Minggu, 14 Oktober 2012

makalah hukum perbankan


BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latarbelakang
Perbankan merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi di Indonesia yang mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yangdiatur dalam Pasal 3 Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Di dalam sistem hukum Indonesia, segala bentuk praktek perbankan berdasar kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam ideologi negara Indonesia yakni Pancasila dan Tujuan Negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pengakuan yuridis formal mengenai eksistensi perbankan dimulai sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan dan selanjutnya dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Sebagai badan usaha, kehadiran bank di masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam proses pembangunan nasional. Arti dan peran perbankan terlihat dari pengertian bank itu sendiri yakni badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta dan negara. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa lainnya, bank berperan serta dalam mekanisme pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Prasarana perbankan Indonesia setelah reformasi mengalami perkembangan yang sangat cepat. Untuk mengatasi sengketa atau permasalah hukum yang terjadi dalam perbankan maka terdapat upaya penyelsaian yang sering dikenallitigas dan non litigasi. Upaya hukum litigasi merupakan penyelsaian melalui pengadilan, sedangkan non litigasi merupakan upaya penyelsaian sengketa diluar pengadilan yang terdiri dari mediasi, konsolidasi dan arbitrase. Oleh karena itu, diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya adalah arbitrase dan mediasi seperti yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan Mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi Perbankan diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Bertitik tolak pada pemaparan diatas penulis terdorong menggkaji lebihdalam tentang “PERANAN BI DALAM UPAYA MENJALANKAN FUNGSI MEDIASI PERBANKAN“

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimanakah peranan BI dalam menjalankan fungsi mediasi perbankan ?
2.      Bagaimankah faktor penghambat dalam upaya mediasi perbankan?

C.    Tujuan dan Manfaat
1.      Untuk mengetahui peranan BI dalam menjalankan fungsi mediasi perbankan.
2.      Untuk mengetahui faktor penghambat dalam upaya mediasi perbankan.




 BAB II
PEMBAHASAN
 A.    Konsep dan pengertian mediasi.
Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.[1]
Mediation is a process in which two or more people involved in a dispute come together, to try to work out a solution to their problem with the help of a neutral third person, called the “Mediator”. [2]
“Mediasi” adalah proses penyelesaian sengketa yang  melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan. [3]
Pengertian mediasi dalam pengintegrasiannya dalam sistem peradilan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 1 butir 6 adalah:[4]
a.       Proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui perundingan antara pihak yang berperkara,
b.      Perundingan yang dilakukan para pihak, dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi:
c.       Sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak (imparsial), dan
d.      Berfungsi sebagai pembantu dan penolong (helper) mencari berbagai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling meguntungkan kepada para pihak.

Dari perumusan-perumusan diatas dapat disimpulkan bahwa, mediasi merupakan proses penyelsaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah sengketa yang kewenangannya berbeda dengan kewenangan hakim untuk memutus sengketa perkara. Tugas dan kewenangan mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak-­pihak yang bersengketa dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat mengadakan kesepakatan tentang hal-hal yang disengketakan.
The assumption…….is that third party will be able to alter the power and social dynamics of the conflict relationship by influencing the beliefs and behaviors of individual parties, by providing knowledge and information , or by using a more effective negotiation process and thereby helping the participants to settle contested issues[5]
Tujuan upaya  mediasi :
a)      Membantu mencarikan jalan keluar/alternative penyelesaian atas sengketa yang  diantara para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.
b)      Dengan demikian proses negosiasi adalah proses yang forward looking dan bukan backward looking. Yang hendak dicapai bukanlah mencari kebenaran dan/atau dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian masalah. “The goal is not truth finding or law imposing, but problem solving” [6]
c)      Melalui proses mediasi diharapkan dapat dicapai terjalinnya komunikasi yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa.
d)     Menjadikan para pihak yang bersengketa dapat mendengar, memahami alasan/ penjelasan/ aurgumentasi yang menjadi dasar/pertimbangan pihak yang lain.
e)      Dengan adanya pertemuan tatap muka, diharapkan dapat mengurangi rasa marah/bermusuhan antara pihak yang satu dengan yang lain.
f)        Memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, dan hal ini diharapkan dapat mendekatkan cara pandangdari pihak-pihak yang bersengketa, menuju suatu kompromi yang dapat diterima para pihak.

