Rabu, 30 Mei 2012

makalah humaniter_protokol tambahan II


BAB II ISI DAN PEMBAHASAN
A.      Pembatasan Pengertian HHI
Hukum Humaniter Internasional  (HHI) sebagai salah satu bagian hokum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap Negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Dalam hal ini, HHI merupakan suatu instrument kebijakan dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua actor internasional untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang[1].
HHI dalam arti luas adalah sebagian hokum internasional yang berdasarkan rasa kemanusiaan bertujuan melindungi individu dengan menjamin penghormatan individu dan mendorong perkembangannya. HHI dalam arti luas ini mencakup dua cabang yakni hukum perang dan hukum hak asasi manusia (Ham). Hukum perang yang merupakan bagian dari HHI dalam arti luas itu juga disebut sebagai hokum perang dalam  arti luas. Hukum perang dalam arti luas yang disebut juga sebagai hokum sengketa bersenjata, dimaksudkan untuk mengatur permusuhan dan mengurangi kekerasan yang ditimbulkan sejauh kepentingan militer memungkinkan. Hukum perang dalam arti luas itu juga dibedakan menjadi dua cabang, yakni Hukum Den Haag, yang disebut sebagai hokum perang dalam arti sempit atau hokum perang dalam arti sempit yang sebenarnya, menetapkan hak dan kewajiban dari pelaku perang (belligerents) dalam melakukan perbuatan perang dan membatasi pemilihan sarana pengrusakan di dalam perang. Sedangkan Hukum Jenewa, atau HHI dalam arti yang sebenarnya dimaksudkan untuk menyelamatkan anggota tentara yang telah hors de combat dan orang-orang yang tidak mengambil bagian dalam permusuhan.
GPH. Haryomataram membagi hokum humaniter menjadi dua aturan pokok yaitu:
a.       Hokum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/ the Hague Laws)
b.      Hokum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws)[2]
                Sesuai dengan pembatasan lingkup pembicaraan di atas HHI yang terkait dlam uraian ini adalah HHI dalam arti sempit, yakni Hukum Jenewa. Hokum Jenewa itu terdiri dari empat konvensi yakni Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang:
1.       Perbaikan keadaan anggota Angkatan Perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat;
2.       Perbaikan keadaan anggota Angkatan Perang di laut yang luka, sakit dan korban karam;
3.       Perlakuan tawanan perang;
4.       Perlindungan orang-orang sipil di waktu perang
Keempat konvensi itu menetapkan pasal-pasal yang sama, sebut saja pasal kembar. Salah satu pasal kembarnya itu adalah pasal 3 yang khusus mengatur sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional. Ketentuan pasal 3 kembar ini merupakan salah satu focus pembahasan uraian ini.
Konvensi Jenewa tahun 1949 itu pada tahun 1977 dilengkapi dengan dua Protokol Tambahan. Salah satu Protokol Tambahan itu, yakni Protokol Tambahan II menetapkan pengaturan tentang perlindungan korban pertikaian  bersenjata non-internasional. Dengan demikian, berdasarkan pembatasan permasalahan di awal uraian ini, HHI yang terkait dalam uraian ini adalah :
1.       Pasal 3 kembar pada keempat Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang selanjutnya disebut Konvensi Jenewa 1949, dan
2.       Protocol Tambahan II tahun 1977 pada Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Sengketa bersenjata Non-internasional selanjutnya disebut Protokol Tambahan II tahun 1977.
Perjanjian internasional yang mengatur perang yang mencakup perlindungan penduduk sipil yang utama ialah:
a.       Konvensi Den Haag (KDH) tahun 1899 yang kemudian disempurnakan oleh KDH tahun 1907. KDH tahun 1907 ini terdiri dari 13 konvensi besrta satu Peraturan Den Haag (PDH) sebagai lampiran KDH IV tahun 1907 dan satu deklarasi.
b.      Konvensi Jenewa (KJ)tahun 1949 yang terdiri dari empat konvensi. KJ IV tahun 1949 itu khusus mengatur perlindungan penduduk sipil di masa perang.
c.       Protokol Tambahan pada KJ 12 tahun 1949 (PTKJ) yang ditanda tangani pada tahun 1977. PTKJ tahun 1977 terdiri dari dua protocol yakni PTKJ I yang mengatur perlindungan korban perang internasional dan PTKJ II yang mengatur perlindungan korban perang non-internasional[3].
Perlu diutarakan disini bahwa Indonesia terikat pada ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 karena Indonesia telah menyatakan turut serta dalam Konvensi itu dengan pernyataannya pada tanggal 10 September 1958 berdasarkan UU no. 59 tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Namun hingga kini Indonesia, walaupun ikut serta aktif dalam konperensi yang membicarakan Protokol Tambahan itu belum meratifikasi Protokol Tambahan 1977, baik Protokol Tambahan I maupun II. Dengan demikian Indonesia tidak terikat pada ketentuan Protokol tersebut.

