak menghendaki, dalam
arti para pihak menghendakinya;
b)
Kehendak atau persetujuan itu, harus
dinyatakan dengan tegas (expressis
verbis)
c)
3) Sengketa publik mutlak terbuka untuk umum
Sistem proses mediasi yang ketiga,
mutlak terbuka untuk umum. Cara ini ditegaskan dalam pasal 14 ayat (2) PERMA
No.2 Tahun 2003 yang berbunyi:
“Proses
mediasi untuk segala sengketa publik terbuka untuk umum.” Syarat
untuk melakukan proses mediasi mutlak terbuka untuk umum (disclosure):
a) Apabila
objek mediasi sengketa publik,
Berdasarkan pasal 1 butir 11, apabila objek
mediasi sengketa publik, anggota masyarakat dapat hadir atau mengamati, atau
masyarakat dapat mengakses informasi yang muncul dalam proses mediasi
b) Sedang
yang dikategorikan atau diklasifikasikan sengketa publik disebut secara
enumeratif atau satu per satu dalam pasal 1 butir 9, terdiri dari:
(1) lingkungan hidup,
(2) hak asasi manusia,
(3) perlindungan konsumen,
(4) pertanahan, dan
(5) perburuhan yang melibatkan kepentingan banyak
buruh[11]
B. Mediasi
Perbankan
Menurut Peraturan Bank
Indonesia No.8/5/PBI/2006, yang dimaksud dengan Mediasi
Perbankan adalah alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang
tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak
yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan. Dalam
praktek dikenal berbagai bentuk penyelesaian sengketa perdata seperti litigasi,
arbitrase dan/atau Mediasi. Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih
banyak memilih penyelesaian melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik
melakukan tuntutan secara perdata maupun secara pidana. Namun terdapat banyak
kendala yang sering dihadapi. Kendala tersebut antara lain lamanya penyelesaian
perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified
legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
Proses mediasi perbankan merupakan
kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas
penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan usaha
perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik
sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan
munculnya pengaduan nasabah. Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan
dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa
antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain
ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai media.
Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui berbagai media
tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi
menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif
terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian
pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank
Indonesia menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank. Namun,
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini tidak selalu dapat memuaskan nasabah.
Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan nasabah bank
baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi menimbulkan sengketa antara
nasabah dengan bank.[12]
Dalam penyelesaian sengketa melalui
mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka,
sehingga manfaat mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan mediasi adalah
sebagai berikut:
a)Mediasi dapat menyelesaikan sengketa
dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses beracara di Pengadilan
atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak diperlukan gugatan ataupun
biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih murah
b) Mendorong terciptanya iklim yang
kondusif bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga hubungan kerjasama
mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya persengketaan diantara mereka.
c)Proses mediasi lebih bersifat
informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan mediasi perbankan oleh Bank
Indonesia dituangkan dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 yang pada intinya mencakup
hal-hal sebagai berikut:
a)
Nasabah
dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi kepada Bank
Indonesia.
b)
Proses
mediasi dilakukan oleh Bank Indonesia hanya dengan sengketa dengan nilai klaim
maksimum sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c)
Pelaksanaan
proses mediasi sejak ditandatanganinya perjanjian mediasi (agreement to
mediate) sampai dengan penandatanganan akta kerja dan dapat diperpanjang sampai
dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah
dan bank. [13]
Sengketa
yang diselesaikan melalui Mediasi Perbankan
dibatasi pada Sengketa yang memiliki nilai tuntutan finasial paling
banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan tidak merupakan tuntutan
finansial yang diakibatkan oleh kerugian immateriil. Proses Mediasi
Perbankan adalah sebagai berikut :
- Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan upaya penyelesaian kepada Bank secara tertulis (bukti tanda terima pengaduan atau tanggapan Bank);
- Dalam hal nasabah belum menerima penyelesaian Bank, Nasabah mengajukan secara tertulis kepada Bank Indoensia disertai dokumen pendukung;
- Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;
- Sengketa yang diajukan merupakan sengketa keperdataan;
- Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia;
- Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enampuluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah;
- Bank Indonesia memanggil, mempertemukan, mendengar dan memotivasi nasabah dan Bank untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan;
- Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat;
- Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah dan Bank;
- Pelaksanaan proses Mediasi sampai dengan ditandatanganinya Akta Kesepakatan dilakkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate);
- Jangka waktu proses Mediasi dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan Nasabah dan Bank;
- Kesepakatan antara Nasabah dan Bank yang dihasilkan dari proses mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah dan Bank;
- Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian Sengketa perbankan yang telah dituangkan dalam Akta Kesepakatan.