a.       Latar belakang dan tujuan dari mediasi
Ada beberapa macam bentuk penyelesaian perkara melalui perdamaian yakni salah satu diantaranya ialah mediasi. Mediasi merupakan salah satu bagian proses penyelesaian perkara melalui perdamaian yang bersifat pendekatan nurani dan moral, bukan berdasarkan hukum. Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBG mengenal dan menghendaki penyesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:
Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.[7]
Selanjutnya, ayat (2) mengatakan:
Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjan yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.[8]
Bertitik tolak dari ketentuan pasal ini, sistem yang diatur hukum acara dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, hampir sama dengan court conected arbitration system:
1.      Pertama-tama, hakim membantu atau menolong para pihak yag berperkara untuk menyelesaikan sengketa dengan perdamaian,
2.      selanjutnya, apabila tercapaai kesepakatan diantara penggugat dan tergugat:
a)    kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian yang ditanda tangani oleh para pihak;
b)   terhadap perjanjian perdamaian, dibuat akta berupa putusan yang dijatuhkan pengadilan yang mencantumkan amar, menghukum para pihak menepati perjanjian perdamaian.
            Jadi, hampir tidak ada bedanya dengan court connected arbitration system. Seolah-olah perjanjian perdamaian itu merupakan putusan hakim dalam kedudukannya sebagai arbiter. Berarti, suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBG lebih menghendaki penyelesaian perkara dengan perdamaian daripada proses putusan biasa. Lebih menghendaki penerapan proses win-win solution yaitu sama-sama menang daripada penerapan winning or losing, yaitu menang atau kalah.
            Dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya bertitik tolak dari eksistensi Pasal 130 HIR dalam hukum acara dalam perdata menunjukkan sejak jauh hari sebelum sistem ADR dikenal pada era sekarang, telah dipancangkan landasan yang menuntut dan mengarahkan penyelesaian sengketa melalui jalan perdamaian. Mediasi dianggap lebih efektif dikarenakan :[9]
a.       Proses mediasi lebih cepat atau expited procedure, dalam arti prosedurnya cepat, tidak formalistis, dan tidak teknikal,
b.      Biaya murah atau minimal cost, pada dasarnya tidak memerlukan biaya dibanding proses litigasi atau arbitrase yang biayanya relatif lebih mahal atau sangat mahal, dan
c.       Dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau dapat memberi penyelesaian yang lebih memuaskan atas penyelesaian sengketa, karena penyelesaian lebih mengutamakan pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan berdasarkan perundingan dan kesepakatan daripada pendekatan hukum. 

c.    Ruang Lingkup Tahap mediasi
            Tahap mediasi substansinya meliputi penyampaian fotokopi dokumen yang diperlukan, penentuan jadwal pertemuan, fungsi mediator, proses mediasi, mengundang ahli, dan sebagainya.[10]
a)        Para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen
Berdasarkan Pasal 8 PERMA No. 2 Tahun 2003, tahap mediasi dimulai dari tanggal terpilihnya mediator oleh para pihak atau dari tanggal ditunjuknya mediator oleh ketua majelis. Terhitung dari tanggal itu, timbullah kewajiban hukum para pihak melaksanakan dan menyerahkan:
3.        Fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara dan fotokopi surat-surat yang   diperlukan sebagai surat-surat bukti
    Dalam sistem mediasi yang berlaku secara umum, dalam formulir permohonan mediasi, tercantum secara lengkap minimal hal-hal berikut:
                        (1) Masalah yang disengketakan,
                        (2) Penyelesaian yang diinginkan,
                        (3) Ganti rugi atau pemulihan yang diminta
b). Kewajiban dan peran mediator
1)      Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan
2)      Proses mediasi mesti dihadiri oleh para pihak
3)      Berwenang melakukan pertemuan antara mediator
4)      Mediator berfungsi dan berperan sebagai pembantu yang bersifat netral dan tidak memihak
            5) Dapat mengundang para ahli yang kompeten dalam bidang tertentu