B.      Sengketa Bersenjata Non-internasional
Dalam Hukum Humaniter terdapat dua rumus yaitu:
a.       Armed Conflict not of an international character
(art 3 Konvensi Geneva 1949)
b.      Non-international armed conflict
(Protokol Tambahan II 1977)
                Keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan armed conflict dibatalkan tetapi kemudian ada beberapa usul yang berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya Konvensi dapat diterapkan. Meskipun usul-usul itu secara resmi tidak diterima, tetapi kiranya bermanfaat untuk dapat memperkirakan dalam keadaan bagaimana Konvensi berlaku. Syarat yang diusulkan itu adalah sebagai berikut:
a.       Bahwa pihak yang memberontak pemerintah memiliki kekuatan militer yang terorganisir dibawah komando yang bertanggung jawab, beraksi dalam wilayah tertentu menjamin penghormatan konvensi ini.
b.      Bahwa pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan kekuatan militer regular untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan menguasai sebagian wilayah nasional.
1)      Bahwa pemerintah de jure telah mengakui pemberontak sebagai belligerent, atau
2)      Bahwa pemerintah telah meng-claim  bagi dirinya hak sebagai belligerent
3)      Bahwa pemerintah telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi ini saja
4)      Bahwa perselisihan tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keaamanan atau Majelis Umum sebagai ancaman terhadap perdamaian internasioanl, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi.
c.       1)  bahwa pemberontak mempunyai organisasi yang mempunyai sifat sebagai Negara
2) bahwa penguasa sipil melaksanakan kekuasaannya terhadap orang-orang dalam wilayah tertentu
3) bahwa kekuatan tersenjata bertindak dibawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir
4) bahwa penguasa sipil pemberontak setuju terikat pada ketentuan Konvensi.
                Perbedaan utama antara non-international armed conflict (sengketa bersenjata non-internasional) dengan international armed conflict (sengketa bersenjata internasional) dapat dilihat dari status hokum pihak-pihak dalam konflik. Dalam international armed conflict kedua pihak dalam konflik status hukumnya sama , karena kedua belah pihak adalah Negara. Sedangkan dalam non-international armed conflict status hokum kedua belah pihak tidak sama, karena pihak yang satu adalah Negara sedangkan pihak lainnya adalah bukan Negara.
                Konvensi Jenewa, c.q. pasal 3 kembarnya tidak menetapkan secara rinci apakah yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional. Pasal 3 kembar itu hanya menyebutkan salah satu unsur dari sengketa bersenjata non-internasional tersebut, yakni sengketa bersenjata yang berlangsung dalam wilayah pihak peserta agung. Ketentuan pasal kembar itu lebih menekankan pada kewajiban tiap pihak dalam sengketa.
                Berbeda dengan Konvensi Jenewa itu Protokol Tambahan II tahun 1977 pasal 1 ayat 1 menetapkan unsur-unsur pengertian sengketa bersenjata non-internasional. Sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa yang memenuhi persyaratan unsure-unsur positif dan persyaratan unsure-unsur negative. Persyaratan unsure-unsur positfnya ialah bahwa sengketa bersenjata itu adalah sengketa yang:
·         Bertempat di wilayah pihak peserta agung.
·         Terjadi antara angkatan bersenjata pihak peserta agung dengan angkatan bersenjata pembelot atau kelompok bersenjata terorganisir lain yang berada di bawah komando yang bertanggungjawab.
·         Menguasai sebagian wilayah Negara hingga memungkinkan mereka melakukan operasi militer berlanjut dan terorganisir.
·         Melaksanakan ketentuan protocol ini.
Persyaratan unsure-unsur negatifnya ialah:
·         Tidak termasuk sengketa bersenjata tersebut pada Pasal 1 Protokol Tambahan I.
·         Bukan situasi gangguan dan ketegangan internal seperti misalnya kerusuhan, tindakan kekerasan yang sporadic dan perbuatan yang semacam, karena perbuatan-perbuatan ini tidak termasuk sengketa bersenjata.
Pengertian sengketa bersenjata non-internasional diutarakan secara umum sebagai sengketa dalam mana penguasa pemerintahan suatu Negara ditentang oleh kelompok dalam Negara itu yang berusaha untuk menggulingkan kekuasaan itu dengan kekerasan senjata. Pengertian sengketa bersenjata non-internasional yang umum ini tampak merumuskan inti dari pengertian yang ditetapkan dalam pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949 dan yang ditetapkan Protokol Tambahan II tahun 1977.
 C.      Bagaimana HHI mengatur Sengketa Bersenjata Non-internasional?
                Karena adanya perbedaan pengertian tentang sengketa bersenjata dalam pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949 dan pengertian dalam Protokol Tambahan II, pembicaraan tentang bagaimana HHI mengatur sengketa bersenjata non-internasional harus dibedakan antara sengketa bersenjata non-internasional berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, c.q. pasal 3 kembarnya, dan sengketa bersenjata non-internasional berdasarkan Protokol Tambahan II 1977. Hal itu disebabkan karena pengertian sengketa bersenjata non-internasional berdasarkan pasal 3 kembar hanya berlaku bagi Konvensi Jenewa1949, c.q. pasal 3 kembar, yang merupakan Konvensi dalam miniatur. Adapun pengertian sengketa bersenjata berdasarkan pasal 1 Protokol Tamabahan II 1977 hanya berlaku bagi Protokol Tambahan tersebut.
                Dalam menelaah pengaturanHHI tentang masing-masing sengketa bersenjata non-internasional itu uraian inibermaksud menelaah beberapa aspek HHI dalam mengatur sengketa bersenjata non-internasional tersebut. Aspek pengaturan yang dimaksud adalah :
1.       Apakah tujuan HHI mengatur sengketa bersenjata non-internasional?
2.       Apakah cara dan sarana yang ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut?
Dalam perkembangannya khususnya dalam kesepakatan yang termuat dalam statute roma 1998, pemberlakuan aturan HHI untuk sengketa bersenjata noninternasionaltidak lagi memerlukan syarat bahwa pasukan pemberontak tersebut telah melakukan kendali atas sebagian wilayah dan berada dibawah komando yang bertanggungjawab. Asalkan konflik berkelanjutan dan pemberontak yang dihadapi adalah kelompok terorganisasi, maka Negara dan pihak pemberontak terikat untuk mematuhi HHI (Hukum Humaniter Internasional)[4].

