Minggu, 25 November 2012

Fungsi Konstitusi



BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan dan fungsi Konstitusi sebagai Sumber Hukum Tata Negara
                         
Konstitusi adalah suatu hukum dasar atau hukum tertulis yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan suatu hukum/sebagai pedoman dalam menciptakan suatu hukum yang baru. Suatu hukum biasanya terdiri dari norma. Norma atau kaidah adalah pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu diperinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi sebagai berikut:
a)      Kebolehan atau yang dalam bahasa disebut mubah;
b)      Anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut sunnah;
c)      Anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau yang disebut makruh;
d)     Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban;
e)      Perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut haram[1].

Dari segi tujuannya, kaidah atau norma hukum itu tertuju kepada cita perdamaian hidup antar pribadi. Tujuan kedamaian kehidupan bersama tersebut biasanya dikaitkan pula dengan perumusan tugas kaidah hukum, yaitu untuk mewujudkan kepastian, keadilan, dan kebergunaan. Artinya setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian, keadilan, dan kebergunaan. Kaidah-kaidah hukum itu juga dapat dibedakan menjadi imperatif dan fakultatif. Kaidah hukum yang imperatif artinya bersifat keharusan, sedangkan kaidah hukum fakultatif adalah kaidah hukum yang hanya bersifat melengkapi saja.

Kemudian, kaidah hukum juga dapat dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak dan yang bersifat konkret individual. Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan, atau keharusan, atau kebolehan[2].

Keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak tersebut biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang bersifat vonnis hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan. Oleh karena itu, ketiga bentuk kegiatan pengambilan putusan tersebut, dapat dibedakan dengan istilah:
a)      Pengaturan menghasilkan peraturan. Hasil pengaturan ini sudah seharusnya tidak disebut dengan istilah lain kecuali “peraturan”.
b)      Penetapan menghasilkan ketetapan. Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut “Keputusan” atau “Ketetapan”, bukan dengan istilah lain, misalnya kebiasaan di lingkungan pengadilan yang menggunakan istilah “Penetapan” untuk sebutan bagi keputusan-keputusan administrasi di bidang yudisial. Istilah yang dipakai sebaiknya, bukan “penetapan” tetapi “ketetapan” yang sepadan dengan istilah “keputusan”. Sedangkan penetapan adalah bentuk “gerund” atau kata bentuk kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya, dan
c)      Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonnis). Istilah ini sebenarnya tidak jelas bagaimana terbentuknya. Jika kata putusan dianggap benar secara gramatikal, maka seharusnya dapat dipadankan dengan “tetapan” yang berasal dari kata “tetap” dan “aturan” yang berasal dari “atur”. Namun, karena istilah ini sudah diterima umum dalam praktik, telah menjadi konvensi bahwa keputusan judisial hakim atas perkara yang diadili disebut putusan.

- Sumber hukum tata negara di Indonesia sebenarnya terdiri atas dua, yaitu:
a.       Sumber hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara[3];
b.      Sumber hukum formil, yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang kemudian diikuti peraturan pelaksana di bawahnya, yaitu sebagai berikut:
1.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2.      Undang-undang/Perpu;
3.      Peraturan Pemerintah;
4.      Keputusan Presiden;
5.      Peraturan pelaksana lainnya, misalnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah. 

Undang-Undang Dasar 1945 itu menjadi suatu naskah hukum dasar bagi bangsa Indonesia untuk menata kehidupan kenegaraan, dan bahkan seperti termuat pasal 31, pasal 32, pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945 itu sebenarnya juga menjadi hukum dasar bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di Indonesia. Inilah yang antara lain membedakan konstitusi Republik Indonesia dengan tradisi penulisan konstitusi di lingkungan negara Eropa-Eropa Barat dan Amerika yang lazimnya hanya memuat materi-materi yang hanya bersifat politik dalam UUD-nya. Oleh karena itu, memperbincangkan Hukum Konstitusi yang ada di Indonesia lazim disebut dengan hukum tata negara, dalam konteks studi dan pendidikan hukum, menjadi sesuatu yang niscaya bagi setiap sarjana hukum.