d.      Sistem Proses Mediasi
Mengenai sistem atau tata cara pertemuan perundingan (negosiasi) proses mediasi diatur dalam pasal 1 butir 11 dan Pasal 14 PERMA No.2 Tahun 2003. Bertitik tolak dari ketentuan pasal-pasal tersebut, terdapat 3 (tiga) sistem pertemuan.

a)           Tertutup untuk umum, Sistem ini merupakan prinsip dasar. Hal ini ditegaskan dalam pasal 14 ayat 
b)         PERMA No.2 Tahun 2003 yang berbunyi:
Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak yang menghendaki lain.
c)           Terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak

            Dalam peradilan disebut open court, yaitu sidang pengadilan dinyatakan terbuka untuk umum. Kebolehan melakukan proses proses pertemuan mediasi terbuka untuk umum menurut pasal 14 ayat (1) PERMA No.2 Tahun 2003:
a)          Apabila para pihak menghendaki, dalam arti para pihak menghendakinya;
b)         Kehendak atau persetujuan itu, harus dinyatakan dengan tegas (expressis verbis)
c)          3) Sengketa publik mutlak terbuka untuk umum

Sistem proses mediasi yang ketiga, mutlak terbuka untuk umum. Cara ini ditegaskan dalam pasal 14 ayat (2) PERMA No.2 Tahun 2003 yang berbunyi:
“Proses mediasi untuk segala sengketa publik terbuka untuk umum.” Syarat untuk melakukan proses mediasi mutlak terbuka untuk umum (disclosure):
a)    Apabila objek mediasi sengketa publik,
 Berdasarkan pasal 1 butir 11, apabila objek mediasi sengketa publik, anggota masyarakat dapat hadir atau mengamati, atau masyarakat dapat mengakses informasi yang muncul dalam proses mediasi
b)   Sedang yang dikategorikan atau diklasifikasikan sengketa publik disebut secara enumeratif atau satu per satu dalam pasal 1 butir 9, terdiri dari:
(1) lingkungan hidup,
(2) hak asasi manusia,
(3) perlindungan konsumen,
(4) pertanahan, dan
(5) perburuhan yang melibatkan kepentingan banyak buruh[11]

B.     Mediasi Perbankan
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006, yang dimaksud dengan Mediasi Perbankan adalah alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan. Dalam praktek dikenal berbagai bentuk penyelesaian sengketa perdata seperti litigasi, arbitrase dan/atau Mediasi. Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak memilih penyelesaian melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik melakukan tuntutan secara perdata maupun secara pidana. Namun terdapat banyak kendala yang sering dihadapi. Kendala tersebut antara lain lamanya penyelesaian perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
Proses mediasi perbankan merupakan kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah. Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui berbagai media tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank. Namun, Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.[12]
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan mediasi adalah sebagai berikut:
a)Mediasi dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses beracara di Pengadilan atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak diperlukan gugatan ataupun biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih murah
b)    Mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga hubungan kerjasama mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya persengketaan diantara mereka.
c)Proses mediasi lebih bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
 Pengaturan mengenai penyelenggaraan mediasi perbankan oleh Bank Indonesia dituangkan dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 yang pada intinya mencakup hal-hal sebagai berikut:
a)      Nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi kepada Bank Indonesia.
b)      Proses mediasi dilakukan oleh Bank Indonesia hanya dengan sengketa dengan nilai klaim maksimum sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c)      Pelaksanaan proses mediasi sejak ditandatanganinya perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan akta kerja dan dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank. [13]

