Seorang anak merengek minta dibelikan
jagung bakar. Dengan sedikit enggan ibunya mengulurkan selembar uang
dan mengawasinya dari kejauhan. Lalu si anak dengan tekun mengikuti
gerak-gerik nenek tua penjual jagung bakar memainkan kipas bambunya.
Mata kanak-kanaknya membulat terheran-heran pada pletikan biji jagung,
asap, serta harum yang tertebar kemana-mana. Sedang nenek tua
berpakaian lusuh itu tersenyum melirik anak kecil yang jongkok di
sebelahnya. Mata tuanya meradup melayang entah kemana.
Sesekali dicubitnya pipi anak itu.
Kemudian diberikannya jagung bakar itu kepada pada anak yang sedari
tadi berharap-harap takjub, katanya "Ambil saja buatmu nak. Tak usah
bayar." Si ibu mengucapkan terimakasih lalu berkata pada sang Ayah,
"Lumayan, kita dapat rejeki satu jangung bakar." Lalu mereka
meninggalkan taman kota itu dengan kendaraan roda empat mereka.
Tunggu dulu wahai ibu! Mengapa Ibu menyebutnya sebagai rejeki? bukankah dengan demikian si nenek tua itu malah kehilangan sebagian penghasilannya yang tak seberapa? tidakkah ibu terpanggil untuk membalas pemberian itu dengan sesuatu yang lebih dari sekedar kata terima kasih? memang, menerima selalu menyenangkan. Namun, memberi dengan sikap tulus lebih membahagiakan. Tahukah Ibu hati nenek tua itu teramat terang, jauh lebih terang dari lampu yang menerangi temaram senja ini.
Tunggu dulu wahai ibu! Mengapa Ibu menyebutnya sebagai rejeki? bukankah dengan demikian si nenek tua itu malah kehilangan sebagian penghasilannya yang tak seberapa? tidakkah ibu terpanggil untuk membalas pemberian itu dengan sesuatu yang lebih dari sekedar kata terima kasih? memang, menerima selalu menyenangkan. Namun, memberi dengan sikap tulus lebih membahagiakan. Tahukah Ibu hati nenek tua itu teramat terang, jauh lebih terang dari lampu yang menerangi temaram senja ini.
sumber: daunlontar.com