Sehubungan dengan itu, kedudukan dan peranan ilmu Hukum Tata Negara itu dalam konteks pembangunan di Indonesia, dapat kita lihat dari beberapa segi, yaitu[4]:
a)      Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan;
b)      Dalam konteks pendidikan;
c)      Dalam konteks penataan struktur kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan yang sangat diperlukan dalam rangka pelembagaan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Pemahaman yang komprehensif mengenai kedudukan dan peranan hukum tata negara ini penting agar para mahasiswa hukum sebagai calon sarjana hukum dapat mengerti lingkup kegunaan ilmu ini bagi mereka di masa depan. Hukum tata negara mempunyai peranan penting dalam rangka penataan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan atas dasar sistem yang diacu dalam konstitusi.


- Norma Dasar dan Konstitusi
            Derivasi norma-norma tata aturan hukum dari norma dasar ditemukan dengan menunjukkan bahwa norma partikular telah dibuat sesuai dengan norma dasar[5]. Terhadap pertanyaan mengapa suatu ketentuan yang memaksa adalah ketentuan hukum, jawabannya adalah karena diatur dalam norma idividual, suatu keputusan pengadilan.

Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.

- Fungsi Spesifik dari norma dasar atau Konstitusi
            Bahwa norma yang telah diuraikan di atas adalah norma dasar dari suatu tata hukum nasional tidak mengimplikasikan bahwa tidak mungkin untuk memasuki wilayah di belakang norma. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini tidak valid karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.

- Prinsip Legitimasi
            Validitas norma hukum mungkin terbatas waktunya, dan adalah penting untuk memperhatikan bahwa akhir sebagaimana awal validitas ini ditentukan hanya oleh tata aturan dimana norma itu ada. Norma tetap valid sepanjang belum dinyatakan invalid dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Inilah prinsip legitimasi. Prinsip Legitimasi ini tidak berlaku pada kasus revolusi atau juga disebut dengan coup d’Etat[6]. Secara hukum adalah tidak relevan apakah revolusi itu berdarah atau tidak, atau dilakukan oleh massa atau oleh elite politik.

- Prinsip Efektivitas sebagai Norma Hukum Positif (Hukum Internasional dan Nasional)
            Prinsip bahwa suatu tata hukum harus berlaku agar valid adalah suatu norma positif. Ini merupakan prinsip efektivitas hukum internasional. Dari sudut pandang hukum internasional, konstitusi suatu negara adalah valid hanya jika tata hukum didasari konstitusi tersebut secara keseluruhan berlaku. Inilah prinsip umum efektivitas, suatu norma hukum positif dalam hukum internasional yang diaplikasikan terhadap keadaan konkret individu tata hukum nasional.
           
Maka norma dasar dari tata hukum nasional yang berbeda-beda adalah suatu norma umum tata hukum internasional. Jika kita meyakini hukum internasional sebagai suatu tata hukum dimana semua negara adalah sub-ordinat maka norma dasar tata hukum nasional bukan sesuatu yang dipresuposisikan dengan pemikiran hukum, tetapi suatu norma hukum positif, suatu norma hukum internasional yang diaplikasikan terhadap tata hukum suatu negara.




B. Materi Muatan Konstitusi
           
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara[7]. Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar dan dapat pula tidak tertulis. Dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana kebatinan yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan saksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
           
Di samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran dan medan pengalaman dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. UUD RI tahun 1945 sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001,dan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia di masa depan[8]. Isinya mencakup dasar-dasar norma yang berfungsi sebagai sarana pengendali terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaharuan masyarakat serta sarana perekayasaan ke arah cita-cita kolektif bangsa.            
Sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Oleh karena itu yang terpenting adalah semangat dan kemauan politik para penyelenggara negara.