Sedangkan syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa
Melalui Mediasi Perbankan (Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006), yaitu:
- Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;
- Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;
- Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;
- Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;
- Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi Perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan
- Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.
Menurut
Bank Indonesia Nomor : 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan, tahap-tahap dari
proses mediasi perbankan adalah :
a) Pengajuan
penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepadaBank Indonesia
dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah ( Pasal 7 Ayt 1)
b) Bank
Indonesia memanggil bank yang tersangkut (Pasal 7 Ayat 2).
c)
Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah
atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement
to mediate) (Pasal 9 Ayat 1).
d) Pihak
Bank Bank
wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh
Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank(Pasal 9 Ayat 2).
Adapun isi Perjanjian Mediasi
adalah :
a. Kesepakatan
untuk memilih Mediasi sebagai alternatif
penyelesaian
Sengketa; dan
b. persetujuan
untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.(2) Bank wajib
mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telahditandatangani oleh Nasabah
atau Perwakilan Nasabah dan Bank.
Dasar hukum dari kewenangan Bank Indonesia sebagai lembaga yang
menaungi Mediasi Perbankan diatur dengan suatu Peraturan Bank Indonesia (PBI),
yaitu PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang
mediasi perbankan pasal 2 yaitu :
a.
Mediasi
di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan independen yang
dibentuk asosiasi perbankan.
b.
Dihapuskan.
c.
Dalam
pelaksanaan tugasnya, lembaga mediasi perbankan independen melakukan koordinasi
dengan Bank Indonesia.
d.
Sepanjang
lembaga mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
dibentuk, fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Dengan dihapuskannya pasal 3 ayat (2)
ini membuat asosiasi perbankan mempunyai cukup waktu untuk merumuskan
pembentukan lembaga mediasi perbankan yang independen yang dapat menjembatani
kepentingan nasabah dan bank dengan seadil-adilnya tanpa tendensi untuk memihak
salah satunya. Sehingga diharapkan dengan tidak adanya batas waktu pembentukan
lembaga ini, asosiasi perbankan akan dapat dengan arif membentuk lembaga
mediasi yang dapat melindungi kepentingan nasabah.
C. Peranan
BI dalam menjalankan fungsi mediasi perbankan.
BI
telah menetapkan enam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API) demi terwujudnya
perbankan yang sehat kuat dan efisiensi guna menciptakan kesetabilan sistem
keuangan dalam rangka membantu pertumbuhan ekonomi nasional. Keenanam pilar API tersebut terdiri dari, struktur
perbankan yang sehat, sistem pengaturan yang efektif, industri perbankan yang
kuat, infrastruktur pendukung yang mencukupi dan perlindungan konsumen.[14]
Dalam
rangka merealisasikan pilar keenam yaitu perlindungan konsumen, BI telah
berusaha untuk melakukan peningkatan perlindungan dan pemberdayaan nasabah
dengan meningkatkan transparasi produk, menyediakan layanan penyelsaian
pengaduan dan ditingkatkan dengan mediasi perbankan serta upaya untuk
mengedukasikonsumen. Mekanisme penyelsaian sengketa antara nasabah dan bank
ditempuh melalui dua tahap. Pertama, bank wajib menyelsaikan terlebih dahulu
sengketa dengan nasabahnya susuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
7/7/PBBI/2005 tentang Penyelsaian Pengaduan Nasabah. Kedua, apabila sengketa
belum diselsaikan terlebih dahulu sengketa dengan baik, nasabah bank dapat mengajukan
permohonan sengketa melalui mediasi yang difasilitasi oleh BI sesuai PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan.
