BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan dan fungsi Konstitusi sebagai Sumber Hukum Tata Negara
Konstitusi adalah suatu hukum
dasar atau hukum tertulis yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan suatu
hukum/sebagai pedoman dalam menciptakan suatu hukum yang baru. Suatu hukum
biasanya terdiri dari norma. Norma atau kaidah adalah pelembagaan nilai-nilai
baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau
perintah. Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu
diperinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi sebagai berikut:
a)
Kebolehan atau yang dalam bahasa disebut mubah;
b)
Anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu
atau yang dalam bahasa Arab disebut sunnah;
c)
Anjuran negatif untuk tidak mengerjakan
sesuatu atau yang disebut makruh;
d) Perintah
positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban;
Dari segi tujuannya, kaidah atau
norma hukum itu tertuju kepada cita perdamaian hidup antar pribadi. Tujuan
kedamaian kehidupan bersama tersebut biasanya dikaitkan pula dengan perumusan
tugas kaidah hukum, yaitu untuk mewujudkan kepastian, keadilan, dan
kebergunaan. Artinya setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan keseimbangan
antara nilai kepastian, keadilan, dan kebergunaan. Kaidah-kaidah hukum itu juga
dapat dibedakan menjadi imperatif dan fakultatif. Kaidah hukum yang imperatif
artinya bersifat keharusan, sedangkan kaidah hukum fakultatif adalah kaidah
hukum yang hanya bersifat melengkapi saja.
Kemudian, kaidah hukum juga dapat
dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak dan yang bersifat konkret
individual. Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang
ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum
dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan, atau keharusan, atau kebolehan[2].
Keputusan-keputusan yang bersifat
umum dan abstrak tersebut biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual konkret dapat
merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang
bersifat vonnis hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan. Oleh karena
itu, ketiga bentuk kegiatan pengambilan putusan tersebut, dapat dibedakan
dengan istilah:
a) Pengaturan
menghasilkan peraturan. Hasil pengaturan ini sudah seharusnya tidak disebut dengan
istilah lain kecuali “peraturan”.
b) Penetapan
menghasilkan ketetapan. Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan
administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut “Keputusan” atau
“Ketetapan”, bukan dengan istilah lain, misalnya kebiasaan di lingkungan
pengadilan yang menggunakan istilah “Penetapan” untuk sebutan bagi
keputusan-keputusan administrasi di bidang yudisial. Istilah yang dipakai
sebaiknya, bukan “penetapan” tetapi “ketetapan” yang sepadan dengan istilah
“keputusan”. Sedangkan penetapan adalah bentuk “gerund” atau kata bentuk
kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya, dan
c) Penghakiman
atau pengadilan menghasilkan putusan (vonnis). Istilah ini sebenarnya tidak
jelas bagaimana terbentuknya. Jika kata putusan dianggap benar secara
gramatikal, maka seharusnya dapat dipadankan dengan “tetapan” yang berasal dari
kata “tetap” dan “aturan” yang berasal dari “atur”. Namun, karena istilah ini
sudah diterima umum dalam praktik, telah menjadi konvensi bahwa keputusan
judisial hakim atas perkara yang diadili disebut putusan.
- Sumber hukum tata negara di Indonesia sebenarnya terdiri
atas dua, yaitu:
a. Sumber
hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan
falsafah negara[3];
b. Sumber
hukum formil, yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang kemudian diikuti peraturan
pelaksana di bawahnya, yaitu sebagai berikut:
1. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2. Undang-undang/Perpu;
3. Peraturan
Pemerintah;
4. Keputusan
Presiden;
5. Peraturan
pelaksana lainnya, misalnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah.
Undang-Undang Dasar 1945 itu
menjadi suatu naskah hukum dasar bagi bangsa Indonesia untuk menata kehidupan
kenegaraan, dan bahkan seperti termuat pasal 31, pasal 32, pasal 33, dan pasal
34 UUD 1945 itu sebenarnya juga menjadi hukum dasar bagi kehidupan sosial,
ekonomi, dan kebudayaan di Indonesia. Inilah yang antara lain membedakan
konstitusi Republik Indonesia dengan tradisi penulisan konstitusi di lingkungan
negara Eropa-Eropa Barat dan Amerika yang lazimnya hanya memuat materi-materi
yang hanya bersifat politik dalam UUD-nya. Oleh karena itu, memperbincangkan
Hukum Konstitusi yang ada di Indonesia lazim disebut dengan hukum tata negara,
dalam konteks studi dan pendidikan hukum, menjadi sesuatu yang niscaya bagi
setiap sarjana hukum.