Lalu, materi konstitusi artinya adalah isi yang terkandung dalam konstitusi tersebut. Di Indonesia yang menjadi konstitusi atau hukum dasar tertulisnya adalah UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal 8 UU No. 8 tahun 2004, materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang:
a.       Mengatur lebih lanjut UUD RI 1945 yang meliputi:
-          Hak-hak asasi manusia;
-          Hak dan kewajiban warga negara;
-          Pelaksanaan dan penegakan negara serta pembagian kekuasaan negara;
-          Wilayah negara dan pembagian daerah;
-          Kewarganegaraan dan kependudukan;
-          Keuangan negara.

b.      Diperintahkan oleh UU untuk diatur dengan UU.
Mengenai Pancasila, maka dalam pasal 2 UU No. 10 tahun 2004 ditentukan sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan UUD RI 1945 yang menempatkan pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Pembuatan Undang-undang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Sedangkan pasal 4 Undang-undang nomor 10 tahun 2004[9] tersebut menentukan bahwa peraturan perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang ini meliputi undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Terdapat beberapa asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:
a.       Kejelasan tujuan;
b.      Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.       Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.      Dapat dilaksanakan;
e.       Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.       Kejelasan rumusan;
g.      Keterbukaan[10].

Dengan demikian, setiap produk peraturan perundang-undangan negara RI yang berdasarkan UUD RI 1945, haruslah:
a)      Mencerminkan religiusitas kebertuhanan segenap warga negara melalui keyakinan segenap warga terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
b)      Mencerminkan prinsip-prinsip humanitas yang berkeadilan dan berkeadaban atau sila kemanusiaan yang adil dan beradab;
c)      Menjamin dan memperkuat prinsip nasionalitas kebangsaan Indonesia melalui sila persatuan Indonesia;
d)     Memperkuat nilai-nilai sovereinitas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratn/perwakilan;
e)      Melembagakan upaya untuk membangun sosialitas yang keadilan dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

C. Interpretasi Konstitusi
           
Interpretasi atau penafsiran adalah suatu kiat dalam mencari makna sebenarnya yang terkandung dalam suatu konstitusi. Konstitusi atau aturan yang berbentuk tulisan sebelum dibuat dan diundangkan harus dilakukan penginterpretasian agar tidak menimbulkan makna ganda, yang apabila terjadi makna ganda maka akan sulit dalam mensosialisasikan aturan tertulis tersebut kepada masyarakat. Sebagai contoh, melakukan penafsiran terhadap undang-undang.

Adanya yang namanya penafsiran secara gramatikal. Pada umumnya, diakui adanya prinsip yang berlaku universal dalam penafsiran hukum, yaitu bahwa setiap bagian dari suatu undang-undang terbentuk dan dapat dibaca sebagai satu kesatuan yang serasi atau harmonis satu sama lainnya. Prinsip tertulis yang biasa dipakai dalam penafsian undang-undang itu bersifat datar, apapun hasilnya, pengadilan harus menerapkan apa adanya. Dalam menerapkan undang-undang, pengadilan haruslah berasumsi bahwa pembentuk undang-undang tidak membuat kesalahan apapun juga dan apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang yang sebenarnya, itulah yang tertulis dalam undang-undang tersebut.




Penafsiran Konstitusi/UUD secara gramatikal adalah memahami bahwa setiap kata yang dipakai dalam rumusan undang-undang haruslah dikonstruksikan dengan pengertian gramatikalnya. Hakim tidak boleh menambah kata atau pengertian apapun dalam ketentuan undang-undang dalam upayanya memahami pengertian yang terkandung dalam undang-undang dengan pandangan atau pengertian yang dia sendiri harapkan ada untuk diterapkan terhadap kasus konkret tertentu.