Sebagai
upaya lebih lanjut yang dilakukan oleh Bidalam upaya penegakan hukum dalam hal
terjadi sengketa antara nasabah dengan bank adalah menjadi pelaksana mediasi
perbankan.
Dalam mewujudkan upaya perlindungan
konsumen dengan menyediakan layanan mediasi perbankan, BI telah mengeluarkan
Peraturan Bank Indonesia (PBI)No.10/1/PBI/2008 tentang perubahan dari (PBI)
No.8/5/PBI/2006 . penyelesaian pengaduan nasabah tidak selalu dapat memuaskan
dan mengakomodir kepentingan nasabah karena penyelsaian konflik tersebut tidak
melibatkan nasabah melaikan diputuskan secara sepihak oleh bank. Dengan alasan
tersebut, maka BI menyediakan mekanisme mediasi perbankan. Hal ini bertujuan
agar setiap potensi sengekta yang dapat merugikan nasabahdan reputasi bank
segera dibatasi. Mediasi dipilih karena selain dapat dipilih karena selain
dapat menyelsaikan sengketa dengan cepat, murah efektif juga menjaga agar
reputasi bank tidak rusak karena ekspos terhadap konflik bank yang bersangkutan
dengan nasabahnya. Tindakan kongkrit yang dilakukan BI dalam rangka penegakan
hukum dalam hal terjadi sengketa perbankan ini di antaranya adalah dengan
pembentukan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan yang bertugas
menyelenggarakan mediasi antara nasabah dengan bank serta melakukan investigasi
tentang kemungkinan bank melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
D. Faktor
penghambat mediasi perbankan.
Direktur
Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia Purwanti Budiman menyatakan
bahwa jumlah kasus yang ditangani BI dalam proses mediasi sangat minim.
Menurutnya, hal itu disebabkan karena penyelesaian sengketa dengan cara mediasi
belum membudaya dikalangan masyarakat termasuk dalam nasabah bank dan bank itu
sendiri. Faktor lainnya adalah nasabah kurang memahami kasus posisi yang
sebenarnya, nasabah juga tidak bisa memberikan dokumen yang lengkap.
Selanjutnya, BI kesulitan untuk menghubungi pejabat di bank yang berkompeten
untuk dipanggil dan menjalani proses mediasi. Seringkali, utusan yang dikirim
oleh bank tidak memiliki kewenangan memutus. Hal ini berakibatkan proses
mediasi tidak dapat berjalan sebagai mana mestinya sehingga proses mediasi
tidak berjalan secara efektif dan membutuhkan waktu yang lama. Fakta dilapangan
menunjukan bahwa masih banyak pejabat bank yang belum mengetahui ketentuan
mediasi perbankan . Fakor penghambat selanjutnya datang dari advokad. Walaupun
hal ini relatif jarang terjadi, namun kadang seorang advokad yang diminta
pendapat oleh nasabah tentang sengketa dengan bank menyarankan agar perkara
tersebut dibawa kepengadilan. Dengan
demikian, ini merupakan salah satu bentuk upaya penghindaran terhadap mediasi
perbankan. Hambatan juga datang dari dalam operasional mediasi perbankanr itu
sendiri. Dengan institusi lembaga penyelsaian sengketa perbankan yang
dilaksanakan oleh BI tersebut bisa mempengaruhi sikab dan prilaku BI lebih
merasa sebagai hakim dalam penyelsaian sengketa nasabah dari pada sebagai
mediator.
Dalam menghadapi kendala tersebut perlu
dilakukan upaya yaitu pengenalan mediasi
perbankan kepada karyawan atau delegasi bank, mensosialisasikan mediasi
perbankan kepada nasabah dan masyarakat serta bekerjasama dengan pihak
ketiga dan penyamaan persepsi. Dan Akta
kesepakatan mediasi perbankan tidak memiliki suatu kekuatan eksekutorial sama
sekali terhadap kesepakatan tersebut, tetapi bersifat mengikat dan final. Namun
bukan berarti para pihak dapat ingkar terhadap apa yang telah disepakatinya,
karena ada sanksi administratif oleh Bank Indonesia apabila dilanggar oleh bank. Dari hasil penelitian Bank Indonesia
telah menjalankan fungsinya sebagai fasilitator mediasi perbankan[15].