Sehubungan dengan itu, kedudukan
dan peranan ilmu Hukum Tata Negara itu dalam konteks pembangunan di Indonesia,
dapat kita lihat dari beberapa segi, yaitu[4]:
a) Dalam
konteks perkembangan ilmu pengetahuan;
b) Dalam
konteks pendidikan;
c) Dalam
konteks penataan struktur kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan yang sangat
diperlukan dalam rangka pelembagaan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan,
kenegaraan, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Pemahaman yang komprehensif
mengenai kedudukan dan peranan hukum tata negara ini penting agar para
mahasiswa hukum sebagai calon sarjana hukum dapat mengerti lingkup kegunaan
ilmu ini bagi mereka di masa depan. Hukum tata negara mempunyai peranan penting
dalam rangka penataan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan atas dasar sistem
yang diacu dalam konstitusi.
- Norma Dasar dan Konstitusi
Derivasi
norma-norma tata aturan hukum dari norma dasar ditemukan dengan menunjukkan
bahwa norma partikular telah dibuat sesuai dengan norma dasar[5].
Terhadap pertanyaan mengapa suatu ketentuan yang memaksa adalah ketentuan
hukum, jawabannya adalah karena diatur dalam norma idividual, suatu keputusan
pengadilan.
Semua norma hukum adalah milik
satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali,
secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama
adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan
formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
- Fungsi Spesifik dari norma dasar atau Konstitusi
Bahwa norma
yang telah diuraikan di atas adalah norma dasar dari suatu tata hukum nasional
tidak mengimplikasikan bahwa tidak mungkin untuk memasuki wilayah di belakang
norma. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum.
Norma ini tidak valid karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid
karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa
presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum,
khususnya norma pembuat hukum.
- Prinsip Legitimasi
Validitas
norma hukum mungkin terbatas waktunya, dan adalah penting untuk memperhatikan
bahwa akhir sebagaimana awal validitas ini ditentukan hanya oleh tata aturan
dimana norma itu ada. Norma tetap valid sepanjang belum dinyatakan invalid
dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Inilah prinsip
legitimasi. Prinsip Legitimasi ini tidak berlaku pada kasus revolusi atau juga
disebut dengan coup d’Etat[6].
Secara hukum adalah tidak relevan apakah revolusi itu berdarah atau tidak, atau
dilakukan oleh massa atau oleh elite politik.
- Prinsip Efektivitas sebagai Norma Hukum Positif (Hukum
Internasional dan Nasional)
Prinsip
bahwa suatu tata hukum harus berlaku agar valid adalah suatu norma positif. Ini
merupakan prinsip efektivitas hukum internasional. Dari sudut pandang hukum
internasional, konstitusi suatu negara adalah valid hanya jika tata hukum
didasari konstitusi tersebut secara keseluruhan berlaku. Inilah prinsip umum
efektivitas, suatu norma hukum positif dalam hukum internasional yang
diaplikasikan terhadap keadaan konkret individu tata hukum nasional.
Maka norma dasar dari tata hukum
nasional yang berbeda-beda adalah suatu norma umum tata hukum internasional.
Jika kita meyakini hukum internasional sebagai suatu tata hukum dimana semua
negara adalah sub-ordinat maka norma dasar tata hukum nasional bukan sesuatu
yang dipresuposisikan dengan pemikiran hukum, tetapi suatu norma hukum positif,
suatu norma hukum internasional yang diaplikasikan terhadap tata hukum suatu
negara.
B. Materi Muatan
Konstitusi
Konstitusi adalah hukum dasar yang
dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara[7].
Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tertulis yang lazim disebut Undang-Undang
Dasar dan dapat pula tidak tertulis. Dalam penyusunan suatu konstitusi
tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam
praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke
dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana kebatinan yang menjadi
latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis
suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan saksama, untuk dapat
mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar.
Di samping itu, setiap kurun
waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk
dan mempengaruhi kerangka pemikiran dan medan pengalaman dengan muatan
kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan
Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. UUD
RI tahun 1945 sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001,dan 2002
merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia di masa depan[8].
Isinya mencakup dasar-dasar norma yang berfungsi sebagai sarana pengendali
terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman dan
sekaligus sarana pembaharuan masyarakat serta sarana perekayasaan ke arah
cita-cita kolektif bangsa.