Untuk menghadapi kasus-kasus semacam itu, apabila suatu kata dalam undang-undang mengandung dua atau lebih pengertian, maka untuk itu diperlukan metode penafsiran yang tidak hanya terpaku pada makna kata secara gramatikal atau literal. Prinsip pertama dan utama dalam “rule of construction” adalah bahwa kehendak pembentuk undang-undang (legislature) harus ditemukan dalam kata-kata yang dipakai oleh pembentuk undang-undang itu sendiri.

Jika kata-kata yang dipakai oleh pembentuk undang-undang hanya mengandung satu pengertian saja, maka cukuplah pengertian itu saja yang dipahami oleh hakim dalam menerapkan ketentuan undang-undang itu terhadap kasus yang konkret. Jika tidak ada keterangan apapun yang memberikan indikasi bahwa terkandung maksud di kalangan pembentuk undang-undang untuk memaknai suatu kata dalam ketentuan undang-undang itu berbeda dari makna datarnya (plain meaning), maka tidak ada alasan bagi hakim untuk mengembangkan pemahaman di luar apa yang secara harfiah tertulis dalam ketentuan undang-undang itu.
                                                 
D. Teori tentang Perubahan Konstitusi
           
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi dasar negara Republik Indonesia dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan negara RI diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta tanggal 17 Agustus 1945. UUD 1945 negara kita ini sudah mengalami pergantian sebanyak tiga kali, yang ditandai dengan diubahnya UUD 1945 menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketika terjadi agresi Belanda ke-II yang dilancarkan ke Indonesia pada tahun 1948 dengan maksud untuk menjajah Indonesia kembali, sehingga membuat pemerintahan Indonesia terdesak pada saat itu, maka akhirnya atas pengaruh PBB tepatnya pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Konferensi tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu[11]:
1)      Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat;
2)      Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi tigas hal, yaitu: (a) piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RIS, (b) status uni, (c) persetujuan perpindahan;
3)      Mendirikan uni antara RIS dengan Belanda.

Berdasarkan tiga hal di atas maka lahirlah RIS, dan wilayah Indonesia sendiri masih tetap ada di samping RIS. Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara.

Setelah berubah menjadi Konstitusi RIS pada tahun 1949, UUD Indonesia atau Konstitusi Indonesia berubah lagi pada tahun 1950 menjadi Undang-Undang Sementara (UUDS). Hal ini terjadi karena negara RIS yang baru terbentuk masih membutuhkan tahap-tahap konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara federal. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Seperti halnya Konstitusi RIS, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan pasal 134 yang mengharuskan Konstituante bersama-sama dengan pemerintah segera menyusun undang-undang dasar RI yang akan menggantikan UUDS 1950.

Akan tetapi berbeda dengan Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk Konstituante sebagaimana yang diamanatkan di dalamny, amanat UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil dilaksanakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa upaya, yaitu[12]:
(a)    Pembentukan UUD;
(b)   Penggantian UUD;
(c)    Perubahan dalam arti pembaharuan UUD.

- Kesesuaian atau ketidaksesuaian antara Undang-Undang dengan Konstitusi (Undang-Undang yang tidak Konstitusional)
            Tentang kemungkinan timbulnya konflik antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah, bukan hanya menyangkut hubungan antara undang-undang dengan keputusan pengadilan, tetapi juga menyangkut hubungan antara konstitusi dengan undang-undang yang tidak konstitusional. Satu-satunya dasar validitas suatu undang-undang adalah bahwa undang-undang tersebut telah dibuat menurut suatu cara yang ditetapkan oleh konstitusi.

Namun demikian, apa yang dimaksud oleh pernyataan tersebut adalah bahwa suatu undang-undang, menurut konstitus, dimungkinkan keberadaannya karena suatu alasan tertentu dapat dibatalkan menurut cara lain selain cara biasa. Biasanya, suatu undang-undang dibatalkan oleh undang-undang yang lain, menurut azas lex posterior derogat perioril; atau suatu undang-undang dibatalkan oleh peraturan hukum kebiasaan yang bertentangan dengannya, yakni oleh yang disebut desuetudo[13].

E. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
           
Mudah atau tidaknya prosedur perubahan UUD 1945 dilaksanakan, mendapat perhatian yang penting dalam hukum tata negara. UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan pertama pada tahun 1999, kedua pada tahun 2000, ketiga pada tahun 2001, dan keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan yang besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar.

- UUD 1945 serta Arti Pasal Perubahannya
            UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis juga tertuang dalam sebuah dokumen formal; dokumen tersebut ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI diumumkan. Konstitusi tertulis Indonesia ini berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam dua periode, yaitu:
1.      Periode antara 17 Agustus sampai 27 Desember 1949 dan
2.      Periode antara 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.

Dengan demikian, kecuali dalam negara Bagian RIS, UUD 1945 telah berlaku selama kurang lebih 23 tahun. Seperti ternyata dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, UUD 1945 terdiri dari dua bagian, yaitu: (a) pembukaan atau preambule, (b) batang-tubuh yang terdiri dari 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, satu pasal aturan tambahan dan penjelasan UUD.


- Mekanisme dan Tata Cara Perubahan UUD 1945
            Perubahan UUD 1945 dilakukan oleh MPR berdasarkan pasal 3 UUD 1945 (sebelum diubah) yang menyatakan bahwa MPR menetapkan UUD dan GBHN. MPR dalam melakukan perubahan UUD 1945 mengacu pada pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tata cara perubahan konstitusi berikut ini:

(1)   Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggora MPR yang hadir;
(2)   Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada anggota yang hadir.                      

Melihat ketentuan pasal 37 UUD 1945 tersebut, tidaklah terlalu sulit untuk mengubah UUD 1945. Hanya dengan kehadiran 2/3 anggota MPR, dan putusan disetujui oleh 2/3 anngota yang hadir, setiap pasal dalam UUD 1945 dapat diubah setiap saat sesuai kebutuhan masyarakat bangsa Indonesia. Di samping itu, ketentuan Aturan Tambahan ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, majelis bersidang untuk menetapkan UUD. Namun, aturan yang teramat mudah untuk mengubah UUD 1945 harus dijaga kelestariannya sebab UUD 1945 warisan leluhur dari para pendiri bangsa. Maka, pada masa Soeharto, setiap usaha untuk mengubah UUD 1945 dianggap sebagai inkonstitusional.

            Sifat UUD 1945 memang cenderung memberikan kekuasaan besar pada Presiden telah mendorong Soekarno yang didukung oleh militer memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Seiring semakin kuatnya tekanan untuk mengamandemen UUD 1945 Sidang Istimewa MPR tahun 1998 mencabut ketetapan MPR No. IV/MPR/1983. Dengan demikian, secara yuridis konstitusional berlaku ketentuan pasal 37 UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945. Hal pertama yang dibahas pada sidang-sidang awal BP MPR adalah mengenai sistem amandemen yang akan diterapkan. PAH III BP MPR memutuskan menggunakan model amandemen Amerika Serikat, yaitu dengan cara adendum. Setiap pasal baru hasil amandemen akan selalu disertai pasal aslinya. Tujuannya agar konteks historis dapat dilestarikan sehingga dapat terus dipelajari oleh generasi mendatang.
 
            Selain itu PAH III BP MPR juga menetapkan kesepakatan dan dasar dalam mengandemen UUD 1945, yaitu[14]:
1.      Tidak mengubah bagian pembukaan UUD 1945;
2.      Tetap mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia;
3.      Perubahan dilakukan dengan cara ‘Adendum’;
4.      Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial;
5.      Penjelasan UUD 1945 ditiadakan, hal-hal normatif dalam bagian penjelasan diangkat ke dalam pasal-pasal.