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
permasalahan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia
telah berperan aktif dalam rangka menjalankan fungsi penegakan hukum dalam hal
terjadi sengketa. BI juga telah berusaha melakukan upaya mewujudkan tersedianya
perlindungan nasabah dengan berperan sebagai pelaksana mediasi perbankan dengan
dibentuknya Direktorat Investigasi dan Mediasi. Selain itu BI sebagai lembaga
publik telah menggunakan kekuasaannya untuk menciptakan fondasi hukum
pelaksanaan mediasi perbankan serta pedoman pelaksanaanya. Fungsi mediasi yang
dijalankan oleh BI yang bukan merupakan ruang linkup tugasnya, namun upaya
tersebut merupakan salah satu inisiatif BI yang disebabkan karena berdasarkan
fakta jumlah nasabah yang merasa dirugikan oleh bank tidak sedikit dan
membutuhkan upaya hukum yang segera, sehingga mediasi perbankan harus
dilaksanakan karena apabila dibiarkan koflik tersebut akan mengancam reputasi
bank yang bersangkutan. Fakor penghambat yang muncul dari upaya mediasi
perbankan mengakibatkan penyelesaian upaya mediasi tidak maksimal bahkan bisa
mengalami kegagalan. Dalam menghadapi kendala tersebut perlu
dilakukan upaya yaitu pengenalan mediasi perbankan kepada karyawan atau
delegasi bank, mensosialisasikan mediasi perbankan kepada nasabah dan
masyarakat serta bekerjasama dengan pihak ketiga dan penyamaan persepsi.
B. Saran
Perlu
dibentuknya Lembaga Mediasi Perbankan Independen agar pelaksanaan fungsi
mediasi perbankan dapat lebih Fair
dan efisien, sementara lembaga tersebut belum terbentuk. Bi perlu
mensosialisasikan keberadaan mediasi perbankan mediasi perbankan kepada
masyarakat dengan menegasakan kembali kewajiban bank menginformasikan pada
nasabahnya akan tersedianya mediasi perbankan.
DAFTAR PUTAKA
·
Harahap
M. Yahya, 1997 Beberapa Tinjauan Mengenai
sistem Pengadilan dan
Penyelesaian Sengketa. PT,cipta aditya Bakti. Bandung
·
M.
Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata
Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan,
Jakarta: Sinar Grafika
·
R.
Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1985
·
Goodpaster, 1995, Tinjauan Dalam Penyelesaian
Sengketa, dalam Soebagjo dan
Radjagukguk
·
Lovenheim, Peter, 1996, How
to Mediate Your Dispute, Nolo-Press, Berkeley.
Peraturan
·
Undang-undang
No 10 tahun 1998 tentang Perbankan
·
Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/5/PBI/2006
Tentang Mediasi Perbankan
·
PBI
No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/2006
web
·
http//www.bi.go.id/web/id/
·
Muliaman
D. Hadad, Menanti Mediator Bank-Nasabah, diakses dalam www.bexi.co.id/images/res/perbankan-Menanti%20Mediator%20Bank-Nasabah.pdf
[1]Goodpaster, 1999
: 241
[2] (Lovenheim,
1996 : 1.3)
[3]Peraturan Bank
Indonesia No. 8/5/PBI/2006, angka 5
[4] M. Yahya
Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm.244
[5]Goodpaster,
Tinjauan Dalam Penyelesaian Sengketa, dalam Soebagjo dan Radjagukguk, 1995 :
11-12
[6]Lovenheim, 1996 :
1.4
[7] R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1985, hlm. 88
[9] M. Yahya
Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm.243
[11] Ibid, hlm.266
[12]http://www.bi.go.id/web/id/
[13]Muliaman
D. Hadad, Menanti Mediator Bank-Nasabah, diakses dalam www.bexi.co.id/images/res/perbankan-Menanti%20Mediator%20Bank-Nasabah.pdf
[14] http//www.bi.go.id/web/id/