Sebagai hukum dasar, perumusan
isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum
dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam
setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Oleh karena itu yang terpenting
adalah semangat dan kemauan politik para penyelenggara negara.
Lalu, materi konstitusi artinya
adalah isi yang terkandung dalam konstitusi tersebut. Di Indonesia yang menjadi
konstitusi atau hukum dasar tertulisnya adalah UUD 1945. Berdasarkan ketentuan
pasal 8 UU No. 8 tahun 2004, materi muatan yang harus diatur dengan
undang-undang berisi hal-hal yang:
a. Mengatur
lebih lanjut UUD RI 1945 yang meliputi:
-
Hak-hak asasi manusia;
-
Hak dan kewajiban warga negara;
-
Pelaksanaan dan penegakan negara serta pembagian
kekuasaan negara;
-
Wilayah negara dan pembagian daerah;
-
Kewarganegaraan dan kependudukan;
-
Keuangan negara.
b. Diperintahkan
oleh UU untuk diatur dengan UU.
Mengenai Pancasila, maka dalam
pasal 2 UU No. 10 tahun 2004 ditentukan sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
adalah sesuai dengan pembukaan UUD RI 1945 yang menempatkan pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara
sehingga setiap Materi Muatan Pembuatan Undang-undang tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sedangkan pasal 4 Undang-undang
nomor 10 tahun 2004[9]
tersebut menentukan bahwa peraturan perundang-undangan yang diatur lebih lanjut
dalam undang-undang ini meliputi undang-undang dan peraturan perundang-undangan
di bawahnya. Terdapat beberapa asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, yaitu:
a. Kejelasan
tujuan;
b. Kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian
antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat
dilaksanakan;
e. Kedayagunaan
dan kehasilgunaan;
f.
Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan[10].
Dengan demikian, setiap produk
peraturan perundang-undangan negara RI yang berdasarkan UUD RI 1945, haruslah:
a) Mencerminkan
religiusitas kebertuhanan segenap warga negara melalui keyakinan segenap warga
terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
b) Mencerminkan
prinsip-prinsip humanitas yang berkeadilan dan berkeadaban atau sila
kemanusiaan yang adil dan beradab;
c) Menjamin
dan memperkuat prinsip nasionalitas kebangsaan Indonesia melalui sila persatuan
Indonesia;
d) Memperkuat
nilai-nilai sovereinitas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam
permusyawaratn/perwakilan;
e) Melembagakan
upaya untuk membangun sosialitas yang keadilan dan perwujudan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
C. Interpretasi
Konstitusi
Interpretasi atau penafsiran
adalah suatu kiat dalam mencari makna sebenarnya yang terkandung dalam suatu
konstitusi. Konstitusi atau aturan yang berbentuk tulisan sebelum dibuat dan
diundangkan harus dilakukan penginterpretasian agar tidak menimbulkan makna
ganda, yang apabila terjadi makna ganda maka akan sulit dalam mensosialisasikan
aturan tertulis tersebut kepada masyarakat. Sebagai contoh, melakukan
penafsiran terhadap undang-undang.
Adanya yang namanya penafsiran
secara gramatikal. Pada umumnya, diakui adanya prinsip yang berlaku universal
dalam penafsiran hukum, yaitu bahwa setiap bagian dari suatu undang-undang
terbentuk dan dapat dibaca sebagai satu kesatuan yang serasi atau harmonis satu
sama lainnya. Prinsip tertulis yang biasa dipakai dalam penafsian undang-undang
itu bersifat datar, apapun hasilnya, pengadilan harus menerapkan apa adanya.
Dalam menerapkan undang-undang, pengadilan haruslah berasumsi bahwa pembentuk
undang-undang tidak membuat kesalahan apapun juga dan apa yang dikehendaki oleh
pembentuk undang-undang yang sebenarnya, itulah yang tertulis dalam
undang-undang tersebut.
Penafsiran Konstitusi/UUD secara
gramatikal adalah memahami bahwa setiap kata yang dipakai dalam rumusan
undang-undang haruslah dikonstruksikan dengan pengertian gramatikalnya. Hakim
tidak boleh menambah kata atau pengertian apapun dalam ketentuan undang-undang
dalam upayanya memahami pengertian yang terkandung dalam undang-undang dengan
pandangan atau pengertian yang dia sendiri harapkan ada untuk diterapkan
terhadap kasus konkret tertentu.