D.      Sengketa bersenjata non-internasional dalam Konvensi Jenewa 1949
Konperensi diplomatic, yang diselenggarakan atas undangan Dewan Federal Swiss di Jenewa pada tanggal 21 april sampai 12 agustus 1949 berhasil menerima empat Rancangan Konvensi yang diajukan oleh Komite Internasional Palang Merah (international Committee of the Red Cross) menjadi Konvensi. Keempat konvensi tersebut ialah: KJ untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan perang di medan pertempuran darat (KJ I), KJ untuk perbaikan keadaan angkatan perang di laut yang luka, sakit dan korban karam (KJ II), KJ mengenai perlakuan tawanan perang (KJ III), dan KJ mengenai perlindungan penduduk sipil di masa perang (KJ IV)[5].
                Konvensi Jenewa 1949, sebagai HHI dalam arti sempit yang sebenarnya, dalam pasal 3 kembarnya mengatur sengketa bersenjata non-internasional. Sesuai dengan ucapan salah satu delegasi dalam Konperensi Jenewa tahun 1949, pasal itu sering juga disebut sebagai suatu Konvensi Kecil (Convention in Miniature), karena merupakan suatu pasal yang mengandung semua pokok utama tentang perlakuan terhadap korban perang menurut KJ tahun 1949[6].
1.       Tujuan  pasal 3 kembar mengatur sengketa bersenjata non –internasional
Adapun tujuan pasal 3 kembar dalam mengatur sengketa bersenjata itu ialah untuk menerapkan prinsip konvensi yakni ketentuan kemanusiaan yang diakui sebagai prinsip hakiki oleh bangsa-bangsa beradab. Tujuan konvensi adalah murni kemanusiaan. Mochtar Kusumaatmadja mengutarakan bahwa pasal 3 kembar itu bermaksud memberikan jaminan-jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata intern berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.
2.       Cara dan sarana untuk mencapai tujuan pasal 3 kembar
Cara untuk mencapai tujuan yang ditetapkan itu pasal 3 kembar itu ialah dengan menetapkan hubungan hokum antar pihak-pihak yang terkait dalam sengketa bersenjata non-internasional. Pihak-pihak itu adalah:
a.       Pihak yang bersengketa;
b.      Korban sengketa; dan
c.       Pihak ketiga.