Kesepakatan dasar di atas menjadi landasan ke koridor MPR dalam mengandemen UUD 1945 supaya amandemen tidak menjadi ‘kebablasan’ dan tidak menghilangkan nilai-nilai filosofi dasar dari UUD 1945 seperti yang sudah termaktub dalam bagian pembukaan UUD 1945.
            Berikut ini bagan mekanisme Pembahasan di PAH I BP MPR[15]:
Rapat Paripurna Majelis
Rapat Komisi Majelis
Rapat BP MPR
Rapat PAH I BP MPR
Rapat Finalisasi
Rapat Sinkronisasi
Rapat Tim Perumus
Rapat PAH I BP MPR
 

 Selain penetapan mekanisme pembahasan di tingkat BP MPR, PH I dalam sidang pertamanya pada akhir tahun 1999 juga merasa perlu menetapkan mekanisme pembahasan UUD 1945 yang berlaku di internal PAH I. Mekanisme yang berlaku untuk PAH I ini kemudian juga digunakan dalam proses perubahan ketiga dan keempat UUD 1945, sebagai berikut:
1.      Seluruh materi dibahas dalam rapat pleno PAH I BP MPR;
2.      Untuk memperlancar pembahasan, PAH I membentuk tim perumus. Keanggotaannya mencerminkan fraksi-fraksi. Tugas merumuskan materi yang telah dibahas oleh PAH I yang biasanya didahului dengan pertemuan lobi antarfraksi;
3.      Hasil kesepakatan tim perumus dibahas dalam rapat sinkronisasi PAH I untuk menyerasikan materi perubahan UUD 1945 yang saling berkaitan antar pasal dan antar ayat;
4.      Materi yang telah disinkronkan selanjutnya dibahas dalam rapat finalisasi PAH I untuk merumuskan dan mensistematisasi materi perubahan kedua UUD 1945;
5.      Putusan yang dihasilkan oleh tim perumus, tim sinkronisasi, dan finalisasi bersifat mengikat, dan selanjutnya disahkan dalan rapat-rapat PAH I. Setelah disahkan oleh rapat pleno BP MPR, rancangan tersebut akan diajukan oleh BP MPR untuk dibahas dalam sidang tahunan MPR.

Pada tahun 2000 PAH I menyelenggarakan seminar nasional dengan lima tema utama yang dikaitkan dengan materi perubahan UUD 1945. Tema tersebut mengenai masalah politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan agama. Penyelenggaraan seminar nasional itu melibatkan partisipasi dan kerja sama dengan perguruan tinggi dan organisasi profesi. Untuk bidang politik, PAH I bekerja sama dengan AIPI dan Unlam dalam seminar politik UUD 1945 di Banjarmasin. Untuk masalah ekonomi, bekerja sama ISEI dan UGM dalam seminar Ekonomi di Yogyakarta, PAH I juga menjalin kerja sama dengan ISPI dalam Seminar Pendidikan di Unila, sementara kerja sama dengan UIN Jakarta untuk seminar masalah agama.           Pentingnya pembentukan tim ahli dibahas dalam rapat-rapat PAH I menjelang tahun 2001. Ada beberapa alasan dibentuknya Tim Ahli. Pertama[16], gencarnya kritikan dari masyarakat mengenai perlunya pelibatan para akademisi dalam proses perubahan UUD 1945. Kedua, kesadaran dari Anggota PAH I perlunya kelompok independen yang berasal dari perguruan tinggi untuk memberikan masukan akademis terhadap materi perubahan agar perubahan UUD 1945 tidak bias politik.
           
            Kemudian, ada semacam keinginan untuk lebih profesional dalam menjalankan tugas konstitusionalnya seperti yang diperintahkan oleh pasal 37 UUD 1945. Pemikiran yang muncul waktu itu adalah bagaimana agar proses dan hasil perubahan itu bisa dipertanggung jawabkan tidak hanya secara politik, tetapi juga secara akademis. Namun, demikian pembentukan tim ahli ini mendapat kritikan dari kalangan LSM. Sebanyak empat belas LSM menolak pembentukan tim ahli sebab pembentukan tim ahli menurut pandangan mereka hanyalah manipulasi untuk merebut simpati masyarakat sekaligus klaim legitimasi peran BP MPR. Hal ini diperkuat dengan kewenangan tim ahli yang kurang jelas sebab segala masukan tim ahli pada akhirnya dapat diubah kembali oleh PAH I. Mereka kemudian mengusulkan perlunya dibentuk Komisi Konstitusi untuk mengamandemen UUD 1945.