Untuk menghadapi kasus-kasus
semacam itu, apabila suatu kata dalam undang-undang mengandung dua atau lebih
pengertian, maka untuk itu diperlukan metode penafsiran yang tidak hanya
terpaku pada makna kata secara gramatikal atau literal. Prinsip pertama dan
utama dalam “rule of construction” adalah
bahwa kehendak pembentuk undang-undang (legislature)
harus ditemukan dalam kata-kata yang dipakai oleh pembentuk undang-undang itu
sendiri.
Jika kata-kata yang dipakai oleh
pembentuk undang-undang hanya mengandung satu pengertian saja, maka cukuplah
pengertian itu saja yang dipahami oleh hakim dalam menerapkan ketentuan
undang-undang itu terhadap kasus yang konkret. Jika tidak ada keterangan apapun
yang memberikan indikasi bahwa terkandung maksud di kalangan pembentuk
undang-undang untuk memaknai suatu kata dalam ketentuan undang-undang itu
berbeda dari makna datarnya (plain
meaning), maka tidak ada alasan bagi hakim untuk mengembangkan pemahaman di
luar apa yang secara harfiah tertulis dalam ketentuan undang-undang itu.
D. Teori tentang
Perubahan Konstitusi
UUD 1945 pertama kali disahkan
berlaku sebagai konstitusi dasar negara Republik Indonesia dalam sidang PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan negara RI
diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta tanggal 17 Agustus 1945. UUD 1945
negara kita ini sudah mengalami pergantian sebanyak tiga kali, yang ditandai
dengan diubahnya UUD 1945 menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Serikat
(RIS). Ketika terjadi agresi Belanda ke-II yang dilancarkan ke Indonesia pada
tahun 1948 dengan maksud untuk menjajah Indonesia kembali, sehingga membuat
pemerintahan Indonesia terdesak pada saat itu, maka akhirnya atas pengaruh PBB
tepatnya pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai tanggal 2 November 1949 diadakan
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Konferensi tersebut berhasil
menyepakati tiga hal, yaitu[11]:
1) Mendirikan
Negara Republik Indonesia Serikat;
2) Penyerahan
kedaulatan kepada RIS yang berisi tigas hal, yaitu: (a) piagam penyerahan
kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RIS, (b) status uni, (c)
persetujuan perpindahan;
3) Mendirikan
uni antara RIS dengan Belanda.
Berdasarkan tiga hal di atas maka
lahirlah RIS, dan wilayah Indonesia sendiri masih tetap ada di samping RIS.
Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konferensi Meja Bundar di Den Haag
tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat
sementara.
Setelah berubah menjadi
Konstitusi RIS pada tahun 1949, UUD Indonesia atau Konstitusi Indonesia berubah
lagi pada tahun 1950 menjadi Undang-Undang Sementara (UUDS). Hal ini terjadi
karena negara RIS yang baru terbentuk masih membutuhkan tahap-tahap konsolidasi
kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara kesatuan dinilai
jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara federal. Akhirnya pada
tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI
sebagai kelanjutan negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945. Seperti halnya Konstitusi RIS, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal
ini terlihat jelas dalam rumusan pasal 134 yang mengharuskan Konstituante bersama-sama
dengan pemerintah segera menyusun undang-undang dasar RI yang akan menggantikan
UUDS 1950.
Akan tetapi berbeda dengan
Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk Konstituante sebagaimana yang
diamanatkan di dalamny, amanat UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa,
sehingga pemilihan umum berhasil dilaksanakan pada bulan Desember 1955 untuk
memilih anggota Konstituante. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa upaya, yaitu[12]:
(a) Pembentukan
UUD;
(b) Penggantian
UUD;
(c) Perubahan
dalam arti pembaharuan UUD.
- Kesesuaian atau ketidaksesuaian antara Undang-Undang
dengan Konstitusi (Undang-Undang yang tidak Konstitusional)
Tentang
kemungkinan timbulnya konflik antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang
lebih rendah, bukan hanya menyangkut hubungan antara undang-undang dengan
keputusan pengadilan, tetapi juga menyangkut hubungan antara konstitusi dengan
undang-undang yang tidak konstitusional. Satu-satunya dasar validitas suatu
undang-undang adalah bahwa undang-undang tersebut telah dibuat menurut suatu
cara yang ditetapkan oleh konstitusi.