a.       Pihak yang bersengketa adalah:
1)      Pemerintah sah
2)      Pemberontak
Hubungan hokum antar pihak bersengketa yang ditetapkan pasal 3 kembar ialah:
1)      Tiap pihak wajib melaksanakan ketentuan ketentuan pasal 3 kembar konvensi 1949
2)      Pemerintah sah berhak menumpas pemberontakan sesuai dengan menggunakan semua sarana termasuk senjata sesuai dengan ketentuan hukumnya.
3)      Tindakan pemerintah sah tidak mempengaruhi status hokum pihak lawan sengketa.
Sarana untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan mengadakan kesepakatan antar bangsa-bangsa. Untuk pertama kalinya kesepakatan antar bangsa-bangsa itu berhasil dituangkan dalam satu pasal kembar dalam Konvensi Jenewa 1949.
b.      Korban sengketa
Korban sengketa bersenjata non-internasional yang ditetapkan pasl 3 kembar untuk mendapatkan perlindungan adalah:
1)      Orang-orang yang tidak ikut serta aktif dalam permusuhan
Dalam pengetian itu termasuk:
a.       Anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata
b.      Mereka yang tidak lagi turut serta dalam pertempuran (hors de combat) karena luka, sakit, ditahan, atau karena sebab lain apapun.
2)      Mereka yang luka dan sakit.
Adapun hubungan hokum antar pihak  bersengketa dan korban sengketa yang ditetapkan pasal 3 kembar ialah:
1)      Orang-orang yang tidak ikut serta aktif dalam permusuhan, dalam keadaan apapun, diperlukan manusiawi tanpa pembedaan apapun yang merugikan berdasarkan atas : ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau criteria lain yang serupa.
Untuk maksud itu terhadap orang-orang tersebut, kapanpun dan dimanapun,tindakan-tindakan berikut dilarang:
a)      Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama macam-macam pembunuhan, pengundungan, perlakuan kejam dan penganiayaan.
b)      Penyanderaan
c)       Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat.
d)      Menghukum dan menjalankan hukuman tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
2)      Mereka yang luka dan sakit dikumpulkan dan dirawat.