Sengketa  yang   diselesaikan  melalui  Mediasi Perbankan dibatasi  pada Sengketa yang memiliki nilai tuntutan finasial paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan tidak merupakan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh  kerugian immateriil. Proses Mediasi Perbankan adalah sebagai berikut :
  1. Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan upaya penyelesaian kepada Bank secara tertulis (bukti  tanda terima pengaduan atau tanggapan Bank);
  2. Dalam hal nasabah belum menerima penyelesaian Bank, Nasabah mengajukan secara tertulis kepada Bank Indoensia disertai dokumen pendukung;
  3. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;
  4. Sengketa yang diajukan merupakan sengketa keperdataan;
  5.    Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia;
  6. Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enampuluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah;
  7. Bank Indonesia memanggil, mempertemukan, mendengar dan memotivasi nasabah dan Bank untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan;
  8. Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat;
  9. Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah dan Bank;
  10. Pelaksanaan proses Mediasi sampai dengan ditandatanganinya Akta Kesepakatan dilakkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate);
  11. Jangka waktu proses Mediasi  dapat diperpanjang  sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan Nasabah dan Bank;
  12. Kesepakatan antara Nasabah dan Bank yang dihasilkan dari proses mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah dan Bank;
  13. Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian Sengketa perbankan yang telah dituangkan dalam Akta Kesepakatan.

Sedangkan syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan (Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006), yaitu:
  1. Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;
  2. Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;
  3. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;
  4. Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;
  5. Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi Perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan
  6. Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.

Menurut Bank Indonesia Nomor : 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan, tahap-tahap dari proses mediasi perbankan adalah :
a)      Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepadaBank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah ( Pasal 7 Ayt 1)
b)      Bank Indonesia memanggil bank yang tersangkut (Pasal 7 Ayat 2).
c)      Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) (Pasal 9 Ayat 1).
d)     Pihak Bank Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank(Pasal 9 Ayat 2).

Adapun isi Perjanjian Mediasi adalah :
a.       Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif
penyelesaian Sengketa; dan
b.      persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.(2) Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telahditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.

Dasar hukum dari kewenangan Bank Indonesia sebagai lembaga yang menaungi Mediasi Perbankan diatur dengan suatu Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan pasal 2 yaitu :

a.       Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan.
b.      Dihapuskan.
c.       Dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga mediasi perbankan independen melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia.
d.      Sepanjang lembaga mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Dengan dihapuskannya pasal 3 ayat (2) ini membuat asosiasi perbankan mempunyai cukup waktu untuk merumuskan pembentukan lembaga mediasi perbankan yang independen yang dapat menjembatani kepentingan nasabah dan bank dengan seadil-adilnya tanpa tendensi untuk memihak salah satunya. Sehingga diharapkan dengan tidak adanya batas waktu pembentukan lembaga ini, asosiasi perbankan akan dapat dengan arif membentuk lembaga mediasi yang dapat melindungi kepentingan nasabah.