Namun demikian, apa yang dimaksud
oleh pernyataan tersebut adalah bahwa suatu undang-undang, menurut konstitus,
dimungkinkan keberadaannya karena suatu alasan tertentu dapat dibatalkan
menurut cara lain selain cara biasa. Biasanya, suatu undang-undang dibatalkan
oleh undang-undang yang lain, menurut azas lex
posterior derogat perioril; atau suatu undang-undang dibatalkan oleh
peraturan hukum kebiasaan yang bertentangan dengannya, yakni oleh yang disebut desuetudo[13].
E. Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945
Mudah atau tidaknya prosedur
perubahan UUD 1945 dilaksanakan, mendapat perhatian yang penting dalam hukum
tata negara. UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan pertama pada tahun
1999, kedua pada tahun 2000, ketiga pada tahun 2001, dan keempat pada tahun
2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami
perubahan yang besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan
sangat mendasar.
- UUD 1945 serta Arti Pasal Perubahannya
UUD 1945
sebagai konstitusi tertulis juga tertuang dalam sebuah dokumen formal; dokumen
tersebut ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI diumumkan. Konstitusi tertulis Indonesia ini berlaku
untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam dua periode, yaitu:
1. Periode
antara 17 Agustus sampai 27 Desember 1949 dan
2. Periode
antara 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Dengan demikian, kecuali dalam
negara Bagian RIS, UUD 1945 telah berlaku selama kurang lebih 23 tahun. Seperti
ternyata dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, UUD 1945 terdiri dari
dua bagian, yaitu: (a) pembukaan atau preambule, (b) batang-tubuh yang terdiri
dari 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, satu pasal aturan tambahan dan
penjelasan UUD.
- Mekanisme dan Tata Cara Perubahan UUD 1945
Perubahan
UUD 1945 dilakukan oleh MPR berdasarkan pasal 3 UUD 1945 (sebelum diubah) yang
menyatakan bahwa MPR menetapkan UUD dan GBHN. MPR dalam melakukan perubahan UUD
1945 mengacu pada pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tata cara perubahan
konstitusi berikut ini:
(1) Untuk
mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggora MPR yang hadir;
(2) Putusan
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada anggota yang hadir.
Melihat ketentuan pasal 37 UUD
1945 tersebut, tidaklah terlalu sulit untuk mengubah UUD 1945. Hanya dengan
kehadiran 2/3 anggota MPR, dan putusan disetujui oleh 2/3 anngota yang hadir,
setiap pasal dalam UUD 1945 dapat diubah setiap saat sesuai kebutuhan
masyarakat bangsa Indonesia. Di samping itu, ketentuan Aturan Tambahan ayat (2)
UUD 1945 mengatakan bahwa dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, majelis
bersidang untuk menetapkan UUD. Namun, aturan yang teramat mudah untuk mengubah
UUD 1945 harus dijaga kelestariannya sebab UUD 1945 warisan leluhur dari para
pendiri bangsa. Maka, pada masa Soeharto, setiap usaha untuk mengubah UUD 1945
dianggap sebagai inkonstitusional.
Sifat UUD
1945 memang cenderung memberikan kekuasaan besar pada Presiden telah mendorong
Soekarno yang didukung oleh militer memberlakukan kembali UUD 1945 melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Seiring semakin kuatnya tekanan untuk
mengamandemen UUD 1945 Sidang Istimewa MPR tahun 1998 mencabut ketetapan MPR
No. IV/MPR/1983. Dengan demikian, secara yuridis konstitusional berlaku
ketentuan pasal 37 UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945. Hal pertama yang dibahas
pada sidang-sidang awal BP MPR adalah mengenai sistem amandemen yang akan
diterapkan. PAH III BP MPR memutuskan menggunakan model amandemen Amerika
Serikat, yaitu dengan cara adendum. Setiap pasal baru hasil amandemen akan
selalu disertai pasal aslinya. Tujuannya agar konteks historis dapat
dilestarikan sehingga dapat terus dipelajari oleh generasi mendatang.
Selain itu
PAH III BP MPR juga menetapkan kesepakatan dan dasar dalam mengandemen UUD
1945, yaitu[14]:
1. Tidak
mengubah bagian pembukaan UUD 1945;
2. Tetap
mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia;
3. Perubahan
dilakukan dengan cara ‘Adendum’;
4. Mempertegas
sistem pemerintahan Presidensial;
5. Penjelasan
UUD 1945 ditiadakan, hal-hal normatif dalam bagian penjelasan diangkat ke dalam
pasal-pasal.