c.       Pihak ketiga
Yang dimaksud dengan pihak ketiga dalam uraian ini adalah mereka yang bukan pihak bersengketa dan bukan pula korban sengketa. Pihak ketiga yang dimaksud adalah:
1)      Badan kemanusiaan yang tidak berpihak, dan
2)      Negara lain.
Hubungan hokum yang ditetapkan dalam pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949 ialah:
1)      Badan kemanusiaan yang tidak berhak dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak bersengketa; tindakan demikian berdasarkan ketentuan pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949 tidak lagi dianggap sebagai tindakan yang tidak bersahabat.
2)      Suatu Negara dalam sengketa bersenjata non-internasional yang terjadi di wilayah Negara lain bla member pengakuan belligerent kepada pasukan anti pemerintah pernyataan itu dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak bersahabat atau perbautan permusuhan.
Sarana yang dipilih HHI untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dengan caramenetapkan hubungan hokum antar pihak-pihak yang terkait dalam sengketa bersenjata n0n-internasional itu ialah kesepakatan internasional. Kesepakatan internasional itu dituangkan dalam bentuk penetapan pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949.
E.       Sengketa bersenjata non-internasional dalam Protokol Tambahan II 1977
                Protokol Tambahan II 1977 adalah protokol tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 dan mengenai perlindungan korban sengketa bersenjata non-internasional. Protocol Tambahan II 1977 ini adalah kesepakatan internasional pertama yang menetapkan perlindungan korban sengketa bersenjata non-internasional. Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional hanya dalam satu pasal, yakni pasal 3 kembarnya, Protokol Tambahan II 1977 yang terdiri dari 28 pasal seluruhnya mengatur tentang sengketa bersenjata non-internasional.
                Sebagai tambahan Konvensi itu, perlindungan protocol tersebut juga merupakan tambahan perlindungan yang ditetapkan KJ IV tahun 1949 yang mengatur perlindungan penduduk sipil di masa perang. Hal itu tampak juga dari adanya beberapa ketentuan protocol tersebut yang secara eksplisit juga mengatur perlindungan bagi penduduk sipil di masa perang. Perlindungan itu ditetapakan dalam prinsip umum dan ketentuan lain protocol tersebut[7].
1.       Tujuan Protokol Tambahan II mengatur sengketa bersenjata non-internasional
Tujuan Protokol Tambahan II mengatur sengketa bersenjata non-internasional adalah:
a.       Untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi korban sengketa bersenjata non-internasional.
b.      Untuk mengembangkan dan melengkapi pasal 3 kembar Konvensi jenewa 1949.
2.       Cara dan sarana untuk mencapai tujuan
Cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dilakukan dengan menetapkan hubungan hokum antara mereka yang terkait dalam perlindungan pada sengketa bersenjata non-internasional tersebut. Mereka yang terkait dalam pelaksanaan perlindungan pada sengketa bersenjata non-internasional adalah:
a.       Pihak bersengketa
b.      Korban sengketa
c.       Pihak ketiga

a.       Pihak bersengketa
Pihak bersengketa dalam sengketa bersenjata non-internasional yang diatur dalam Protokol Tambahan II 1977 tidak ditetapkan secara eksplisit. Namun karena Protokol itu mengatur sengketa bersenjata non-internasional dapat dipastikan bahwa pihak yang bersengketa dalam Protokol Tambahan II itu adalah:
1)      Pemerintah yang sah
2)      Pemberontak, apapun namanya, yakni pihak yabg menentang pemeintah yang sah itu
Kepastian itu diperkuat oleh ketentuan yang menetapkan bahwa Protokol Tambahan itu mengembangkan dan melengkapi ketentuan pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949 tanpa merubah kondisi penerapan yang ada. Yang menetapkan pihak-pihak bersengketa yang sama.
Pihak bersengketa, terutama Pemerintahyang sah, wajib menaati ketentuan-ketentuan Protokol Tambahan itu. Kewajiban menaati Protokol itu tidak tergantungapakah pihak lawan sengketa juga menaati kewajiban serupa atau tidak. Kewajiban penaatan itu tidak vtergantung pada asas resiprositas. Pihak lawan sengketa juga wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan Protokol tersebut, walaupun belum atau tidak menandatangan Protokol tersebut. Adanya kewajiban penataan itu semata-mata didasarkan pada asas kemanusiaan.
b.      Korban sengketa
Korban sengketa yang dilindungi Protokol Tambahan II 1977 ini penetapannya lebih rinci. Korban sengketa bersenjata n0n-internasional yang dlindungi Protokol Tambahan II meliputi:
1)      Semua orang yang dirugikan oleh sengketa bersenjata tersebut pada pasal 1 (pasal 2 ayat 1)
2)      Semua orang yang tidak ikut mengambil bagian langsung dalam permusuhan, atau yang berhenti mengambil bagian dalam permusuhan (pasal 4 ayat 1)
3)      Mereka yang kemerdekaannya dibatasi (pasal 5)
4)      Tersangka pelanggaran sengketa bersenjata (pasal 6)
5)      Mereka yang luka, sakit, korban karam (pasal 8)
6)      Personil medic (pasal 9)
7)      Unit transport medic (pasal 11)
8)      Penduduk dan perorangan sipil (pasal 13)
Dalam perjanjian Internasional  teori pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan diterima sebagai prinsip huklum Internasional bahkan diterima sebagai cornerstone hukum perang. Adapun tujuan diadakan pembedaan itu adalah untuk menjamin perlindungan yang sebesar-besar nya kepada penduduk sipil. Dalam pertikaian senjata sesudah perang Dunia II pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan tmpak menjadi kabur dikarenakan digunakannya senjata yang mengakibatkan bencana luas, berkembangnya perang total, dan dilakukan nya perang griliya. Terutama pada perang total, karena kebanyakan perang sipil terbawa arus gerakan perang negara nya, landasan bagi pembedaan penduduk sipil dan kombatan menjadi goyah. Namun hal itu tidak berarti bahwa prinsip pembedaan tersebut menjadi hapus. Prinsip pembedaan tersebut dapat berlaku dalam perang total meskipun penjabarannya memerlukan perubahan[8].