C.    Peranan BI dalam menjalankan fungsi mediasi perbankan.
 BI telah menetapkan enam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API) demi terwujudnya perbankan yang sehat kuat dan efisiensi guna menciptakan kesetabilan sistem keuangan dalam rangka membantu pertumbuhan ekonomi nasional. Keenanam   pilar API tersebut terdiri dari, struktur perbankan yang sehat, sistem pengaturan yang efektif, industri perbankan yang kuat, infrastruktur pendukung yang mencukupi dan perlindungan konsumen.[14]
Dalam rangka merealisasikan pilar keenam yaitu perlindungan konsumen, BI telah berusaha untuk melakukan peningkatan perlindungan dan pemberdayaan nasabah dengan meningkatkan transparasi produk, menyediakan layanan penyelsaian pengaduan dan ditingkatkan dengan mediasi perbankan serta upaya untuk mengedukasikonsumen. Mekanisme penyelsaian sengketa antara nasabah dan bank ditempuh melalui dua tahap. Pertama, bank wajib menyelsaikan terlebih dahulu sengketa dengan nasabahnya susuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7/PBBI/2005 tentang Penyelsaian Pengaduan Nasabah. Kedua, apabila sengketa belum diselsaikan terlebih dahulu sengketa dengan baik, nasabah bank dapat mengajukan permohonan sengketa melalui mediasi yang difasilitasi oleh BI sesuai  PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
Sebagai upaya lebih lanjut yang dilakukan oleh Bidalam upaya penegakan hukum dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank adalah menjadi pelaksana mediasi perbankan.
            Dalam mewujudkan upaya perlindungan konsumen dengan menyediakan layanan mediasi perbankan, BI telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)No.10/1/PBI/2008 tentang perubahan dari (PBI) No.8/5/PBI/2006 . penyelesaian pengaduan nasabah tidak selalu dapat memuaskan dan mengakomodir kepentingan nasabah karena penyelsaian konflik tersebut tidak melibatkan nasabah melaikan diputuskan secara sepihak oleh bank. Dengan alasan tersebut, maka BI menyediakan mekanisme mediasi perbankan. Hal ini bertujuan agar setiap potensi sengekta yang dapat merugikan nasabahdan reputasi bank segera dibatasi. Mediasi dipilih karena selain dapat dipilih karena selain dapat menyelsaikan sengketa dengan cepat, murah efektif juga menjaga agar reputasi bank tidak rusak karena ekspos terhadap konflik bank yang bersangkutan dengan nasabahnya. Tindakan kongkrit yang dilakukan BI dalam rangka penegakan hukum dalam hal terjadi sengketa perbankan ini di antaranya adalah dengan pembentukan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan yang bertugas menyelenggarakan mediasi antara nasabah dengan bank serta melakukan investigasi tentang kemungkinan bank melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

D.    Faktor penghambat mediasi perbankan.
 Direktur Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia Purwanti Budiman menyatakan bahwa jumlah kasus yang ditangani BI dalam proses mediasi sangat minim. Menurutnya, hal itu disebabkan karena penyelesaian sengketa dengan cara mediasi belum membudaya dikalangan masyarakat termasuk dalam nasabah bank dan bank itu sendiri. Faktor lainnya adalah nasabah kurang memahami kasus posisi yang sebenarnya, nasabah juga tidak bisa memberikan dokumen yang lengkap. Selanjutnya, BI kesulitan untuk menghubungi pejabat di bank yang berkompeten untuk dipanggil dan menjalani proses mediasi. Seringkali, utusan yang dikirim oleh bank tidak memiliki kewenangan memutus. Hal ini berakibatkan proses mediasi tidak dapat berjalan sebagai mana mestinya sehingga proses mediasi tidak berjalan secara efektif dan membutuhkan waktu yang lama. Fakta dilapangan menunjukan bahwa masih banyak pejabat bank yang belum mengetahui ketentuan mediasi perbankan . Fakor penghambat selanjutnya datang dari advokad. Walaupun hal ini relatif jarang terjadi, namun kadang seorang advokad yang diminta pendapat oleh nasabah tentang sengketa dengan bank menyarankan agar perkara tersebut dibawa kepengadilan.  Dengan demikian, ini merupakan salah satu bentuk upaya penghindaran terhadap mediasi perbankan. Hambatan juga datang dari dalam operasional mediasi perbankanr itu sendiri. Dengan institusi lembaga penyelsaian sengketa perbankan yang dilaksanakan oleh BI tersebut bisa mempengaruhi sikab dan prilaku BI lebih merasa sebagai hakim dalam penyelsaian sengketa nasabah dari pada sebagai mediator.
 Dalam menghadapi kendala tersebut perlu dilakukan upaya yaitu  pengenalan mediasi perbankan kepada karyawan atau delegasi bank, mensosialisasikan mediasi perbankan kepada nasabah dan masyarakat serta bekerjasama dengan pihak ketiga  dan penyamaan persepsi. Dan Akta kesepakatan mediasi perbankan tidak memiliki suatu kekuatan eksekutorial sama sekali terhadap kesepakatan tersebut, tetapi bersifat mengikat dan final. Namun bukan berarti para pihak dapat ingkar terhadap apa yang telah disepakatinya, karena ada sanksi administratif oleh Bank Indonesia apabila dilanggar oleh  bank. Dari hasil penelitian Bank Indonesia telah menjalankan fungsinya sebagai fasilitator mediasi perbankan[15].


III. PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia telah berperan aktif dalam rangka menjalankan fungsi penegakan hukum dalam hal terjadi sengketa. BI juga telah berusaha melakukan upaya mewujudkan tersedianya perlindungan nasabah dengan berperan sebagai pelaksana mediasi perbankan dengan dibentuknya Direktorat Investigasi dan Mediasi. Selain itu BI sebagai lembaga publik telah menggunakan kekuasaannya untuk menciptakan fondasi hukum pelaksanaan mediasi perbankan serta pedoman pelaksanaanya. Fungsi mediasi yang dijalankan oleh BI yang bukan merupakan ruang linkup tugasnya, namun upaya tersebut merupakan salah satu inisiatif BI yang disebabkan karena berdasarkan fakta jumlah nasabah yang merasa dirugikan oleh bank tidak sedikit dan membutuhkan upaya hukum yang segera, sehingga mediasi perbankan harus dilaksanakan karena apabila dibiarkan koflik tersebut akan mengancam reputasi bank yang bersangkutan. Fakor penghambat yang muncul dari upaya mediasi perbankan mengakibatkan penyelesaian upaya mediasi tidak maksimal bahkan bisa mengalami kegagalan. Dalam menghadapi kendala tersebut perlu dilakukan upaya yaitu pengenalan mediasi perbankan kepada karyawan atau delegasi bank, mensosialisasikan mediasi perbankan kepada nasabah dan masyarakat serta bekerjasama dengan pihak ketiga dan penyamaan persepsi.

B.     Saran
Perlu dibentuknya Lembaga Mediasi Perbankan Independen agar pelaksanaan fungsi mediasi perbankan dapat lebih Fair dan efisien, sementara lembaga tersebut belum terbentuk. Bi perlu mensosialisasikan keberadaan mediasi perbankan mediasi perbankan kepada masyarakat dengan menegasakan kembali kewajiban bank menginformasikan pada nasabahnya akan tersedianya mediasi perbankan.

 DAFTAR PUTAKA

·         Harahap M. Yahya, 1997 Beberapa Tinjauan Mengenai sistem Pengadilan dan
Penyelesaian Sengketa. PT,cipta aditya Bakti. Bandung
·         M. Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika
·         R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1985
·         Goodpaster, 1995, Tinjauan Dalam Penyelesaian Sengketa, dalam Soebagjo dan
Radjagukguk
·         Lovenheim, Peter, 1996, How to Mediate Your Dispute, Nolo-Press, Berkeley.

Peraturan

·         Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan
·         Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan
·         PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/2006

web

·         http//www.bi.go.id/web/id/
·         Muliaman D. Hadad, Menanti Mediator Bank-Nasabah, diakses dalam www.bexi.co.id/images/res/perbankan-Menanti%20Mediator%20Bank-Nasabah.pdf
·         http://repository.unand.ac.id/9976/ diakses pada tanggal 05 oktober 2012 pukul 21.25










[1]Goodpaster, 1999 : 241
[2] (Lovenheim, 1996 : 1.3)
[3]Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006, angka 5
[4] M. Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.244
[5]Goodpaster, Tinjauan Dalam Penyelesaian Sengketa, dalam Soebagjo dan Radjagukguk, 1995 : 11-12
[6]Lovenheim, 1996 : 1.4
[7] R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1985, hlm. 88
[8]Ibid, hlm. 187
[9] M. Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.243
[10]Ibid, hlm.259
[11] Ibid, hlm.266
[12]http://www.bi.go.id/web/id/
[13]Muliaman D. Hadad, Menanti Mediator Bank-Nasabah, diakses dalam www.bexi.co.id/images/res/perbankan-Menanti%20Mediator%20Bank-Nasabah.pdf
[14] http//www.bi.go.id/web/id/
[15]http://repository.unand.ac.id/9976/ diakses pada tanggal 05 oktober 2012 pukul 21.25