Kesepakatan dasar di atas menjadi
landasan ke koridor MPR dalam mengandemen UUD 1945 supaya amandemen tidak
menjadi ‘kebablasan’ dan tidak menghilangkan nilai-nilai filosofi dasar dari
UUD 1945 seperti yang sudah termaktub dalam bagian pembukaan UUD 1945.
Rapat Paripurna Majelis
|
Rapat Komisi Majelis
|
Rapat BP MPR
|
Rapat PAH I BP MPR
|
Rapat Finalisasi
|
Rapat Sinkronisasi
|
Rapat Tim Perumus
|
Rapat PAH I BP MPR
|
1. Seluruh
materi dibahas dalam rapat pleno PAH I BP MPR;
2. Untuk
memperlancar pembahasan, PAH I membentuk tim perumus. Keanggotaannya
mencerminkan fraksi-fraksi. Tugas merumuskan materi yang telah dibahas oleh PAH
I yang biasanya didahului dengan pertemuan lobi antarfraksi;
3. Hasil
kesepakatan tim perumus dibahas dalam rapat sinkronisasi PAH I untuk
menyerasikan materi perubahan UUD 1945 yang saling berkaitan antar pasal dan
antar ayat;
4. Materi
yang telah disinkronkan selanjutnya dibahas dalam rapat finalisasi PAH I untuk
merumuskan dan mensistematisasi materi perubahan kedua UUD 1945;
5. Putusan
yang dihasilkan oleh tim perumus, tim sinkronisasi, dan finalisasi bersifat
mengikat, dan selanjutnya disahkan dalan rapat-rapat PAH I. Setelah disahkan
oleh rapat pleno BP MPR, rancangan tersebut akan diajukan oleh BP MPR untuk
dibahas dalam sidang tahunan MPR.
Pada tahun 2000 PAH I
menyelenggarakan seminar nasional dengan lima tema utama yang dikaitkan dengan
materi perubahan UUD 1945. Tema tersebut mengenai masalah politik, ekonomi,
hukum, pendidikan, dan agama. Penyelenggaraan seminar nasional itu melibatkan
partisipasi dan kerja sama dengan perguruan tinggi dan organisasi profesi.
Untuk bidang politik, PAH I bekerja sama dengan AIPI dan Unlam dalam seminar
politik UUD 1945 di Banjarmasin. Untuk masalah ekonomi, bekerja sama ISEI dan
UGM dalam seminar Ekonomi di Yogyakarta, PAH I juga menjalin kerja sama dengan
ISPI dalam Seminar Pendidikan di Unila, sementara kerja sama dengan UIN Jakarta
untuk seminar masalah agama. Pentingnya
pembentukan tim ahli dibahas dalam rapat-rapat PAH I menjelang tahun 2001. Ada
beberapa alasan dibentuknya Tim Ahli. Pertama[16],
gencarnya kritikan dari masyarakat mengenai perlunya pelibatan para akademisi
dalam proses perubahan UUD 1945. Kedua, kesadaran
dari Anggota PAH I perlunya kelompok independen yang berasal dari perguruan
tinggi untuk memberikan masukan akademis terhadap materi perubahan agar
perubahan UUD 1945 tidak bias politik.
Kemudian,
ada semacam keinginan untuk lebih profesional dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya seperti yang diperintahkan oleh pasal 37 UUD 1945. Pemikiran
yang muncul waktu itu adalah bagaimana agar proses dan hasil perubahan itu bisa
dipertanggung jawabkan tidak hanya secara politik, tetapi juga secara akademis.
Namun, demikian pembentukan tim ahli ini mendapat kritikan dari kalangan LSM.
Sebanyak empat belas LSM menolak pembentukan tim ahli sebab pembentukan tim
ahli menurut pandangan mereka hanyalah manipulasi untuk merebut simpati
masyarakat sekaligus klaim legitimasi peran BP MPR. Hal ini diperkuat dengan
kewenangan tim ahli yang kurang jelas sebab segala masukan tim ahli pada
akhirnya dapat diubah kembali oleh PAH I. Mereka kemudian mengusulkan perlunya
dibentuk Komisi Konstitusi untuk mengamandemen UUD 1945.