Perlindungan yang diberikan Protokol Tambahan II kepada mereka itu ialah perlakuan manusiawi tanpa pembedaan. Perlakuan manusiawi itu dibedakan menjadi dua, yakni perlakuan manusiawi yang merupakan jaminan dasar dan perlakuan manusiawi yang terinci. Perlakuan manusiawi yang merupakan jaminan dasar itu dikelompokkan sebagai berikut.
a.       Bagi yang tak ikut serta ambil bagian dalam permusuhan perlakuan manusiawi dasar itu diwujudkan dalam bentuk larangan dilakukannya perbuatan-perbuatan berikut:
1)      Kekerasan atas kehidupan, kesehatan fisik dan mental, khususnya pembunuhan dan perlakuan kejam seperti penganiayaan, pengudungan, atau bentuk hukuman badan apapun
2)      Penghukuman kolektif
3)      Penyanderaan
4)      Monteror
5)      Pemerkosaan atas kehormatan, khususnya perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat
6)      Perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentukmya
7)      Penjarahan
8)      Ancaman akan dilakukannya perbuatan tersebut diatas
b.      Bagi anak-anak
1)      Pemberian pendidikan
2)      Diambil langkah-langkah memfasilitasi pengumpulan kembali keluarga yang terpisah sementara
3)      Yang belum berusia 15 tahun tak diizinkan mengambil bagian dalam permusuhan
4)      Perlakuan ad 3) tetap dilakukan bila ia mengambil bagiam dalampermusuhan dan tertangkap
5)      Bila perlu, memindahkan sementara anak-anak dari tempat permusuhan
c.       Bagi yang dibatasi kemerdekaannya
1)      Diberi makan minum seperti penduduk sipil local dan dijaga kesehatannya
2)      Berhak menerima bantuan
3)      Berhak melakukan ibadah agamanya
       4)      Bila dipekerjakan berhak menikmati kondisi dan keselamatan kerja seperti penduduk sipil setempat
d.      Bagi tersangka pelanggaran criminal yang berkaitan dengan sengketa bersenjata
1)      Tiada keputusan yang ditetapkan dan tiada hukuman yang laksanakan pada seseorang yang terbukti bersalah atas pelanggaran kecuali berdasarkan keputusan pengadilan yang terjamin kemandirian dan ketidak berpihakannya
2)      Terhukum diberitahu tentang penghukuman dan sarana hokum serta jangka waktu penggunaannya
3)      Hukuman mati tidak dijatuhkan kepada orang dibawah 15 tahun pada saat pelanggaran dilakukan dan kepada wanita yang sedang hamil atau yang mempunyai anak kecil
4)      Pada akhir permusuhan diberi amnesty kepada mereka yang ikut serta dalam sengketa bersenjata dan yang ditahan karena alasan yang berkait dengan sengketa
Sanksi yang ada dalam pelanggaran hukum perang , dapat dijatuhi hukuman karena perbuatan yang tidak dilakukan olehnya yaitu :
a.       Pembayaran Kompensasi, bahwa pihak yang berperang melanggar Hauge Regulations harus membayar kompensasi; bahwa pihak yang berperang  bertanggung jawab atas semua perbuatan yang dilakukan oleh anggota-anggota angkatan bersenjata.[9]
b.      Reprisal, merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum dan tindakan tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak yang melanggar hukum perang menghentikan perbuatannya dan juga untuk memaksa ia agr dikemudian hari mentaati hukum tersebut.[10]
Perlindungan yang rinci diberikan dalam kelompok sebagai berikut:
a.       Bagi yang terluka dan sakit
1)      Dihormati dan dilindungi
2)      Pelayanan segera dan tanpa pembedaan
3)      Pencarian dan pengumpulan segera tanpa ditunda-tunda setelah keadaan memungkinkan
b.      Bagi personil medic
1)      Dihormati dan dilindungi
2)      Tak dapat dipaksa mendahulukan orang tertentu kecuali berdasarkan pertimbangan medic
3)      Perlindungan tugas medic
4)      Perlindungan unit dan transportasi medic
5)      Penghormatan lambing khusus
c.       Bagi penduduk sipil
1)      Perlindungan penduduk terhadap bahaya akibat operasi militer
2)      Tidak dijadikan sasaran serangan
3)      Dilindungi pihak lawan sengketa kecuali dan sejauh mereka ikut serta dalam permusuhan langsung
4)      Perlindungan obyek yang diperlukan bagi kelanjutan kehidupan penduduk sipil
5)      Perlindungan bangunan dan instalansi yang mengandung kekuatan berbahaya
6)      Perlindungan obyek budaya dan tempat ibadat
7)      Larangan pemindahan paksa penduduk sipil
8)      Perkumpulan dan kegiatan pemberian bantuan
Sarana yang dipilih HHI untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dengan cara menetapkan hubungan hokum antar pihak yang terkait dalam sengketa bersenjata non-internasional ialah kesepakatan antar bangsa. Kesepakatan itu disusun dalam serangkaian ketentuan yang dituangkan dalam bentuk satu Protokol Tambahan II 1977 pada Konvensi Jenewa 1949. Adapun yang dimaksud dengan hokum HAM adalah hokum yang menjamin individu untuk dapat menikmati hak asasi dan kemerdekaannya dan melindunginya dari kejahatan social.
F.       Cara Penyelesaian Sengketa
                Cara penyelesaian sengketa ada 2 macam yaitu :
Metode-Metode Diplomatik, yaitu :
1.       Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelasaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan oleh umat manusia[11]
2.       Jasa-jasa baik
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi.[12]