            Dalam sistem politik dimana kekuasaan eksekutif terlampau dominan dan legislatif lemah, biasanya fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan juga tidak berjalan dengan baik. Apalagi dengan tidak berfungsinya lembaga-lembaga politik seperti partai politik dan kelompok kepentingan, eksekutif menjadi semakin dominan.  Memperkuat kewenangan DPR, memberdayakan DPR, dan membatasi kekuasaan Presiden menjadi isu utama. Di samping itu, fraksi-fraksi juga memberi pandangan terhadap isu perlindungan hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman, dan mekanisme check and balances. Hal ini tampak dari Pemandangan Umum fraksi-fraksi MPR tentang materi Sidang Umum MPR dalam Rapat ke-2 BP MPR tanggal 6 Oktober 1999.

            Maka, diputuskanlah bahwa perubahan UUD 1945 akan difokuskan kepada dua masalah utama, yaitu pertama, pembahasan kekuasaan Presiden, dan kedua, pemberdayaan MPR dan DPR. Menurut fraksi-fraksi, kedua masalah itu penting dan mendasar karena akan memberikan implikasi terhadap praktik penyelenggaraan sistem kekuasaan negara. Berlainan dengan Perubahan kedua, ketiga, dan keempat UUD 1945, perubahan pertama UUD 1945 relatif tidak menimbulkan perbedaan tajam di antara fraksi. Itu pula sebabnya, ada kesadaran dari fraksi berupaya mengesampingkan berbagai perbedaan kepentingan politik.

            Seperti diuraikan dalam penjelasan otentik naskah UUD 1945, kandungan pemikiran yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itu mencakup empat pokok pikiran[17], pertama: bahwa negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, kedua: bahwa negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, ketiga: bahwa negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat yang juga disebut sebagai sistem demokrasi, dan keempat: bahwa negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

            Selain keempat pokok pikiran itu, keempat alinea pembukaan UUD masing-masing mengadung pula cita-cita yang luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi UUD. Alinea Pertama, menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan itu adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alinea Kedua, menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Alinea Ketiga, menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan Kemaha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita leluhurnya, yang atas dasar keyakinan spiritual serta dorongan luhur itulah rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Alinea Keempat, menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah negara Indonesia. Negara Indonesia itu dimaksudkan untuk tujuan (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.


F. Hak-Hak Konstitusional Warga Negara
           
            Hak-hak konstitusional dari warga negara Indonesia sangatlah banyak, di antaranya yang dijelaskan dalam pasal 28 A sampai J UUD 1945 hasil amandemen. Sebagian besar materi UUD ini sebenarnya berasal dari rumusan UU yang telah disahkan sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan UUD 1945 mencakup 27 materi, yaitu:
1.      Setiap orang berhak hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya[18];
2.      Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
3.      Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
4.      Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;
5.      Setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali[19];
6.      Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;
7.      Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat;
8.      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia;
9.      Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
10.  Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain;
11.  Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;
12.  Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
13.  Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;
14.  Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun;
15.  Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
16.  Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya;
17.  Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
18.  Setiap orang berhak bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja;
19.  Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
20.  Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
21.  Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa;
22.  Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya;
23.  Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah;
24.  Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan ;
25.  Untuk menjamin pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang;
26.  Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
27.  Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun, di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban dan tanggung jawab yang bersifat asasi.