Dalam sistem
politik dimana kekuasaan eksekutif terlampau dominan dan legislatif lemah,
biasanya fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan juga tidak berjalan dengan
baik. Apalagi dengan tidak berfungsinya lembaga-lembaga politik seperti partai
politik dan kelompok kepentingan, eksekutif menjadi semakin dominan. Memperkuat kewenangan DPR, memberdayakan DPR,
dan membatasi kekuasaan Presiden menjadi isu utama. Di samping itu,
fraksi-fraksi juga memberi pandangan terhadap isu perlindungan hak asasi
manusia, kekuasaan kehakiman, dan mekanisme check
and balances. Hal ini tampak dari Pemandangan Umum fraksi-fraksi MPR
tentang materi Sidang Umum MPR dalam Rapat ke-2 BP MPR tanggal 6 Oktober 1999.
Maka,
diputuskanlah bahwa perubahan UUD 1945 akan difokuskan kepada dua masalah
utama, yaitu pertama, pembahasan kekuasaan Presiden, dan kedua, pemberdayaan
MPR dan DPR. Menurut fraksi-fraksi, kedua masalah itu penting dan mendasar
karena akan memberikan implikasi terhadap praktik penyelenggaraan sistem
kekuasaan negara. Berlainan dengan Perubahan kedua, ketiga, dan keempat UUD 1945,
perubahan pertama UUD 1945 relatif tidak menimbulkan perbedaan tajam di antara
fraksi. Itu pula sebabnya, ada kesadaran dari fraksi berupaya mengesampingkan
berbagai perbedaan kepentingan politik.
Seperti
diuraikan dalam penjelasan otentik naskah UUD 1945, kandungan pemikiran yang
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itu mencakup empat pokok pikiran[17],
pertama: bahwa negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, kedua: bahwa
negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya,
ketiga: bahwa negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara
dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat yang juga disebut
sebagai sistem demokrasi, dan keempat: bahwa negara Indonesia adalah negara
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Selain keempat
pokok pikiran itu, keempat alinea pembukaan UUD masing-masing mengadung pula
cita-cita yang luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem
berpikir materi UUD. Alinea Pertama, menegaskan
keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan itu adalah hak asasi segala
bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alinea Kedua, menggambarkan proses
perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya
berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Alinea
Ketiga, menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan Kemaha Kuasaan Tuhan
Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk
memperjuangkan perwujudan cita-cita leluhurnya, yang atas dasar keyakinan
spiritual serta dorongan luhur itulah rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Alinea Keempat, menggambarkan
visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan
diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah negara Indonesia. Negara
Indonesia itu dimaksudkan untuk tujuan (1) melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3)
mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
F. Hak-Hak
Konstitusional Warga Negara
Hak-hak konstitusional dari
warga negara Indonesia sangatlah banyak, di antaranya yang dijelaskan dalam pasal
28 A sampai J UUD 1945 hasil amandemen. Sebagian besar materi UUD ini
sebenarnya berasal dari rumusan UU yang telah disahkan sebelumnya, yaitu UU
tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah
diadopsikan ke dalam rumusan UUD 1945 mencakup 27 materi, yaitu:
1. Setiap
orang berhak hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya[18];
2. Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah;
3. Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
4. Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu;
5. Setiap
orang bebas untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali[19];
6. Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya;
7. Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat;
8. Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia;
9. Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi;
10. Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain;
11. Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan;
12. Setiap
orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
13. Setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat;
14. Setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun;
15. Setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
16. Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya;
17. Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
18. Setiap
orang berhak bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan adil dan layak dalam
hubungan kerja;
19. Setiap
orang berhak atas status kewarganegaraan;
20. Negara,
dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
21. Negara
menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa;
22. Negara
menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh
setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan
menjalankan ajaran agamanya;
23. Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah;
24. Untuk
memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan ;
25. Untuk
menjamin pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan
undang-undang;
26. Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tata tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
27. Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan-ketentuan yang
memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat
penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip
negara hukum di suatu negara. Namun, di samping hak-hak asasi manusia, harus pula
dipahami bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban dan tanggung jawab yang
bersifat asasi.
Bangsa Indonesia memahami bahwa “the Universal Declaration of Human Rights” yang
dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang mengandung
nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Kesadaran umum mengenai hak-hak dan
kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi
Indonesia, dan karena itu perlu diadopsikan ke dalam rumusan UUD atas dasar
pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh bangsa Indonesia.
Karena itu perumusannya dalam undang-undang dasar ini
mencakup warisan-warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan
mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang di masa yang
akan datang
-Mahkamah
Konstitusi
Perubahan
UUD 1945 melahirkan lembaga baru di lingkungan kekuasaan kehakiman yaitu
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 ayat (2), yang
berbunyi sebagai berikut:
“kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
Mahkamah Konstitusi”.