3.       Mediasi dan Konsiliasi
Mediasi dan Konsiliasi adalah cara penyelesaian dimana para pihak beranggapan bantuan aktif pihak ketiga sangat membantu dalam menyelesaikan sengketa secara damai.
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Dia bisa negara, organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum atau ilmuwan).
Konsiliasi adalah suat cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak.[13]
4.       Inquiry
Metode ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan yang bersifat internasional untuk mencari dan mendengarkan semua  bukti-bukti yang relevan dengan permasalahan kemudian. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaian.[14]

                Upaya PBB dalam menegakkan Hak Asasi Manusia merupakan suatu bentuk penghormatan akan Hak Asasi Manusia. Piagam PBB telah disepakati / ditandatangani oleh 50 negara di San Ftansisco tanggal 26 Juni 1945 merupakan hasil perjuangan yang cukup panjang. Lewat pengalaman yang lalu, baik oleh para negarawan dunia. Orang terus menerus melakukan pertemuan/perundingan untuk memperkecil perbedaan-perbedaan yang ada, juga organisasi non pemerintah (swasta) misalnya League of Nation (London) dan Commission to Study the Organization of Peace ikut member kontribusi pemikiran dalam rangka penyusunan Piagam PBB tersebut.[15]

                Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal itu berarti bahwa, Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[16]

BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas tampak bahwa:
1.       HHI yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional adalah:
a.       Pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949, dan
b.      Protokol Tambahan II 1977 pada Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang
2.       Pengaturan sengketa bersenjata dalam Protokol Tambahan II 1977 tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 lebih meluas dan lebih rinci bila dibandingkan dengan ketentuanpasal 3 kembar dalam Konvensi Jenewa 1949
3.       Pengaturan HHI tentang sengketa bersenjata non-internasional bertujuan untuk mewujudkan asas kemanusiaan dalam melindungi korban sengketa bersenjata non-internasional. Perlindungan korban sengketa bersenjata non-internasinal itu dilakukan dengan cara menetapkan hubungan hokum antar pihak-pihak yang terkait dalam sengketa bersenjata tersebut. Hubungan hokum yang ditetapkan itu dituangkan dalam bentuk kesepakatan internasional
4.       Hubungan hokum antar pihak yang terkait dalam sengketa bersenjata non-internasional itu dilakukan dengan menetapkan hak dan kewajiban:
a.       Pihak yang bersengketa
b.      Korban sengketa, dan
c.       Pihak ketiga
5.       Bagi Indonesia HHI yang berlaku adalah pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949 karena Indonesia telah menyatakan menerima berlakunya Konvensi Jenewa 1949 itu dengan UU no.59 tahun 1958. Indonesia belum meratifikasi Protokol Tambahan 1977 pada Konvensi Jenewa, karenanya Protokol itu tidak berlaku bagi Indonesia.

 Daftar pustaka

1.       Green, L.C.1988, The Contemporary of Law of Armed Conflict
2.       Kusumaatmadja, Mochtar -,1986, Konvensi-konvensi Palang Merah 1949
3.       Pictet, Jean s. -, 1952, Commentary, I Geneva Convention
4.       ---, 1975, Humanitarian Law and The Protection of War Victims
5.       Brigadir Jendral TNI (Purn), Prof GPH Haryo Mataram, SH, Uraian Singkat Tentang “Armed Conflict” (Konflik Bersenjata).
6.       Ambarwati dkk.2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional
7.       Adolf, Huala,Hukum Ekonomi Internasional
8.       Prof. H. A. Effendi, Masyhur, S.H. M.S. Hak Asasi Manusia
9.       Prof. KGPH. Haryomataram, S.H. Pengantar Hukum Humaniter
10.   Mengenai inquiry dilihat dalam Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D. Pranoto Iskandar,
11.   Baharuddin Naim, Ahmad, S.H.,M.H. Hukum Humaniter Internasional
Istanto, F Sugeng, Perlindungan Penduduk Sipil


[1] Ambarwati dkk, “Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional” hal 27
[2] Ahmad Baharuddin Naim, S.H.,M.H.”Hukum Humaniter Internasional” hal 14
[3] F. Sugeng Istanto,”Perlindungan Penduduk Sipil” hal 2
[4] Ambarwati dkk, “Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional” hal 61
[5] F. Sugeng Istanto,”Perlindungan Penduduk Sipil” hal 37
[6] Ibid hal 46
[7] F. Sugeng Istanto,”Perlindungan Penduduk Sipil” hal 98-99
[8] F. Sugeng Istanto,”Perlindungan Penduduk Sipil” hal 7-8
[9] Prof. KGPH. Haryomataram, S.H. “Pengantar Hukum Humaniter” . hal 100
[10] Ibid. hal 102
[11] Huala Adolf. “Hukum Ekonomi Internasional” hal 250
[12] Ibid hal 258
[13] Huala Adolf. “Hukum Ekonomi Internasional”. Hal 259-260
[14] Mengenai inquiry dilihat dalam Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D. Pranoto Iskandar, S.H. hal 228
[15] Prof. H. A. Masyhur Effendi, S.H. M.S. “Hak Asasi Manusia”. Hal 59
[16] Ibid. hal 130