Bangsa Indonesia memahami bahwa “the Universal Declaration of Human Rights” yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Kesadaran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu perlu diadopsikan ke dalam rumusan UUD atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh bangsa Indonesia.
Karena itu perumusannya dalam undang-undang dasar ini mencakup warisan-warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang di masa yang akan datang



G. Lembaga Negara Penegak Hak Konstitusional Warga Negara

-Mahkamah Konstitusi
            Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di lingkungan kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut:
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi”.

            Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, pasal 24C mengatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Di samping itu Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada putusan MPR, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7 A).

            Di pihak lain, Mahkamah Konstitusi juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan unsur kesalahan dan tanggung jawab pidana Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum menurut UUD. Jadi, Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara yang menegakkan hak konstitusional seorang warga negara Indonesia.

-Mahkamah Agung
            Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi. Menurut Moh. Mahfud MD[20], penghilangan istilah rechtstaat dari UUD tersebut bukanlah masalah semantik atau gramatik semata melainkan juga menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik. Istilah rechtstaat lebih menekankan pada pentingnya hukum tertulis (civil law) dan kepastian hukum. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam rechtstaat lebih berpijak atau menggunakan ukuran formal; artinya yang benar dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum tertulis.

            Lebih lanjut Mahfud MD menyatakan, sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945, konstitusi kita sudah mengarahkan penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtstaat dan the rule of law sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan substansial. Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, serta pernyataan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, menegakan prinsip persamaan di depan hukum dan melindungi campur tangan baik yang bersifat internal maupun eksternal terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah dan menghindari kegagalan pencapaian keadilan.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
1.      Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.
2.      Sumber hukum tata negara di Indonesia sebenarnya terdiri atas dua, yaitu:
a.       Sumber hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara;
b.      Sumber hukum formil, yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang kemudian diikuti peraturan pelaksana di bawahnya, yaitu sebagai berikut:
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
-Undang-undang/Perpu;
-Peraturan Pemerintah;
-Keputusan Presiden;
-Peraturan pelaksana lainnya, misalnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah. 
3.      Interpretasi atau penafsiran adalah suatu kiat dalam mencari makna sebenarnya yang terkandung dalam suatu konstitusi.
4.      Seperti ternyata dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, UUD 1945 terdiri dari dua bagian, yaitu: (a) pembukaan atau preambule, (b) batang-tubuh yang terdiri dari 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, satu pasal aturan tambahan dan penjelasan UUD.
5.      Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara.












-saran-saran:











BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1.      Soemantri, Sri. 1979. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Offset Alumni.
2.      B. Sagala, Budiman. 1982. Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  1. Mahkamah Konstitusi RI. 2011. UUD RI 1945. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Republik Indonesia.
  2. Huda, Ni’Matul. 2010. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
5.      Asshiddiqie, Jimly. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers.
6.      Masriani, Yulies Tiena. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
7.      Asshiddiqie, Jimly. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:  Konstitusi Press.
8.      Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
9.      Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press.
10.  Mahfud, Moh. MD. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers.
11.  Subekti, Valina. 2008. Menyusun Konstitusi Transisi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
12.  Anwar, C. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi. Malang: Intrans Publishing.


[1] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang. Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm 1.
[2] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang . Op.Cit., hal 9.
[3] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm 36.
[4] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 125.
[5]Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm 99.
[6]Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Op.Cit., hal 101.
[7] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 29.
[8] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Op. Cit., hal 30.
[9] Lihat pasal 4 UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan Undang-undang.
[10] Lihat Bab II tentang Asas Peraturan Perundang-Undangan UU No. 10 tahun 2004.
[11] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 36.
[12] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Op. Cit., hal 41.
[13]Hans Kelsen, Raisul Muttaqien (penerjemah), Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2011, hlm 223.
[14]Valina Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 85.
[15] Valian Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi, Op. Cit., hal 88.                                    
[16]Valian Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi, Op. Cit., hal 89.
[17] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 51.
[18] Lihat UUD 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A
[19] Lihat UUD 1945 Amandemen kedua Pasal 28E ayat (1)
[20] Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm 95.