Berkenaan
dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, pasal 24C mengatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Di samping itu Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Perlu dicatat
bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada putusan MPR, lembaga
politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7 A).
Di pihak
lain, Mahkamah Konstitusi juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan
unsur kesalahan dan tanggung jawab pidana Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum menurut UUD. Jadi,
Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara yang menegakkan hak
konstitusional seorang warga negara Indonesia.
-Mahkamah Agung
Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
Mahkamah Konstitusi. Menurut Moh. Mahfud MD[20],
penghilangan istilah rechtstaat dari
UUD tersebut bukanlah masalah semantik atau gramatik semata melainkan juga
menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik. Istilah rechtstaat lebih menekankan pada
pentingnya hukum tertulis (civil law) dan
kepastian hukum. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam rechtstaat lebih berpijak atau menggunakan ukuran formal; artinya
yang benar dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum tertulis.
Lebih
lanjut Mahfud MD menyatakan, sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945, konstitusi
kita sudah mengarahkan penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut
secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtstaat dan the rule of
law sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan
substansial. Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, serta pernyataan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, mengandung spirit
untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, menegakan prinsip
persamaan di depan hukum dan melindungi campur tangan baik yang bersifat
internal maupun eksternal terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah
dan menghindari kegagalan pencapaian keadilan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Konstitusi
adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.
2. Sumber
hukum tata negara di Indonesia sebenarnya terdiri atas dua, yaitu:
a. Sumber
hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan
falsafah negara;
b. Sumber
hukum formil, yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang kemudian diikuti peraturan
pelaksana di bawahnya, yaitu sebagai berikut:
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
-Undang-undang/Perpu;
-Peraturan Pemerintah;
-Keputusan Presiden;
-Peraturan pelaksana lainnya, misalnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Daerah.
3. Interpretasi
atau penafsiran adalah suatu kiat dalam mencari makna sebenarnya yang
terkandung dalam suatu konstitusi.
4. Seperti
ternyata dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, UUD 1945 terdiri dari
dua bagian, yaitu: (a) pembukaan atau preambule, (b) batang-tubuh yang terdiri
dari 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, satu pasal aturan tambahan dan
penjelasan UUD.
5. Ketentuan-ketentuan
yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu
sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya
prinsip negara hukum di suatu negara.
-saran-saran:
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Soemantri,
Sri. 1979. Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi. Bandung: Offset Alumni.
2. B.
Sagala, Budiman. 1982. Tugas dan Wewenang
MPR di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
- Mahkamah Konstitusi RI. 2011. UUD
RI 1945. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Republik
Indonesia.
- Huda, Ni’Matul. 2010. Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
5. Asshiddiqie,
Jimly. 2010. Perihal Undang-Undang.
Jakarta: Rajawali Pers.
6. Masriani, Yulies Tiena. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
7. Asshiddiqie,
Jimly. 2005. Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:
Konstitusi Press.
8. Asshiddiqie,
Jimly dan Ali Safa’at. 2006. Teori Hans
Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI.
9. Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta:
Konstitusi Press.
10. Mahfud,
Moh. MD. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam
Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers.
11. Subekti,
Valina. 2008. Menyusun Konstitusi
Transisi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
12. Anwar,
C. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi. Malang:
Intrans Publishing.
[1] Jimly
Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang.
Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm 1.
[3]
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum
Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm 36.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 125.
[5]Jimly
Asshiddiqie, Ali Safa’at, Teori Hans
Kelsen tentang Hukum. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm 99.
[7]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi
Press, Jakarta, 2005, hlm 29.
[8]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Op.
Cit., hal 30.
[9]
Lihat pasal 4 UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan Undang-undang.
[10]
Lihat Bab II tentang Asas Peraturan Perundang-Undangan UU No. 10 tahun 2004.
[11]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi
Press, Jakarta, 2005, hlm 36.
[12]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Op.
Cit., hal 41.
[13]Hans
Kelsen, Raisul Muttaqien (penerjemah),
Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2011,
hlm 223.
[14]Valina
Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 85.
[15]
Valian Subekti, Menyusun Konstitusi
Transisi, Op. Cit., hal 88.
[16]Valian
Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi, Op.
Cit., hal 89.
[17] Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi
Press, Jakarta, 2005, hlm 51.
[18]
Lihat UUD 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A
[19]
Lihat UUD 1945 Amandemen kedua Pasal 28E ayat (1)
[20]
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum
dalam Kontroversi Isu , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm 95.